You are hererenungan / Saat Anak Membandingkan Diri: Benarkah Perbandingan Adalah Pencuri Sukacita?
Saat Anak Membandingkan Diri: Benarkah Perbandingan Adalah Pencuri Sukacita?
Membantu anak saya yang berusia tujuh tahun menulis esai perbedaan anak anjing dan anak kucing ibarat perjalanan menuju kedalaman jiwa manusia. Kita mendidik anak-anak kita untuk membandingkan dua hal. Mengevaluasi kenapa anak anjing beda dari anak kucing.
Namun, ketika anak kita melihat seorang anak berkursi roda atau atlet seluncur indah laki-laki yang berakting sebagai perempuan, kita langsung diam. Berharap anak kita tidak memerhatikan apa-apa.
Dan, begitu dia mulai membandingkan diri dengan individu-individu tersebut, kita langsung panik. Kita menyebut itu dosa.
Bisakah kita berhenti membandingkan?
Jika ungkapan Theodore Roosevelt, “Perbandingan adalah pencuri sukacita,” itu benar, berarti membandingkan sesuatu sama dengan membandingkan kebahagiaan.
Perkataan Roosevelt punya makna dalam konteks tertentu. Namun, setelah mendengarkan semua diskusi, khotbah, dan podcast Kristiani, banyak yang menganggap petikan itu adalah kata-kata Allah sendiri. Solusinya pun tampak jelas: berhentilah membandingkan. Berhenti menilai diri berdasarkan orang lain. Berhenti melihat perbedaan. Itu hanya akan membawa kepada penderitaan.
Masalahnya, kita tak dapat berhenti membandingkan. Perbandingan adalah bagian fundamental seorang manusia, karena itulah cara kita mengenali realitas. Hal pertama yang Adam lakukan saat melihat Hawa adalah membuat perbandingan dan pengontrasan singkat. “Dia seperti aku, tapi berbeda.” Tak hanya mustahil untuk menyingkirkan kecenderungan membandingkan, tetapi Tuhan ingin kita melakukannya.
Perbandingan itu Perlu
Membandingkan adalah cara kita menemukan kekudusan. Cara kita membedakan dari apa yang bukan diri kita dan tahu pandangan yang benar tentang diri kita. Mengabaikan pembandingan berarti mengabaikan pemahaman tentang Tuhan dan diri sendiri. Jadi, yang kita butuhkan adalah berlatih membandingkan secara wajar, bukan berhenti membandingkan sepenuhnya.
Jika kita singkirkan semua perbandingan dan pengontrasan dari Alkitab, takkan banyak yang tersisa dari buku itu. Hukum dan perintah Allah membantu kita melihat siapa diri kita dan siapa yang bukan kita. Apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan.
Hukum Tuhan juga membantu kita membandingkan diri dengan sesama, agar kita dapat meneladani apa yang baik dan tidak meniru yang buruk. Ini bukan dosa—melainkan elemen penting dalam pertumbuhan dan kesehatan rohani seorang Kristen.
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” – Roma 12:2
Yang saya khawatirkan, kita sering melakukan yang sebaliknya. Alih-alih memanfaatkan perbandingan untuk pertumbuhan rohani, kita tutup mata ketika orang lain melakukan hal benar. Kita tak ingin merasakan ketidaknyamanan karena kita tidak sebaik dirinya.
Logika tersebut membuat kita mengira bahwa rasa tak enak tentang dosa adalah masalahnya—jadi, harus dihindari. Padahal, saat kita berhenti membandingkan diri, sesungguhnya kita menutup diri dari kenyataan.
Tentu, kita perlu mengevaluasi apakah perbandingan itu memang perlu atau mengada-ada. Jangan membandingkan kehidupan nyata kita (rumah yang dihuni orang-orang dengan wajah berminyak, toilet yang bisa bau) dengan kehidupan palsu seseorang yang kita lihat di Instagram (rumah tanpa bau dan berkilau, wajah bebas minyak). Itu pembandingan palsu.
Tujuan kita adalah menemukan apa yang nyata dan tidak, bukan mengejar citra yang tidak realistis.
Jadikan Pembandingan Sebagai Penyulut Sukacita
Bagaimana kalau, ketimbang mencela seseorang yang hidupnya berantakan, kita membantunya mencari solusi? Kita mengutip Paulus, “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus,” bukan karena kita lebih baik daripada orang itu. Kita percaya bahwa Tuhan, yang telah mengubah hidup kita secara luar biasa, pasti mampu melakukan hal serupa atas orang lain (1 Korintus 11:1).
Membandingkan dengan benar—jauh dari kedengkian, kesombongan, keserakahan, dan sikap mengasihani diri, menuju imitasi Kristus—akan mengubah kita menjadi orang tua, pembimbing, dan teman yang lebih baik.
Mendidik Anak Lewat Pembandingan
Keayahbundaan beriman (faithful parenting) berarti memuridkan anak-anak kita dalam kehidupan nyata. Banyak orang tua menentang saat anak mereka melakukan pengamatan terhadap diri sendiri dan saudara mereka. Misalnya, “Aku bukan murid yang pintar. Kakak lebih pintar.” Kita lalu menghiburnya, “Oh, tidak begitu, sayang. Kamu pintar, kok!”
Tapi, benarkah itu? Pentingkah bagi orang tua bahwa apa yang anak katakan akurat atau tidak?
Ya, itu penting.
Kalau anak kita kurang berprestasi di sekolah, sementara saudara mereka lebih cemerlang, janganlah berpura-pura bahwa itu bukan masalah. Dengan begitu, kita melatih anak untuk mengabaikan kenyataan. Bahwa ucapan jujur itu menakutkan atau sulit diterima.
Itu memberi kesan bahwa apa yang membedakan mereka dari orang lain adalah hal mengerikan dan sukar dihadapi, sampai-sampai tak boleh diungkapkan. Kita singkirkan realitas demi memanjakan anak—padahal kitalah yang sebenarnya dimanjakan. Kita mengabaikan kekurangan, seolah-olah itu terlalu berat untuk ditanggung.
Namun, bagaimana kalau kita akui bahwa apa yang anak katakan itu benar, meski sebagian? Bahwa saudaranya cepat menangkap pelajaran, sementara dia perlu belajar lebih keras untuk dapat nilai bagus. Lalu, kita bimbing dia untuk bersyukur karena Tuhan menciptakan saudaranya sebagaimana adanya. Kita arahkan agar dia berdoa minta kedisiplinan dan kasih karunia dari Tuhan supaya dapat belajar lebih baik.
Saat anak bergumul, kita ajarkan dia meminta kepada Tuhan rasa puas dalam bidang-bidang yang kurang mereka kuasai. Mengucap syukur untuk kelebihan-kelebihan yang Tuhan berikan, yang berbeda dari saudara-saudarinya.
Kita akan mampu melakukan hal tersebut dengan meminta Tuhan memberi kita ‘kulit rohani yang tebal’. Dengan demikian, kita dapat hidup di tengah dunia yang penuh keberagaman ini tanpa rasa minder narsistik bahwa orang lain punya lebih banyak, mampu bekerja lebih keras, atau lebih hebat daripada kita.
Di dalam Kristus, kita punya segalanya—janganlah kita menghina Dia dengan sibuk mengasihani diri (Roma 8:32).
Perbedaan Adalah Rancangan Allah
Alkitab menyatakan bahwa sebagian orang punya iman kuat, sebagian lagi tidak (Roma 15:1). Beberapa punya talenta ini, yang lain talenta itu. Ada yang rupawan, ada yang sederhana. Punya rumah bagus, rumah yang biasa-biasa saja. Anak-anak dengan disabilitas. Beragam suku bangsa dan bahasa. Bahwa sebagian orang lebih menyerupai Kristus dan lebih dewasa daripada yang lain.
Memerhatikan perbedaan bukanlah dosa, melainkan berkat. Itu tidak menguapkan sukacita kita, tetapi menjadi air bagi pertumbuhan rohani. Imitasi kekudusan bukanlah tentang memuat diri kita ke dalam cetakan orang lain, melainkan meneladani prinsip-prinsip Kristus yang mereka diterapkan. Kita tidak menyeragamkan suara, tetapi mempelajari lagu yang sama tentang Anak Domba yang dikorbankan bagi kita (Roma 10:12).
Menjadi pengikut-Nya bukan berarti kita harus sama secara identik (Roma 12:4-8), melainkan untuk melatih kita, di tengah keberagaman setiap orang, untuk berjalan bersama dalam terang Kristus.
Source : https://gkdi.org/blog/benarkah-perbandingan-pencuri-sukacita/
- suwandisetiawan's blog
- Login to post comments
- 1287 reads