You are hererenungan / Pentingnya Kesadaran Diri (Self-Awareness) dalam Kehidupan Rohani
Pentingnya Kesadaran Diri (Self-Awareness) dalam Kehidupan Rohani
Kesadaran diri atau self-awareness adalah topik psikologis yang sering kita dapati di berbagai media. Namun, tahukah Anda bahwa kesadaran diri ternyata banyak tersirat dalam Alkitab, baik di Perjanjian Baru maupun Lama?
Ini membuktikan kesadaran diri terkait erat dengan kerohanian, bukan hanya psikologis semata. Jadi, alangkah penting bagi seorang Kristen untuk memahami kesadaran diri agar dapat menumbuhkan kehidupan imannya.
Apa itu kesadaran diri?
Salomo, tokoh Alkitab yang penuh hikmat, mengatakan bahwa orang berhikmat memiliki kesadaran diri, lewat ungkapan ‘mengerti jalannya sendiri’.
“Mengerti jalannya sendiri adalah hikmat orang cerdik, tetapi orang bebal ditipu oleh kebodohannya.” – Amsal 14:8.
Wikipedia mendefinisikan kesadaran diri sebagai, “A conscious knowledge of one’s own character, feeling, motives and desires.”
Dengan kata lain, kemampuan seseorang dalam mengenali bagian internal dirinya (inner world) merupakan salah satu bentuk kecerdasan.
Dalam buku Emotional Intelligence, Daniel Goleman menyatakan bahwa kesadaran diri merupakan dasar utama kecerdasan emosi atau EQ (Emotional Quotient). Dahulu faktor EQ dianggap kalah penting dibandingkan IQ (Intelligence Quotient) dalam menentukan kesuksesan seseorang—sebelum ditemukan bahwa EQ juga berpengaruh. Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengetahui, menyadari, serta memonitor inner world (dunia internal) kita.
Saya pribadi berpendapat bahwa kesadaran diri adalah keseluruhan bagian internal kita, yang meliputi pikiran (nilai, ide, paham), emosi (perasaan, keinginan, intuisi), perilaku (kecenderungan, karakter, motif), serta dampaknya (bagi orang lain dan diri sendiri).
Kesadaran diri meliputi 6 kemampuan, yaitu:
mengenali inner world sendiri
menyadari inner world pada saat muncul
memonitor inner world tersebut
menyadari dampak dari inner world tersebut
mengeliminasi inner world yang tidak dikehendaki
memutuskan inner world yang ingin kita miliki
Periksa profil kesadaran diri Anda
Menurut penelitian Dr. Tasha Eurich, ada dua tipe kesadaran diri, yaitu ISA (Internal Kesadaran diri) dan ESA (External Kesadaran diri).
ISA (Internal Self Awareness) merupakan kemampuan memahami inner world sendiri.
ESA (Eksternal Self Awareness) adalah kemampuan memahami bagaimana orang lain melihat inner world kita.
Berdasarkan hal tersebut, manusia terbagi dalam empat profil kesadaran diri:
Seekers: orang dengan ISA rendah dan ESA rendah.
Orang-orang Seekers mengalami stagnasi (kemandekan), serta merasa frustasi dalam kinerja dan hubungan.
Introspector: orang dengan ISA tinggi dan ESA rendah.
Mereka mudah melakukan introspeksi diri, fokus pada tujuan pribadi dan kebutuhan pribadi. Namun, Para Introspectors cenderung sombong, sulit menerima masukan dan tidak menyadari blind spot.
Pleasers: orang dengan ISA rendah dan ESA tinggi.
Para Pleasers berfokus pada bagaimana mereka terlihat oleh orang lain. Para Pleasers selalu ingin menyenangkan orang lain, alih-alih pada tujuan dan pemenuhan kebutuhan maupun keinginan diri sendiri.
Aware: orang dengan ISA tinggi dan ESA tinggi.
Mereka memahami diri sendiri dan apa yang ingin dicapai. Meski demikian, mereka tetap mencari dan menghargai opini serta umpan balik orang lain. Sebagai pemimpin, mereka menimbang keputusan secara seimbang antara penilaian pribadi dan penilaian menurut kacamata orang lain.
Manakah karakter yang Anda miliki sekarang? Sudahkah Anda berada dalam kategori orang-orang Aware?
Kalau belum, jangan khawatir. Mari pelajari lebih lanjut kesadaran diri menurut firman Tuhan.
Kesadaran diri menurut Alkitab
Alkitab mengungkap bahwa kesadaran diri memiliki sejumlah peran penting dalam hidup jasmani dan rohani kita:
Menumbuhkan rasa percaya diri dan kerendahan hati
Kesadaran diri membantu kita memandang diri sendiri secara proporsional, sehingga tidak memandang rendah (underestimate) atau memandang berlebihan (overestimate) diri kita. Orang dengan kesadaran diri optimal akan punya rasa percaya diri, tetapi tidak sombong.
“Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.” – Roma 12:3
Memiliki karakter yang bagus
Salah satu karakter orang-orang sukses adalah kesadaran diri. Kesadaran diri yang baik membuat seseorang mudah mengintrospeksi diri, sehingga cepat belajar dan memperbaiki kesalahan. Dia pandai memilah dan memilih nilai hidup yang benar, serta mengeliminasi nilai hidup yang salah. Secara rohani, dia mudah dibimbing dan bertumbuh.
Orang dengan kesadaran diri optimal akan memiliki karakter Kristus.
Menstimulasi pertobatan
Sewaktu Yesus bicara dengan perempuan Samaria di tepi sumur, sebenarnya Dia sedang membantu wanita itu melihat ke dalam dirinya sendiri dan menyadari dosanya. Yesus bukan menegur, melainkan memampukannya untuk memiliki kesadaran diri. Sebagai Konselor Agung, Yesus sedang melakukan penyuluhan dengan perempuan Samaria tersebut.
“Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.” – Isaiah 9:6
Keputusan untuk bertobat harus didahului munculnya kesadaran akan dosa. Dengan kata lain, kita menilik apakah yang kita pikirkan, rasakan atau lakukan itu benar atau salah. Mengapa kita melakukannya? Apa pandangan Tuhan tentang itu? Apa dampaknya bagi diri sendiri dan sesama, serta apa yang seharusnya dilakukan?
Semakin cepat kita menyadari dosa kita, semakin mudah untuk bertobat.
“Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan.” – Kis 3:19
Menyelamatkan diri sendiri dan orang lain.
Kesadaran diri memampukan kita memeriksa apakah jalan hidup kita sudah sesuai atau melenceng dari firman Tuhan. Ketekunan memelihara kesadaran diri merupakan kunci keberhasilan menjaga keselamatan yang dikaruniakan Allah.
“Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau.” – 1 Timotius 4:16
Orang dengan kesadaran diri optimal akan memiliki karakter Kristus.
Akibat minimnya kesadaran diri
Kesadaran diri rendah menghasilkan banyak dampak negatif dalam kehidupan seseorang. Terkadang orang cenderung meremehkan dampak ini, karena mengira yang terkena hanya orang lain, bukan diri sendiri.
Alkitab mengemukakan sejumlah fakta penting akibat minimnya kesadaran diri, yaitu:
1. Kerusakan hubungan
Orang dengan kesadaran diri rendah akan memiliki tendensi besar untuk menyalahkan orang lain. Dia tidak melihat kesalahannya sendiri. Bahkan kesalahan kecil dari orang lain akan tampak sangat besar. Sebaliknya, kesalahan sendiri yang sangat besar tidak dia sadari.
“Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.” – Matius 7:3-5
Kesadaran diri rendah berisiko merusak hubungan kita dengan sesama. Orang menjadi tidak nyaman menjalin hubungan dengan kita. Mereka rentan terluka dan ingin menjauh. Pada akhirnya, kita merasa kesepian dan ditinggalkan, tetapi tidak dibarengi rasa bersalah atau penyesalan. Ketimbang instrospeksi diri, orang dengan kesadaran diri rendah justru dikuasai perasaan ‘saya selalu jadi korban’ (mental korban).
2. Kehancuran hidup
“Ada jalan yang disangka lurus, tetapi ujungnya menuju maut.” – Amsal 16:25
Tanpa kesadaran diri, orang takkan menyadari bahwa langkahnya sedang menuju kehancuran. Perumpamaan anak yang hilang memberi gambaran bahwa sang anak tidak menyadari bahwa pikiran dan tindakannya merusak hidupnya sendiri.
“Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan.” – Lukas 15:17
3. Degradasi kualitas hati
Orang yang tidak memiliki kesadaran diri akan memandang semua tindakannya selalu dan pasti benar, padahal belum tentu demikian.
“Setiap jalan orang adalah lurus menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati.” – Amsal 21:2
Firman mengungkapkan bahwa hati manusia condong pada kelicikan. Dosa membuat manusia memiliki tendensi berbuat tidak benar. Tanpa kesadaran diri, seseorang akan terus-menerus melakukan dosa.
Kisah Daud dan Batsyeba merupakan contohnya. Dimulai dengan pikiran cabul, Daud pun jatuh dalam dosa perzinahan. Batsyeba hamil dan Daud mencari cara menutupi aibnya. Dia berusaha menjebak Uria, suami Batsyeba, agar bertanggung jawab atas kehamilan istrinya. Daud lari dari tanggungjawab demi menjaga citranya, dan tidak menyadari dia juga jatuh dalam dosa kesombongan.
Jebakannya gagal, dan Daud memiliki pikiran jahat untuk membunuh Uria. Pria itu pun tewas di medan perang setelah Daud melakukan pembunuhan berencana tanpa menggunakan tangannya sendiri. Rencana itu berjalan mulus; tak seorang pun tahu perbuatannya. Namun, Tuhan mengetahui hatinya yang membatu dan mengirimkan Nabi Natan untuk menyadarkan Daud.
“Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” – Yeremia 17:9
Tanpa kesadaran diri, hati kita akan mudah jatuh dalam dosa, bahkan menjadi keras.
Kesadaran diri memampukan kita memeriksa apakah jalan hidup kita sudah sesuai atau melenceng dari firman Tuhan.
Mengapa sulit memiliki kesadaran diri optimal?
Unconscious
Acap kali perilaku kita bergerak di tingkat bawah sadar (unconscious) atau autopilot. Tindakan kita jadi otomatis, karena kita kurang menaruh perhatian pada inner world.
Blind spot
Tak hanya retina mata yang punya titik buta, diri kita pun memiliki titik buta. Kita tidak mungkin mengenali diri seutuhnya. Ada bagian-bagian tertentu yang baru dapat kita kenali dengan bantuan orang lain.
Feel-good effect
Umumnya kita merasa bahagia saat melihat sisi positif diri, sehingga cenderung berfokus pada hal-hal baik saja. Kita tak terbiasa melihat dua sisi diri, baik positif maupun negatif. Secara rohani, Roh Kudus senantiasa mengingatkan kita untuk berlaku benar atau menyatakan apa yang salah dari perilaku kita. Namun, kita seringkali mengabaikan-Nya dan memilih ikut keinginan daging.
Cult of self
Mengkultuskan diri sendiri atau kesombongan. Perkembangan media sosial memudahkan kita untuk menjadi populer. Kita merasa hebat, keren, dan mampu meskipun kenyataannya tidak seperti yang kita kira.
“Sebab kalau seorang menyangka, bahwa ia berarti, padahal ia sama sekali tidak berarti, ia menipu dirinya sendiri.” – Galatia 6:3
Bagaimana cara meningkatkan kesadaran diri?
Berikut langkah-langkah praktis untuk meningkatkan kesadaran diri:
1. Meyakini pentingnya kesadaran diri.
Tanpa kesadaran akan pentingnya kesadaran diri, kita takkan punya kemauan memilikinya.
Munculkan keyakinan ini dengan cara menghitung keuntungan memiliki kesadaran diri dan kerugian jika tidak memilikinya. Selidiki kisah hidup tokoh-tokoh Alkitab yang memiliki dan tidak memiliki kesadaran diri. Perubahan sudut pandang akan memengaruhi perilaku Anda juga.
2. Ambil keputusan
Setelah mengambil keputusan, barengi dengan komitmen untuk mewujudkannya. Komitmen membuat Anda bertekun, meski upaya Anda mengalami jatuh-bangun.
3. Berlatih dengan tepat
Belajarlah menyelami bagian terdalam diri Anda. Kenali perasaan-perasaan Anda dan namai mereka satu-persatu. Catat motivasi dan ketakutan Anda dalam jurnal pribadi, lalu bangun keberanian untuk membagikannya kepada orang terdekat atau pembimbing rohani. Kita mungkin tidak serta-merta pandai dalam hal ini, tetapi latihan yang konsisten akan membantu menumbuhkan kesadaran diri.
“Rancangan di dalam hati manusia itu seperti air yang dalam, tetapi orang yang pandai tahu menimbanya.” – Amsal 20:5
Introspeksi diri yang efektif dapat dilakukan dengan go wide (meluas), bukan go deep (mendalam).
Go deep dilakukan dengan bertanya, “Mengapa?”
Misalnya: Mengapa saya tidak mendukung kesuksesan tim? Mengapa saya melakukan hal yang membuat tim gagal? Go deep cenderung menghasilkan pembenaran di balik pikiran, perasaan dan perilaku kita.
Go wide dilakukan dengan bertanya “Apa?”
Contoh: Apa yang sudah saya lakukan untuk mendukung kesuksesan tim kita? Apa yang membuat saya enggan memberi dukungan kepada tim? Apa yang saya lakukan yang menghambat kesuksesan tim?
4. Carilah umpan balik (feedback)
Berhenti meminta masukan dari orang lain akan membuat kita berhenti bertumbuh. Hal ini kerap terjadi pada orang yang merasa ‘sudah berpengalaman’. Mereka overestimate dalam mengukur kemampuan diri, sehingga berhenti belajar. Terlebih, orang cenderung segan memberi feedback kepada mereka yang dianggap lebih pandai atau berpengalaman.
Di sisi lain, orang yang minder akan underestimate diri sendiri sehingga takut atau tidak siap menerima feedback.
Tidak jarang, meminta masukan dari orang yang salah justru menjerumuskan kita atau membuat kita kecil hati. Pertimbangkan sosok-sosok yang tepat untuk dimintai feedback.
Mereka adalah orang yang:
memiliki spiritual wisdom (berhikmat), karena dapat memberi masukan yang konstruktif
compassion (penuh kasih), karena mereka tulus membantu
sering berjalan bersama kita, karena mereka mengenal kita dengan baik
lebih berpengalaman
Mintalah pasangan atau pembimbing rohani untuk mengajukan pertanyaan atau sudut pandang lain tentang perasaan / pikiran yang mungkin tidak Anda sadari. Libatkan mereka dalam menilai, sebagai cermin untuk melihat diri Anda secara proporsional. Kembali lagi, langkah ini memerlukan keberanian untuk menerima diri apa adanya, tetapi bukan mustahil dilakukan.
5. Mintalah Tuhan untuk campur tangan
Doakan dan gumulkan usaha Anda dalam membangun kesadaran diri. Hanya Tuhan yang tahu pikiran dan perasaan terdalam manusia, dan hanya Dia yang mampu mengubah diri Anda.
“Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku.” – Mazmur 26:2
Tentunya ini membutuhkan kerendahan hati di hadapan Tuhan dan penerimaan terhadap diri sendiri. Banyak di antara kita kurang mendapat penerimaan dari orang tua, sehingga kita sulit menerima kekurangan diri sendiri. Seringkali pula, kita minta Tuhan campur tangan, tapi tidak membiarkan Dia bekerja sepenuhnya untuk mengubah kita.
Dengan berlatih introspeksi diri, bergaul dengan orang-orang yang tepat, serta melibatkan Tuhan, niscaya kita dapat membangun kesadaran diri yang optimal, sehigga hidup kita semakin selaras dengan kehendak-Nya. Amin.
Source : https://gkdi.org/blog/kesadaran-diri/
- suwandisetiawan's blog
- Login to post comments
- 2973 reads