Membangun Rumah Tangga Bahagia: Pertimbangkan 2 Hal Ini Sebelum Menikah

Membangun rumah tangga biasanya dimulai dengan mengikat janji pernikahan. Acara pernikahan Anda bisa saja mewah atau sederhana, dengan resepsi atau tanpa resepsi. Namun, banyaknya papan ucapan, kerennya gedung pesta, atau cantiknya pakaian pengantin bukanlah jaminan keindahan hubungan pernikahan Anda kelak.

Poin terpentingnya adalah apa yang terjadi setelah momen tersebut: apakah rumah tangga Anda dibangun dengan penuh sukacita?

Untuk membangun sebuah rumah—yang bisa kita renovasi atau jual—kita butuh banyak pertimbangan. Apalagi membangun rumah tangga yang akan kita jalani selamanya, tentu perlu keseriusan dan evaluasi yang matang.

Jadi, pertimbangkan baik-baik dua hal ini sebelum Anda memutuskan menikah:

Pertimbangan 1: Dengan Siapa Anda Membangun Rumah Tangga?

“Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” – Korintus 6: 14

Sebelum memutuskan berumah tangga, pastikan Anda dan pasangan memiliki iman dan keyakinan yang sama. Ini hal yang paling fundamental dalam pernikahan. Kesamaan ini akan mendorong Anda berdua untuk bekerja sama, bahu-membahu mewujudkan rumah tangga idaman. Rumah tangga, yang meski tidak sempurna, tetap hangat karena ada kasih Tuhan di dalamnya.

Menjadi pasangan yang seimbang berarti suami dan istri memiliki standar dan prinsip yang sama. Kenapa harus demikian?

Pertama, hidup pernikahan akan cenderung lebih mudah karena masing-masing pihak mengerti cara memperlakukan pasangan, mendidik anak, menyikapi keluarga besar, mengelola keuangan, dan menghadapi hal-hal yang berisiko memicu pertengkaran.

Kedua, jika salah satu pihak melakukan kesalahan, dia akan lebih cepat insaf karena memiliki rasa takut akan Tuhan.

Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya. – Mazmur 127:1a

Ada yang beranggapan bahwa mengajak pasangan mengenal Tuhan bisa dilakukan setelah menikah. “Nanti pelan-pelan saya akan ajak pasangan ke gereja.” Atau, “Kalau sudah menikah, pasti dia akan berubah menjadi orang yang lebih baik.”

Tanpa bermaksud meragukan kuasa Tuhan, keputusan menikah dengan orang yang tidak beriman dan berharap pernikahan akan mengubah karakternya, kerap berakhir mengecewakan.

Ketidakseimbangan hidup rohani suami-istri dapat mengakibatkan kurangnya sinkronisasi dalam “bangunan” rumah tangga. Salah satu pihak ingin membangun, tetapi yang lain tidak membantu, atau malah ingin menghancurkan. Dengan kata lain, meski niat hati hendak memberi pengaruh, apa daya kita sendirilah yang terpengaruh. Bukannya mendekatkan pasangan kepada Tuhan, justru kitalah yang semakin jauh dari Tuhan.
Pertimbangan 2: Pastikan Tujuan Pernikahan Anda Benar

Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, Anda dan pasangan harus tahu ke mana bahtera itu akan berlayar. Dari keempat tujuan ini, yang manakah tujuan Anda menikah?

1. Mendapat Kebahagiaan

Ini adalah tujuan yang sangat naif. Bagaimana mungkin kita berharap akan bahagia ketika kebebasan dan waktu kita lebih terbatas ketimbang saat masih lajang? Bagaimana kita bisa lebih bahagia saat kondisi keuangan lebih terikat, bicara dan sikap harus dijaga, harus merendahkan hati, saling melayani, serta berbagi pikiran dan perasaan?

Kebahagiaan dalam sebuah pernikahan tidak jatuh begitu saja ke pangkuan, tetapi membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Itulah sebabnya ada orang yang setelah menikah justru merasa kehilangan kebebasan, sukacita, bahkan keselamatan. Kebahagiaan saat prosesi pernikahan itu menguap seiring layunya bunga-bunga di papan ucapan.

Jangan andalkan orang lain untuk memberi kita kebahagiaan. Hanya Allah yang dapat memberikan sukacita sejati kepada kita.

Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! – Yeremia 17:7

2. Mendapat Keturunan

Tidak ada salahnya berharap memiliki keturunan setelah menikah. Namun, menjadikannya sebagai tujuan pernikahan semata itu keliru.

Kalau tujuan pernikahan adalah untuk mendapat keturunan, berarti pasangan yang tidak memiliki anak adalah orang yang gagal. Alangkah tidak adilnya pandangan seperti ini. Sama tidak adilnya dengan orang tua yang menyuruh anak menceraikan pasangannya karena sulit memiliki keturunan. Padahal, ketika pernikahan diberkati, dengan jelas kita mengucapkan, “Hanya kematian yang akan memisahkan kita.”

“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” – Matius 19:6

3. Mendapat Kejelasan Status

Saat usia semakin matang, saudara-saudara kandung sudah berumah tangga, dan keluarga mulai menuntut, terciptalah situasi tak mengenakkan bagi para lajang.

Tak dapat dipungkiri, pengaruh budaya dan nilai-nilai masyarakat menjadi tekanan besar bagi orang muda untuk lekas-lekas berkeluarga. Akhirnya, meski belum yakin dengan bibit, bebet, dan bobot pasangan, mereka menikah hanya untuk melepaskan diri dari tekanan sosial. Ada pula yang belum terpanggil untuk menikah, tetapi terpaksa menyudahi masa lajangnya agar tak jadi bahan omongan orang.

Sayangnya, menikah dengan tujuan seperti ini lebih seringnya merupakan tindakan gegabah dan berisiko. Jangan sampai Anda menyesal, memilih orang yang salah dan hidup tak bahagia, hanya demi status “sudah menikah”.

4. Menggenapi Rencana Tuhan

Inilah tujuan pernikahan yang benar, karena Tuhan sendirilah yang berinisiatif menciptakan rumah tangga bagi Adam dan Hawa.

“Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” – Kejadian 2:18

Menikah berarti menggenapi rencana Tuhan untuk menjadikan kehidupan manusia lebih baik. Kita akan memiliki sukacita dan keselamatan pun semakin terjaga, karena kita punya partner untuk saling menolong dalam menjalani kehidupan.

“Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” – Galatia 6:2

Hanya bersama orang yang tepat dan tujuan yang benar, rumah tangga dapat dibangun dengan baik. Kalau Anda merasa belum siap berkeluarga, masih melihat sisi yang indah-indah saja dari pernikahan, atau masih takut mempertahankan prinsip iman sendiri, jangan terburu-buru menikah.

Berdoalah, dan minta nasihat dari pembimbing atau saudara-saudari yang sudah berumah tangga untuk membantu Anda memandang pernikahan secara lebih objektif, realistis, dan rohaniah. Jalani prosesnya bersama Allah yang dapat memberikan kebahagiaan sejati kepada Anda.

Tuhan Yesus memberkati.

Source: https://gkdi.org/blog/membangun-rumah-tangga/