You are hererenungan / Hampa: Perasaan Mematikan yang Menjadi Awal Berkat

Hampa: Perasaan Mematikan yang Menjadi Awal Berkat


By suwandisetiawan - Posted on 04 January 2019

Pernahkah Anda bangun pagi dengan perasaan hampa dan bertanya-tanya:

“Apa yang akan saya lakukan hari ini?

“Untuk apa dan siapa saya lakukan itu?”

“Apa faedah hidup saya?”

Hidup menjadi rutinitas menjemukan. Kegiatan sehari-hari Anda tidak lagi menarik. Anda kehilangan arah, dan hari demi hari berjalan tanpa gairah.

Saya menjalani hidup seperti itu selepas patah hati. Kehilangan orang terkasih memicu trauma dalam diri saya dan menumbuhkan pikiran-pikiran negatif, bahkan jahat. Kehampaan itu berlanjut hingga mencapai titik yang mematikan. Mengapa mematikan? Karena rasa hampa membuat saya berencana mengakhiri hidup.

Sisi Positif Rasa Hampa

Beberapa bulan kemudian, saya berkenalan dengan seorang saudara yang membagikan pengalaman hidup dan firman Tuhan. Selangkah demi selangkah, dia membimbing saya memperbaiki karakter dan perilaku.

Semenjak itu, pola pikir saya berubah. Saya jarang merasa bosan dan selalu punya pengharapan setiap bangun pagi. Saya menyadari Allah justru sedang menunjukkan kasih-Nya melalui kehampaan hidup saya.

Rasa hampa adalah sarana menuju perubahan hidup yang baik di mata Tuhan.
Apa dan Kenapa Saya Merasa Hampa?

Tanyakan dua hal ini kepada diri sendiri:

1. Why?
Mengapa saya bosan hidup?
Pertama-tama, carilah penyebab rasa hampa Anda. Apakah karena dosa, atau ada hal lain?
Jawab Yesus kepadanya: “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya.” – Yohanes 4:13-14a
Mengapa dosa membuat orang bosan hidup?
Karena perbuatan daging tidak akan memberi kepuasan sejati, sehingga kita menjadi hampa dan putus asa. Bisa jadi, kehampaan hidup kita disebabkan oleh dosa. Kita tidak mengerti tujuan hidup yang benar di mata Tuhan.

2. How?
Lalu, bagaimana agar hidup saya berarti?
Seorang Kristen harus punya tujuan hidup menuju Surga. Ketika tujuan kita sudah benar, kita menjadi bagian dari rencana Tuhan. Kita lebih mengenal diri sendiri dan kuat menghadapi cobaan atau pergumulan.
“Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.” – Roma 8:17

Jadi, di dalam derita rasa hampa sebenarnya kemuliaan Tuhan sedang bekerja. Miliki keyakinan yang dalam akan janji Tuhan (Filipi 2:12) dan kerjakan keselamatan kita (1 Petrus 1:5)
Empat tokoh Alkitab yang mengalahkan kehampaan hidup

Dalam proses yang saya lewati, saya belajar dari respon tokoh-tokoh Alkitab. Berikut empat hal yang bisa Anda pelajari dari mereka:

1. Ayub – Tulus mengasihi: ampunilah diri sendiri dan orang lain
Setelah berturut-turut tertimpa bencana, duka cita, kebangkrutan, bahkan penyakit, Ayub merasa hidupnya berlalu cepat tanpa kebahagiaan (Ayub 9:25-26).
“Aku telah bosan hidup, aku hendak melampiaskan keluhanku, aku hendak berbicara dalam kepahitan jiwaku.” – Ayub 10:1
Ayub merasa Tuhan telah menarik kasih-Nya. Namun, Ayub menggumulkan itu dalam doa dan percaya pada keadilan Tuhan. Di atas semua itu, Ayub mengampuni dan mendoakan orang-orang yang telah mengecewakan, merendahkan, dan menuduhnya.
“Lalu TUHAN memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu.” – Ayub 42:10
Doa Ayub yang penuh kasih akhirnya menjadi sarana pemulihan bagi dirinya. Mengampuni bukan tentang kalah atau menang, melainkan tentang melepaskan beban Anda. Dengan mengampuni, Anda justru mengasihi diri sendiri.
Matius 5:44, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”

2. Salomo – Merespon dengan hati yang benar
Bahkan Salomo, yang memiliki segala kemewahan dan kenikmatan hidup, akhirnya mencapai titik jenuh dan membenci hidupnya.
“Oleh sebab itu aku membenci hidup, karena aku menganggap m0enyusahkan apa yang dilakukan di bawah matahari, sebab segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin.” – Pengkhotbah 2:17
Namun, dengan respon hati yang benar, Salomo belajar takut akan Allah dan berpegang pada perintah-Nya.
“Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang.” – Pengkhotbah 12:13

3. Elia – Saling menghibur dan mendoakan
Setelah Elia membunuh nabi-nabi Baal, Ratu Izebel mengejarnya untuk membalas dendam. Elia pun ketakutan dan jatuh dalam depresi.
“Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon ara. Kemudian ia ingin mati, katanya: “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” – 1 Raja-raja 19:4
Allah tidak membiarkan Elia menderita sendirian. Malaikat Tuhan datang menghibur dan memberi Elia amanat baru.
Rasa hampa menjadi berkali lipat lebih mematikan ketika kita merasa sendirian. Saat itu terjadi, carilah dukungan dan bantuan dari saudara-saudari seiman. Mereka dapat mendukung dan mendoakan Anda dalam masa-masa sulit.

4. Yunus – Terimalah didikan Tuhan melalui saat teduh
Berkat peringatan Yunus, orang-orang Niniwe bertobat dari kejahatan mereka, dan Allah membatalkan hukuman atas kota itu.
Namun, bukannya bersukacita, Yunus malah marah karena Allah mengampuni orang-orang Niniwe—yang notabene musuh bangsa Israel.
“… lalu rebahlah ia lesu dan berharap supaya mati, katanya: “Lebih baiklah aku mati dari pada hidup.” – Yunus 4:8
Saat Yunus mengambek, Allah menegurnya. Karena hanya mengkhawatirkan keselamatan bangsa sendiri, Yunus tidak melihat bahwa Allah juga mengasihi bangsa-bangsa lain dan mengampuni mereka yang mau bertobat.
Manfaatkan saat teduh Anda untuk membuka hati dan dengarkan apa kata Allah tentang hidup Anda.

Langkah-langkah di atas bukan cara instan menghilangkan rasa hampa. Kita perlu berproses, dimulai dari refleksi diri dan rendah hati menerima didikan Allah. Saat kita percaya Tuhan akan memulihkan, barulah kita mampu memandang kehampaan sebagai hal positif.

Selamat memiliki hidup berarti di dalam Tuhan!

Source : https://gkdi.org/blog/hampa-perasaan-mematikan-awal-berkat/

Tags