You are hererenungan / Embrace Your Feeling: Perasaan Anda Sama Pentingnya dengan Logika
Embrace Your Feeling: Perasaan Anda Sama Pentingnya dengan Logika
Logika (logic) dan perasaan (feeling) merupakan komponen penting yang memberi pengaruh terhadap dinamika kehidupan kita. Kadar logika dan perasaan setiap orang berbeda-beda. Dalam pengolahan informasi dan pengambilan keputusan, sebagian orang lebih menggunakan logika, sebagian lagi menitikberatkan perasaan.
Tuhan menciptakan manusia dengan logika dan perasaan. Artinya, Dia ingin kita menggunakan keduanya secara seimbang. Kalau begitu, kenapa banyak orang menganggap perasaan sebagai kelemahan? Pada akhirnya, kita menghindari perasaan dan lebih sering memberdayakan ‘otak’ daripada ‘hati’ karena takut dianggap cengeng atau manja.
Bagaimana cara menerima perasaan sebagai elemen yang sama pentingnya dengan logika?
Perasaan vs Logika
Sebagian dari Anda mungkin seperti saya. Orang yang pada dasarnya lebih menggunakan perasaan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, banyak mengandalkan logika. Mengapa? Karena, mengolah logika jauh lebih mudah. Sesederhana 1 + 1 = 2. Perasaan tidak bisa dijelaskan sesimpel itu.
Suatu hari, entah mengapa tiba-tiba saya menangis dan merasa lelah. Padahal, segalanya berjalan baik. Tidak ada hal buruk atau menyedihkan yang perlu ditangisi. Saya seperti bukan diri saya yang biasanya.
Saya coba menganalisis diri dan mendapati satu kesimpulan. Ternyata selama ini saya sering menutupi perasaan saya dengan menyibukkan diri. Sisi emosional saya tidak mendapatkan perhatian. Saya selalu punya ruang untuk logika, tetapi tidak mengizinkan perasaan berbicara. Bahkan, saat situasi sedang sulit, saya berdoa, “Tuhan, tolong matikan dulu perasaan saya saat ini.” Akibatnya perasaan saya memprotes ketidakadilan itu, dan unjuk rasanya meluap menjadi tangis.
Hingga suatu hari saya berkumpul dengan teman-teman dan pembimbing rohani saya. Secara tidak sengaja, sampailah kami pada topik ini dan pembimbing saya menanggapi, “Kalian harus terima bahwa kalian punya perasaan, and it’s okay! Embrace your feeling!”
5 Cara untuk Menerima dan Mengolah Perasaan
Dari pengalaman tersebut, saya pun mempelajari lima cara untuk mengolah perasaan secara lebih berimbang:
1. Accept your feeling (Terimalah perasaan Anda)
Hal pertama yang harus kita ubah adalah mindset atau cara pikir. Terimalah bahwa Anda adalah manusia yang memiliki logika dan perasaan—dan keduanya sama penting. Tanpa perasaan, kita hanyalah robot yang terprogram untuk beroperasi. Tanpa logika, kita tak dapat berpikir objektif, sulit berdisiplin, dan tidak mampu bekerja secara profesional.
Tuhan adalah kombinasi sempurna logika dan perasaan. Jika Tuhan hanya menggunakan logika, kita tidak akan punya kesempatan untuk selamat. Semua manusia telah jatuh ke dalam dosa, dan upah dosa adalah maut. Namun, karena kasih-Nya begitu besar, Dia mengirimkan Anak-Nya yang tunggal untuk menggantikan kita menjalani hukuman mati (Yohanes 3:16).
Salib adalah momen ketika perasaan dan logika Tuhan bertemu dengan sempurna. Dia adil, dan di saat bersamaan, penuh kasih.
2. Spend time with God (Luangkan waktu bersama Tuhan)
Sebagai orang yang selalu ingin kelihatan kuat, tidak mudah bagi saya membiarkan orang lain melihat sisi sedih dan lemah saya. Namun, saya selalu bisa menjadi diri sendiri saat datang kepada Tuhan. Dia adalah Tuhan saya. Dia tahu tentang saya lebih dari apa yang saya pahami tentang diri sendiri.
Luangkan waktu untuk duduk dan berkomunikasi dengan Tuhan. Carilah saat yang tenang, misalnya pagi hari sebelum kita memulai kesibukan, atau malam hari ketika suasana tenang. Curahkan isi hati Anda seperti sedang bercerita kepada seorang teman. “Tuhan, hari ini saya merasa …”
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” – Matius 11:28
Saat Teduh akan membantu Anda mengolah perasaan dan melihat situasi dengan lebih jernih. Setelah spend time dengan Tuhan, biasanya muncul rasa lega. Kita mendapatkan pemahaman atau ide baru untuk menjalani langkah selanjutnya dalam hidup.
“Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya. Orang-orang muda menjadi lelah dan lesu dan teruna-teruna jatuh tersandung, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.” – Yesaya 40:29-31
3. Be vulnerable to the right people (Terbukalah kepada orang-orang yang tepat)
Menjadi diri sendiri di hadapan orang lain bukanlah hal mudah bagi mereka yang sering menyembunyikan perasaan. Mereka terbiasa terlihat kuat di depan semua orang. Namun, agar dapat dibantu, kita harus jujur dan terbuka. Barangkali selama ini orang lain mengira kita baik-baik saja, padahal kenyataannya tidak.
Jawaban Tuhan bisa datang dalam berbagai bentuk. Entah lewat ilham yang kita dapatkan saat bersaat teduh, atau melalui nasihat orang-orang di sekeliling kita. Jadi, kalau kita tidak tampil sebagai sosok yang real, bagaimana mereka dapat membantu kita?
Ini bukan berarti kita perlu terbuka dan cerita kepada siapa saja. Terbukalah kepada orang yang tepat, seperti pembimbing rohani yang dapat menuntun dan mengarahkan kita ke arah yang benar.
4. It’s okay to cry (Tidak apa jika ingin menangis)
Bagi sebagian orang, menangis itu mempertaruhkan gengsi. Namun, terimalah, kita ini manusia yang bisa merasa lelah atau sedih. Bahkan Tuhan Yesus sendiri berani mengungkapkan perasaan kepada murid-murid-Nya dalam penantian di Taman Getsemani.
… lalu kata-Nya kepada mereka: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.” – Matius 26:38
Baik pria maupun wanita, hey, it’s okay to cry. Menangis bukan berarti kita lemah. Menangis adalah salah satu cara mencurahkan perasaan. Lebih sering, setelah menangis, kita merasa lega dan mampu berpikir jernih dalam menghadapi masalah.
5. Listen to your heart, mind, and body (Dengarkan isi hati, pikiran, dan tubuh Anda)
Cara orang menutupi perasaan berbeda-beda. Ada yang memasang dinding logika tinggi-tinggi. Menyibukkan diri dengan banyak hal (untuk melupakan perasaannya). Atau, lari dari kenyataan menjadi pecandu games, alkohol, atau obat-obatan terlarang.
Dulu saya orang yang mematikan perasaan dengan segudang to-do-list dan target. Padahal saya tahu apa yang dibutuhkan hati dan tubuh saya. Menyadari ini, saya luangkan satu hari dalam seminggu untuk me-time, melakukan apa yang saya inginkan. Entah itu berenang, membaca buku, mendengarkan musik, atau menulis. Alhasil saya kini jauh lebih bahagia dan menikmati hidup.
Rehatlah sejenak, perhatikan kesehatan, galilah ilmu, atau luangkan waktu bersama orang-orang terkasih. Jangan terus berlari dan menghindar. Dengarkanlah isi hati, pikiran, dan tubuh Anda. Pahami apa yang mereka butuhkan.
Semoga pengalaman saya dan tips-tips di atas dapat membantu Anda menerima perasaan sebagai bagian penting dalam diri Anda. Tak perlu takut kelihatan lemah hanya karena sewaktu-waktu mengedepankan perasaan. Namun, ada satu hal yang perlu diingat. Jangan kebablasan embrace your feeling dan lupa menggunakan logika. Keduanya harus berjalan bersamaan supaya hidup kita pun seimbang.
“Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” – Filipi 4:7
Source : https://gkdi.org/blog/perasaan-sama-penting-dengan-logika/
- suwandisetiawan's blog
- Login to post comments
- 1197 reads