You are hererenungan / Ciri Pernikahan Sehat: Mampu Kelola Konflik

Ciri Pernikahan Sehat: Mampu Kelola Konflik


By suwandisetiawan - Posted on 18 May 2019

Ibarat magnet, adakalanya kita tertarik dengan orang dari “kutub berlawanan”. Opposite attraction inilah yang membuat orang cenderung jatuh cinta pada lawan jenis dengan karakter yang berseberangan. Misalnya, pria ekstrover tertarik dengan wanita yang introver; atau, wanita yang ceria dan easygoing terpesona pada pria yang cool.

Sayangnya, polaritas ini sering kali menjadi pemicu konflik setelah menikah. Pria dan wanita yang dulu saling memuja kini terjebak dalam pertikaian berkepanjangan, bahkan ada yang sampai bertahun-tahun lamanya.

Di sisi lain, konflik adalah sesuatu yang lazim terjadi dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Pasangan yang sifatnya mirip pun ternyata tidak lepas dari konflik.

Lantas, apa yang harus dilakukan ketika konflik terjadi dalam pernikahan?

Konflik: Dikelola, bukan Dihindari

“Baik-baik, ya, jangan bertengkar.” Demikian nasihat khas orang tua kepada anak-anak yang menikah. Karena itu, tak heran konflik sering dipandang sebagai sesuatu yang buruk dan harus dihindari. Konflik adalah tanda kekalahan. Konflik itu berbahaya karena membuat hubungan jadi buruk.

Cara pasangan menyikapi konflik pun berbeda-beda. Ada yang menghindari, menyelesaikan, dan mengelolanya.

Pasangan yang menghindari konflik akan berusaha sebisa mungkin agar jangan ada pertentangan. Ketika konflik muncul, mereka cenderung membiarkan atau menganggapnya tidak ada. Seiring waktu, masalah mereka terus bergulung dan membesar seperti bola salju yang menuruni lereng.

Di sisi lain, pasangan yang menyelesaikan konflik akan menghadapinya saat itu juga seperti “proyek sekali datang” yang harus ditaklukkan; setelah itu habis perkara. Cara ini tampaknya baik di awal, tetapi konflik serupa dapat muncul lagi di kemudian hari karena inti masalahnya tidak diselesaikan.

Pasangan yang mengelola konflik akan memilih menyelesaikan dan menindaklanjuti masalah. Mereka mencari tahu apa harapan satu sama lain, menyepakati komitmen masing-masing, dan saling mendukung agar komitmen tersebut dijalankan dengan baik. Termasuk juga, bermufakat tentang apa yang perlu dilakukan ketika komitmen tersebut diabaikan. Dengan demikian, masalah dapat diminimalisir karena ada “alarm” ketika salah satu pihak keluar dari jalur.

Don’ts dalam Konflik

Kemunculan konflik dalam pernikahan memang tidak terhindarkan, tetapi bukan berarti kita bebas melampiaskan emosi kepada pasangan. Kata-kata kotor atau kasar, label-label yang menyinggung (SARA, latar belakang sosial, dan lain-lain), serta komentar yang menyepelekan atau merendahkan harus dihindari.

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu …” – Efesus 4: 29a

Lalu, bagaimana ketika salah satu pihak telanjur melontarkan kalimat kasar?

“Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki …” – 1 Petrus 2:23a

Mari belajar dari sikap Tuhan Yesus, yaitu berusaha tidak membalas. Dengan jawaban lembut, semoga pasangan kita segera insaf. Memang, ini tidak mudah, tetapi ingatlah bahwa nada rendah dapat menyejukkan suasana yang panas. Sebagai pasangan, kita tetap harus saling menolong, termasuk ketika sedang berkonflik.

“Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah.” – Amsal 15:1

Usahakan untuk selalu sadar diri—kapan pun dan di mana pun Anda berada. Jangan bertengkar di depan anak-anak karena itu dapat melukai hati mereka. Jangan pula ketika sedang berkendara di jalan raya karena berbahaya bagi keselamatan Anda. Kendalikan emosi Anda, dan sesampainya di rumah atau di kamar, barulah tindak lanjuti konflik tersebut.
Gunakan Konflik untuk Tingkatkan “Level” Pernikahan

Pernikahan yang sehat tidak diukur dari seberapa banyak kata-kata cinta yang diumbar, tetapi seberapa cekatan pasangan yang bersangkutan mengelola konflik. Bahkan, alih-alih menghancurkan, sebuah konflik justru membuat hubungan mereka semakin dekat. Akan tetapi, perlu diingat bahwa konflik yang menumbuhkan hanya dapat tercipta apabila konflik sebelumnya sudah dikelola dengan baik.

Setidaknya ada tiga keuntungan dari mengelola konflik bagi pernikahan Anda:

1. Frekuensi Konflik Semakin Jarang

Suami-istri yang sudah sampai di tahap ini biasanya sudah belajar mengenali pola konflik mereka. Kedua pihak tahu mana tombol merah dan tombol hijau masing-masing: apa yang membuat pasangan marah, tersinggung, sedih, senang, lega, dan lain sebagainya.

Bagaimana cara mencapai tahap ini?

Jujurlah dengan perasaan dan harapan masing-masing, sehingga suami istri tahu apa yang harus dan tidak boleh dilakukan.

Selain dapat semakin mengenal diri sendiri dan pasangan, kita jadi mengerti apa yang harus diubah dan perlu ditumbuhkan. Kita juga tahu ekspektasi satu sama lain, dan apa yang harus dilakukan untuk memenuhinya. Dengan demikian, seiring waktu niscaya frekuensi konflik akan semakin berkurang.

2. Durasi Konflik Semakin Singkat

Pasangan di level ini lebih mudah menyampaikan dan menerima satu sama lain. Tak ada ketegangan yang berlebihan saat membahas konflik yang terjadi, serta tidak butuh waktu lama mengumpulkan keberanian untuk bicara.

Bagaimana supaya bisa tiba di level ini?

Sepakati waktu yang tepat untuk bicara, samakan persepsi, dan buat kesepakatan baru untuk ke depannya.

Kalau dulu suami-istri bisa saling mendiamkan berhari-hari karena enggan membicarakan perasaan dan harapan, kini tidak lagi. Ini karena mereka paham, sekalipun sedang marah dan kecewa, bukan berarti harus bertengkar hebat.

“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.” – Efesus 4:26

3. Inti Konflik Semakin “Berkelas”

Ada suami-istri yang kalau berkonflik dengan mudah diketahui anak-anak mereka, bahkan tetangga, karena suara pertengkaran mereka tersebar ke mana-mana.

Namun, konflik pasangan yang sudah tiba di level ini tidak lagi berkisar soal perasaan—misalnya, merasa tidak dicintai atau tidak dihargai—karena keduanya sudah saling percaya. Suami-istri tetap bersikap baik satu sama lain, melakukan tugas dan tanggung jawab mereka, meski tahu ada masalah yang harus mereka tuntaskan.

Bagaimana cara mencapai level ini?

Selesaikanlah konflik pada intinya dan jangan melebar ke hal-hal lain.

Suami-istri mungkin berdebat karena perbedaan pendapat, tetapi itu tidak mengurangi rasa cinta dan hormat mereka kepada pasangan. Mereka tidak terbentur pada masalah yang itu-itu saja, tidak mengulur waktu menyelesaikannya, dan tidak pula mengungkit masalah yang sudah lewat.

“Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul.” – 1 Korintus 9:26

Dua pribadi yang benar-benar berbeda, awalnya orang asing satu sama lain kini menjadi partner seumur hidup, sudah pasti akan terlibat konflik. Menghindari konflik hanya akan mengeruhkan masalah dan menumpuk kepahitan. Namun, mengelola konflik dapat membuat pernikahan semakin sehat.

Source : https://gkdi.org/blog/kelola-konflik/

Tags