You are hererenungan / Berdamai dengan Masa Lalu

Berdamai dengan Masa Lalu


By suwandisetiawan - Posted on 01 March 2019

Ketika merapikan perpustakaan pribadi di rumah, saya menemukan foto sewaktu dibaptis belasan tahun lalu. Tampak beberapa brothers mendampingi saya di foto tersebut. Merenungkan momen itu, saya bersyukur telah mengambil keputusan tepat, yaitu menjadi murid Yesus. Namun, saya juga sedih karena teringat sebuah kejadian di masa lalu. Saya kurang bijak berkata-kata, dan ini mengakibatkan putusnya hubungan saya dengan seorang sahabat.

Seburuk apa pun masa lalu kita, Tuhan ingin kita belajar agar kelak tidak mengalami kerugian atau kesedihan serupa, bahkan lebih besar. Untuk itu, mari simak bagaimana dua tokoh Alkitab ini, Yakub dan Paulus, dapat berdamai dengan masa lalu.

Yakub: Berdamai dengan Esau yang Dendam karena Ditipunya

“Lalu bertambah besarlah kedua anak itu: Esau menjadi seorang yang pandai berburu, seorang yang suka tinggal di padang, tetapi Yakub adalah seorang yang tenang, yang suka tinggal di kemah. Ishak sayang kepada Esau, sebab ia suka makan daging buruan, tetapi Ribka kasih kepada Yakub.” – Kejadian 25:27-28

Dari ayat di atas, kita tahu gaya hidup Esau dan Yakub sangat bertolak belakang sehingga masing-masing menjadi favorit pihak ayah atau ibu. Singkat cerita, ini menjadi salah satu alasan Yakub menipu Ishak agar memberkatinya sebagai anak sulung (Kejadian 27:1-40).

Mengapa Tuhan sepertinya membiarkan Yakub menipu Ishak dan menurunkan berkat-Nya? Karena, Tuhan menghargai sikap Yakub yang menghargai hak kesulungan, kebalikan dari Esau yang memandang ringan hak tersebut (Kejadian 25:31-34).

Namun, Yakub tidak luput dari hukuman atas dosa menipu ayah mereka. Kelak Yakub ditipu Laban saat menginginkan Rahel (Kejadian 29:15-21). Dia juga ditipu kesepuluh anaknya yang mengatakan bahwa Yusuf tewas diterkam binatang buas (Kejadian 37:31-34).

Jadi, apakah setelah mendapat hak kesulungan dan berkat Tuhan, hidup Yakub enak? Tidak. Esau yang merasa dirugikan karena ditipu dua kali (Kejadian 27:36) ingin membalas dendam dan menunggu “waktu yang tepat” untuk membunuhnya.

Esau menaruh dendam kepada Yakub karena berkat yang telah diberikan oleh ayahnya kepadanya, lalu ia berkata kepada dirinya sendiri: “Hari-hari berkabung karena kematian ayahku itu tidak akan lama lagi; pada waktu itulah Yakub, adikku, akan kubunuh.” – Kejadian 27:41

Yakub pun melarikan diri ke Mesopotamia, bekerja keras dua puluh tahun lamanya untuk mendapatkan istri, anak-anak, dan harta benda. Namun, Tuhan ingin Yakub membereskan masa lalunya dengan Esau. Karena itulah, Tuhan menyuruh Yakub pulang ke negeri sanak saudaranya (Kejadian 31:13).
Akhirnya, meski ketakutan dan harus mengatur siasat lebih dahulu (Kejadian 32:7-21), Yakub mau bertemu Esau. Dan, apa yang terjadi?

Tetapi Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangisanlah mereka. – Kejadian 33:4

Esau tidak lagi dendam dan mau berdamai dengan Yakub karena hatinya sudah berubah. Demikian pula hati Yakub. Dia bukan lagi penipu yang menghalalkan segala cara, tetapi seorang yang jujur bekerja demi mendapatkan berkat Tuhan. Hubungan mereka dipulihkan karena keduanya mau berproses ke arah yang lebih baik.

Dari Yakub, kita belajar bahwa masa lalu memang tidak bisa diubah, tetapi kita bisa menggunakan masa sekarang untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Mungkin dahulu kita suka menipu; sekarang kita hidup jujur. Mungkin dahulu kita pemarah; sekarang kita sabar. Kita pasti bisa berubah, asalkan mau tunduk kepada Tuhan dan melakukan firman-Nya.

Paulus: Penganiaya Jemaat yang Bertobat dan Menjadi Rasul

Giat mengajar dan mendirikan jemaat di berbagai tempat, kerap mengalami penganiayaan, dan penuh semangat memberitakan Injil—itulah kesan yang kita dapatkan dari Paulus. Dia juga rasul yang sangat produktif menulis. Surat-suratnya kepada jemaat dan sejumlah murid, seperti Timotius, Titus, dan Filemon, menjadi bagian dari Alkitab yang kita baca. Sampai mati, Paulus tetap setia menjaga imannya.

Namun, kita mungkin akan kaget membaca masa lalu Paulus sebelum berjumpa dengan Yesus dan bertobat.

Waktu Stefanus dibunuh, Paulus (waktu itu namanya Saulus) hadir di sana (Kisah Para Rasul 7:54-8:1a). Paulus menjaga jubah para saksi yang merajam Stefanus dan setuju dia mati dibunuh. Dengan melihat dan menyetujui, berarti Paulus turut menganiaya jemaat.

Kisah Para Rasul 8:1b-3 mencatat bahwa sesudah kematian Stefanus, terjadi penganiayaan hebat terhadap jemaat di Yerusalem. Paulus termasuk salah satu pelakunya. Dia memasuki rumah demi rumah untuk menangkap dan memenjarakan para pengikut Kristus. Masih belum puas, Paulus hendak membinasakan juga jemaat di Damsyik (Kisah Para Rasul 9:1-19).

Dalam perjalanannya ke Damsyik, Paulus bertemu dengan Yesus dan menjadi buta selama tiga hari. Setelah Tuhan memulihkan penglihatannya dengan perantaraan Ananias, Paulus memutuskan menjadi murid Yesus. Dia gigih mewartakan bahwa Yesus adalah Anak Allah, bergabung dengan murid-murid lain, dan melakukan perjalanan ke berbagai kota demi memberitakan Injil.

“Aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman.” – 1 Timotius 1:13
Paulus tidak malu mengakui masa lalunya, dan dia memilih menggunakan masa sekarang, kesempatan baru yang diterimanya, untuk melayani Tuhan.

Dari Paulus, kita belajar bahwa seburuk apa pun perbuatan kita di masa lalu, Tuhan berkenan mengampuni dan mau memakai kita untuk melakukan pekerjaan-Nya. Janganlah terus-menerus hidup dalam penyesalan, tetapi hendaknya kita bangkit, mau melakukan berbagai usaha positif yang berkenan bagi Tuhan dan menjadi berkat bagi orang-orang yang kita temui.

Jadi, untuk berdamai dengan masa lalu, cobalah lakukan dua hal ini. Sadari bahwa kita mampu berubah dengan menaati Tuhan dan melakukan firman-Nya, dan ingatlah bahwa Tuhan itu Maha Pengampun, jadi marilah kita tinggalkan penyesalan dan bangkit berjuang untuk menjadi berkat bagi sesama.

Source : https://gkdi.org/blog/masa-lalu/

Tags