You are hererenungan / Batas Tipis Antara Sombong Rohani dan Benar di Mata Tuhan

Batas Tipis Antara Sombong Rohani dan Benar di Mata Tuhan


By suwandisetiawan - Posted on 10 December 2018

Sikap sombong rohani acapkali menjadi bagian dalam keseharian kita, meskipun kita mengira tak pernah melakukannya. Ketika mendengar perlakuan curang yang menimpa seorang teman, mungkin kita bersimpati dan ikutan kesal dibuatnya. Kita cela tindakan yang bersangkutan seraya berkata dalam hati:

“Untung saya tidak sejahat itu.”

“Untunglah saya orang baik-baik.”

“Untung saya sudah dibaptis.”

Dan semacamnya.

Namun, sadar atau tidak, kita kerap melakukan tindak kriminalitas ‘kecil-kecilan’ dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya:

Saat dititipi belanja keperluan kantor oleh atasan, kita sisipkan barang kebutuhan pribadi dalam daftar. Toh, harganya tidak seberapa. Lebih hemat daripada harus merogoh kocek sendiri.
Demi membasmi angka-angka merah rapor di si kecil, kita bawakan wali kelasnya ‘bingkisan’. Alasannya, lebih cepat dan praktis ketimbang meluangkan waktu memberinya bimbingan belajar.
Ketika marah dengan pasangan, kita lontarkan kata-kata kasar, alih-alih menenangkan hati dahulu dan merenungkan inti permasalahan.
Brothers and sisters, pernahkah terpikir bahwa berbuat jahat itu seringkali lebih gampang daripada berbuat baik?

Ah, tindakan saya tidak ada apa-apanya dibanding perbuatan mereka yang diganjar hukuman pidana atau perdata. Dosa saya tidak sebesar dosa koruptor negara, kan?

Nah, skala besar-kecil inilah yang kemudian membiaskan pemahaman kita tentang dosa. Kejahatan sepele tidak membuat nurani kita berteriak selantang kejahatan yang kita nilai lebih besar. Akibatnya, kita lupa bahwa dosa tetaplah dosa.

Semua manusia berdosa
Dalam Roma 3:9-19, Paulus menekankan bahwa semua manusia adalah orang berdosa.

… seperti ada tertulis: “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak.”
– Roma 3:10
Paulus mengungkapkannya sebagai argumentasi terhadap orang Yahudi yang merasa diri mereka benar di hadapan Allah. Namun, pesan tersebut masih relevan hingga sekarang.

Ada dua hal dalam argumen Paulus yang dapat kita refleksikan:

Pertama, kita perlu sadar betapa jahatnya kita di mata Allah.

Kedua, kita perlu sadar bahwa segala usaha dan perbuatan baik tidak dapat membenarkan kita.

Apa itu self-righteous atau sombong rohani?
Pengertian self-righteous dalam kamus adalah: Filled with or showing a conviction of being morally superior, or more righteous than others. Artinya, kita yakin diri kita lebih baik secara moral, atau lebih benar daripada orang lain. Dalam konteks rohani, self-righteous bisa diartikan sombong rohani.

Kawan, sombong rohani adalah pandangan yang berbahaya. Kita mengira berada di pihak Allah, padahal justru Allah memandang sebaliknya.

Keruntuhan dan kebinasaan mereka tinggalkan di jalan mereka, dan jalan damai tidak mereka kenal; rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu.
– Roma 3:16-18.
Paulus menegur pihak yang menyombongkan kegiatan mereka untuk Tuhan. Takut akan Tuhan tidak ada pada mereka, karena mereka bertindak menurut pengertian sendiri.

Masalahnya, apakah kita juga termasuk orang-orang yang sombong rohani?

Apakah kita jadi congkak dan menolak ajaran yang benar? Apakah kita picik seperti katak dalam tempurung? Begitu yakin sudah tercantum dalam buku kehidupan Allah, padahal lupa bersikap rendah hati dan mawas diri?

Kalau begitu, bagaimana cara mengukur kadar takut akan Allah yang benar?
1. Check-up Batin
Ibarat pemeriksaan rutin kesehatan secara berkala, kita perlu melakukan check-up batin dari waktu ke waktu. Memeriksa hati, pikiran, dan perbuatan agar sesuai kehendak Allah.

Kenapa hal ini penting?

Karena dalam takut akan Allah, barulah kita dibenarkan.

Sebab perhatikanlah betapa justru dukacita yang menurut kehendak Allah itu mengerjakan pada kamu kesungguhan yang besar, bahkan pembelaan diri, kejengkelan, ketakutan, kerinduan, kegiatan, penghukuman! Di dalam semuanya itu kamu telah membuktikan, bahwa kamu tidak bersalah di dalam perkara itu.
– 2 Korintus 7:11
Banyak orang menolak membahas dosa mereka, karena beranggapan mereka akan jadi semakin berdosa. Ini sama seperti orang sakit yang menunda-nunda memeriksakan diri ke dokter. Pada akhirnya, penyakit itu bertambah parah dan menjadi bom waktu yang merugikan diri sendiri.

Periksalah jalan-jalan dan setiap relung hati kita. Izinkan firman Tuhan menguji setiap langkah dan motivasi kita. Jika kita cukup rendah hati, niscaya Roh Kudus dan orang-orang kudus akan senang hati membantu mengungkapkan pengertian firman itu kepada kita.

2. Fokus pada pertobatan pribadi kita. Jangan urusi dosa orang lain
Benar bahwa kita harus membantu orang lain mengenal Allah. Namun, itu hanya berguna jika kita sendiri sudah dan terus berada dalam kerajaan tersebut.

Ibaratnya, jangan seperti petugas terminal yang sibuk memanggil dan menaikkan penumpang ke dalam bus, sementara ia sendiri tetap tinggal di terminal. Luangkan waktu untuk membereskan dosa-dosa kita. Untuk mengakui dan mengambil tindakan meninggalkannya. Hanya orang kudus yang efektif menjangkau dan membawa orang lain kepada kekudusan.

3. Healthy Fear: Jangan Takut untuk Takut
Fear di sini tidak berarti kita harus hidup dalam ketakutan. Kita mengandalkan firman untuk menuntun dan membukakan pemahaman tentang segala hal. Dari situlah, kita dapatkan kadar takut akan Allah yang sehat, yakni rasa takut yang disertai segan dan hormat, seperti anak takut kepada orang tuanya.

Mari, brothers and sisters, kita biasakan pemeriksaan batin supaya penyakit-penyakit rohani kita tidak bertumpuk. Kita belajar lebih rendah hati di hadapan Tuhan dan sesama. Kadar takut akan Allah yang benar akan membawa kita kepada pertobatan dan perkenanan di mataNya. Amin.

Disunting dari artikel “Jangan Terlalu Takut Untuk Takut, Ketakutan Adalah Bagian Dari Pertobatan“ oleh Pdt. Togar Sianturi.

Source: https://gkdi.org/blog/sombong-rohani-dan-benar-di-mata-tuhan/

Tags