MENGENAL PELAYANAN NEW TRIBES MISSION
New Tribes Mission didirikan pada tahun 1942 oleh Paul Fleming,
seorang misionaris yang baru saja kembali dari pelayanan di
Malaysia. Paul dibantu oleh Cecil Dye, seorang pendeta muda dari
Michigan. Mereka berdua memiliki kerinduan untuk menjangkau suku-
suku terpencil yang sama sekali belum pernah mendengar Injil.
Setelah berdiskusi selama beberapa waktu, mereka memformulasikan
panduan-panduan bagi masyarakat misi interdenominasi, khususnya
untuk tujuan menjangkau suku-suku tersebut. Pada musim gugur 1942,
Cecil Dye bersiap memimpin kelompok misi yang beranggotakan 16 orang
(termasuk istri dan ketiga anaknya) untuk pergi ke hutan di Bolivia
yang belum pernah dijamah.
Tim misi ini sampai di Bolivia pada saat Natal 1942. Mereka sendiri
juga belum pasti ke mana Allah akan memimpin mereka. Setelah
mendiskusikan tentang tujuan tim misi ini kepada seorang dokter
berkebangsaan Bolivia yang telah mengenal seluk-beluk hutan Bolivia,
tim ini merasa dipastikan bahwa suku yang dikenal dengan sebutan
Barbaro adalah sasaran pelayanan mereka. Kebiasaan Suku Barbaro
(nama aslinya adalah Suku Ayore) adalah menggunakan anak panah
pendek yang mempunyai efek yang mematikan, bahkan suku-suku lain di
sekitarnya takut menghadapi mereka. Setiap orang yang mendengar
sasaran pelayanan tersebut memperingatkan tim ini tentang bahaya-
bahaya yang akan mereka hadapi. Meskipun demikian, tim ini tidak
pantang menyerah, walau mereka juga banyak mendengar kisah-kisah
tentang suku itu, yang membuat bulu kuduk berdiri. "Allah telah
memanggil kami untuk menjangkau terlebih dulu suku yang terkenal
paling sulit dilayani ini. Tentu saja, banyak risiko yang akan kami
hadapi, tetapi kami yakin Allah yang akan memelihara kami."
Perjuangan untuk menemukan Suku Ayore ini memakan banyak waktu. Suku
ini bersifat nomaden, sehingga para misionaris ini tidak tahu di
mana tepatnya tempat tinggal Suku Ayore. Pada tanggal 10 November
1943, tim yang terdiri atas Dave Bacon, Cecil Dye, George Hosback,
Bob Dye, dan Eldon Hunter mulai menyusuri hutan dan berharap akan
dapat segera bertatap muka dengan Suku Ayore. Cecil memberikan pesan
kepada istrinya, Jean Dye. Jika dalam jangka waktu sebulan Jean
tidak mendengar kabar dari tim ini, maka dia boleh memulai usaha
pencarian.
Setelah sebulan berlalu, tidak ada kabar berita dari tim ini,
sehingga istri Cecil Dye, Jean Dye memutuskan untuk memulai
pencarian. Meskipun tim pencarian menemukan barang-barang yang
tersisa dari Cecil Dye dan teman-temannya, namun mereka tidak
berhasil menemukan kelima misionaris itu. Tahun-tahun berlalu, namun
tidak ada hasil yang menunjukkan adanya tanda-tanda keberadaan para
misionaris itu. Sampai akhir tahun 1946, Jean Dye memutuskan untuk
tetap tinggal di Bolivia. Jean mengatakan bahwa fokus mereka tidak
berubah. Mereka tetap ingin menjangkau Suku Ayore, meskipun dia
sendiri tidak tahu bagaimana kondisi suami dan keempat temannya di
hutan Bolivia. Namun, Jean Dye sendiri juga belum tahu bagaimana, di
mana, dan kapan dia dan timnya akan menemukan suku itu.
Jawaban-jawaban itu mulai muncul perlahan ketika Jean Dye dan
anggota tim yang masih tersisa mulai mengenal wilayah tempat di mana
mereka tinggal. Jean mendengar, ada anggota Suku Ayore yang bekerja
menjadi pembantu di San Jose. Jean memutuskan untuk tinggal di San
Jose untuk belajar bahasa dan budaya Suku Ayore dari para pembantu
tersebut. Posisinya di Bolivia digantikan oleh Joe Moreno. Joe tidak
menganggap dirinya sebagai misionaris. Dia hanya menganggap dirinya
sebagai orang yang menggantikan pekerjaan Cecil Dye. Namun, berkat
usaha dan kesabarannya, akhirnya pelayanan itu membuahkan hasil --
pertemuan-pertemuan damai dengan Suku Ayore.
Joe segera menyadari bahwa para misionaris pionir yang akan melayani
suku-suku primitif tersebut menggunakan proses yang agak lamban. Joe
sendiri mencoba cara lain. Dia mulai mengikuti Suku Ayore dari
kejauhan dan mempelajari pola pergerakan mereka dan arah yang mereka
tuju. Dari Jean, dia belajar mengucapkan salam dalam bahasa Ayore
dan kata-kata lain. Joe juga mempelajari budaya dan cara hidup Suku
Ayore. Dia mempelajari bahwa pisau, kawat, dan benda-benda dari
logam merupakan barang yang sangat berharga bagi Suku Ayore. Waktu
terus berlalu dan Joe jadi terbiasa keluar masuk hutan. Dia
seringkali hampir mendekati tempat tinggal Suku Ayore, meskipun
belum pernah bertemu secara langsung. Joe mulai meninggalkan hadiah-
hadiah bagi Suku Ayore di pemukiman yang telah mereka tinggalkan.
Akhirnya, setelah tiga tahun lebih Suku Ayore ini menghilang tanpa
jejak, ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kesabaran dan usaha
Joe membuahkan hasil. Dia sangat bersuka cita ketika melihat ada dua
benda khas Suku Ayore yang ditinggalkan, tepat di tempat dia
meninggalkan hadiah yang ditujukan bagi Suku Ayore.
Pada bulan Agustus 1947, barulah terjadi terobosan nyata untuk
bertemu secara langsung dengan Suku Ayore. Kerja keras Joe
meyakinkan orang-orang Ayore bahwa ´cojnone´ (orang-orang beradab)
tidak ingin membunuh mereka telah berhasil. Pengalaman mereka dalam
pertukaran hadiah mengajarkan kepada Suku Ayore untuk mempercayai
orang asing. Pada tanggal 12 Agustus, sejumlah anggota Ayore muncul
di dekat perkemahan dan menunjukkan minat ´ingin berteman´. Ini
adalah saat pertama kalinya pertemuan tatap muka secara langsung
antara Suku Ayore dengan manusia beradab (the cojnone). Untuk
pertama kalinya, Joe tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dari
lubuk hatinya, Joe mengucap syukur kepada Allah yang membuat
pertemuan itu terjadi. Mujizat terbesar menurut Jean adalah ketika
melihat orang-orang Barbaro sendiri yang punya inisiatif untuk
mengambil langkah pertama dalam menjalin kontak pertemanan dengan
cojnone.
Suku Ayore dipersilakan untuk menentukan waktu dan tempat pertemuan
pertama mereka. Hal ini merupakan kunci utama dari kesuksesan
strategi Joe. Setelah pertemuan pertama itu, maka dilanjutkan dengan
pertemuan-pertemuan berikutnya. Kurang dari setahun, Suku Ayore
mulai membangun kepercayaan kepada cojnone. Hal ini dibuktikan
dengan kesediaan mereka untuk tinggal bersama di rumah para
misionaris. Karena rumah menjadi terlalu padat, tim misionaris
pindah ke rumah perternakan yang lebih luas dan tinggal bersama
seluruh anggota Suku Ayore. Lalu bergantian, tim misionaris
mengikuti Suku Ayore dan tinggal di hutan. Tentu saja, ada masalah
logistik dan kesehatan. Meskipun demikian, ada suka cita ketika
Injil diberitakan dan para anggota suku memberikan respon dengan
baik.
Setelah persahabatan dengan Suku Ayore terbentuk, tim misionaris
baru berani menanyakan tentang lima orang misionaris yang menghilang
di hutan beberapa tahun yang lalu. Namun, tidak ada yang memberikan
jawaban pasti. Tahun 1949, sekitar enam tahun setelah tragedi
menghilangnya kelima misionaris, ada seorang anggota Suku Ayore yang
tinggal di wilayah di mana kelima orang itu ditemukan. Ia memberikan
informasi bahwa dialah saksi mata ketika pembantaian kelima orang
misionaris itu terjadi. Berakhir sudah harapan Jean Dye untuk
bertemu lagi dengan suami dan keempat temannya dalam kondisi hidup.
"Apakah ini harga yang harus dibayar?" Pertanyaan tersebut terlintas
dalam pikirannya. Namun, tidak ada harga yang terlalu mahal untuk
membayar mujizat pertobatan yang terjadi di antara Suku Ayore.
Ada peristiwa lain dibalik menghilangnya kelima misionaris tersebut.
Pada bulan Januari 1944, berita tentang menghilangnya kelima
misionaris itu dibaca oleh Bruce Porterfield, seorang pekerja pabrik
di Lansing, Michigan. Malam hari, setelah membaca berita itu, dia
mendedikasikan hidupnya untuk menjadi seorang misionaris dan
bergabung dengan tim misi yang mencari kelima misionaris itu. Dia
secara aktif melayani sebagai misionaris di Bolivia. Dia menjadi
perwakilan dari New Tribes Mission dan menjadi penulis buku
"Commandos for Christ" dan buku-buku misi lainnya. Tidak hanya Bruce
yang terinspirasi oleh keberanian kelima misionaris untuk menjadi
martir di belantara Bolivia guna memberitakan Injil, banyak orang
yang juga bersedia mendedikasikan hidupnya untuk terlibat dalam
pelayanan misi.
Badai yang melanda perjalanan New Tribes Mission masih bertiup.
Beberapa tahun setelah kematian lima misionaris itu, ada banyak
tragedi yang terjadi, antara lain jatuhnya pesawat misi di Venezuela
yang menewaskan semua penumpangnya, hancurnya pesawat kedua yang
dikirim setelah kejatuhan pesawat pertama. Semua penumpang dalam
pesawat misi kedua ini pun meninggal termasuk Paul Fleming, pendiri
New Tribes Mission. Namun, dibalik semua tragedi itu, New Tribes
Mission terus bertumbuh. Pada tahun 1980, organisasi misi ini telah
mengirim 1600 misionaris yang siap memberitakan Injil kepada lebih
dari 140 suku yang tersebar di seluruh penjuru dunia.
Diterjemahkan dan diringkas dari salah satu artikel di:
Judul Buku | : | From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical History
of Christian Missions |
Penulis | : | Ruth A. Tucker |
Penerbit | : The Zondervan Corporation, Grand Rapids, Michigan, 1983 |
Hal | : | 307 - 312 |
e-JEMMi 34/2004