PERANAN KHUSUS KAUM WANITA DALAM PENGINJILAN
Ketika Allah menciptakan wanita, Ia menciptakan seorang penolong
bagi laki-laki yang sepadan dengan dia (Kejadian 2:20). Dan sejak
saat itu sampai sekarang peranannya ialah sebagai penolong. Maksud
Allah tersebut dapat dikelabui oleh kebiasaan-kebiasaan dan
kebudayaan yang memuat tata cara dan tata nilai terhadap peranan dan
kedudukan kaum wanita dari masa ke masa. Dewasa ini, sudah terjadi
perseteruan antara dua posisi, yaitu kedudukan wanita dalam gereja
dan masyarakat. Kedua pandangan tentang peranan wanita dan statusnya
adalah: pertama, paham tradisional, bahwa wanita hanyalah sebagai
ibu rumah tangga. Yang kedua adalah wanita karier, yang berarti
bahwa wanita dapat mengambil bagian dalam fungsi sosial atau
masyarakat sebagaimana halnya kaum pria. Selayang pandang terhadap
sejarah membuktikan kebenaran tersebut.
Allah menciptakan laki-laki dan wanita. Dia tidak memberikan vonis
bahwa kedudukan wanita itu lebih rendah daripada kedudukan laki-
laki. Dalam masa Perjanjian Lama, Allah terus-menerus menjunjung
tinggi derajat kaum wanita setara dengan kaum pria. Dalam hukum
Taurat, seorang ibu harus dihormati, ditaati, dan ditakuti. Ia
memberikan nama kepada anak-anak dan mengajar mereka. Persembahan
yang sama diberikan untuk penyucian apakah yang baru lahir itu anak
laki-laki atau perempuan. Wanita menghadiri kegiatan-kegiatan
keagamaan dan mempersembahkan korban sama dengan kaum pria. Janji
seorang nazir dilakukan ketika ia mempersembahkan hidupnya khusus
untuk penyembahan kepada Yahweh. Wanita dikecualikan dari pekerjaan
Sabat.
Masa berganti masa dan ada kecenderungan di bawah pengajaran rabi
untuk membuat kaum laki-laki lebih unggul dan menyimpang dari maksud
ayat Kejadian 2:20, "Manusia itu memberi nama kepada segala ternak,
kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan,
tetapi baginya sendiri, ia tidak menjumpai penolong yang sepadan
dengan dia."
Penyimpangan dan kecenderungan tersebut tercermin dalam sebuah buku,
"Jerusalem in the Time of Jesus" oleh Joachim Jeremias. Pengarang
buku ini menggambarkan kedudukan wanita dalam masyarakat dengan
jelas. Berikut ini ada beberapa petikan: 1) Wanita tidak mengambil
bagian dalam kehidupan kemasyarakatan dalam lingkungan Yudaisme,
khususnya keluarga yang taat pada hukum Taurat; 2) Wanita tidak
diperhatikan di muka umum, tidak sopan bagi pria untuk berduaan
dengan wanita atau melirik atau memberikan salam kepada istri orang
lain; 3) Tempat umum hanya cocok untuk kaum pria; rumah adalah
tempat bagi kaum wanita; 4) Memiliki seorang istri sama dengan
memiliki seorang budak yang dibeli dengan harga atau harta; 5)
Poligami diizinkan dan istri harus toleran terhadap gundik-gundik
suaminya yang tinggal bersama dengan mereka dalam satu rumah. Hak
untuk bercerai adalah milik suami; 6) Istri adalah milik suami dan
ia dapat dijual sebagai budak untuk membayar curiannya sebagai
tebusan; 7) Dalam bidang keagamaan, dalam ibadah, ia hanya
pendengar; ia tidak berhak untuk bersaksi karena dalam Kejadian
18:15, ia adalah seorang penipu -- wanita pada umumnya adalah
penipu. Semboyan yang berlaku ialah, "Wanita, budak, anak tidak tahu
apa-apa;" 8) Kelahiran seorang bayi perempuan disambut dengan
dukacita; kelahiran seorang bayi laki-laki disambut dengan sukacita.
Kesimpulan dari kedudukan wanita dalam masyarakat pada masa Tuhan
Yesus ialah bahwa kedudukan pria lebih tinggi daripada wanita; kaum
wanita tertutup dari dunia luar; wanita tunduk kepada kekuasaan atau
suami; dalam bidang keagamaan, wanita lebih rendah daripada kaum
pria.
Dengan latar belakang inilah kita dapat menghargai pengangkatan
wanita seperti yang dilakukan Yesus sendiri. Dalam Perjanjian Baru,
kedudukan wanita dikembalikan seperti pada mulanya dan itu dilakukan
oleh Yesus sendiri. Kaum wanita ada sejak pemberitahuan tentang
kelahiran sampai kedatangan Kristus dan kenaikan-Nya ke surga. Yesus
menyembuhkan wanita. Yesus berkata bahwa dalam kebangkitan tidak ada
kawin-mengawin, tetapi tidak berkata bahwa kaum pria akan
mendapatkan keunggulan apa pun atas wanita. Yesus menempatkan semua
orang, baik laki-laki maupun wanita, pada tingkat anugerah yang
sama, yang tercermin pada penghormatan yang diberikan-Nya bagi kaum
wanita, melalui perbuatan dan sifat universal dari kasih dan
pelayanan-Nya. Ia mengasihi dan melayani pria dan wanita, tanpa
memandang bulu. Tuhan Yesus menghapuskan segala inferioritas dan
superioritas!
Yesus meniadakan kebiasaan ketika Ia mengizinkan kaum wanita
mengikuti-Nya dan melayani-Nya. Lukas 8:1-3 mencatat:
"Tidak lama sesudah itu Yesus berjalan berkeliling dari kota dan
dari desa ke desa memberitakan Injil Kerajaan Allah. Kedua belas
murid-Nya bersama-sama dengan Dia, dan juga beberapa orang perempuan
yang telah disembuhkan dari roh-roh jahat atau berbagai penyakit,
yaitu Maria yang disebut Magdalena, yang telah dibebaskan dari tujuh
roh jahat, Yohana istri Khuza bendahara Herodes, Susana dan banyak
perempuan lain. Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu
dengan kekayaan mereka."
Selanjutnya, pada saat menjelang kematian Tuhan Yesus di kayu salib,
kaum wanita tetap mengiring Dia. Firman Tuhan berkata:
"Ada juga beberapa perempuan yang melihat dari jauh, di antaranya
Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus Muda dan Yoses, serta Salome.
Mereka semuanya telah mengikut Yesus dan melayani-Nya waktu Ia di
Galilea. Dan ada juga di situ banyak perempuan lain yang telah
datang ke Yerusalem bersama-sama dengan Yesus." (Markus 15:40-41).
Semua ayat di atas berbicara tentang wanita yang mengikuti Yesus
yang belum pernah terjadi dalam sejarah. Yohanes Pembaptis telah
berkhotbah kepada wanita (Matius 21:32) dan membaptiskan mereka.
Yesus membawa mereka kepada Allah dalam kedudukan yang sama.
Selain dari kebebasan yang diberikan Yesus kepada wanita untuk
menyertai-Nya dalam perjalanan-Nya, Yesus menuntut suatu sikap
penghormatan dan penghargaan terhadap kaum wanita dari kaum pria,
yaitu dari para murid-Nya. Yesus menegaskan:
"Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata
kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta
menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya." (Matius
5:27-28).
Tuhan Yesus tidak puas dengan hanya mengangkat kedudukan kaum wanita
di mata masyarakat. la menjadi Juruselamat mereka dan seluruh umat
manusia (Lukas 7:36-50). Jika benar bahwa dosa masuk ke dalam dunia
karena wanita, bukankah benar pula bahwa Juruselamat datang melalui
wanita?
Tugas penginjilan adalah tugas setiap orang percaya. Orang-orang
percaya terdiri dari pria dan wanita, anak, pemuda/i dan dewasa.
Berarti bahwa penginjilan adalah tugas bersama kaum pria dan kaum
wanita.
Matius 28:18-20 mencatat bahwa penginjilan adalah pekerjaan yang
diberikan dengan kuasa Roh Kudus, pekerjaan yang harus dikerjakan
dengan dan melalui kuasa Roh Kudus. Tuhan Yesus datang ke dunia ini
sebagai Penginjil yang membawa Kabar Baik. Penginjilan ada karena
suatu perintah yang disertai kuasa; diteruskan karena kebutuhan
global dan berlangsung terus karena ada orang-orang yang mengasihi
jiwa-jiwa dan berbeban untuk membawa mereka kepada Tuhan Yesus.
Seandainya anak-anak Tuhan tidak lagi berbeban untuk penginjilan,
maka pekerjaan pemberitaan Kabar Baik akan berhenti sebab Tuhan
tidak memiliki pengerja lagi.
Apakah peranan kaum wanita dalam pelayanan penginjilan? Paulus
terkenal dalam penyebaran Injil di Eropa dan Asia. Kita mendengar
surat kirimannya kepada jemaat di Filipi, Efesus, Roma, dan
sebagainya, khususnya untuk ketiga jemaat itu, tiga wanita berperan
penting dalam pertumbuhan jemaat-jemaat ini. Ketiga wanita ini
berperan sebagai perintis di Filipi, pembina sidang di Efesus, dan
pengantar firman Tuhan dari Korintus ke Roma. Siapakah nama ketiga
wanita ini?
Pertama, adalah Lidia. Ia berasal dari Makedonia dari Filipi (Kisah
Para Rasul 16:13-40). Ia pengikut pertama dari Eropa, seorang yang
bukan Kristen. Pada tahun 50, ia menjadi anggota kelompok doa dan
pemahaman Alkitab wanita Yahudi yang bertemu di tepi Sungai
Gangites. Setelah ia dibaptis, ia membuka rumahnya menjadi tempat
pertemuan kelompok P.A. yang sedang maju itu. Paulus setia mengajar
dan berdoa bersama mereka. Walaupun seorang pedagang kain ungu, ia
tetap membuka rumahnya bagi Tuhan. Ia adalah bagian dari perluasan
Injil di kotanya. Rumah Lidia dibuka untuk menjadi tempat ibadah,
persekutuan, dan pendidikan serta latihan tentang kehidupan Kristen.
Dari kelompok kecil ini berdirilah jemaat Filipi tempat Paulus
menulis:
"Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu.
Memang sudahlah sepatutnya aku berpikir demikian akan kamu semua,
sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut
mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik
pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan
meneguhkan Berita Injil. Sebab Allah adalah saksiku betapa aku
dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian." (Filipi
1:3,7,8).
Kedua, adalah Priska (Kisah Para Rasul 18). Bersama dengan Akwila
suaminya, kemungkinan bertobat melalui pelayanan Paulus pada tahun
52. Mereka bekerja sama dengan Paulus sebagai tukang kemah. Paulus
tinggal satu setengah tahun dengan mereka di Korintus. Mereka
meninggalkan Korintus bersama Paulus ke Efesus (Kisah Para Rasul
18:18,19). Setiba di Efesus, Paulus meninggalkan pekerjaan dan
tanggung jawab sekumpulan orang Kristen pada mereka. Apolos
mengunjungi mereka, seorang yang fasih berbicara dan sangat mahir
dalam soal-soal Kitab Suci. Tetapi Akwila dan Priska menjelaskan
kepadanya Jalan Allah. Setahun kemudian, waktu Paulus kembali, ia
melihat sebuah gereja yang bertumbuh dengan pesat.
Dalam Roma 16:5, Paulus mengirim salam kepada Priskila dan Akwila
dan juga jemaat di rumah mereka yang dalam sejarah disebut 'ecclesia
domestica', yang berarti gereja rumah (atau jemaat yang beribadah
dalam satu rumah). Juga disebut dalam Kolose 4:15; Filemon 1:2.
Akwila dan Priskila telah mempertaruhkan nyawa mereka untuk hidup
Paulus (Roma 16:4).
Tidak dapat disangkal lagi bahwa adanya jemaat di Filipi dan di
Efesus ialah karena Lidia dan Priskila ikut ambil bagian yang
terpenting dalam pertumbuhan gereja dan pengabaran Injil sebagai
perintis dan pembina jemaat. Strategi pertumbuhan gereja tidak
meniadakan sumbangan wanita sebagai penyumbang dan penolong.
Tantangan bagi orang-orang percaya ialah juga untuk mendirikan
'ecclesia domestica' - gereja di dalam rumah yang kelak akan menjadi
gereja dan jemaat Tuhan.
Ketiga ialah Febe. Kitab Roma adalah risalah doktrin terkemuka yang
diilhamkan Roh Kudus. Tetapi risalah/buku tersebut yang diberikan
Allah melalui Roh Kudus kepada Paulus akan bisa hilang tanpa
pengantar yang bertanggung jawab. Pengantar firman Tuhan itu ialah
Febe. Ia mengantar surat kepada jemaat di Roma dari Korintus.
Penyelidikan Alkitab yang diadakan di rumah ibu-ibu akan tumbuh
dengan limpah karena mereka mengambil bagian dalam mengabarkan
firman Allah kepada tetangga mereka, kepada teman-teman mereka atau
rekan sekerja mereka. Wanita Kristen menghadapi tantangan untuk
membawa firman Allah di dalam rumah tangga dan dari rumah tangganya
kepada rumah tangga orang lain. Inilah satu cara penginjilan yang
berhasil.
Peranan khusus kaum wanita dalam pelayanan penginjilan ialah sebagai
penolong, pembina, dan pembawa firman Allah. Lidia menjadi penolong
dalam merintis jemaat di Filipi dengan membuka rumahnya untuk tempat
ibadah; Priskila bersama suaminya menjadi pembina sidang di Efesus;
Febe adalah pembawa firman Tuhan yang setia dan penuh tanggung
jawab. Kaum wanita adalah penyumbang, bukan saingan dalam pelayanan
penginjilan. Walaupun kedudukan wanita dewasa ini menjadi isu yang
hangat, baiklah kita membiarkan perbedaan paham ini dan marilah kita
bersatu dalam tugas penginjilan. Kaum wanita dan kaum pria termasuk
para penuai di ladang Tuhan. Bukankah Tuhan menciptakan wanita
sebagai penolong kaum pria? Dengan demikian, berikanlah tempat yang
layak baginya dalam rencana Allah di pelayanan gereja dan untuk
pengabaran Injil. Marilah kita sebagai kaum wanita bersiap-sedia
menyokong pekabaran Injil dengan apa yang kita miliki dengan bahu-
membahu bekerja sama dengan kaum pria dalam pelayanan penginjilan.
Sumber:
Judul Buku | : | Wanita Kristen Dalam Mengatasi Pergumulan Hidup |
Penulis | : | Dr. Ruth F. Selan |
Penerbit | : | Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1993 |
Halaman | : | 45-50 |
e-JEMMi 50/2003