MENCARI KEHENDAK TUHAN
Sejak berjanji di malam Natal, tekad saya untuk kelak menjadi
misionaris sudah bulat. Saya yakin saya tidak akan memilih jalan
hidup yang lain. Tapi berbagai pertanyaan memenuhi pikiran saya,
"Ke mana saya akan pergi? Mungkinkah anak desa seperti saya menjadi
misionaris? Bagaimana caranya menjadi misionaris? Akankah keluarga
saya mengizinkan saya pergi jauh dari mereka? Gadis Nias tidak boleh
jauh dari orang tuanya, dan saya anak perempuan bungsu. Bagaimana
caranya mengatakan keinginan ini kepada orang tua saya?" Hati saya
berdebar-debar setiap kali memikirkan hal ini.
Saya belum dapat membicarakan kerinduan saya kepada orang tua saya.
Namun, Tuhan mulai membuka jalan. Setamat SMA, saya diterima di
universitas negeri sebagai lulusan PMDK (Program Penelusuran Minat
dan Kemampuan), suatu kesempatan langka yang banyak siswa bahkan
takut memimpikannya. Tapi saya telah memilih impian lain, impian
yang lebih besar.
Berita kelulusan itu saya beritahukan kepada orang tua saya. Di saat
mereka sedang bersyukur kepada Tuhan, saya katakan juga bahwa hati
saya sudah bulat, saya hanya mau masuk ke sekolah teologi. Mereka
kecewa tapi saya tidak berani mengecewakan hati Tuhan yang telah
memanggil saya.
Waktu itu, dua saudara saya sedang kuliah di universitas swasta di
Yogyakarta sehingga orang tua saya tidak sanggup lagi menyekolahkan
saya. Saya terus berdoa dan menunggu selama dua tahun. Dan ketika
akhirnya saya masuk Fakultas Teologia Universitas Kristen Duta
Wacana, Yogyakarta, saya merasa telah berada di jalur yang benar.
Selagi kuliah di Duta Wacana, saya kembali bertanya-tanya,
"Bagaimana caranya menjadi misionaris?"
Saya bertanya ke sana-sini, kepada teman-teman kuliah dan dosen, ...
buntu! Tidak ada yang dapat memberi petunjuk. Namun, saya tidak
menyerah. Saya terus bertanya kepada teman-teman kuliah, "Saya ingin
sekali menjadi misionaris, tapi saya tidak tahu bagaimana caranya.
Apakah kamu tahu badan misi yang bisa menerima saya?"
Salah seorang teman berkata, "Di dekat rumah kami di Jakarta ada
satu badan misi. Namanya OMF. Nanti kalau saya pulang dari liburan,
saya akan ambilkan brosurnya."
Saya tidak sabar menunggu brosur itu datang. Tapi ketika teman saya
itu kembali ke Yogyakarta, ia tidak membawa brosur itu. Ia belum
sempat ke kantor OMF. Saya sangat kecewa.
Tuhan tidak pernah lupa menyelesaikan apa yang telah dimulai-Nya.
Dari takhta-Nya Ia akan menggenapi rencana-Nya. Beberapa bulan
kemudian, saat mengambil surat, saya melihat brosur berwarna kuning
di dekat keranjang surat. Karena ingin tahu, saya ambil satu, dan
alangkah senangnya hati saya melihat bahwa brosur itu adalah brosur
OMF.
"Ini dia yang saya cari-cari!" seru hati saya girang.
Saya langsung menulis surat ke OMF untuk menceritakan kerinduan hati
saya menjadi misionaris dan bertanya apakah mereka bersedia menerima
saya. Tentu badan misi itu tidak bisa berjanji banyak sebab mereka
belum mengenal saya. Karena tidak langsung diterima, saya sangat
kecewa dan tertekan. Saya merasa ditolak.
Namun, ditolak badan misi bukan berarti ditolak Tuhan. Bila Ia sudah
memanggil, Ia akan membuka pintu-pintu yang tanpa celah sedikit pun
supaya rencana-Nya digenapi. Saat itu, saya membutuhkan beasiswa
untuk kuliah dan saya diminta menemui Ibu A, Direktur Pusat
Pengembangan Pribadi Duta Wacana.
Saat berkenalan dengan Ibu A, saya terkejut. Ternyata ia anggota
OMF! Dalam hati muncul keinginan untuk mengungkapkan kerinduan saya,
tapi kemudian niat itu saya batalkan. "Tidak ada gunanya
membicarakan hal itu. Saya telah menyurati mereka dan mereka menolak
saya."
Namun, saya tetap mengingat Ibu A. Sebulan kemudian saya menemuinya
dan menceritakan kerinduan saya untuk bergabung dengan OMF "Saya
telah menyurati mereka," jelas saya, "tapi saya tidak diterima."
"Jangan khawatir," jawabnya, "saya akan mengikuti pertemuan kami di
Jakarta. Saya akan berbicara kepada pimpinan di sana."
Dua bulan kemudian ia memanggil saya dan berkata, "Anda telah
menceritakan keinginan Anda menjadi misionaris. Saya baru mendapat
kabar bahwa ada satu kelompok mahasiswa dan orang-orang muda dari
Australia, yang akan datang untuk studi tur di Indonesia. Barangkali
Anda tertarik untuk ikut."
"Ya! Saya ingin ikut!"
"Tapi Anda perlu belajar bahasa Inggris," katanya mengingatkan.
"Tidak apa-apa. Saya akan belajar," saya meyakinkannya.
Saya tidak punya uang untuk kursus bahasa Inggris, maka saya
bertanya kepada kakak kelas saya, yang saya tahu bisa berbahasa
Inggris.
"Saya mau belajar bahasa Inggris, bagaimana caranya?"
"Dengarkan lagu-lagu berbahasa Inggris, hafal kata-katanya dan cari
artinya di kamus," jelas kakak itu. Saya langsung melakukannya. Tapi
ketika bertemu dengan Ibu A, ia selalu bicara dalam bahasa Inggris,
dan saya tidak mengerti sama sekali. Maka, saya bongkar buku
pelajaran bahasa Inggris semester pertama saya; saya pelajari
kembali dengan tekun.
Ketika beliau kembali dari pertemuan OMF di Jakarta, ia memberi saya
formulir lamaran menjadi anggota OMF.
"Saya sudah bicara dengan pimpinan di sana," katanya menjelaskan,
"Anda bisa menuliskan lamaran.".
Saya gembira luar biasa! Tapi ketika membaca formulir itu, ternyata
semuanya tertulis dalam bahasa Inggris!
Ibu A tampaknya memahami kesulitan saya. "Kerjakan apa yang Anda
bisa," usulnya. "Saya akan berusaha membantu sebelum Anda
mengirimnya."
Pada saat hampir bersamaan, ia juga menolong saya mengisi formulir
untuk studi tur. Dan beberapa bulan kemudian ia memberi tahu saya,
"Pimpinan tur itu adalah Ibu B, ia sahabat dekat saya. Dulu ia lama
melayani di Indonesia. Ia bisa berbahasa Indonesia."
Hati saya terangkat. "Bagus," pikir saya. "Kalau saya kesulitan
berbahasa Inggris, masih ada yang bisa mengerti saya!"
Selama lima minggu mengikuti studi tur itu saya mendapat banyak
kesempatan untuk mendengar dan berbicara dalam bahasa Inggris. Saya
juga banyak belajar tentang pelayanan misi dan OMF. Dari Ibu A dan
Ibu B saya belajar untuk semakin mengasihi Tuhan dan pelayanan misi.
Mereka berdoa bersama saya untuk mencari pimpinan Tuhan, suatu
pengalaman yang sangat menyenangkan.
Menjelang lulus dari Duta Wacana, saya merasa perlu memberi tahu
orang tua saya bahwa saya akan melayani Tuhan sebagai misionaris di
negara lain. Kembali saya berhadapan dengan tugas yang mendebarkan.
"Bagaimana tanggapan mereka nanti?"
Saya menyurati mereka sambil terus berdoa supaya Tuhan memberi
mereka pengertian. Tidak ada tanggapan. Saya menulis beberapa surat
lagi, tapi tak satu pun dibalas.
Saya sama sekali tidak bisa menebak isi hati orang tua saya. Tapi
dua bulan kemudian saya mendapat berita bahwa papa saya sakit keras.
Saya menelepon ke rumah pada hari ulang tahunnya. Sesudah
mengucapkan selamat ulang tahun, saya berkata, "Papa sedang sakit.
Biarlah saya pulang untuk mengurus Papa. Saya bisa menunda penulisan
skripsi saya."
Sudah lima setengah tahun kami tidak bertemu. Saya rindu sekali
untuk pulang ke rumah. Tapi papa menjawab, "Kami telah menyerahkan
kau kepada Tuhan, kau harus menyelesaikan kuliahmu."
Kemudian saya bertanya, "Kalau saya menjadi misionaris ke luar
negeri, menurut Papa bagaimana?"
Di gagang telepon saya mendengar suara papa begitu tenang. "Kau
adalah persembahan saya kepada Tuhan," ungkapnya. "Bila ini kehendak
Tuhan bagimu, pergi dan lakukanlah dengan sungguh-sungguh."
Enam hari kemudian papa saya meninggal dunia. Saya sangat sedih.
Saya tidak akan pernah melihatnya lagi. Tapi restunya telah menjadi
pendorong yang kuat bagi saya untuk melangkah lebih maju di dunia
misi.
Saya telah diberi tahu bahwa saya perlu dukungan dari gereja asal
saya, Banua Niha Keriso Protestan (BNKP). Kebetulan putri Ephorus
kami kuliah bersama saya. Sewaktu ia pulang ke Nias untuk praktik
tiga bulan, saya memintanya untuk bicara kepada Ephorus kami,
ayahnya, tentang kerinduan saya menjadi misionaris.
Sekembalinya dari Nias, ia memberi tahu saya bahwa Sinode BNKP tidak
keberatan dengan kerinduan saya, dan saya diminta menyurati mereka
kalau sudah hampir lulus. Berita tersebut memberi saya semangat,
tapi saya masih belum yakin betul. Beberapa bulan kemudian, Ephorus
kami datang ke Yogyakarta untuk melihat putrinya dan menghadiri
wisuda kami. "Ini kesempatan yang baik untuk bertanya langsung
kepadanya," pikir saya.
Dengan harap-harap cemas saya mendekatinya dan bertanya, "Apakah
BNKP bersedia mengutus saya sebagai misionaris?"
Jawabannya sungguh tidak pernah terlintas dalam pikiran saya,
"Sinode kita sedang mencari orang yang bersedia diutus sebagai
misionaris," jelasnya kepada saya. "Kita akan melakukan pengutusan
ini pada ulang tahun ke-130 berita Injil di Nias," tegasnya pula.
Sinode BNKP mau mengutus saya! "Oh, Tuhan, terima kasih. Sungguh
indah pekerjaan-Mu."
Sekembalinya saya ke Nias, sinode meminta saya melayani selama satu
setengah tahun sebagai persiapan untuk penahbisan. Kesempatan
pelayanan ini menolong saya kembali mengalami kehidupan desa,
khususnya setelah enam setengah tahun hidup di kota Yogyakarta.
Pada masa ini juga, tidak hanya sekali saya mencoba menampik tangan
Tuhan yang ingin segera membawa saya ke ladang misi-Nya. Sering
terpikir betapa lebih menyenangkan tinggal di negeri sendiri; ada
banyak kemudahan yang bisa saya miliki, tidak perlu bersusah susah
mempelajari bahasa lain, tidak perlu mengalami sakitnya perpisahan
dengan ibu dan saudara-saudara, lagipula akan lebih mudah untuk
menikah.
Menikah? Saya merindukannya. Namun, bagaimana dengan sekian banyak
jiwa yang belum pernah mendengar tentang kasih dan pengampunan
Kristus?
"Saya tidak rela membiarkan ribuan jiwa itu mati dalam dosa hanya
demi saya bisa bersuami," cetus hati saya. "Mereka terlalu berharga
bagi Tuhan. Untuk apa saya menikah bila harus melawan Tuhan yang
telah memberi nyawa-Nya untuk saya?"
Rasa takut juga beberapa kali hendak menghentikan langkah saya
menaati Tuhan. "Sanggupkah saya melakukan tugas ini sendirian,
Tuhan?" tanya saya berulang-ulang.
Sebagai jawaban, Tuhan membawa Matius 28:18-20 dalam renungan saya.
Ayat itu membuat jiwa saya tenang, setenang jawaban Tuhan Yesus,
"Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena
itu, pergilah ... Aku menyertai kamu senantiasa!"
Saya menetapkan hati, "Saya akan pergi. Tuhan yang empunya segala
kuasa, di surga dan di bumi, akan menyertai saya."
Pintu demi pintu telah dibukakan oleh Tuhan. Pertanyaan yang masih
tersisa adalah "Ke mana saya akan pergi?"
Saya teringat pada buku yang diberikan Ibu B, buku tentang profil
suku-suku terbelakang di Filipina. Saya membaca profil suku Mangyan
dan "jatuh cinta" kepada mereka. "Mungkin ke sanalah Tuhan mau
mengutus saya," pikir saya.
Sejak itu, negeri Filipina dan suku terbelakang yang tinggal di
pedalaman selalu memenuhi hati dan doa-doa saya.
Sumber diambil dari bahan:
Judul buku | : | Sampah Menjadi Persembahan |
Judul artikel | : | Mencari Kehendak Tuhan |
Penulis | : | Ria Zebua |
Penerbit | : | Yayasan Komusikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta 2006 |
Halaman | : | 14--23 |
|