MENJEMBATANI KESENJANGAN ANTARA SENIMAN DAN GEREJA
Para pendeta selalu mencari jalan untuk membuat kehidupan gereja
menjadi menyenangkan, praktis, dan berharga. Membuka gereja untuk
para seniman dan memasukkan kesenian -- drama, musik, pembacaan
puisi, kaca berwarna atau spanduk -- ke dalam kebaktian gereja akan
membuat orang-orang percaya terbuka bagi cara-cara baru untuk
beribadah dan cara-cara baru untuk melihat, dan akhirnya dapat
memasukkan hidup baru ke dalam gereja. Hal itu juga dapat menjadi
langkah besar untuk menjembatani kesenjangan yang ada antara seniman
dan gereja.
Banyak pemimpin gereja takut dan curiga kepada seniman pada umumnya.
Biasanya, gereja-gereja konservatif sepenuhnya menentang teater,
drama, fiksi, dan fantasi. Barangkali mereka berpendapat bahwa seni
itu palsu, tidak karuan, dan sia-sia; atau mereka keliru mengira
bahwa seni itu tak ada hubungannya dengan kehidupan nyata atau
dengan kekristenan yang praktis. Bahkan, dewasa ini banyak gereja
kelihatannya buta terhadap keindahan. Begitu banyak gereja yang
mengganti keindahan dengan efisiensi.
Kecurigaan itu merembet kepada para seniman sendiri, dan dengan
alasan yang kuat. Banyak seniman, terutama seniman sekuler,
menjalani kehidupan yang tidak bertanggung jawab. Mereka bersifat
impulsif, suka memberontak, dan hidup sebagai golongan pinggiran
dalam masyarakat. Mereka cenderung menjadi tukang protes yang
mengacau keadaan, dan para pendeta dan guru Alkitab menganggap hal
itu sebagai ancaman. Mereka takut.
Tetapi, sifat-sifat yang diperlihatkan oleh para seniman ini --
kemampuan yang kreatif untuk melihat berbagai hal dengan cara baru
walaupun hal itu menimbulkan protes atau perubahan -- dapat
diarahkan untuk penggunaan yang baik dalam gereja. Namun, sering
sekali, para seniman curiga terhadap gereja sama seperti gereja
curiga terhadap mereka. "Gereja itu kaku dan terlalu terikat pada
peraturan," kata mereka. "Kami tidak pernah mendengar bahasa yang
segar; Kabar Baik itu selalu diberitakan dengan kalimat-kalimat yang
itu-itu saja dan dengan nada suara yang sama. Kami ingin sesuatu
yang membangkitkan semangat kami dan yang menimbulkan imajinasi
kami."
Kenyataan bahwa kesenjangan antara seniman dan gereja ini ada memang
merupakan ironi, karena Yesus sendiri adalah penentang pemujaan
terhadap lembaga-lembaga yang telah ada sama seperti setiap seniman.
Yesus melanggar tradisi dalam segala hal dan Ia memperkenalkan cara
bertindak dan cara memberi reaksi yang baru. Misalnya, Ia memberikan
contoh-contoh yang mengejutkan untuk menghidupkan kebenaran. Ia akan
mengatakan, "Kalau matamu melakukan kesalahan, cungkillah." Atau,
"Kalau tanganmu bersalah, penggallah." Yesus tidak memaksudkan hal
itu secara harfiah. Ia memakai gaya bahasa hiperbolis untuk
menyatakan suatu maksud. Begitu sering ketika kita terjepit dalam
hal-hal rutin, para artislah yang dapat menolong kita untuk melihat
kebenaran lama dengan cara baru. Dan, seringkali seni itu
mengejutkan. Tetapi kita memerlukan kejutan itu, sengatan itu. Seni
menonjolkan keadaan secara berlebihan untuk membantu kita melihat
kehidupan dengan lebih jelas.
Seniman dapat merupakan katalisator. Sama seperti pengkhotbah yang
baik membuka mata kami untuk melihat kebenaran rohani, demikian juga
hal itu dapat dilakukan oleh seniman yang baik. Karya seorang
seniman dapat memperkembangkan diskusi. Barangkali akan ada yang pro
dan ada yang kontra -- yaitu orang yang mendukung karya itu dan
orang lain yang yang menentangnya -- tetapi pendapat yang tidak sama
dapat memperjelas persoalan dan mempertajam daya memahami.
Kalau jalan buntu antara seniman dan gereja itu harus diatasi,
bagaimanapun, senimanlah yang harus memulai. Pemimpin-pemimpin
gereja mungkin tidak dapat menjangkau para seniman secara besar-
besaran, karena kekuasaan ada di tangan mereka dan biasanya mereka
mendukung keadaan yang ada. Dengan demikian, para seniman perlu
menemui pendeta dan berkata, "Lihat, di sini ada kelompok orang
Kristen yang memiliki banyak karunia, tetapi mereka tidak
menggunakan karunia-karunia yang dapat mereka sumbangkan. Bolehkah
kami menjadi bagian dari gereja ini, dan menjadi hamba? Kami akan
tunduk pada pimpinan Bapak dan mulai memegang tanggung jawab. Kami
ingin menjadikan karunia kami makanan untuk kehidupan gereja
sekarang."
Sangat sukar bagi seniman untuk tunduk pada sesuatu yang mereka
anggap terlalu terikat pada peraturan atau bersifat klise namun
mereka harus mulai. Kalau pemimpin-pemimpin gereja melihat bahwa
para seniman itu bertanggung jawab, bekerja keras, dan bahkan
bersedia melakukan tugas-tugas biasa yang dihindari orang lain, maka
mereka akan mulai membangun hubungan yang menguntungkan kedua belah
pihak.
Seorang seniman yang menginginkan perubahan dalam gerejanya perlu
menyadari bahwa banyak hal yang harus dikerjakan, baik untuk
mengakui potensi artisitik yang sudah ada di gereja itu maupun untuk
mendorong daya cipta orang dewasa ataupun anak-anak. Saya kira di
dalam setiap jemaat ada banyak potensi artistik yang terpendam.
Potensi itu ada tetapi tertahan. Seringkali para wanita mempunyai
karunia artistik tetapi di banyak gereja mereka disuruh diam dan
pasif, dan itu membuat semua orang rugi. Gereja perlu memperkaya
seni tetapi seringkali gereja malah menolak sumber daya yang sudah
dimilikinya. Seniman dapat mencari benih-benih kreativitas yang
tidak tampak itu dan mengasuh mereka sampai mereka menghasilkan buah
bagi gereja dan Tuhan.
Orang-orang percaya perlu dididik kembali, untuk mengetahui bahwa
kesenian dapat memperkaya hidup mereka dan membuka dunia baru bagi
mereka. Pendidikan yang paling efektif dimulai dalam keluarga,
dengan para orangtua yang mau memperkenalkan bermacam-macam kesenian
kepada anak mereka. Misalnya, dalam keluarga tempat saya dibesarkan,
kami rakus sekali membaca. Kami, anak-anak terus membaca, dan
orangtua kami membaca keras-keras untuk kami. Sekarang, dengan
kemajuan-kemajuan teknologi, kami dapat menyampaikan kesenian kepada
anak-anak kami melalui bentuk lain juga: kaset video, pita kaset,
atau piringan hitam.
Keluarga dapat diajari untuk mengembangkan anak-anak mereka kalau
mereka melihat anak-anak itu memiliki karunia. Saya mengenal
beberapa keluarga di Jepang yang setelah mengetahui bahwa salah
seorang anak mereka mempunyai bakat musik, telah mendorong,
menyokong, dan membantu anak itu dengan segala cara. Keluarga-
keluarga itu menghasilkan orang-orang yang hebat, karena mereka
berkeinginan menolong anak-anak mereka untuk menjadi seniman yang
sebaik mungkin.
Bagi anak-anak mungkin lebih mudah untuk belajar terbuka pada
kesenian karena mereka memang suka mengerjakan sesuatu secara
spontan, tetapi orang dewasa pun dapat belajar. Gereja dapat
membantu proses belajar itu. Misalnya, gereja dapat membantu
mensponsori film-film yang baru pada hari Minggu petang, atau gereja
dapat menyelenggarakan konferensi para penulis dan mengundang
anggota jemaat untuk berperan serta.
Kesenian mungkin menimbulkan kecurigaan karena kesenian berhubungan
dengan perubahan, dan perubahan itu mengandung risiko. Kesenian
mengandung risiko. Namun, hidup sebagai orang Kristen di bawah
pimpinan Roh Kudus juga mengandung risiko. (Itulah sebabnya, ada
orang yang takut pada pembaharuan karismatik; mereka takut pada apa
saja yang membuat kehidupan mereka terlepas dari pengendalian mereka
sendiri.) Keluar ke daerah yang belum dikenal memang menakutkan, dan
hal itu sangat sulit terutama bagi orang yang tidak mantap dan tidak
percaya pada identitas mereka sendiri. Tetapi kalau kita memiliki
identitas kuat sebagai anak-anak Allah, kita dapat menjadi lebih
terbuka dan percaya diri untuk menggunakan kesempatan. Kemudian kita
akan menjadi lebih terbuka untuk mendengarkan Roh Kudus dengan cara-
cara yang tidak lazim -- drama, sastra, dan seni.
Bahan diedit dari sumber:
Judul Buku : Pola Hidup Kristen
Judul Artikel: Menjembatani Kesenjangan antara Seniman dan Gereja
Penulis : Luci Shaw
Penerbit : Gandum Mas, Yayasan Kalam Hidup, Yakin, 2002
Halaman : 582 - 585
e-JEMMi 30/2005