You are hereTeknologi / Tuhan atas Teknologi
Tuhan atas Teknologi
Sebelum Abad XXI
Abad XX merupakan abad di mana teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang paling pesat di sepanjang sejarah manusia. Abad XX dimulai dengan sebagian besar orang masih memakai kuda dan sebagian kecil naik kereta untuk bepergian, tetapi diakhiri dengan semua orang sudah mengetahui mobil dan sebagian sudah sering naik pesawat terbang. Ini perubahan yang sangat drastis. Abad ini merupakan abad yang mengubah sebagian besar dunia dari era pertanian (agrikultur) ke era industri, lalu berkembang lagi ke era informasi. Jika sebelumnya dibutuhkan waktu yang begitu panjang untuk berubah dari satu zaman ke zaman lain, kini hanya dibutuhkan waktu satu abad untuk menggeser dua zaman sekaligus. Abad ini merupakan abad terjadinya begitu banyak letusan-letusan perkembangan yang di luar dugaan manusia dan di luar harapan abad-abad yang lampau.
Sebagai anak-anak abad XX, anak yang mengalami banyak peralihan zaman dalam fast-changing world, sekaligus sebagai pewaris, pemelihara, dan pelaku iman kehidupan Kristen yang sejati, kita semua memiliki sifat krusial, antara, dan paradoks. Bekas-bekas revolusi industri, kapitalisme, dan urbanisasi modern masih terlihat dampaknya dan bahkan meroket dengan perkembangan teknologi dan globalisasi yang super cepat. Teknologi sudah mendarah daging dan bukan lagi barang asing untuk angkatan ini jika dibandingkan dengan satu generasi di atas yang sebagian masih tidak fasih menggunakan produk-produk teknologi. Dan tak dapat dipungkiri teknologi menjadi salah satu kontributor terbesar dari kemajuan peradaban suatu bangsa, contohnya Singapura yang sedang berusaha dan sudah menjadi pusat Information Technology Hub (IT-Hub) di Asia Tenggara dan salah satu yang terdepan di Asia Pasifik. Untuk apa? Untuk menunjukkan bahwa Singapura adalah negara maju.
Apa itu Teknologi?
Istilah “Teknologi” berasal dari bahasa Yunani: technologia, techne berarti craft dan logia berarti saying. Teknologi memiliki definisi yang berbeda dari zaman ke zaman, dan juga dari berbagai perspektif interdisipliner dalam zaman postmodern ini. Tetapi secara umum dari zaman prasejarah sampai postmodern ini, mulai dari pebble dan chopper sampai pada reaktor nuklir dan nanoteknologi, teknologi dapat didefinisikan sebagai proses di mana manusia mengubah alam untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Sebagai satu proses penaklukkan alam, teknologi mempunyai kaitan yang erat dengan sains dan teknik (science and engineering), di mana sains berusaha mengerti bagaimana alam itu bekerja (berbicara di dalam wilayah ilmu) dan Teknik berusaha membentuk dunia ini untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia (berada di dalam wilayah teknologi). Jika sejak zaman prasejarah, istilah teknologi dapat dikaitkan dengan penciptaan suatu alat (tool or artifact) meskipun tidak mutlak, dan di zaman modern, teknologi dikaitkan pada proses produksi atau manufaktur, maka belakangan ini di zaman informasi, teknologi dikaitkan dengan komputer dan komunikasi.
Posisi Kosmos Teknologi
Alkitab menyatakan bahwa semua keberadaan dari seluruh kehidupan di dalam dunia ini berasal dari Allah Sang Pencipta langit dan bumi (Kejadian 1:1) melalui Firman-Nya (Yohanes 1:3). Kita menerima hal tersebut dengan iman sebagai dasar epistemologi dan presuposisi (Ibrani 11:3). Demikian juga, kita percaya bahwa semua ilmu hanyalah merupakan respon manusia terhadap wahyu umum Allah di dalam alam semesta melalui penggunaan potensi kreativitas sebagai gambar dan rupa Allah.
Potensi kreativitas dari Allah ini memampukan manusia berdaya “cipta”, dengan kewajiban yang bertanggung jawab sepenuhnya kepada-Nya, serta dengan hak untuk mengelola alam semesta termasuk berteknologi. Sejak dari awal inilah, yakni penciptaan, natur posisi dan sifat manusia sebagai makhluk antara, paradoks, dan krusial telah ditetapkan. Manusia ditetapkan berada di posisi antara Allah dan alam, mewakili Allah menaklukkan alam, dan membawa seluruh alam menyatakan kemuliaan Allah Sang Pencipta.
Kemuliaan-Nya yang sarat dengan kebaikan dan nilai. Seluruh ciptaan diciptakan baik adanya serta diberikan nilai, arti, dan interpretasi oleh Sang Pencipta. Sehingga manusia walaupun merupakan wakil Allah, tidak berhak memberikan interpretasi, arti, dan nilai di luar maksud yang asli dari Sang Pencipta. Karena itu, manusia harus melihat seluruh dunia ciptaan ini hanya di dalam dan melalui Kristus, gambar Allah yang tidak kelihatan (Kolose 1:15) di mana berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan (Kolose 2:9), sebagai “The Subjectivity of the Truth, of the Value, of the Goodness in Person” [Dr. Stephen Tong] (Yohanes 14:6), Diri-Nya Kebenaran, Diri-Nya Nilai, Diri-Nya Kebaikan. Inilah interpretasi yang benar, yang sesuai dengan interpretasi asli dari Sang Pencipta.
Kejatuhan Mahkota Ciptaan
Teknologi sebagai Produk Budaya
Teknologi telah memberikan faedah dan kontribusi luar biasa bagi kesejahteraan umat manusia, walaupun bukan tanpa efek negatif yang akhirnya bersifat membatasi dan menjadi suatu ketergantungan bagi manusia itu sendiri. Jika dilihat secara positif, dengan adanya mesin cuci, ibu-ibu bisa datang ke PA Wanita, mendengarkan Firman dan melakukan pembesukan serta penginjilan. Melalui pesawat terbang dan internet, misionaris dari luar negeri berdatangan untuk mengabarkan Injil di Indonesia. Itu secara aplikatif. Lebih jauh, teknologi menjadi lambang peradaban dari zaman ke zaman, dari bidang arsitektur dan teknologi pengukuran misalnya, mulai dari Menara Babel yang diintervensi oleh Allah sendiri sampai kepada WTC di New York yang diratakan oleh teroris. Bahkan, dalam era teknologi informasi ini, beberapa ahli pernah menobatkan internet sebagai salah satu keajaiban dunia.
Teknologi pada makna yang sesungguhnya, seharusnya memiliki nilai, arti, dan penuh dengan kebaikan karena berasal dari alam yang dikelola oleh image of God, di mana keduanya baik alam maupun image of God, sarat dengan kemuliaan Allah. Teknologi merupakan hasil dari respon eksternal manusia terhadap wahyu umum Allah sebagai produk budaya. Dan sekali lagi, puncak teknologi yang mutakhir pasti menjadi salah satu lambang dari puncak kebudayaan yaitu peradaban. Dan pada zaman sekarang ini, yang menjadi icon kemajuan suatu bangsa adalah mulai dari yang mencolok seperti bandara udara (Beijing International Airport, Changi International Airport), dan gedung pencakar langit (Taipei 101, Kuala Lumpur Petronas Twin Tower), sampai kepada perkembangan bioteknologi, nanoteknologi, IT-Hub, dan wireless network.
Teknologi seharusnya memiliki kuasa, pengaruh, dan manfaat yang begitu besar, terutama di era teknologi informasi ini, sehingga dapat disejajarkan dengan uang yang begitu disorot dalam pengajaran Yesus Kristus. Tetapi semua manusia telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Manusia, mahkota ciptaan itu, lambang kemuliaan yang tertinggi itu, telah jatuh dan turut menyeret jatuh seluruh alam serta menjadi gravitasi yang tidak dapat ditolak ataupun dihindari oleh seluruh tatanan kosmos. Segala potensi kebaikan yang ada pada teknologi pun akhirnya dikebiri dan bahkan menjadi bumerang yang menghancurkan diri sendiri. Sampai-sampai cinta akan teknologi pun dapat dikatakan sebagai akar dari segala kejahatan (1 Timotius 6:10) demikian juga prinsip engkau tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada teknologi perlu diperhatikan (Matius 6:24).
The Myth of Neutrality in Interpretation
Di antara para ilmuwan maupun lulusan-lulusan universitas yang dipengaruhi modernisme, banyak yang menganggap bahwa ilmu alam dan teknologi sebagai produknya itu netral dan objektif. Sekilas memang terlihat netral karena jauhnya kaitan langsung antara ilmu alam dan teknologi dengan kepribadian manusia dibandingkan dengan ilmu sosial, kesenian, ataupun agama. Tetapi mereka agaknya lupa atau tidak menyadari bahwa ilmu alam itu bukan alam dan teknologi itu tidak langsung jadi. Teknologi pun merupakan produk dari tangan manusia yang berlumuran dosa, dan ilmu alam pun berkembang dari respon rasio manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Ilmu bukanlah wahyu umum Allah itu sendiri, ilmu hanya merupakan respon manusia berdosa yang bisa benar (truth) dan yang bisa salah (heresy). Tidak ada yang netral yang tidak benar dan tidak salah pada dirinya.
Oleh karena itu, tidak ada teknologi yang netral pada dirinya sendiri. Karena teknologi merupakan produk dari ilmu yang juga tidak akan bisa lepas dari manusia berdosa serta filsafat dan worldview yang mendasarinya. Jika ilmu itu pada dasarnya sudah tidak netral, maka pastilah aplikasinya, teknologi, juga bernafaskan worldview yang tidak netral itu.
Penebusan bagi Representatif Allah atas Ciptaan
Let God be God, and let man be man. H. Richard Niebuhr dalam ‘Responsible Ethics’-nya menekankan pentingnya pengertian fitting dalam pengambilan keputusan bagi seseorang sebagai responnya terhadap Allah dan sekitarnya. Allah telah memberikan nilai, arti, dan interpretasi atas alam semesta dan manusia dituntut untuk menginterpretasikan alam sesuai dengan interpretasi Sang Pencipta atas ciptaan itu sendiri.
Pertanyaan yang harus ditujukan kepada sains dan teknologi adalah: Jika sains dan teknologi tidak netral dan tidak bisa lepas dari keberdosaan manusia, mengapa perkembangannya begitu menyejahterakan manusia? Jika sains dan teknologi selalu mengandung kebenaran (truth) dan bidat (heresy), di manakah batasan-batasan nilai yang harus kita filter dan anggap sebagai nilai bidat? Bagaimana mem-filter-nya keluar dari science itu sendiri?
Orang Kristen sebagai anak sulung, yang memiliki wahyu khusus dari Allah, memiliki hak kesulungan dan seharusnya memiliki juga interpretasi dan pembedaan yang jelas antara kebenaran dan bidat. Sebab firman Allah itu hidup dan kuat yang lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun, ia sanggup membedakan segala sesuatu bahkan yang kelihatan tidak mungkin sekalipun (Ibrani 4:12). Pembedaan antara kebenaran Allah dalam wahyu umum dan nilai bidat dan pagan ini mutlak harus (absolute necessity) karena tanpa interpretasi yang benar terhadap alam, tak mungkin manajemen dan pengelolaan alam bisa benar.
Hanya melalui kematian Anak Domba Allah, Sang Firman yang menyandang pedang bermata dua (Wahyu 1:16; 2:12), dan melalui kuasa Roh Kudus maka manusia yang mati dapat berespon kepada Allah dengan benar. Dan Roh Kuduslah yang mentransformasi hati dan natur manusia, mencerahkan dan memimpin manusia kepada Anak Domba yang adalah Diri-Nya Kebenaran. Lebih jauh, hanya melalui Anak Domba yang tersembelihlah maka manusia dan kosmos ini ada hari depan, manusia dapat kembali kepada Allah, mengenal diri, dan menginterpretasi ciptaan dengan benar.
Dengan interpretasi yang benar, kita berjaga-jaga ketika mengaitkan wahyu khusus dan wahyu umum agar kasus Copernicus dan Columbus tidak terulang. Orang Kristenlah yang seharusnya sadar keterbatasan diri sebagai ciptaan dan harus kembali kepada prinsip Alkitab. Dengan penuh segala kesadaran dan kerendahan hati menghargai pencapaian teknologi yang ada saat ini dalam batasan tertentu. Di dalam kesadaran inilah, kaum intelektual Kristen wajib menggali Firman, mempelajarinya sedalam mungkin agar dapat mempergunakan pedang bermata dua ini dengan baik serta menggali interpretasi yang sudah Allah tanamkan dalam alam ini sedalam mungkin. Tanpa menguasai kedua hal ini niscaya kaum intelektual Kristen dapat bermandat budaya serta peran sebagai garam dan terang dunia hanyalah mimpi belaka.
Akhirnya, segala achievement budaya di dunia ini haruslah berkait dengan kekekalan sesuai dengan prinsip Alkitab. Pertanyaannya adalah apakah perkembangan teknologi yang meroket di abad ke-20, yang menjadi salah satu katalisator perubahan zaman, bernilai kekal dan tetap eksis sesudah kesudahan zaman pada saat consummation? Apakah ilmu dan filsafat yang menjadi pencetus dan motor penggerak teknologi yang sedang dikembangkan? Jika ilmu dan filsafat tersebut melawan worldview Kristen, maka hal tersebut adalah bidat dan harus ditinggalkan.
Jadi, sudahkah kita semua siap mengasah kecerdikan (Lukas 16:8) dan ketulusan sebagai seorang Kristen untuk mem-filter-out semua nilai bidat dari kebenaran kosmos wahyu Allah khususnya di dalam worldview sains yang mendasari teknologi? Sudahkah kita semua siap menguji kesetiaan Kristiani dan menggali talenta dengan serius untuk mengambil kembali hak kesulungan kekristenan sebagai interpretator utama atas teknologi bagi kemuliaan Allah? Marilah kita memperlengkapi diri dengan belajar Firman sepenuh hati dan mendalami ilmu dengan penuh kewaspadaan agar peran kita sebagai garam dan terang dunia dalam berteknologi dapat dinyatakan dengan benar. Soli Deo Gloria.
Diambil dari:
Nama situs | : | buletinpillar.org |
Alamat URL | : | http://www.buletinpillar.org/artikel/tuhan-atas-teknologi |
Judul artikel | : | Tuhan atas Teknologi |
Penulis artikel | : | Lukas Yuan Utomo |
Tanggal akses | : | 19 Januari 2016 |
- Login to post comments
- 3103 reads