You are hereArtikel / Perbuatan dan Firman: Mengapa Anda Tidak Dapat Mengkhotbahkan Injil melalui Perbuatan

Perbuatan dan Firman: Mengapa Anda Tidak Dapat Mengkhotbahkan Injil melalui Perbuatan


By admin - Posted on 07 January 2016

Ketika muncul pertanyaan abadi mengenai perkataan versus perbuatan dalam panggilan orang Kristen, persoalannya selalu tentang keseimbangan. Bagaimana seharusnya orang Kristen memikirkan tentang peran yang saling bertalian antara perkataan (memberitakan Injil) dan perbuatan (tindakan kasih) dalam panggilan Kristus bagi pengikut-Nya untuk diwujudkan dan dilakukan? Kita perlu menetapkan ukuran-ukuran untuk mencapai keseimbangan yang cocok dengan Alkitab.

"Keseimbangan" mungkin terdengar sederhana, tetapi mengetahui dan menjaga keseimbangan kita pada suatu subjek yang kompleks tidak pernah mudah. Hal ini seperti berjalan di atas seutas tali. Hanya satu arah yang akan membuat kita tegak dan bergerak maju, dan sejumlah kesalahan dalam melangkah dapat membuat kita jatuh ke satu sisi atau sisi yang lain. Jalan yang salah pun sangat banyak. Berikut adalah contoh yang menonjol.

Saat ini seberapa sering kita mendengar, dengan semangat dan persetujuan, pernyataan terkenal yang dikaitkan dengan Fransiskus dari Assisi: "Beritakanlah Injil setiap saat. Gunakan firman jika perlu"? Dalam perkataan ini, pertanyaan perkataan versus perbuatan menjadi yang utama, dengan menekankan dalam hal ini betapa pentingnya bagi orang Kristen untuk "memberitakan Injil" dengan tindakan mereka. Biarlah Injil lebih terlihat daripada terucap, inilah yang tersirat. Perkataan mungkin dapat berfungsi sebagai cadangan yang berguna, tetapi tindakan kita harus menjadi tahap utama jika kita ingin membuat perbedaan di dunia.

Sepintas, hal ini kedengarannya benar. Kecuali kalau ini tidak benar.

Bersaksi dari Injil

Menurut mereka yang mengetahui sejarah yang relevan dengan baik, penganut ajaran Fransiskus tidak pernah mengucapkan kata-kata tersebut. Namun, yang lebih penting lagi, dari depan pernyataan ini memperlihatkan kesalahan yang signifikan. Kita tidak mungkin memberitakan Injil tanpa kata-kata. Injil tidak dapat dilepaskan dengan kata-kata, dan memberitakan Injil tidak dapat dipisahkan dengan tindakan berbicara.

Akan tetapi, kita mungkin harus memperjelasnya, kita dapat mengatakannya. Mari kita memandang kalimat tersebut sebagai peribahasa belaka dan tidak menekankan bahasanya terlalu harfiah. Menurut bacaan ini, peribahasa adalah kiasan retoris yang dirancang untuk menekankan pentingnya dukungan pemberitaan Injil kita dengan kehidupan yang meneladani Kristus.

Hal ini adalah ide yang sangat penting dan benar-benar alkitabiah. Jika ini adalah semua yang dikatakan pepatah, kita harus menganggapnya memang berguna. Namun sayangnya, banyak orang tampaknya ingin menafsirkannya dengan sangat harfiah, tepatnya karena mereka tidak melihat kesulitan dalam melakukannya. Mereka akan bersikeras bahwa Injil sebenarnya dapat "diberitakan" tanpa kata-kata. Kadang-kadang ini disebut sebuah pendekatan "inkarnasi" kepada penginjilan, yakni kita "memberitakan Injil" dengan mewujudkannya di dunia.

Apa yang harus kita perbuat dengan pernyataan itu? Dapat atau tidakkah kita "memberitakan Injil" dengan tindakan kita? Siapa yang benar, dan apakah itu penting?

Sebagaimana yang terjadi, hal itu sangatlah penting.

Taruhan tentang bagaimana kita menjawab pertanyaan ini sangat tinggi. Ini bukanlah debat rahasia yang disediakan untuk para teolog atau sarjana Alkitab teknis. Ketaatan yang setia kepada Yesus Kristus adalah tujuan kita, dan hal ini berlaku untuk semua orang yang memanggil-Nya Tuhan. Ketaatan tersebut harus dimulai dengan pemikiran yang jelas mengenai apa panggilan Yesus untuk kita wujudkan dan lakukan.

Jadi, mari kita mengatakannya lagi: Keyakinan bahwa kita hanya dapat "memberitakan Injil" dengan tindakan kita memperlihatkan pemikiran yang kacau. Seberapa penting tindakan yang mungkin kita lakukan (dan memang sangat penting), dan apa pun yang dapat dilakukannya (yaitu melayani berbagai fungsi penting), tindakan-tindakan itu bukan "memberitakan Injil." Injil tidak dapat dipisahkan dengan kata-kata, dan memberitakannya merupakan tindakan yang tidak dapat dipisahkan dengan kata-kata. Jika Injil harus disampaikan secara keseluruhan, Injil harus dimasukkan ke dalam kata-kata.

Pernyataan semacam itu muncul pada awal kesepakatan bagus atas pendapat yang populer. Dapatkah pernyataan tersebut menahan api pengujian? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita memerlukan kerangka pikir yang tepat, yang akan membantu kita memahami masalah daripada membingungkannya.

Komunikasi Verbal versus Komunikasi Nonverbal

Kategori yang kita butuhkan adalah: komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Kita telah menggunakan istilah perkataan dan perbuatan. Hal ini berhubungan langsung dengan istilah verbal dan nonverbal. Perbedaan dalam kedua kasus tersebut berfokus pada apakah kita menggunakan kata-kata.

Komunikasi verbal mengacu pada semua cara kita berkomunikasi dengan menggunakan kode linguistik. Kita menyebut berbagai kode linguistik sebagai bahasa. Masing-masing kode ini memiliki tata bahasa, sintaksis, dan kosakata. Kita mempelajari hal-hal tersebut saat kita berusaha menguasai bahasa baru.

Komunikasi nonverbal, sebaliknya, mengacu pada semua cara kita berkomunikasi tanpa kata-kata: hal-hal seperti ekspresi wajah, gerakan tangan, posisi kepala, perilaku mata, infleksi vokal "paralanguage", perilaku sentuhan, penampilan fisik dan pakaian, postur, dan penggunaan kita terhadap ruang "proxemics". Kode verbal terkenal rumit, seperti yang dapat disaksikan oleh seseorang yang sudah berusaha mempelajari bahasa baru. Namun, kode nonverbal dalam beberapa hal masih lebih kompleks. Tidak ada buku tata bahasa formal untuk kode nonverbal, dan mungkin tidak akan ada. Dimensi komunikasi nonverbal kita terlalu halus dan kontekstual untuk ditangkap secara singkat.

Komunikasi manusia itu selalu menarik, dan perbedaan verbal-nonverbal hanya salah satu cara untuk menganalisanya. Namun, dua kategori ini adalah yang paling berguna untuk diskusi kita saat ini. Wawasan berikut ini, diambil dari literatur tentang komunikasi nonverbal, khususnya terkait:

Tidak ada seorang pun yang tidak berkomunikasi. Kita terus-menerus berkomunikasi satu dengan yang lain, jika tidak secara verbal, berarti secara nonverbal. Jika kita berkata, "Saya hanya akan tetap diam dan tidak mengatakan apa-apa," keheningan kitalah yang berkomunikasi.

Kita cenderung memberikan kepercayaan yang lebih banyak pada pesan nonverbal. Ketika pesan-pesan nonverbal tersebut bertentangan, kita cenderung lebih percaya kepada pesan nonverbal dibanding pesan verbal karena dimensi komunikasi nonverbal jauh lebih sulit untuk dikontrol.

Saluran nonverbal sangat efektif dalam mengomunikasikan sikap, suasana hati, perasaan, dan relasi. Kekuatan komunikasi nonverbal terletak pada kemampuannya untuk mengekspresikan dimensi afektif dari pesan kita. Apa pun yang dikatakan oleh seorang pembicara secara lisan, bagaimana perasaannya tentang materi pelajarannya atau pendengarnya, atau bahkan tentang dirinya sendiri, cenderung disampaikan secara nonverbal.

Kekuasaan yang melekat pada Injil tidak berubah-ubah karena kekuatan atau kelemahan dari orang yang menyampaikan pesan.

Saluran nonverbal tidak cukup untuk menyampaikan konten kognitif. Jika saluran nonverbal sangat efektif dalam mengomunikasikan suasana hati, perasaan, relasi, dan sikap, untuk alasan yang sama hal-hal tersebut sebagian besar tidak mampu menyampaikan informasi kognitif, abstrak, dan bersejarah.

Hal ini mudah dibuktikan. Bayangkan Anda mendapat tugas untuk mengomunikasikan ide berikut untuk seseorang: Aristoteles mengajar Alexander Agung di pengadilan Makedonia antara tahun 342 -- 339 SM. Sayangnya, Anda menemukan fakta bahwa murid Anda tidak memiliki pengetahuan terlebih dahulu mengenai Aristoteles atau Alexander, apa yang dimaksud pengajar, apa itu Makedonia, siapa Kristus, atau akibatnya, apa arti dari sebelum Masehi. Yang lebih buruk lagi, Anda tidak memiliki kode lisan yang dapat Anda gunakan. Murid Anda tidak berbicara dalam bahasa Anda, dan Anda tidak berbicara dengan bahasanya. Semua yang telah tersedia adalah saluran nonverbal komunikasi. Bagaimana Anda melakukan tugas Anda?

Tugas Anda mungkin mustahil. Anda tidak dapat mengomunikasikan jenis konten nonverbal seperti ini. Ekspresi wajah, atau gerak tubuh, atau perilaku mata, atau tindakan apa yang dapat mengungkapkan informasi tentang Alexander atau Makedonia atau arti sebelum Masehi? Kode nonverbal tidak mampu menaggung beban seberat itu. Anda memerlukan kode lisan -- yang berupa kata-kata, kalimat, dam paragraf-paragraf untuk menyampaikan penjelasan Anda. Tanpa semua itu, tugas Anda tidak dapat dilakukan.

Injil yang Verbal

Dalam 1 Korintus 15:1-8, rasul Paulus memberikan ringkasan singkat dari Injil yang telah diberitakannya kepada pembacanya. Ia sudah menyampaikannya kepada mereka "sebagai yang paling utama",

"bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu Ia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. Selanjutnya Ia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya."

Bahkan, kesimpulan dari Injil ini mustahil untuk disampaikan secara nonverbal. Seseorang mungkin tidak akan lebih banyak mengomunikasikan ide ini secara nonverbal seperti halnya seseorang yang mengomunikasikan pesan kita mengenai Aristoteles secara nonverbal. Isi pesan kognitif tersebut membuatnya menjadi tidak mungkin. Itu sebabnya, gagasan "memberitakan Injil" dengan perbuatan kita merupakan sesuatu yang asing bagi Alkitab. Injil Alkitab tidak dapat dipisahkan dari cara lisan, dan secara definisi, dalam mengomunikasikannya perlu mewujudkannya dalam kata-kata.

Kita telah menekankan titik ini untuk sebuah alasan, bukan karena kita ingin mengurangi pentingnya dimensi nonverbal dari panggilan kita (dalam perbuatan), tetapi karena penting bagi kita untuk membuat peran dari masing-masing kesaksian kita secara verbal dan nonverbal tetap jelas. Cara kita membicarakan tentang masalah-masalah ini membentuk dan/atau mencerminkan cara kita memikirkannya; dan sebaliknya, cara kita memikirkannya akan membentuk cara kita berperilaku. Mengaburkan atau mencampurkan peran dari perkataan dan perbuatan dapat menyebabkan dampak yang serius.

Pertama, hal ini dapat menurunkan nilai kesaksian verbal kita.

Masyarakat dunia Barat hidup dalam generasi yang alergi terhadap hampir semua klaim kebenaran, terutama semua hal yang berhubungan dengan pernyataan Injil yang menghebohkan. Masyarakat kita hidup pada suatu masa ketika bahasa itu sendiri terdevaluasi. Budaya postmodern memiliki kata-kata yang meragukan. Gambar, pengalaman, dan tindakan memiliki peranan besar. Pada saat seperti ini, kesaksian gereja secara verbal sering kali akan mendatangkan stigma khusus. Dunia mungkin menyetujui upaya gereja untuk memberi makan mereka yang lapar atau membebaskan mereka yang tertindas. Namun, kita akan kecewa jika kita mengharapkan dunia untuk menghargai "kata Salib". Kebenaran yang sangat besar menyatakan keterkaitan dengan pernyataan itu merusak benih budaya, memperburuk kecenderungan yang sudah melekat pada manusia untuk menolak kebenaran (Roma 1:18).

Dalam lingkungan seperti itu, gagasan bahwa kita dapat memberitakan Injil dengan tindakan kita membuat kita condong ke bagian-bagian panggilan kita yang menerima persetujuan budaya ketika dengan malu-malu lari dari bagian yang menghasilkan kecaman budaya -- semuanya tanpa meninggalkan "penginjilan". Kita masih peduli untuk "memberitakan Injil", kita memastikan diri kita sendiri, tetapi kita hanya melakukannya melalui perbuatan daripada kata-kata. Dengan cara ini, kebingungan kita tentang istilah ini memungkinkan kita untuk menipu diri kita sendiri terhadap pengabaian kesaksian verbal kita.

Kedua, hal ini dapat menipu kita dalam memikirkan kekuatan Injil yang terletak di dalam kita. Beberapa orang pada saat ini akan menyatakan bahwa tidak ada penginjilan yang benar tanpa "tindakan nyata". Bahkan, menurut salah satu kritik, "Kecuali para murid (Kristus) mengikuti Amanat Agung, sia-sialah terlibat dalam Amanat Agung." Menurut pandangan ini, Injil tidak memiliki potensi dalam dirinya sendiri. "Kesuksesannya" bergantung pada diri kita.

Namun, ini bukan kesaksian Perjanjian Baru. Menurut Paulus -- yang memiliki pelayanan berkeliling menemukan sedikit kriteria "tindakan nyata" -- kekuatan Injil tidak menetap di dalam kita; kekuatannya menetap dalam aplikasi dari pesan Roh itu sendiri. "Aku tidak malu karena Injil," kata Paulus. Mengapa? Karena "itu" -- Injil verbal, "perkataan Salib," Kabar Baik yang dinyatakan Yesus Kristus -- adalah "kekuatan Allah yang menyelamatkan" setiap orang yang percaya (Roma 1:16). Jadi, keyakinan Paulus pada kemelakatan Roh dalam Injil begitu kuat -- kekuatan yang dimasukkan sehingga ia dapat bersukacita bahkan ketika Injil terserbut sedang diajarkan, tidak hanya dalam ketiadaan "tindakan nyata," bahkan dari motif dosa yang jelas (Filipi 1:12-18).

Beberapa orang akan menyangkal bahwa misi holistik gereja merupakan platform yang terbaik untuk kesaksian verbal kita, dan bahwa generasi kita patah semangat akan lebih cenderung mendengarkan jika kita memberitahukannya. (Memang, bagian terpanjang dari buku baru saya, "Word versus Deed", (Perkataan vs Perbuatan - Red.), dikhususkan untuk peran penting dari perbuatan kita.) Namun, hal ini tidak memperbolehkan kita untuk menyimpan Injil akibat kekurangan kita. Kapan gereja dapat bertindak seperti yang seharusnya? Kapan, singkatnya, gereja akan menjadi seperti yang dikehendaki Allah? Gereja sudah berantakan sejak awal, sudah cukup jauh tidak menghidupi Amanat Agung. Namun, di balik kegagalan kita, Injil sendiri tetap memiliki kekuatan yang mengagumkan, "kekuatan Allah yang membawa pada keselamatan" bagi orang-orang yang percaya.

Kekuatan yang melekat pada Injil tidak berubah-ubah karena kekuatan atau kelemahan dari orang yang menyampaikannya. Kebenaran ini menghasilkan kerendahan hati, tetapi juga sangat membebaskan. Pada akhirnya, ketidakmampuan saya untuk menjawab keberatan, kurangnya pelatihan atau pengalaman saya, bahkan kegagalan saya untuk setia menghidupinya tidak meniadakan kuasa Injil. Kekuatannya adalah karena karya Roh Allah. Bahkan, ketika kita melakukan yang terbaik. Kekuatan Injil terlepas dari kita, bukan karena kita. Syukur kepada Allah.

Ketiga, hal ini dapat membelokkan kita dari modus operandi Allah di dunia.

Injil Yesus Kristus adalah perkara lisan, dan untuk mengomunikasikannya perlu mengubahnya ke dalam kata-kata.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Dalam 1 Korintus 1:21, Paulus berkata, "Oleh karena dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmatnya, maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil." Paulus mengacu ke ayat tersebut atas panggilan kita dalam memberikan kesaksian Injil secara verbal. Ini merupakan modus operandi pilihan Allah, Paulus berkata, "supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah" (1 Korintus 1:29).

Yesus mengatakan bahwa "Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal" (Yohanes 3:14-15). Kemudian, Ia menyatakan bahwa ketika Ia "diangkat dari bumi", Ia akan "menarik semua orang kepada (diri-Nya)" (Yohanes 12:32). Seperti yang Yohanes jelaskan, " Ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana caranya Ia akan mati" (Yohanes 12:33), diangkat seperti tontonan umum di kayu salib, dan menarik kepada diri-Nya semua orang yang bersedia memandang-Nya di dalam iman untuk kesembuhan. Kesaksian lisan kita tentang Yesus melanjutkan proses pengangkatan Yesus itu. "Bukankah Yesus Kristus yang disalibkan itu telah dilukiskan dengan terang di depanmu?" kata Paulus dalam khotbahnya kepada orang-orang Galatia (Galatia 3:1). Demikian pula, dengan kesaksian lisan kita, kita merekatkan Kristus yang disalib, dibangkitkan, dan memerlihatkan-Nya untuk dilihat oleh semua orang, sehingga Ia, oleh Roh-Nya, akan terus menarik pria dan wanita kepada diri-Nya. Kegagalan untuk menghargai peran yang unik dari kesaksian lisan Injil ini membelokkan kita keluar dari jalan yang ditetapkan Allah untuk dikerjakan di dunia.

Injil Yesus Kristus adalah perkara lisan, dan untuk mengomunikasikannya perlu mengubahnya ke dalam kata-kata. Kesaksian lisan ini merupakan hampir keseluruhan panggilan kita, tetapi tidak ada yang boleh dibuang. Tidak ada yang dapat menggantikannya.

Mari kita merayakan kenyataan bahwa kekuatan Injil tidak berada di dalam diri kita, tetapi dalam aplikasi Roh dari pesan yang kita beritakan, pesan yang menyatakan Tuhan dan Juru Selamat yang disalib. Mari kita bersukacita dalam kesadaran bahwa, seperti air yang tepat untuk orang-orang yang haus, seperti makanan yang tepat untuk orang-orang yang lapar, seperti obat yang tepat untuk orang-orang sakit, sehingga pesan lisan ini -- kebenaran bahwa di dalam Kristus "Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka" (2 Korintus 5:19) -- relevan dengan kebutuhan terdalam dan terbesar bagi setiap hati manusia. Kiranya kita tidak pernah patah semangat dalam menyaksikannya dalam kata-kata. (t/N. Risanti)

Download Audio

Diterjemahkan dan disunting dari:
Nama situs : Christianity Today
Alamat situs atau URL : http://www.christianitytoday.com/ct/2012/may/litfin-gospel-deeds.html
Judul artikel : Works and Words: Why You Can't Preach the Gospel with Deeds
Penulis artikel : Duane Litfin
Tanggal akses : 06 Agustus 2015