You are hereArtikel / 'Kepada Siapa pun yang Merasa Malu Karena Aku'
'Kepada Siapa pun yang Merasa Malu Karena Aku'
Panggilan untuk Orang Kristen yang Bersembunyi
Rona malu, pipi yang memerah, pernahkah Anda bertanya-tanya akan kekuatannya? Hidup kita, ketika semua sudah selesai dan diceritakan, dapat diringkas dalam apa yang kita pegang teguh sampai akhir, dan apa yang kita lepaskan karena takut atau malu.
Fenomena itu mungkin paling jelas ditunjukkan dalam kata-kata Yesus: "Kepada orang yang merasa malu karena Aku dan perkataan-Ku, Anak Manusia pun akan malu mengakui orang itu ketika Ia datang dalam kemuliaan-Nya dan kemuliaan Bapa-Nya, beserta para malaikat kudus." (Lukas 9:26).
Coba bayangkan.
Hari itu datang dengan tiba-tiba, seperti pencuri di malam hari. Malaikat-malaikat, terlalu banyak untuk dihitung, terlalu luar biasa untuk dibayangkan, terlalu "jauh" untuk merasa nyaman di antara mereka, sekarang memenuhi bumi. Beberapa malaikat mengelilingi Kristus, berkobar seperti hutan api. Yang lainnya dengan lantang memuji Allah dan Anak Domba. Yang lainnya muncul seperti kilat, meniup terompet dan meminta pertanggungjawaban dunia.
Dan, kemudian Anda melihat Dia. Raja segala raja, Tuhan atas segala tuan yang dipenuhi kemuliaan Bapa-Nya. Mengendarai awan, Dia mendekati dunia manusia. Dia dihiasi cahaya yang menyilaukan, berpakaian perang, pedang menyembul dari mulut-Nya. Tontonan Agung, Pengawas Agung, Pribadi yang oleh Dia dan untuk Dia semua yang ada, melabuhkan perahu-Nya di tepi pantai. Kelopak mata dunia ini akan berkedip. Setiap mata akan melihat-Nya – bahkan mereka yang menusuk-Nya. Semua aktivitas selain Dia akan berhenti. Ateisme dan paganisme serta agama palsu akan lenyap. Dia telah datang.
Tersipu di hadapan Allah
Dalam pemandangan yang dipenuhi dengan malaikat, Allah, dan manusia, yang berada di antara orang-orang kudus sejati dan orang-orang tidak tahu malu yang tidak bertobat, akan ada orang-orang yang cukup mengerti untuk mengikuti-Nya dengan sungguh, tetapi tidak pernah melakukannya: Orang-orang yang pipinya merona merah.
Mereka mengetahui Yesus seperti yang Dia katakan, tetapi mereka tidak memiliki Dia. Mereka datang kepada-Nya hanya pada malam hari, tetapi tidak akan muncul bersama-Nya pada siang hari. Ketika pertanyaan diajukan kepada mereka di hadapan manusia, iblis, orang-orang yang mereka kagumi atau takuti, mereka tidak dapat berbicara seperti Luther,"Di sini saya berdiri; Saya tidak bisa melakukan sebaliknya. Allah menolong saya!" Mereka menyimpan apa yang mereka anggap sebagai keyakinan pribadi mereka dan tidak akan mengakui Dia.
Dan, di sanalah mereka berdiri, di samping kumpulan besar dari semua yang pernah hidup. Raja memandang rendah mereka saat mereka memandang-Nya, dengan rasa malu yang suci dan rasa malu yang saleh. Mereka hidup dengan rasa malu karena Dia, dan sekarang Yesus merasa malu terhadap mereka di hadapan Bapa-Nya dan pertemuan surgawi ini. Mereka menyangkal Dia, dan sekarang Ia juga akan menyangkal mereka (2 Timotius 2:11-13). -Pergilah dari hadapan-Ku, kamu yang terkutuk, ke dalam api abadi yang telah disiapkan untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya.- (Matius 25:41).
Sekalipun mereka semua pergi meninggalkan
Beberapa orang tidak bisa membayangkan malu karena Tuhan kita atau menyangkal-Nya. Akan tetapi, jangan sampai kita berpikir diri kita di luar godaan ini, dengan berkata dalam hati kita kepada Kristus, -Sekalipun mereka semua meninggalkan-Mu, aku tidak.- (Markus 14:29), semoga kita ingat bahwa batu itu, Petrus, hampir hancur hingga tidak dapat diperbaiki lagi pada gempa ini.
Baru saja melarikan diri dari Gembala di Getsemani, Petrus sekarang mengikuti Yesus dari kejauhan "untuk melihat kesudahannya" (Matius 26:58). Saat dia duduk di luar di halaman, salah satu pelayan Kayafas melihatnya sekilas sedang menghangatkan diri di sekitar api. -Orang ini juga bersama-Nya- (Lukas 22:56). Sekali, dua kali, tiga kali: "Aku tidak mengenal Dia!" – bahkan mengutuk dirinya sendiri untuk menegaskannya (Markus 14:71). Setelah penyangkalan ketiga, "berpalinglah Yesus dan memandang Petrus" (Lukas 22:61).
Pandangan itu – apa pun rasa kasihan, kekecewaan, atau rasa malu yang dikandungnya – membuat Petrus pergi dengan menangis. Dia hanya selamat dari penyangkalan gelap ini, nyaris lolos dari penyaringan Setan dan penghakiman Yudas, karena Yesus telah berdoa untuk Petrus, agar imannya tidak gugur (Lukas 22:32). Marilah kita semua berhati-hati terhadap pernyataan kepuasan diri tentang kesetiaan yang belum teruji. Seekor ayam jantan mungkin masih akan berkokok, bahkan untuk yang paling kuat (imannya) di antara kita. Mungkin terutama untuk yang "paling kuat."
Lereng Kompromi yang Menenangkan
Lebih jauh, godaan untuk merasa malu karena Yesus ini muncul di awal ke dalam budaya kita yang tampaknya pasca-Kristen.
Saya terkadang bertanya-tanya apakah banyak dari mereka yang pengecut, mereka yang malu akan Kristus dan menolak memikul salib untuk mengikuti-Nya, pernah menganggap diri mereka seperti itu. Tentu saja, jika saat keputusan besar tiba, pistol diarahkan ke kepala atau gadis pelayan itu berteriak dalam tuduhan publik, kompromi sudah jelas. Akan tetapi, berapa banyak dari "yang pengecut" (Wahyu 21:8) pergi ke kematian kedua tanpa menyadari karena mereka tidak merasakan gedebuk di dasar tebing, tetapi berjalan di lereng yang indah dan lebih lembut dari kompromi yang diam-diam dan lebih merupakan kebiasaan?
Sebagian besar dari kita tidak menghadapi tebing, tetapi lereng penyangkalan kecil yang menenangkan ini. Sebaliknya, kita menyangkalnya dalam percakapan netral di sekitar banyak paksaan. Rasa malu kita adalah pipi yang memerah, akumulasi dari momen-momen kecil di mana kita lebih memilih cinta untuk reputasi, cinta untuk harga diri, cinta untuk kemudahan, untuk uang, untuk hidup kita sendiri, daripada cinta untuk Kristus dan cinta untuk jiwa. Kita tidak banyak berbicara tentang Yesus. Kita mengambil jalan yang tidak terlalu canggung, kita semakin cocok dengan teman dan rekan kerja yang tidak seiman. Kita tidak "pergi ke sana" dengan keluarga kita yang tidak seiman seperti yang kita lakukan sebelumnya. Tetangga kita tidak tahu bahwa kita adalah orang Kristen, dan keluarga kita sendiri sering kali bertanya-tanya.
Jalan yang tenang ini bukanlah hal baru. Pada zaman Yesus, banyak orang, termasuk banyak otoritas, dikatakan "percaya" kepada-Nya, tetapi lebih mencintai tempat duduk mereka di sinagoge dan kemuliaan mereka di hadapan orang-orang daripada kemuliaan yang datang dari Kristus (Yohanes 12:42–43). Mereka percaya hal-hal yang benar tentang Yesus, hanya saja Dia tidak layak untuk diikuti dengan risiko apa pun.
Dia bukanlah harta karun mereka yang tersembunyi di ladang yang mereka dengan sukacita akan pergi dan menjual segala sesuatu untuk mendapatkannya (Matius 13:44). Dia tidak layak untuk diikuti ketika ada salib yang harus dipikul (Lukas 9:23).
Apakah Kita Setengah Tertidur?
Bukan karena orang-orang yang malu itu tidak peduli pada Yesus atau tidak mempercayai apa yang Dia katakan. Hanya saja ketika kesukaan lainnya terancam, mereka pikir yang terbaik adalah merahasiakannya dan tidak bertindak terlalu jauh.
Apakah semangat penyangkalan ini mengenakan jas dan dasi hari ini? Seberapa banyak kita menganggap bahwa Yesus bukan untuk percakapan yang sopan/ramah, bukan untuk kota, bukan untuk meja makan keluarga? Seberapa besar kehidupan normal sehubungan dengan mempertahankan status quo ketidakpercayaan sementara semua orang di sekitar kita berjalan melewati jembatan reyot menuju hari penghakiman?
Apakah kita telah membungkam tugas untuk pergi (ke tempat-tempat kita tidak diundang) yang sifatnya menyinggung dan memuridkan bangsa-bangsa (penuh dengan orang-orang yang tidak menginginkan kita di sana), membaptis mereka dalam nama Allah Tritunggal (yang telah mereka tolak dalam dosa mereka), dan mengajar mereka untuk mematuhi semua yang Kristus ajarkan kepada kita (Matius 28:18-20)? Akankah Anak menjadi malu karena kita di hadapan Bapa-Nya karena kita telah hidup menuruti nafsu dan lalai dengan merasa malu karena Dia?
Berapa banyak dari kita yang hidup, bahkan sekarang, secara naluriah menyembunyikan warna tanda kerajaan kita, terlalu rentan untuk mempertahankan kehidupan rahasia seorang murid – seolah-olah memang ada hal seperti itu?
Bimbang Di Antara Allah-dewa
"Kekristenan -- yang tidak jelas dan duniawi tidaklah berharga. Garam yang tidak asin lagi tidak -- berguna sama sekali selain untuk dibuang dan diinjak-injak oleh manusia" (Matius 5:13). Jalan harus dipisah, keputusan harus dibuat: Kristus atau dunia ini?
Jalan sempit menjauhi yang lebar, Lot tidak bisa selalu tinggal di Sodom, para guru yang cemburu bersaing untuk kesetiaan penuh. Pertanyaan nabi yang tak terhindarkan akhirnya kita semua temukan: "Berapa lama lagi kalian berjalan pincang dengan dua pendapat? Jika TUHAN adalah Allah, pergilah, ikuti Dia, tetapi jika Baal, pergilah, ikuti dia." (1 Raja-raja 18:21).
Hentikan keragu-raguan rohani, tinggalkan Kekristenan tanpa garam ini, tinggalkan rumah komitmen antara Kristus dan dunia ini. Dengan mengandalkan Roh, hentikan apa yang disebut James Stewart sebagai "keberadaan amfibi yang tidak memiliki keberanian untuk memutuskan." Hiduplah seperti Anda mengenal Kristus, seperti Anda mengasihi Kristus, seperti Anda menunggu tanpa rasa malu Kristus datang kembali – jika Anda telah merasakan dan melihat betapa berharganya Dia.
Putuskan sekarang, Allah akan menolong Anda, untuk hidup bagi Kristus dan bukan yang lain tetapi Kristus – tidak peduli resikonya. Jangan malu untuk menyebut nama-Nya atau memegang setiap kata yang Dia ucapkan. Apa untungnya seseorang mengumpulkan seluruh dunia – selebriti, kekaguman, pasangan impian, karier yang menarik, keamanan dari penganiayaan – jika, setelah memiliki semuanya, Kristus malu karena dia? (t/Jing-Jing)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Desiring God |
URL | : | https://www.desiringgod.org/articles/whoever-is-ashamed-of-me |
Judul asli artikel | : | ‘Whoever Is Ashamed of Me’ |
Penulis artikel | : | Greg Morse |
- Login to post comments
- 1163 reads