You are hereArtikel Misi / Adoniram Judson
Adoniram Judson
Hanya ada sedikit orang dalam sejarah gereja yang telah begitu banyak menderita demi Kristus seperti Adoniram Judson. Adoniram lahir pada 9 Agustus 1788 di Malden, Massachusetts, dalam keluarga seorang pendeta jemaat Kongregasional yang keras dan dominan. Sejak kecil, Adoniram dikenal sebagai anak yang cerdas, sopan, penuh percaya diri, berbudaya, dan halus budi pekertinya. Pada usia tiga tahun, saat ayahnya pergi dalam perjalanan misi selama seminggu, ibunya mengajarinya membaca. Sekembalinya dari perjalan itu, sang ayah terkejut karena Adoniram mampu membaca satu pasal penuh dari Alkitab. Adoniram selalu jauh lebih unggul dibandingkan teman-teman sekelasnya, dan memupuk cita-cita meraih kesuksesan dalam arti duniawi. Pada usia 14 tahun, dia jatuh sakit parah dan membutuhkan lebih dari setahun untuk pulih. Dia adalah pembaca yang rakus. Sekitar masa itulah dia membaca Embassy to Ava, karya seorang kapten laut Inggris bernama Symes -- buku yang kelak memengaruhi arah panggilan misinya ke Burma. Saat ulang tahunnya yang ke-16 pada tahun 1804, dia sudah siap memasuki perguruan tinggi. Di sini, Adoniram juga dikenal sebagai siswa yang sangat cemerlang. Ayahnya mengirimnya ke Rhode Island College (kini Brown University) karena Yale dan Harvard dianggap terlalu liberal, sedangkan Brown merupakan sekolah Baptis. Dari ayahnya -- seorang lulusan Yale -- Adoniram belajar satu prinsip penting: "Jangan pernah berkompromi."
Di Brown University, Adoniram selalu menempati peringkat teratas di setiap kelas. Saat lulus pada tahun 1807, dia terpilih sebagai orator wisuda (valedictorian) dan menerima penghargaan akademik tertinggi. Selama di perguruan tinggi inilah dia terpengaruh oleh gelombang skeptisisme Prancis yang marak pada awal 1800-an, dan secara terbuka menjadi seorang ateis. Dia berada di bawah pengaruh seorang mahasiswa senior bernama Jacob Eames -- seorang yang cerdas, berbudaya, menawan, dan juga seorang ateis.
Setelah lulus kuliah, Adoniram tidak yakin dengan arah hidupnya. Dia pun kembali ke kampung halamannya di Plymouth, Massachusetts, dan mendirikan Plymouth Independent Academy. Selama masa itu, ia menulis dua buku pelajaran: "Elements of English Grammar" dan "The Young Lady's Arithmetic". Namun, sekolah tersebut hanya bertahan satu tahun. Lalu, Adoniram memulai perjalanan keliling New England dengan menunggang kuda. Di sinilah dia memulai, sebagaimana diakuinya kemudian hari, suatu "kehidupan yang liar dan tanpa arah" -- cara hidup yang tampak menuju kehampaan dan kekecewaan. Di New York City, dia sempat bergabung dengan kelompok pemain sandiwara keliling. Hidupnya sangat sembrono dan menggelandang; dia menginap di mana saja, dan kerap kali menipu pemilik penginapan dengan kabur tanpa membayar. Setelah hanya beberapa minggu bersama kelompok itu, dia pun kembali melanjutkan pengembaraannya.
Suatu malam, Adoniram bermalam di sebuah penginapan. Dari kamar sebelah, dia mendengar suara rintihan maut seorang yang sedang sekarat -- jerit kesakitan yang terasa lebih rohani daripada kesakitan fisik. Keesokan paginya, dia terperanjat mengetahui bahwa orang yang wafat itu adalah temannya sekaligus panutannya yang ateis, Jacob Eames. Peristiwa itu mengguncangnya dan membawanya pada perenungan yang sangat mendalam. Dia sadar: sahabatnya telah pergi tanpa pengharapan -- menuju kebinasaan kekal. Segalanya tiba-tiba terasa begitu nyata bagi Adoniram muda. Dia segera pulang, dan di bawah bimbingan orang tuanya, menemukan iman dalam Yesus Kristus pada 22 September 1808, saat usianya 21 tahun. Surat Efesus 3:17-19 menjadi ayat hidupnya. Dia telah memahami tinggi dan dalamnya kasih Kristus, tetapi masih harus belajar tentang panjang dan lebarnya kasih itu.
Kemudian, Adoniram masuk seminari untuk mempersiapkan diri -- tapi untuk apa? Ayahnya berharap agar dia menjadi pendeta, tetapi panggilan Allah menuntunnya ke ladang misi luar negeri. Adoniram pernah berkata, "Betapa sering kita menipu jiwa kita sendiri dari kebahagiaan sejati, hanya karena lebih memilih hal-hal remeh daripada Allah."
Adoniram mulai menempuh pendidikan di Andover Theological Seminary pada 12 Oktober 1808. Di sana, pada 2 Desember tahun yang sama -- sebuah hari yang tak pernah dia lupakan -- dia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Adoniram hanya mengajukan satu pertanyaan kepada dirinya: "Bagaimana aku harus mengatur hidupku ke depan agar menyenangkan hati Tuhan?" Selama masa studinya, kisah hidup David Brainerd dan karya-karya William Carey memberikan pengaruh mendalam, hingga dia menyerahkan diri pada panggilan Allah. Dia juga membaca kisah para misionaris Jerman generasi awal di India: Bartholomaeus Ziegenbalg, yang menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Tamil pada tahun 1715, dan Christian Friedrich Swartz, yang melayani hampir lima dekade di India Selatan pada pertengahan abad ke-18.
Pada bulan September 1809, saat Adoniram berusia 21 tahun, dia membaca sebuah khotbah yang disampaikan di gereja paroki di Bristol, Inggris, oleh Dr. Claudius Buchanan, seorang pendeta yang telah lama melayani sebagai kapelan bagi British East India Company. Khotbah tersebut, berjudul "Bintang di Timur", diambil dari ayat dalam Matius 2:2 (AYT), "Sebab, kami telah melihat bintang-Nya di timur dan kami datang untuk menyembah-Nya."
Adoniram kemudian menulis, "Saya selalu bersyukur kepada Allah karena telah membawa saya ke dalam suatu keadaan gairah rohani -- yang mungkin memang dibutuhkan pada awalnya -- untuk mematahkan ikatan kuat yang saya rasakan terhadap rumah dan tanah air, dan menolong saya menghadapi pikiran untuk meninggalkan segala cita-cita serta harapan yang menggairahkan. Gairah itu memang segera berlalu, tetapi meninggalkan dalam diri saya kerinduan yang mendalam untuk terus mencari dan menemukan jalur panggilan saya."
Selama beberapa hari, Adoniram tak bisa memikirkan hal lain selain khotbah Buchanan yang begitu menggugah. Dia menulis, "Saat itu, dalam sebuah perjalanan sunyi menyusuri hutan di belakang kampus — sambil merenung dan berdoa tentang semua ini, bahkan nyaris memutuskan untuk menyerah — perintah Kristus muncul dalam benak saya dengan kekuatan dan kejelasan luar biasa: 'Pergilah ke seluruh dunia dan beritakanlah Injil kepada segala makhluk.' Saat itulah saya mengambil keputusan penuh: apa pun rintangannya, saya akan menaati panggilan itu."
Adoniram bukanlah orang pertama yang merasakan panggilan Allah untuk melayani di ladang misi luar negeri. Salah satu rekan awalnya adalah Samuel Nott, yang juga memiliki keyakinan kuat bahwa Tuhan memanggilnya ke ladang pelayanan di luar negeri. Pada suatu Sabtu sore yang panas dan lembap di bulan Agustus 1808, Adoniram dan Nott, bersama sejumlah mahasiswa dari Williams College di dekatnya, mengikuti sebuah persekutuan doa yang dipimpin oleh Samuel Mills. Turut hadir di sana James Richards, Luther Rice, Samuel Newell, dan Gordon Hall. Saat doa berlangsung, badai datang menggulung; kilat menyambar dan guntur menggelegar di atas kepala mereka. Dalam suasana yang penuh semangat dan keharuan itu, para mahasiswa ini menyetujui sebuah tekad: untuk membawa Injil kepada bangsa-bangsa penyembah berhala di Asia dan kepada para pengikut Nabi Muhammad. Mills berkata, "Mari kita jadikan ini pokok doa di bawah tumpukan jerami."
Dari peristiwa sederhana itu lahirlah sebuah kelompok yang dikenal sebagai The Brethren -- sekelompok pemuda yang mendedikasikan diri untuk misi, dan secara rutin bertemu diam-diam di bawah tumpukan jerami dekat kampus. Setelah menerima permintaan dari Gereja Kongregasional agar mereka diutus secara resmi, maka pada 25 Desember 1810 didirikanlah American Board of Commissioners for Foreign Missions. Judson, Newell, Nott, dan Hall menjadi empat misionaris pertama yang diutus oleh badan tersebut.
Meski sebagian besar biografi dan buku pelajaran misi menyebut keluarga Judson sebagai misionaris Amerika pertama yang diutus ke luar negeri, kenyataannya tidak demikian. Orang pertama yang meninggalkan tanah Amerika untuk pelayanan misi lintas budaya adalah George Leile, seorang mantan budak. Seperti yang kerap terjadi saat itu, George Leile dipisahkan dari keluarganya sejak kecil, meskipun dia tumbuh besar dengan cerita bahwa ayahnya adalah seorang pria saleh. Pemiliknya, Diaken Sharp dari First Baptist Church di Savannah, Georgia, mengenali panggilan Tuhan dalam diri Leile, lalu membebaskannya agar dia dapat melayani sepenuhnya dalam pemberitaan Injil kepada komunitas kulit hitam.
Leile ditahbiskan pada 20 Mei 1775, dan melayani dengan keberhasilan luar biasa di wilayah Savannah dan sekitarnya sebelum akhirnya berangkat sebagai misionaris ke Jamaika pada tahun 1779. Dengan demikian, George Leile lebih dahulu melayani di luar negeri dibanding William Carey -- yang dikenal sebagai bapak misi Baptis modern -- yang berangkat ke India pada tahun 1793, maupun keluarga Judson yang baru berangkat pada tahun 1812.
Menjelang akhir tahun 1811, berbagai persiapan mulai dilakukan untuk penahbisan dan keberangkatan para misionaris pertama di bawah naungan American Board of Commissioners for Foreign Missions. Namun, masa lalu Adoniram -- gaya hidupnya yang sembrono dan sejumlah utang yang belum dilunasi -- terus menghantuinya. Dia pun menelusuri kembali jejak hidupnya, melakukan restitusi, dan membayar semua kewajiban yang tertunda.
Pada Rabu, 5 Februari tahun 1812 -- hari yang hangat dan cerah -- Adoniram menikahi Ann Haseltine (keluarga memanggilnya Nancy). Pernikahan mereka berlangsung di sebuah ruangan di Bedford, Massachusetts, tempat mereka pertama kali bertemu dua tahun sebelumnya. Beberapa hari sebelumnya, sahabat dekat Adoniram, Samuel Newell, telah menikahi Harriett Atwood, teman dekat Nancy yang baru berusia 18 tahun. Keesokan harinya, pada 6 Februari, lima misionaris ditahbiskan dalam sebuah kebaktian di Tabernacle Church, Salem. Ketika tangan-tangan para penatua diulurkan untuk mengutus, Nancy diam-diam keluar dari bangku keluarga dan berlutut di samping para misionaris. Dalam khotbah pengutusan, Dr. Spring menyatakan, "Tak ada pengabdian lain yang sebanding dengan ini, yang pernah dijalankan oleh gereja Amerika." Adoniram Judson, Samuel Newell, Samuel Nott, Gordon Hall, dan Luther Rice secara resmi diutus untuk membawa Injil kepada bangsa-bangsa yang belum mengenal Kristus -- membawa kabar pengampunan, damai sejahtera, dan kehidupan kekal.
Pada pagi hari tanggal 19 Februari 1812, keluarga Judson dan keluarga Newell berlayar dari Salem dengan kapal bernama Caravan. Itu adalah perjalanan tanpa rencana kembali -- sebuah pengutusan seumur hidup. Sepanjang pelayaran laut yang panjang dan penuh waktu untuk merenung, Judson menelaah kembali ajaran Alkitab tentang baptisan. Dari penyelidikan yang sungguh-sungguh itu, dia -- meski dengan berat hati -- sampai pada kesimpulan bahwa selama ini dia keliru, dan bahwa kaum Baptis benar: iman harus mendahului baptisan, dan baptisan yang alkitabiah adalah melalui penyelaman penuh. Kemudian dia menyimpulkan, "Kami menjadi kaum Baptis bukan karena menginginkannya, tetapi karena kebenaran memaksa kami untuk menjadi demikian."
Setibanya di Kalkuta, India, pada 17 Juni 1812, Adoniram dan Nancy Judson disambut oleh Dr. dan Ny. Samuel Nott. Sementara itu, rekan-rekan mereka -- Gordon Hall dan Luther Rice -- menyusul kemudian dan tiba di India pada 8 Agustus 1812. Namun tak lama berselang, Perusahaan Hindia Timur menolak memberi izin bagi mereka untuk menetap di wilayah tersebut. Pada 6 September 1812, Adoniram dan Nancy dibaptis oleh Tuan Ward di Lal Bazar Chapel, sebuah gereja Baptis di Kalkuta. Seiring waktu, semakin jelas bahwa ladang misi di India tertutup bagi mereka. Sementara itu, laporan-laporan yang mereka terima tentang Burma tampak begitu suram dan menggentarkan, hingga mereka sempat mempertimbangkan untuk berlayar ke Jawa sebagai alternatif tujuan misi.
Keluarga Newell berangkat lebih dulu daripada keluarga Judson karena kapal pertama yang tersedia dari Kalkuta hanya memiliki dua kursi kosong. Dalam pelayaran menuju Île de France, kapal yang mereka tumpangi dihantam badai dahsyat. Dalam kondisi genting itu, Harriett melahirkan anak pertama mereka, dengan Samuel -- suaminya -- sebagai satu-satunya pendamping. Bayi itu meninggal lima hari kemudian dan dimakamkan di laut. Setibanya di Île de France, kesehatan Harriett memburuk dengan cepat. Dia meninggal di Port Louis pada 30 November 1812 sehingga Harriett menjadi orang Amerika pertama yang menyerahkan hidupnya bagi Kristus di ladang misi dunia non-Kristen.
Beberapa minggu kemudian, keluarga Judson menyusul dengan kapal berikutnya dan tiba di Port Louis pada 17 Januari 1813. Nancy Judson amat terpukul ketika mengetahui bahwa sahabat karibnya, Harriett, dan sang bayi telah tiada.
Beberapa waktu kemudian, Newell melanjutkan pelayaran ke Ceylon dan kemudian ke Bombay. Namun dalam beberapa tahun, ia meninggal dunia dalam keadaan yang sangat terpukul dan patah semangat. Sementara itu, Rice yang juga tiba pada kesimpulan bahwa ajaran Baptis sesuai dengan kebenaran Alkitab, telah dibaptis di Kalkuta dan ikut menyertai keluarga Judson dalam perjalanan ke Île de France. Karena kondisi kesehatannya yang memburuk, Luther Rice akhirnya kembali ke Amerika Serikat. Di sana, dia mengabdikan diri untuk membangkitkan minat di antara gereja-gereja Baptis dan menggalang dukungan bagi para misionaris yang tengah melayani di luar negeri.
Setelah mendengar keputusan yang diambil oleh Judson dan Rice, kalangan Baptis di Amerika Serikat segera mendirikan sebuah badan misi luar negeri kedua bernama Baptist Society for Propagating the Gospel in India and Other Foreign Parts (Perkumpulan Baptis untuk Menyebarkan Injil di India dan Daerah-daerah Asing Lainnya).
Pada 7 Mei 1813, keluarga Judson meninggalkan Port Louis menuju Madras. Namun sekali lagi, karena kebijakan ketat dari East India Company, mereka tidak diizinkan menetap. Karena itu, pada 22 Juni mereka kembali melanjutkan pelayaran -- kali ini menuju Rangoon.
Dalam salah satu suratnya, Nancy menulis, "Dulu aku memandang ladang ini dengan rasa takut dan gentar, tetapi sekarang aku sungguh rela menjadikannya rumahku seumur hidup." Adoniram mencatat, "Meski semua teman kami di Madras berusaha membujuk agar kami mengurungkan niat, kami menyerahkan diri kami sepenuhnya kepada Tuhan." Di tengah pelayaran itu, Nancy melahirkan anak pertama mereka. Sayangnya, sang bayi lahir dalam keadaan tidak bernyawa dan dimakamkan di laut, di tengah Teluk Benggala. Kondisi Nancy pun melemah drastis. Pada 13 Juli 1813, mereka tiba di muara Sungai Rangoon -- salah satu anak sungai besar dari Irrawaddy. Mereka belum mengetahui penderitaan berat yang menanti, tetapi mereka melangkah dengan keyakinan akan hadirat Tuhan, penghiburan janji-Nya, dan kekuatan kasih-Nya.
Burma akan menjadi tanah tempat Tuhan memakai mereka. Rangoon, kota pertama yang mereka tuju, hanyalah sebuah desa yang kotor, kumuh, dan nyaris tak terurus, dengan jumlah penduduk yang mungkin tak lebih dari 10.000 jiwa. Malam pertama mereka di sana menjadi salah satu malam paling suram dalam hidup mereka. Inilah tempat yang selama tiga tahun diimpikan oleh Adoniram -- tujuan dari harapan dan ambisinya. Namun, saat akhirnya tiba, tak pernah sebelumnya mereka merasa begitu menyesal.
Felix Carey telah lebih dulu membangun semacam pos awal di Rangoon. Keluarga Judson diizinkan tinggal bersama Carey dan istrinya yang berasal dari Burma. Mereka segera memulai perjuangan yang melelahkan: belajar bahasa Burma selama 12 jam setiap hari.
Pada 19 September 1813, Adoniram dan Ann -- yang sering dipanggilnya "Nancy" -- bersama-sama mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Momen itu menandai berdirinya Baptist Church of Burma. Doa hati mereka adalah: "Tuhan, kiranya kami boleh hidup dan mati di tengah bangsa Burma -- meskipun kami tak melakukan apa pun selain merintis jalan bagi orang-orang yang akan datang sesudah kami."
Pikiran Judson yang cemerlang segera tercurah sepenuhnya untuk mempelajari bahasa Burma dan menerjemahkan Alkitab. Di tepi jalan yang ramai -- jalan utama menuju Pagoda Shwe Dagon, kuil Buddha paling terkenal di Rangoon -- dia mendirikan sebuah 'zayat', bangunan terbuka khas setempat. Di sanalah dia tinggal, belajar bahasa, dan menyambut siapa saja yang bersedia singgah dan mendengarkannya memberitakan Injil tentang kasih karunia yang menebus. Felix Carey menulis kepada ayahnya, William Carey: "Mereka benar-benar diciptakan untuk misi ini. Begitu pertama kali bertemu, saya langsung merasakannya. Dalam waktu enam bulan, Tuan Judson sudah menguasai bahasa dengan sangat baik — dialah rekan pelayanan yang saya harapkan."
Di zayat itulah, pada 9 Mei 1819, Moung Nau secara terbuka menyatakan imannya kepada Yesus Kristus. Dia menganggapnya sebagai sebuah kehormatan yang langka -- menjadi orang Burma pertama yang berpaling kepada Kristus, meskipun dia sadar bahwa yang menantinya di dunia ini hanyalah penganiayaan dan mungkin kematian. Mong Nau adalah buah sulung dari kerja keras Judson selama enam tahun pelayanan yang sunyi dan tak mengenal lelah. Pada sore hari Minggu itu, setelah pembaptisan Moung Nau, Judson untuk pertama kalinya memimpin Perjamuan Kudus dalam dua bahasa: Inggris dan Burma. Momen itu merupakan jawaban atas kerinduan hatinya selama bertahun-tahun. Beberapa bulan kemudian, dua jiwa lagi mengikuti jejak Moung Nau dan dibaptis.
Pada 12 Juli 1823, Adoniram Judson menuntaskan sebuah tonggak penting: penerjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Burma. Sementara itu, Ann -- yang sebelumnya kembali ke Amerika Serikat demi pemulihan kesehatan -- kembali ke Rangoon pada 5 Desember dalam keadaan sehat, setelah berpisah selama 27 bulan. Dalam salah satu suratnya kepada Luther Rice, Judson menulis, "Jika mereka bertanya lagi apa prospek keberhasilan yang sesungguhnya, katakan saja: sebesar keyakinan akan Tuhan yang Maha Kuasa dan setia, yang akan menggenapi janji-janji-Nya -- dan tidak lebih dari itu."
Selama bertahun-tahun, para wakil raja setempat di Rangoon kerap mempersulit keluarga Judson. Beberapa kali tampak jelas bahwa mereka hampir diusir dari negeri itu. Menyadari situasi yang terus memburuk, Adoniram bertekad untuk menghadap langsung ke ibu kota Ava dan memohon izin dari sang kaisar untuk menyebarkan agama Kristen secara resmi. Dua kali dia menempuh perjalanan panjang menyusuri Sungai Irrawaddy menuju Ava, tetapi kedua permohonannya itu ditolak. Meski demikian, dia berhasil menjalin beberapa kontak yang menjanjikan.
Akhirnya, Adoniram memutuskan untuk memindahkan pusat misinya ke Ava. Pada Januari 1824, dia tiba di kota itu, membangun sebuah rumah kecil di pinggiran, memulai pelayanan baru, dan melanjutkan pekerjaannya menerjemahkan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Burma.
Iblis tentu tidak akan melepaskan cengkeramannya begitu saja. Pada 8 Juni 1824, Adoniram tiba-tiba ditangkap dan dibawa ke Penjara Let-may-yoon yang terkenal karena kekejamannya. Dia dipenjarakan di tempat yang hina dan tidak manusiawi, dipaksa menanggung penghinaan yang memilukan, serta menderita penyakit, siksaan, dan kelaparan yang berkepanjangan. Andai bukan karena kesetiaan dan keteguhan hati istrinya, Ann, kemungkinan besar Adoniram tidak akan bertahan. Setiap hari, Ann datang membawakan makanan, memohon kepada kepala penjara yang kejam agar Adoniram diizinkan berteduh di bawah naungan sederhana -- apa pun yang dapat melindunginya dari terik matahari.
Berkali-kali bayang-bayang maut mendekat, tetapi kasih Kristus terus menopangnya. Penahanan ini tampaknya dipicu oleh ketegangan yang meningkat antara Burma dan Inggris; pihak berwenang mencurigai Judson sebagai agen dari Kerajaan Inggris. Di tengah derita yang membelenggunya, Judson kerap terdengar melafalkan bait-bait puisi dari Madame Guyon:
Tiada tempat yang kulihat, selain untuk kutapaki,
Dalam hidup dan mati, demi kehendak-Mu nan suci.
Tak kudamba pertolongan di tengah duka dan nestapa,
Kecuali yang Kau limpahkan, jika berkenan adanya.
Selama masa penahanan itu, Ann tak henti-hentinya mengajukan permohonan kepada berbagai pejabat istana, berharap bisa membebaskan suaminya — namun semua usahanya menemui jalan buntu. Pada 26 Januari 1825, di tengah kondisi yang melelahkan secara fisik dan emosional, Ann melahirkan seorang putri, yang mereka beri nama Marie Elizabeth Butterworth Judson. Dibutuhkan waktu dua puluh hari baginya untuk cukup pulih dari persalinan, hingga akhirnya dia dapat membawa bayi itu ke penjara agar Adoniram bisa melihat anak mereka.
Judson, yang dirantai dan masih dalam kondisi lemah, melihat Ann berdiri di ambang pintu penjara karena dia tidak pernah diizinkan masuk. Di pelukan ibunya, bayi mungil bermata biru itu menangis lirih. Dengan sisa-sisa tenaganya, Adoniram merangkak menuju pintu penjara demi menyambut mereka.
Dalam keharuan yang mendalam itu, Adoniram menggubah sebuah puisi yang indah. Dari empat belas bait yang dia tulis, berikut ini beberapa cuplikannya:
Tidurlah, wahai bayi manisku,
Berbaring tenang di dada ibumu;
Jangan biarkan denting rantai yang bengis
Mengusik lelapmu yang lembut dan manis.
Tidurlah, wahai buah hatiku,
Berbahagialah kau tak tahu
Pedih yang mencabik hati ayah bundamu,
Luka duka yang menusuk terlalu.
Tidurlah, wahai malaikat kecilku,
Semoga Surga curahkan restunya padamu;
Dengan limpah yang halus dan manja,
Membelai kepalamu yang belum mengenal dunia.
Mengapa membuka matamu yang bening?
Apa gerangan yang ingin kau tatap pagi ini?
Wajah ibumu yang tertunduk pilu?
Atau ayahmu yang remuk menahan rindu?
Demi melindungi naskah-naskah berharga terjemahan Perjanjian Baru dalam bahasa Burma, Ann menyembunyikannya di dalam sebuah bantal. Namun tak lama kemudian, bantal itu diambil oleh sipir penjara. Melalui upaya yang hati-hati dan penuh keberanian, Ann berhasil menukarnya dengan bantal lain yang lebih baik tanpa menimbulkan kecurigaan sehingga naskah-naskah penting itu tetap aman.
Pada 2 Mei 1825, Judson tiba-tiba dipindahkan dengan tergesa-gesa dari penjara maut ke penjara lain di Oung-pen-la, sekitar delapan mil jauhnya. Dalam kepanikan, bantal berisi naskah itu ikut tertinggal dan dibuang oleh pihak penjara. Beruntung, seorang pelayan setia keluarga Judson menemukannya. Dia membawa pulang bantal itu dan menguburnya di dekat rumah mereka, menjaganya dengan penuh rahasia hingga Judson akhirnya dibebaskan. Dengan cara yang sungguh tak terduga, naskah-naskah terjemahan Perjanjian Baru yang sangat berharga itu pun terselamatkan.
Penjara kedua, jika mungkin dibandingkan, bahkan lebih mengerikan daripada yang pertama. Untuk beberapa waktu, Adoniram dikurung di sebuah kandang sempit -- bekas kandang singa -- yang terlalu rendah untuk berdiri dan terlalu sempit untuk berbaring dengan nyaman. Dia menjalani enam bulan yang menyiksa di tempat itu, dan selama itu, Ann dan putri mereka, Maria, menderita sakit parah.
Namun, hidup Judson tetap terjaga berkat keteguhan Ann, yang tak lelah mengemis makanan demi memberi sedikit gizi bagi suaminya. Akhirnya, pada November 1825, Adoniram dikeluarkan dari penjara dan, di bawah pengawalan, dikirim ke markas militer Burma untuk membantu sebagai penerjemah dalam perundingan damai dengan pihak Inggris.
Sekembalinya ke Ava, Adoniram menemukan Ann dan bayi mereka dalam kondisi yang sangat lemah. Dengan perawatan penuh kasih yang diberikannya, kesehatan keduanya perlahan membaik, dan tak lama kemudian mereka dapat kembali ke Rangoon.
Adoniram Judson memiliki dua tujuan besar dalam hidupnya: pertama, menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Burma; dan kedua, hidup cukup lama untuk menyaksikan seratus orang Burma berbalik kepada Kristus. Seperti telah disinggung sebelumnya, butuh enam tahun pelayanan yang panjang dan melelahkan sebelum satu jiwa Burma pertama menerima Injil. Namun, saat Judson meninggal dunia, buah dari pelayanannya telah melampaui semua harapan: tercatat 63 gereja lokal telah berdiri, dan lebih dari 7.000 orang telah menyerahkan hidupnya kepada Kristus.
Di antara suku Karen — salah satu kelompok etnis utama di wilayah itu terdapat 800 gereja dan sekitar 150.000 orang percaya. Suatu pencapaian yang mencerminkan kuasa Injil dan ketekunan yang tak tergoyahkan.
Selama bertahun-tahun, berkat pengaruh besar Luther Rice -- yang meskipun tidak pernah kembali ke ladang misi, tetapi giat mewakili pelayanan di Amerika -- gelombang demi gelombang misionaris baru mulai berdatangan untuk mengambil bagian dalam berbagai aspek pelayanan di Burma. Salah satu pasangan yang menonjol di antara mereka adalah George dan Sarah Boardman. Bersama sejumlah rekan misionaris lainnya, mereka mengarahkan perhatian mereka pada komunitas suku-suku pedalaman, terutama suku Karen -- kelompok etnis yang pada waktu itu sebagian besar masih memegang kepercayaan animisme dan tradisi pagan.
Salah satu misionaris lainnya adalah Elisha L. Abbott, yang dikenal luas sebagai perintis kebijakan gereja pribumi. Dia tiba di Burma sekitar tahun 1837 dan merupakan rekan sezaman Adoniram Judson. Yang membedakan Abbott secara khusus adalah visinya tentang kemandirian gereja: dia percaya bahwa jemaat lokal harus mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri, baik secara rohani maupun finansial. Abbott menjadi alat di tangan Tuhan untuk mendirikan 50 gereja dan membawa ribuan jiwa kepada Kristus. Moto pelayanannya sangat jelas: "Dukungan Amerika untuk orang Amerika; dukungan Karen untuk orang Karen."
Suatu ketika, seorang misionaris berhasil menggalang dana tambahan sebesar $5.000 untuk pelayanan di Burma, tetapi Abbott menolaknya. Dia bahkan dua kali mengembalikan sebagian besar sumbangan tersebut ke Amerika karena dia meyakini bahwa ketergantungan finansial justru akan melemahkan semangat kemandirian gereja-gereja lokal. Meski demikian, kebijakan pribumi ini tidak mendapat dukungan dari American Baptist Missionary Union. Bahkan, Adoniram Judson sendiri, yang kala itu sudah berusia lanjut, merasa keberatan. Dia khawatir prinsip itu dapat disalahartikan sebagai pembenaran atas filosofi "keselamatan melalui perbuatan baik" yang dianut dalam ajaran Buddha.
Kini, jika kita menengok kembali jejak sejarah pelayanan tersebut, muncul satu pertanyaan: mungkinkah pertumbuhan yang pesat dan berkelanjutan di antara komunitas suku-suku asli -- yang masih berlangsung hingga hari ini -- adalah buah dari prinsip-prinsip kemandirian gereja yang dirintis oleh Abbott? Sebaliknya, di kalangan bangsa Burma itu sendiri, hampir tidak ada gereja beraliran Fundamentalis yang dapat ditelusuri langsung ke pelayanan Adoniram Judson.
Adoniram meninggalkan Ann dan bayi mereka, Maria, di sebuah lokasi yang lebih sehat, sementara dia sendiri dipanggil kembali ke markas Inggris untuk bertugas sebagai penerjemah dalam perundingan damai yang tengah berlangsung antara Inggris dan Burma. Tak lama kemudian, pada 14 Oktober 1826, Ann meninggal dunia di Amhurst, sebuah pemukiman Inggris, dalam usia 37 tahun. Adoniram baru menerima kabar duka itu sebulan setelahnya. Maria, yang masih balita, diasuh oleh beberapa rekan misionaris. Namun kesehatannya pun menurun, dan sekitar enam bulan kemudian, anak itu meninggal dunia pada usia 27 bulan dan dimakamkan di samping ibunya. Dua kehilangan itu menorehkan luka dalam kehidupan Judson.
Dalam empat belas tahun pertama masa pelayanannya, istri Judson dan semua anak mereka telah meninggal dunia. Hal ini membuat Adoniram merasakan duka yang mendalam dan mulai bertanya-tanya: apakah dia membawa kematian ke mana pun dia pergi, seperti sebuah wabah yang tak terlihat? Segalanya bermula dengan Harriett Newell dan bayinya; kemudian suaminya, Samuel Newell, yang meninggal beberapa tahun kemudian di Bombay; lalu putra Judson sendiri, Roger; istrinya, Ann; dan kini, putri kecilnya, Maria.
Judson percaya bahwa dirinya membawa karunia hidup yang kekal bagi dunia ini -- tetapi mengapa justru jejaknya tampak seperti membawa kematian? Dan jika mereka yang telah pergi itu kini berada dalam kebahagiaan abadi, mengapa dia masih begitu larut dalam kesedihan? Lama-kelamaan, muncul kecurigaan dalam hatinya: jangan-jangan motif terdalamnya untuk menjadi misionaris bukanlah kerendahan hati dan pengorbanan diri, melainkan ambisi. Ambisi untuk menjadi yang pertama -- misionaris asing Amerika pertama, orang pertama yang membawa Injil ke Burma, penerjemah pertama Alkitab ke dalam bahasa Burma -- yang pertama di matanya sendiri, dan di mata manusia. Dia menyadari, dalam diam, bahwa dia telah memiliki keinginan untuk unggul.
Menjelang akhir Oktober 1828, Adoniram membangun sebuah gubuk kecil di tengah hutan, agak terpencil dari rumah misi, dan menamainya "Pertapaan". Lokasinya berada di kawasan liar yang berbahaya -- dikenal sebagai wilayah yang sering dilalui harimau. Dia pindah ke tempat sunyi itu pada 24 Oktober, tepat dua tahun sejak kepergian istrinya, Nancy. Dalam catatannya, dia menulis:
"Malam itu penuh badai, dan keheningan di sekelilingku seolah mencerminkan kekosongan dalam batinku sendiri -- tempat duka atas kepergian kekasih berpadu dengan kepedihan atas dosaku sendiri. Air mataku mengalir -- untuk makam yang kutinggalkan, dan untuk kuburan busuk dalam jiwaku sendiri."
Dia bahkan menggali sebuah lubang kubur di dekat gubuknya, dan duduk di sampingnya selama berhari-hari -- merenungkan secara sengaja proses pembusukan tubuh manusia sedetail dan sejujur mungkin. Di berharap, melalui kontemplasi yang keras dan terasing itu, dia dapat melampaui segala hasrat duniawi dan mendekat pada kemurnian ilahi.
Dalam masa yang kelam, penuh depresi, penyendirian, dan penyangkalan diri ini, Judson kerap berjalan jauh melewati perbukitan di belakang Pertapaan, menjelajah semakin dalam ke hutan yang sama berbahayanya. Di sana, di dekat sebuah pagoda tua yang telah lama ditinggalkan, dia menemukan tempat sunyi yang cocok untuk jiwanya. Hari-harinya dia habiskan untuk membaca, merenung, dan berdoa. Setiap malam, dia kembali ke Pertapaan.
Adoniram menghabiskan empat puluh hari penuh dalam keheningan di tempat itu. Satu-satunya makanannya hanyalah sedikit nasi setiap hari. Mungkin inilah titik terdalam dan paling sunyi dari pencariannya -- sebuah pergumulan diam untuk mendapatkan satu tanda bahwa Tuhan benar-benar telah mengampuninya.
Yang tampaknya membebaskan Judson dari tiga tahun masa depresi beratnya adalah kabar tentang adik laki-lakinya, Elnathan -- bahwa sebelum meninggal, Elnathan telah menyatakan imannya kepada Kristus. Selama ini, hal itu menjadi beban berat dalam hati Adoniram. Maka ketika dia mengetahui bahwa sang adik telah berdamai dengan Allah, hatinya dipenuhi sukacita dan kelegaan yang mendalam.
Setelah itu, Adoniram kembali mencurahkan seluruh hidupnya untuk menyelesaikan penerjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Burma.
Pada tahun 1833, dia menulis kepada sekretaris Dewan Baptis, menanggapi tren pelayanan misionaris jangka pendek:
"Ada yang datang ke ladang misi hanya untuk beberapa tahun, sekadar mengumpulkan 'modal kredit' agar kelak bisa hidup nyaman di tanah air mereka. Padahal, motto setiap misionaris -- baik dia pengkhotbah, pencetak, atau guru -- seharusnya adalah: diabdikan seumur hidup."
Dalam kesempatan lain, dia menulis dengan ketegasan yang sama:
"Merupakan kesalahan besar jika kita mengira bahwa orang-orang yang belum percaya cukup dilayani oleh mereka yang biasa-biasa saja. Justru mereka yang paling membutuhkan, layak mendapat yang terbaik dari kita. Allah memberikan yang terbaik -- Anak-Nya yang tunggal -- untuk menebus dunia yang terhilang. Kekristenan akan berkembang melintasi bumi dengan langkah panjang dan cepat, ketika gereja-gereja bersedia mengutus orang-orang terbaik mereka, dan ketika orang-orang terbaik siap untuk pergi."
Pada April 1834, hampir delapan tahun setelah kematian Ann, Adoniram menikah lagi -- kali ini dengan Sarah Boardman, janda dari sesama misionaris yang telah meninggal sekitar tiga tahun sebelumnya. Tidak seperti kebanyakan janda misionaris yang memilih kembali ke tanah air setelah ditinggal pasangan, Sarah tetap tinggal di Burma dan setia melanjutkan pelayanan misi. Dia menjadi istri yang penuh kasih, sekaligus pendukung setia bagi Adoniram, dan dari pernikahan ini mereka dikaruniai beberapa anak.
Pada 26 September 1835, Judson menyelesaikan terjemahan Perjanjian Lama. Sebulan kemudian, dia membaptis anggota ke-100 dari jemaat Kristen Burma. Maka, tercapailah dua cita-cita besar yang selama bertahun-tahun menjadi isi doanya: menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Burma dan menyaksikan berdirinya sebuah gereja dengan seratus orang percaya dari kalangan Burma.
Namun, kesehatan Sarah perlahan memburuk. Demi pengobatan, Adoniram memutuskan untuk membawanya ke Amerika. Di tengah perjalanan, Sarah meninggal dunia di Pulau St. Helena dan dimakamkan di sana. Judson melanjutkan pelayaran seorang diri menuju Amerika -- ini adalah masa cuti pertamanya setelah 33 tahun melayani tanpa henti.
Setibanya di tanah kelahiran, dia disambut sebagai pahlawan iman. Gereja-gereja berebut ingin mendengar kisahnya. Di Amerika, Judson bertemu dan jatuh cinta pada seorang jurnalis muda bernama Emily Chubbuck. Hubungan mereka menuai banyak kritik: Emily hampir setengah usia Judson, dan mereka belum lama saling mengenal. Namun, Adoniram mengabaikan semua komentar miring itu. Mereka menikah pada Juni 1846 dan berlayar kembali ke Burma pada bulan berikutnya.
Adoniram meyakini bahwa dirinya tak akan pernah kembali melihat tanah kelahirannya. Dan meskipun hatinya diliputi kesedihan, tidak ada penyesalan di dalam dirinya. Dia masih merasa seperti dirinya yang dulu -- Adoniram Judson tahun 1812. Dia masih sanggup bekerja, masih mampu mengasihi, dan masih menatap masa depan dengan keyakinan, bahkan dengan sukacita.
Di ladang misi maupun di tanah air, hanya satu tema besar yang terus dia usung: kasih Kristus.
Pada musim semi tahun 1850, kesehatannya memburuk dengan cepat. Dia percaya bahwa perjalanan laut yang panjang mungkin bisa memulihkannya. Maka, pada 3 April 1850, dia berlayar bersama seorang rekan misionaris, Thomas Ranney. Delapan hari setelah pelayaran dimulai, Adoniram Judson meninggal dunia di tengah lautan. Sesuai dengan permintaannya, tubuhnya dikuburkan di laut, di perairan Teluk Benggala. Dia mengembuskan napas terakhir dengan kata-kata berikut terucap di bibirnya:
Kasih Kristus
Tiada batas dalam luasnya,
Tak berujung dalam panjangnya,
Tak terselami dalamnya,
Dan tak terukur tingginya.
Di padang tandus ini, biarlah aku bekerja,
Di atas gunung-gunung, biarlah kuberitakan:
Bagaimana Dia mati -- Sang Juru Selamat mulia,
Untuk menebus dunia dari neraka.
Saat ini, di pintu masuk Judson Chapel di First Baptist Church of Malden, Massachusetts, terdapat sebuah lempengan marmer dengan tulisan berikut:
DALAM KENANGAN
Pendeta Adoniram Judson
Lahir: 9 Agustus 1788
Wafat: 12 April 1850
Malden, tempat ia dilahirkan.
Lautan, tempat ia dibaringkan.
Orang Burma yang telah percaya, dan
Alkitab dalam bahasa Burma
Itulah monumennya.
Catatannya tersimpan di tempat yang Maha Tinggi.
(t/Jing-jing)
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Gospel Fellowship Association Missions |
Alamat artikel | : | https://gfamissions.org/adoniram-judson/ |
Judul asli artikel | : | 1788-1850 Adoniram Judson |
Penulis artikel | : | Tim Gospel Fellowship Association Missions |
- Login to post comments
- 11 reads