6. SI PENGGALI TUA MENAMBANG EMAS
(Amerika Serikat, abad ke-20)
Gunung-gunung menjulang tinggi di atas gubuk tempat tinggal
Jan, si penggali tua. Pada musim dingin, salju bertumpuk-tumpuk di
mana-mana dan angin kencang melolong di sepanjang ngarai, menerjang
dahan-dahan pohon cemara.
Penggali tua itu mungkin pergi menambang pada musim dingin.
Selama ada tumpukan salju di mana-mana, Jan suka duduk di rumah dan
mengenang negeri Finlandia, tempat ia lahir dan dibesarkan. Ia
teringat akan sinar matahari yang dulu berkilauan dan pada salju
yang putih bersih. Ia juga teringat akan anak-anak yang dulu
berkilauan pada salju yang putih bersih. Ia juga teringat akan
anak-anak yang dulu memakai ski pada kaki mereka sambil meluncur
kencang pada lereng curam yang berlapis salju.
Ya, pada malam-malam yang gelap selama musim dingin, Jan suka
mengenang rumah orang tuanya dulu di Filandia. Dengan menutup
matanya, ia dapat membayangkan sosok ayahnya yang gagah serta ibunya
yang manis; mereka duduk di dekat tempat perapian, dengan anak-anak
mereka berkumpul di sekelilingnya. Hampir-hampir Jan dapat mendengar
suara ayahnya yang rendah dan empuk sedang membacakan Alkitab milik
pusaka keluarganya.
Pada saat-saat lamunannya seperti itu, Jan suka bangun dari
kursinya pergi ke sebuah peti, dan membuka tutupnya. Dari dalam peti
itu ia mengeluarkan satu-satunya harta miliknya: Sebuah Alkitab besar
dalam bahasa Filandia, yang telah dihadiahkan oleh ayahnya dulu pada
hari ia berangkat dari rumahnya menuju ke Amerika.
Di bawah sinar yang remang-remang dari sebuah lampu minyak
tanah, Jan menelusuri kata-kata Kitab Suci. Jari-jarinya yang sudah
kisut itu mengikuti baris-baris cetakan pada halaman Alkitabnya.
Sesungguhnya para tokoh Alkitab itu sudah menjadi teman-teman
bagi Jan dalam gubuknya yang sepi. Ia suka membaca dengan keras,
dalam bahasa Filandia yang masih dicintainya sejak masa kecilnya
dulu. Ada kalanya ia membaca ajaran-ajaran Tuhan Yesus, ada kalanya
pengalaman-pengalaman Rasul Paulus yang menggemparkan. Ada kalanya ia
membaca puisi yang luhur dari Kitab Mazmur, ada kalanya kisah-kisah
kepahlawanan dari zaman Perjanjian Lama.
Jan tidak pernah pergi ke gereja. Namun ia setia membaca
Alkitabnya. Dan ia pun berdoa dengan cara yang telah diajarkan oleh
ibunya, berpuluh-puluh tahun sebelumnya.
Hidupnya serba sederhana. Jan tidak mau bekerja pada suatu
perusahaan pertambangan yang besar. Ia lebih suka pergi mencari
nafkah sendirian ke gunung, menggali-gali tanah dengan harapan dapat
menambang cukup banyak logam berharga. Kadang-kadang ia menemukan
sedikit bijih tembaga, kadang-kadang sedikit bijih perak. Hasil
penjualan apa yang digalingnya itu hanya sekedar untuk menyambung
hidupnya. Ia belum pernah berhasil menjadi seoran kaya dengan
menambang emas.
Namun Jan merasa puas. Ia bersifat jujur dan baik hati dalam
segala perbuatannya. Dan ia selalu rela menolong tetangga-tetangganya.
Pada suatu hari, ketika Jan sedang menggali di dalam ngarai
yang jauh dari tempat tinggalnya, gubuknya itu kebakaran. Tidak ada
seorang yang sempat memadamkannya; bahkan tidak ada seorang pun yang
tahu.
Pada saat Jan kembali dengan menuntun keledainya yang kecil,
ia berdiri terpana. Gubuknya musnah! Yang tertinggal hanyalah
tumpukan kecil arang dan abu. Barang-barang miliknya memang hanya
sedikit, namun tidak ada satu pun yang tersisa.
Mula-mula Jan melongo saja, tidak percaya. Lalu ia berlari
menuju tumpukan arang yang masih mengepulkan asap itu. Petinya!
Mungkin petinya masih terluput dari nyala api.
Akan teapi . . . tidak demikian. Petinya pun musnah dengan
semua isinya.
Air mata mulai meleleh di pipi Jan. Petinya pun musnah dengan
semua isinya karena gubuknya musnah: Ia sendiri dapat membangun sebuah
rumah yang baru. Bukan pula karena selimutnya dan pancinya dan
piringnya habis ditelan api: Ia dapat membelinya lagi, karena ia
masih mempunyai uang tabungan di bank desa di lembah yang tiga
kilometer jauhnya itu.
Bukan! Jan menangis karena satu-satunya harta miliknya
musnah: Alkitabnya dalam bahasa Filandia.
Tidak ada orang Amerika yang berbahasa Filandia. Tidak ada
toko di Amerika yang menjual buku dalam bahasa Filandia. Alkitab
yang sudah musnah tak mungkin dapat diganti.
Jan memang berhasil membangun sebuah gubuk baru. Tetapi ia
tidak jadi pergi membeli perlengkapannya. Banyak tetangganya sudah
lama mengenal dan mengasihi penggali tua itu. Merekalah yang
berdatangan, membawa serta selimut dan panci dan piring, serta meja
dan kursi yang kasar; mereka bahkan membawa sebuah tungku api dan
sebuah lampu minyak tanah.
"Mengapa tidak?" kata mereka satu kepada yang lain. "Pak Jan
sudah menghabiskan masa hidupnya di daerah ini dengan berbuat baik.
Coba ingat, berapa kali ia pergi membantu orang yang terkurung dalam
rumahnya karena salju yang lebat, atau ia membelahkan kayu bakar bagi
orang yang sakit, ataupun ia membatu tetangganya dengan suatu tugas
yang terlalu berat untuk dikerjakan seorang diri."
Maka Jan membenahi rumahnya yang baru serta mulai hidup agak
sama seperti dulu. Tetapi ada sesuatu yang tidak sama seperti dulu.
Kalau salju mulai turun di musim dingin dan pikirannya menerawang
jauh ke masa kecilnya di Finlandia, ia tidak dapat lagi meraih
Alkitabnya. Menyalakan lampu juga percuma saja: Tidak ada Alkitab
yang dapat dibacanya.
"Na, na, terlalu sulit aku baca bahasa Inggris," Jan
menjelaskan kepada penduduk desa di lembah itu yang ingin membelikan
sebuah Alkitab baru baginya. "Ya, ya, terlalu banyak kata aku tidak
tahu apa artinya. Tidak sama. Sama sekali tidak sama. Hanya dalam
bahasa Filandia Alkitab dapat berkata-kata dalam lubuk hatiku. Dan
Filandia kan jauh sekali di seberang. Tak mungkin aku pergi ke sana
beli Alkitab baru."
Tiap kali Jan turun ke desa di lembah itu untuk membeli
bekal, ia selalu mampir di rumah keluarga Blake. Si Clara Blake
menjadi kesayangannya di antara semua anak kecil di desa itu.
Pada suatu hari, ketika Jan sedang menambat keledainya di
depan rumah keluarga Blake. Si Clara keluar sambil menari-nari
kegirangan. "Pak Jan! Pak Jan! Rasanya aku tahu dari mana Pak Jan
bisa mendapat Alkitab bahasa Filandia!" serunya. "Nih, coba lihat! Aku
diberi ini di Sekolah Minggu."
Si Clara menggenggam sebuah lembaran. "Nih lihat!" katanya
dengan penuh semangat. "Ada ayat Alkitab, dicetak dalam macam-macam
bahasa."
Jan meraih lembaran itu. Betul, ada banyak bahasa yang
dipaparkan di situ.
Si Clara bersandar pada sisi Jan sambil menuding pada halaman
kecil itu dengan telunjuknya. "Bahasa Tionghoa," bacanya. "Bahasa
Jepang. Bahasa Belanda. Bahasa Italia." Mereka berdua terus
menyelidiki isi lembaran itu.
"Ah!" Tiba-tiba Jan bernapas panjang. "Ini dia! Ini dia!"
Ia sudah menemukan ayat itu yang tercetak dalam bahasa
Filandia. Berkali-kali Jan membaca ulang kata-kata itu, yang sejak
dahulu masih diingatnya baik-baik. Dalam bahasa ibunya, kata-kata itu
(yang kelihatannya aneh-aneh pada mata si Clara) menyatakan berita
yang indah, sama seperti Yohanes 3:16 dalam bahasa apa saja:
"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia
telah mengaruniakan AnakNya yang tungal, supaya setiap orang yang
percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal."
"Sama!" kata Jan; mukanya berseri-seri. "Persis sama seperti
dalam Alkitabku dulu!"
Lalu senyumannya itu pudar. "Tapi cuma satu ayat. Memang
indah, tapi cuma satu ayat."
Clara membalik lembaran itu. "Pak Jan, mari kita menulis
surat ke alamat ini," usulnya. "Mungkin di sana ada Alkitab lengkap
dalam bahasa Filandia."
Ibu si Clara yang menuliskan surat itu untuk Jan. Tetapi si
Clara sendirilah yang rajin memeriksa kotak pos. Hari demi hari ia
meneliti tiap surat yang masuk.
Akhirnya ada surat yang datang dengan "Lembaga Alkitab
Amerika, New York" sebagai alamat si pengirim. Surat itu disimpan
baik-baik untuk Jan. "Mengapa Pak Jan tidak datang-datang?" tanya si
Clara hari demi hari.
Setelah lewat hampir satu minggu, Baru Jan muncul kembali.
Seluruh keluarga Blake berdiri disampingnya ketika si penggali tua
itu membuka suratnya.
Betul, katanya, sebuah Alkitab dalam bahasa Filandia dapat
dipesan, demikianlah pemberitahuan dalam surat itu. Terlampir juga
penjelasan tentang harga, dan tentang cara mengirim pesanan.
Keesokan harinya, sepucuk surat balasan sudah dikirim ke kota
New York, dan sebuah poswesel sudah dibeli di kantor pos desa.
Tidak lama kemudian, tibalah sebuah pospaket untuk Jan. Pak
dan Ibu Blake, si Clara, dan semua tetangga mereka berkumpul untuk
melihat penggali tua membuka pospaketnya itu. Tangannya yang sudah
kisut itu terlihat masih kuat pada saat ia memutuskan tali
pospaketnya dan menyobek bungkusannya. Lalu ia pun mulai membuka dos
kecil yang ada di dalamnya. Si Clara menahan napas.
Ah! Ada harta di dalam dos itu: Seluruh Firman Tuhan dalam
bahasa Filandia.
Tangan Jan gemetar sedikit ketika ia mengangkat Buku itu dari
dosnya. Dibukanya Kitab Mazmur, . . . lalu Injil Matius, . . . lalu
Kisah Para Rasul.
"Sama! Persis sama! Semuanya sama!" bisiknya.
Lalu ia melihat ke sekelilingnya. Wajah-wajah para
tetangganya berseri-seri semuanya. "Sepanjang umur, aku ingin
menambang emas," kata Jan. "Kalau dapat menggali emas, aku jadi
kaya." Lalu senyumannya menjadi lebih lebar lagi. "Nah, ini dia! Aku
sudah menambang emas! Harganya lebih dari apa saja yang dapat kugali
di lereng gunung sana!"
Dibungkusnya kembali hartanya itu! Dimuatnya pada punggung
keledai kecilnya, bersama dengan semua bekal yang baru dibelinya.
Clara Blake dan orang tuanya melihat si penggali tua itu
mendaki jalan yang sempit. Pelan-pelan ia menuju gubuknya yang sepi,
di ngarai di balik bukit.
Pada malam itu, mereka tahu bahwa Jan pasti akan menyalakan
lampunya. Ia akan merapatkan kursinya ke meja. Dan ia akan meletakkan
hartanya yang baru di atas meja. Jari-jarinya akan mengikuti baris
demi baris dari pasal-pasal kesayangannya. Dan si penggali tua itu
dengan senang hati akan membaca dengan keras kata-kata indah itu yang
dikiranya sudah kehilangan selamanya dari pandangan matanya.
TAMAT