19. "FIRMAN TUHAN ITU PEDANGKU!"
(Selandia Baru, abad ke-19)
Dahulu kala di negeri Selandia Baru, suku-suku Maori yang
galak itu menguasai daerah yang luas. Sering mereka menyerbu desa
orang lain. Dengan tombak dan pedang mereka suka membunuh para
penduduknya. Lalu mereka pulang ke desanya lagi dengan membawa serta
barang-barang rampasan mereka.
Pada abad yang lalu, Katu adalah putra dari seorang kepala
suku yang paling galak di kalangan orang Maori itu. Namun Katu tidak
bersifat tinggi hati. Ia rela saja bersahabat dengan si Ripahia,
budak milik ayahnya. Bersama-sama kedua anak laki-laki itu suka pergi
berburu di daerah pegunungan. Malam-malam mereka suka berbaring di
depan api unggun, dan sebelum tidur mereka menatapi langit indah yang
bertaburan bintang.
Lalu persahabatan yang sangat menyenangkan itu untuk
sementara waktu terputus. Si Ripahia dipinjamkan kepada paman Katu.
Pamannya itu harus berjalan kaki sejauh seribu kilometer, karena ada
urusan penting di Paihia, sebuah desa besar. Ia memerlukan seorang
budak muda untuk melayani dia selama dalam perjalanan itu.
Malam-malam si Katu sering merindukan sahabatnya. Sambil
memandang jauh lewat pintu gubuknya yang dibiarkan terbuka agar ia
dapat menatap bintang-bintang di langit, ia pun bertanya-tanya dalam
hati: Kira-kira si Ripahia sedang apa sekarang? . . .
Sementara itu, si Ripahia sedang mengalami sesuatu yang tidak
terduga oleh temannya Katu. Bahkan si Ripahia sendiri pun tidak
menduga hal itu akan terjadi.
Ternyata urusan di desa Paihia itu memakan waktu yang cukup
lama. Sambil menunggu, paman Katu tidak mempunyai banyak tugas yang
harus dikerjakan oleh Ripahia. Maka seseorang mengusulkan: "Mengapa
tidak membiarkan budak muda itu bersekolah di sekolah misi? Pasti
kepala suku akan senang jika ia menerima kembali seorang budak yang
sudah pandai membaca dan menulis!"
Paman Katu setuju. Jadi, berbulan-bulan lamanya si Ripahia
belajar di sekolah misi. Hampir tak terbayangkan oleh anak laki-laki
itu, keuntungan apa yang akan didapatinya: Ia akan menjadi
satu-satunya orang dalam sukunya yang dapat menulis kata-kata di atas
kertas. Ia pun akan menjadi satu-satunya orang dalam sukunya yang
dapat membuka sebuah buku serta mengetahui pikiran orang lain yang
tertulis di dalamnya.
Akhirnya urusan di desa Paihia itu selesai. Baik Ripahia
maupun orang-orang lain dalam rombongan pendatang itu tidak sabar
lagi pulang ke kampung halaman mereka. Mereka berjalan kaki secepat
mungkin. Beratus-ratus kilometer jauhnya mereka terus menelusuri
jalan setapak, sampai pada suatu malam, saat matahari baru terbenam,
tibalah mereka di desa tempat asal mereka.
Penduduk setempat mengerumuni mereka. Semua orang
bersalam-salaman sambil saling bertanya, "Apa kabar?"
Setelah suara orang banyak itu agak mereda, paman Katu
menoleh ke arah kepala suku. "Hai saudaraku, . . . aku ini
mengembalikan kepadamu budak milikmu, si Ripahia. Ia telah melayani
diriku dengan baik. Namun aku menyerahkannya kembali dalam keadaan
yang lebih berharga daripada waktu ia berangkat dari sini. Selama
kami tinggal berbulan-bulan lamanya di Paihia, kami menyekolahkan
dia. Sekarang ia kami pulangkan kepadamu, hai saudaraku, dengan
kepala yang dibekali ilmu baru!"
Untuk sejenak semua orang diam sambil memandang Ripahia. Coba
bayangkan, seorang budak muda telah mendapat ilmu! Mereka
mengamat-amati dia, seolah-olah bertanya dalam hati apakah ilmu itu
telah mengubah rupanya atau telah menyebabkan kulitnya menjadi
berbelang-belang.
Si Ripahia sendiri hanya berdiri dengan tenang, sambil
tersenyum dengan caranya yang khas. Ia tahu bahwa seorang budak
hendaknya tidak memulai pembicaraan dengan para tuannya.
Seketika itu ia mulai dihujani dengan pertanyaan:
"Ilmu apa yang telah kaudapat itu?" tanya Katu, putra kepala
suku, "Ilmu menulis, misalnya?"
"Ya, aku telah belajar menulis," jawab Ripahia sambil
mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi.
"Bagaimana dengan ilmu membaca?" tanya saudara sepupu Katu
yang sebaya dengannya. "Dapatkah kau mengerti arti dari tanda-tanda
kecil yang dibuat di atas kertas itu?"
"Tentu," ujar Ripahia.
Banyak pertanyaan yang diajukan kepada anak muda itu! Bahkan
sang kepala suku sendiri menuntut agar budaknya menjawab beberapa
pertanyaan dengan jelas. Si Ripahia menarik napas panjang tanda lega
pada saat panglima perang tua yang bermuka masam itu akhirnya pergi,
puas dengan jawaban-jawaban yang diberikannya.
Kemudian, barulah ketiga anak muda itu sempat mengobrol
dengan leluasa. "Ajari kami menulis dan membaca!" Katu dan saudara
sepupunya menuntut.
"Boleh saja," jawab Ripahia. "Tetapi" Lalu ia sendiri
bermuka masam. "Bagaimana caranya? Tidak ada buku di sini, satu
halaman pun tidak ada. Bagaimana kalian dapat belajar membaca kalau
tidak ada bahan bacaan?"
Kini giliran Katu dan saudara sepupunya untuk bermuka masam.
"Kamu sajalah yang membuat tulisan. Dari tulisan itu kami dapat
belajar membaca."
Tetapi Ripahia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tahu! Aku
tahu!" serunya. Lalu dalam sekejap mata saja ia menghilang.
"Lho . . . ke mana dia?" tanya Ripahia.
Suadara sepupu Katu hanya dapat bergeleng saja.
Tidak lama setelah itu, Katu kembali lagi sambil
melambai-lambaikan suatu benda kecil di atas kepalanya. Kelihatannya
benda itu sudah usang betul; . . . kulit sampulnya kotor dan
halaman-halaman luarnya sobek-sobek.
"Ini dia!" seru Katu. "Nih, lihat ada buku. Dari buku ini
kami dapat belajar membaca. Nah ajari kami, Ripahia!"
"Nanti dulu, nanti dulu!" Dari sampulnya yang sobek-sobek ia
membaca dengan pelan: ```Kitab Injil Lukas.''' Lalu ia melongo ke
arah kedua temannya. "Sama dengan buku yang ada di sekolah misi! Dari
mana kau mendapat buku ini, Katu?"
Lalu Katu menceritakan suatu kejadian yang aneh. Ayahnya,
sang kepala suku itu, sudah berkali-kali memimpin pasukannya untuk
menyerbu desa orang lain. Sambil mengeluarkan teriakan perang yang
membuat bulu roma berdiri, mereka suka merampas, menyembelih, dan
memperkosa. Lalu mereka pulang, meninggalkan desa itu dalam keadaan
terbakar dan sepi, tak berpenghuni lagi.
"Suatu kali ketika mereka menyerbu," demikianlah Katu
melanjutkan ceritanya, "mereka membunuh banyak orang. Ayah menemukan
buku ini di tangan seorang gadis kecil yang sudah menjadi mayat. Ayah
membawa pulang buku ini, walau ia tidak mengerti gunanya. Menurut
dugaannya, benda ini mengandung kuasa kramat yang amat besar."
Ripahia membolakbalikkan buku kecil itu dalam kedua belah
tangannya. Untuk sejenak ia merasa kasihan terhadap gadis cilik itu
yang didengarnya tewas dalam keadaan tak berdosa. Namun peperangan
kesukuan sudah biasa di kalangan orang Maori, maka Ripahia tidak lama
melamun mengenai nasib buruk gadis itu.
Tetapi bukunya, . . . nah, ini sungguh menarik. Buku itu
memang dicetak dalam bahasa Maori, bahasa mereka sendiri.
"Memang boleh dipakai." kata Ripahia dengan nada puas.
"Kalian boleh menggunakan buku bacaan ini secara bergiliran."
Tetapi Katu dan saudara sepupunya sama sekali tidak mau
menunggu giliran. "Tidak, lebih baik kita membagikannya saja!" kata
mereka.
Maka Kitab Injil Lukas yang kecil, kotor, dan sudah sobek itu
menjadi lebih sobek lagi. Separuhnya jatuh ke dalam tangan Katu, dan
separuhnya lagi jatuh ke dalam tangan saudara sepupunya. Dan
selanjutnya Ripahia si budak berubah menjadi Ripahia sang guru.
Hari demi hari, minggu demi minggu, ketiga anak laki-laki itu
belajar bersama-sama. Sedikit demi sedikit Katu dan saudara sepupunya
dapat membaca kata-kata, kemudian kalimat-kalimat. Betapa senangnya
Katu ketika ia mula-mula dapat membaca sendiri sesuatu yang sungguh
dipahami olehnya!
Maka ketiga anak muda itu mulai berbincang-bincang tentang
hal-hal yang diutarakan dalam buku bacaan mereka. Mereka banyak
memikirkan Tuhan Yesus, yang pada masa silam berjalan-jalan di
Galilea dan di Yudea sambil mengajar dan menyembuhkan serta menolong
banyak orang.
"Apa arti ajaran ini, Ripahia?" Katu suka bertanya.
Sering terjadi bahwa Ripahia sama bingungnya dengan kedua
muridnya itu. "Maaf, aku kurang tahu. Kata-kata itu memang sangat
aneh." Dan ketiga-tiganya berunding terus sambil bertukar pikiran dan
berbantah-bantah.
Ya, banyak yang tidak sanggup mereka mengerti. Namun ada satu
hal yang sangat jelas. Ketiga-tiganya mulai mengasihi Tuhan Yesus.
Bahkan mereka rindu menjadi pengikut-Nya.
"Ah! Seandainya kita hidup dahulu kala, ketika ia masih
tinggal di bumi ini," Katu suka berkata sambil mendesah. "Coba
bayangkan, Ripahia! Kita dapat mengikuti Dia dari tempat yang satu ke
tempat yang lain. Kita dapat mengenali wajah-Nya, dapat mendengar
suara-Nya. Kepada-Nya kita dapat menanyakan kata-kata itu yang
kurang jelas."
Ripahia sedang berpikir. "Di sana, di Paihia, ada
utusan-utusan Injil," katanya. "Mereka punya pengertian.
Kadang-kadang mereka mengirim guru-guru untuk menjelaskan kata-kata
yang sulit itu."
"Mari kita pergi minta seorang guru," demikian Katu
memutuskan dengan segera.
Sang kepaka suku merestui rencana perjalanan putranya itu.
Maka katu dan saudara sepupunya berangkat, menelusuri jalan setapak
sejauh seribu kilometer yang dulu telah ditempuh oleh Ripahia.
Setiba mereka di Paihia, mereka menghadap seorang utusan
Injil. "Kami telah datang untuk minta seorang guru," kata mereka
dengan polos. Lalu mereka mulai bercerita tentang si Ripahia yang
telah pulang dengan ilmu tetapi tanpa buku, tentang Kitab Injil Lukas
yang kecil itu yang telah menjadi buku bacaan mereka, tentang hati
mereka masing-masing yang telah tertambat oleh keindahan Firman
Tuhan.
"Sudilah Bapak mengirim seorang guru kepada kami," mereka
mendesak.
Utusan Injil itu sungguh tertarik. Namun Ia menjawab:
"Pulanglah dulu, anak-anak. Aku akan menyusul ke sana, walau itu
tidak dapat segera aku lakukan. Namun aku berjanji: Aku sendiri pasti
akan mengunjungi kalian, atau aku akan mengirim orang lain."
Katu dan saudara sepupunya lalu pulang lagi. Mereka
memberitahu Ripahia tentang semua yang telah mereka lihat, dengar,
dan lakukan.
"Nah, sebaiknya kita mendirikan sebuah tempat ibadah yang
kecil," kata Katu lebih lanjut. "Mirip dengan gedung gereja yang ada
di Paihia. Jadi, pada waktu utusan Injil itu datang kelak, ia sudah
akan mempunyai suatu tempat yang cocok sebagai pusat pengajaran."
Kepala suku setuju dengan gagasan putranya. Tidak lama
kemudian, sebuah tempat ibadah yang kecil dan sederhana berdiri di
desa itu. Di dalamnya Katu dan saudara sepupunya dan Ripahia suka
mengumpulkan anak-anak desa dan bahkan kadang-kadang kaum dewasa
juga agar mereka dapat mendengar pembacaan Berita Baik tentang kasih
Tuhan. Dengan sekuat tenaga dan pikiran mereka, ketiga anak muda itu
berusaha menjelaskan isi Firman Allah.
Pada suatu hari yang indah, utusan Injil itu memang memenuhi
janjinya. Ia datang, ditemani oleh beberapa pembantunya. Sang kepala
suku menyonsong mereka dengan penuh kehormatan, serta memberi mereka
tempat penginapan yang pantas.
Lama sekali utusan Injil itu berbicara dari hati ke hati
dengan Ripahia, Katu, dan saudara sepupunya. Akhirnya yakinlah dia
bahwa ketiga anak muda itu sudah bertekad untuk menjadi pengikut
Tuhan Yesus. Maka ia membaptiskan mereka di tempat ibadah kecil yang
telah mereka sediakan.
Ia pun memberi mereka beberapa salinan dari seluruh Kitab
Perjanjian Baru dalam bahasa Maori, dengan penjelasan tentang
bagaimana mengajarkan isinya. Lalu dengan tantangan agar mereka terus
berlaku setia kepada Tuhan Yesus, utusan Injil beserta rombongannya
itu berangkat lagi.
Kemudian muncullah dalam benak Katu dan saudaranya serta
kawannya itu suatu pikiran baru: "Hal-hal yang begitu indah bagi
kita, haruslah kita sampaikan kepada orang-orang lain pula!" Maka
mereka berusaha mendapatkan lebih banyak lagi Kitab Perjanjian Baru
dalam bahasa Maori. Dengan membawa serta sebanyak mungkin salinan
Firman Tuhan itu, mereka bertiga mulai pergi mengunjungi desa-desa
lain.
Ternyata ada penduduk desa-desa itu yang kurang senang atas ke
datangan mereka. "Tidakkah kau takut datang ke mari?" tanya mereka
dengan muka yang masam. "Lihat ke sana! Dulu ada desa yang makmur di
sana. Tetapi yang tinggal sekarang, hanya abunya saja. ayahmulah yang
mengerjakan kejahatan itu, hai Katu!"
Tetapi Katu hanya tersenyum saja. "Masa kejahatan itu sudah
lewat." katanya. "Lihat padaku! Apakah aku membawa tombak? Adakah
sepasukan laskar di belakangku? Adakah pedang dalam tanganku?"
Mendengar perkataan itu, para penduduk desa menjadi sedikit
lebih ramah. "Memang, kau tidak menyadang pedang. Mengapa kau berani
bepergian tanpa senjata?"
Katu membuka bungkusannya. Diraihnya sebuah Kitab Perjanjian
Baru. Diangkatnya tinggi-tinggi, agar semua orang dapat melihatnya.
"Lihatlah!" seru Katu. "Inilah Firman Tuhan. Aku datang untuk
mengajarkan isinya kepadamu. Firman Tuhan itu pedangku yang
satu-satunya! Ya, pedang yang dapat mengalahkan kebenciaan dan
ketidakpercayaan. Firman Tuhan itu akan membawa sukacita dan damai
sejahtera dalam kehidupanmu!"
Lalu duduklah dia bersama-sama dengan musuh-musuh kawakan
ayahnya, sang kepala suku yag galak itu. Sebagai sahabat-sahabat
karib, ia dan para penduduk desa itu memperbincangkan keajaiban kasih
Tuhan. Sebagai saudara-saudara seiman, mereka saling menatap muka.
Dan damai sejahtera mulai meliputi daerah suku-suku Maori itu di
negeri Selandia Baru.
TAMAT