20. ILMU HITAM DON CORNELIO
(Amerika Tengah, abad ke-20)
Semua orang di daerah pedesaan di Amerika Tengah itu mengaku
dirinya orang Kristen. Namun bila ada orang yang jatuh sakit, rakyat
itu sering melupakan Tuhan Allah. Dalam kegelapan malam yang kelam,
mereka mengenang kembali masa lampau, waktu nenek moyang mereka
menyembah dewa-dewa dahsyat. Dengan rasa takut mereka berbisik-bisik
seorang kepada yang lain: "Mungkin nenek moyang kita benar juga.
Mungkin dewa-dewa dahsyat itu marah kepada kita. Mungkin itulah
sebabnya ada orang yang sakit keras."
Lalu rakyat yang diliputi takhyul itu akan mulai memikirkan
Don Cornelio dan istrinya. Dona Inez. Mereka akan mengirim pesan:
"Ada penyakit yang sangat parah. Rupa-rupanya dewa-dewa lama sedang
marah. Ayo datang, tolonglah kami."
Kemudian Don Cornelio dengan istrinya akan datang ke desa itu
yang dihinggapi penyakit. Mereka akan menyelenggarakan upacara
kegelapan dan mengucapkan mantera ilmu hitam. Lalu mereka akan pulang
lagi dengan membawa serta uang balas jasa mereka.
Dalam desa tadi, kadang-kadang penyakit itu memang akan
mereda dan lenyap. Maka rakyat kecil, yang tidak tahu-menahu tentang
kuman penyakit atau ilmu kesehatan, akan memuji-muji kekuatan ilmu
hitam Don Cornelio. Tetapi kadang-kadang juga infeksi itu terlalu
kuat. Si sakit akan menderita terus dan akhirnya akan meninggal. Pada
waktu-waktu seperti itu, rakyat akan mulai kurang percaya pada Don
Cornelio, serta akan lebih rajin lagi mengikuti kebaktian di gereja.
Pada suatu malam yang gelap, don Cornelio mendengar ketukan
di pintu rumahnya, walau jam dinding menunjukkan bahwa saat itu
kebanyakan orang sudah tidur. Don Cornelio tersenyum sendiri pada
saat mendengarkan suara yang masuk dari luar:
"Don Cornelio! Don Cornelio!" Samar-samar saja bisikan itu.
"Ya, ada siapa?"
"Miguel, Pak Miguel, dengan pesan dari Desa Ular."
Segera Don Cornelio tahu bahwa pesan itu berhubungan dengan
ilmu hitam. Semua desa di daerah itu, sama seperti semuanya
penduduknya, telah diberi nama Kristen; bukankah dia sendiri diberi
nama menurut nama Kornelius, sang perwira tentara yang mendengar
Kabar Injil dari Rasul Petrus? Tetapi nama-nama lama untuk desa-desa
itu pun tidak sampai dilupakan. Jadi, jika ada pesuruh yang datang
dalam kekelaman malam dengan menyebutkan nama lama yang terlarang
itu, "Desa Ular", pasti ini berarti ada orang-orang yang sedang
mengenang dewa-dewa dahsyat.
Don Cornelio membuka palang pintu yang berat. Ia
mempersilakan pesuruh itu masuk.
"Cepat datanglah, Pak," pria itu membujuk. "Wabah penyakit
menjangkiti desa kami. Kami membawa persembahan ke gereja, namun
makin lama makin banyak orang yang jatuh sakit. Apa mungkin dewa-dewa
dahsyat jadi marah pada kami?"
"Ya, mungkin saja," Don Cornelio membalas dingin. "Sejak
kapan rakyat yang bodoh di desamu tidak lagi mencabik jantung dari
seekor ayam jantan hitam? Sejak kapan kalian tidak lagi
mempersembahkan jantung itu sewaktu darahnya masih menetes ke atas
mezbah yang rahasia?"
"Memang sudah lama tidak, Pak," pesuruh itu mengaku dengan
menggigil. "Sudah lama sekali tidak."
Don Cornelio pura-pura segan dulu, kemudian setuju.
"Baiklah!" katanya. "Besok kami akan datang ke Desa Ular. Semuanya
harus siap sedia, tahu!"
Pesuruh itu pulang dalam kegelapan malam yang pekat. Keesokan
harinya, Don Cornelio dan istrinya, Dona Inez, bersiap-siap.
Sudah hampir dua puluh tahun mereka berdua mencari nafkah
dengan menjalankan ilmu hitam. Don Cornelio pandai main sulap, dan
pandai juga memakai suara perut, seolah-olah ada roh halus yang
berbicara. Rakyat kecil berbondong-bondong membeli manterinya dan
jampinya dan guna-gunanya untuk menambat hati kekasih, untuk
mengutuk musuh, untuk menyembuhkan penyakit.
Pada esok harinya, Don Cornelio dan Dona Inez menelusuri
lorong-lorong di daerah pegunungan itu hingga tiba di "Desa Ular."
Mereka menginap di losmen, sama seperti orang biasa yang sedang
bepergian, hanya saja, mereka tidak diharuskan membayar apa-apa.
Tengah malam mereka menyelinap keluar dari losmen itu dengan
membawa serta alat-alat ilmu hitam. Setibanya di pinggir desa, mereka
bertemu dengan beberapa penduduk setempat.
Hanya sedikit orang yang tahu lorong yang mereka telusuri.
Lebih sedikit lagi yang pernah menelusuri lorong itu sampai ke
ujungnya. Lorong rahasia itu menuju suatu gua yang tersembunyi di
belakang batu-batu yang jatuh karena tanah longsor.
Rombongan kecil itu berjalan berjingkat-jingkat hingga mereka
sampai di sebelah belakang beberapa batu yang besar; lalu mereka
memasuki gua. Melalui sebuah celah di dinding belakang gua itu,
mereka pun memasuki sebuah gua yang lain. Orang biasa tidak akan
menyangka bahwa di sana ada gua yang kedua; pengetahuan tentang
adanya tempat itu telah diwariskan turun-temurun selama ratusan
tahun.
Kepala desa dengan susah payah melewati celah itu. Dengan
lebih susah lagi Don Cornelio membuntutinya, sambil membisikkan
sumpah serapah. Kemudian menyusul Dona Inez dan orang-orang lain.
Sebuah lantera memberi penerangan yang remang-remang saja untuk
mereka yang di muka, tetapi mereka yang dibelakang harus meraba-raba
dalam kegelapan yang rasanya hendak menerkam mereka dari setiap
pojok.
Sesungguhnya tidak banyak yang dapat dilihat di dalam gua
yang kedua itu: Hanya sebuah batu, dengan lengkungan yang diukir di
tengah-tengah sebelah atasnya yang datar, serta sebuah saluran kecil
tempat darah korban dapat mengalir ke bawah. Begitu gelap di sana
sehingga itu ada bunyi desis seekor ular.
Dona Inez menggigil. Dengan setia ia membantu suaminya, namun
ia sendiri merasa takut, takut akan dewa-dewa dahsyat, takut akan
ular dan bahaya lain yang mungkin menghadangnya dalam kegelapan yang
pekat.
Lantera itu dipadamkan. Dalam kegelapan total Don Cornelio
mulai bertalu-talu mengucapkan kata-kata mantera. Riuh rendah
suaranya meggema di dalam gua itu! Dengan segala kekuatan ilmu
hitam, ia menyembah dewa-dewa dahsyat; ia mempersembahkan korban
kepada mereka.
Orang-orang desa yang berdiri sekelilingnya itu diliputi rasa
cemas. Mereka tahu bahwa dewa-dewa dahsyat itu lain sekali dari Allah
Yang Mahakasih, yang diberitakan di gereja. Alangkah baiknya jika Dia
yang penuh kasih itulah yang benar-benar berkuasa, dan dewa-dewa
dahsyat sesungguhnya tidak ada! Soalnya, . . . . siapa yang tahu?
Akhirnya upacara kegelapan itu selesai. Lantera disulut lagi.
Para penyembah keluar dari gua, bagaikan orang yang terjaga dari
mimpi buruk. Dan Don Cornelio dengan istrinya pulang lagi, puas dengan
uang dan barang yang telah diberikan kepada mereka.
Setiap kali ada pengalaman dalam malam yang pekat seperti
itu, selanjutnya Don Cornelio suka membuka-buka buku-buku ilmu
hitamnya dan mempelajari ulang isinya. Ia ingin menemukan
mantera-mantera baru. Ia bahkan ingin menemukan suatu mantera yang
begitu kuat sehingga dewa-dewa dahsyat harus berbuat apa saja yang
disuruhnya. Kalau ia dapat menemukan mantera yang maha kuat itu,
pasti ilmu hitamnya selalu akan berhasil.
Selama musim dingin, lorong-lorong di daerah pegunungan itu
menjadi seperti rawa saja. Jarang ada kesempatan pergi ke desa-desa
untuk mengerjakan ilmu hitam. Maka Don Cornelio dan Dona Inez merasa
lebih santai. Kadang-kadang mereka pergi berjalan-jalan ke kota-kota
kecil.
Pada suatu hari mereka menemukan suatu taman bacaan rakyat
yang diselenggarakan oleh umat Kristen. Penjaganya menyambut mereka
dengan ramah, sama seperti ia menyambut siapa saja yang ingin mampir
dan membaca buku-buku Kristen.
Di taman bacaan itu, Don Cornelio dan Dona Inez menemukan
sebuah Alkitab dalam bahasanya sendiri. Heran sekali dia! Orang
Kristen biasa di daerah pedesaan itu tidak diharapkan untuk membaca
Alkitab. Tetapi Don Cornelio pandai membaca, dan ia suka buku yang
aneh-aneh. Jadi, mulailah dia membaca Firman Tuhan.
Setia kali Don Cornelio dan Dona Inez memasuki sebuah kota
kecil, ternyata di sana pula ada taman bacaan rakyat. Dan di sana
pula Don Cornelio asyik membaca Alkitab. Penjaga taman bacaan mengira
ia sungguh berminat mengetahui kepercayaan Kristen, tetapi pada
hakikatnya ia masih tetap mencari mantera yang maha kuat itu.
Lambat laun pesan Alkitab mulai menggores pada hati dan
pikiran Don Cornelio. Ia amat tertarik akan proses pengadilan Tuhan
Yesus di hadapan raja dan gubernur; berkali-kali ia dan Dona Inez
memperbincangkan peristiwa itu sampai jauh malam. Ia pun tertarik
akan tokoh-tokoh besar seperti Raja Daud dan Rasul Paulus, yang dapat
tergoda sampai mereka berbuat dosa sama seperti orang biasa. Begitu
tertarik Don Cornelio sehingga ia sendiri membeli sebuah Alkitab,
agar ia dapat terus membaca isinya.
Pada saat ia sedikit gugup dalam mengucapkan mantera di depan
oang banyak, barulah ia menyadari bahwa pembacaan Alkitab itu telah
mulai mempengaruhinya. Ia memandang wajah orang-orang yang sedang
berkumpul di depannya itu: Di sini ada seorang pria yang sakit
jasmani, seperti Ayub. Di sana ada seorang wanita yang kerasukan
setan, seperti Maria Magdalena. Ada juga pria muda seperti Yusuf dan
wanita muda seperti Rut, yang merasa diri jauh dari keluarga mereka
yang asli. Dan Don Cornelio makin lama makin jelas memandang dirinya
sendiri seperti imam dan orang Lewi itu, yang begitu saya
meninggalkan seorang korban perampokan di pinggir jalan yang turun
dari Yerusalem ke Yerikho.
Masih ada orang yang datang kepada Don Cornelio untuk membeli
guna-guna bagi musuhnya. Tetapi sering juga Don Cornelio menolak
menjualnya. "Pulang saja," nasihatnya. "Berusahalah berdamai kembali
dengan musuhmu itu."
Penghasilannya berkurang. Dona Inez mulai khawatir. "Ini
gara-gara Buku itu yang kaubaca siang malam," katanya kepada
suaminya.
"Memang benar," Don Cornelio mengaku. "Namun aku tidak akan
berhenti sampai semua isinya telah kubaca."
Dona Inez mulai sadar bahwa suaminya sudah lama tidak lagi
menyebutkan minatnya untuk menemukan mantera yang maha kuat itu.
Bahkan ia jarang membuka-buka buku-buku ilmu hitamnya.
Pada suatu hari Don Cornelio menyingkapkan persoalannya.
"Istriku," katanya, "hatiku sangat berat."
"Kenapa?" tanya Dona Inez.
Orang-orang Kristen itu benar. Dewa-dewa dahsyat tidak ada.
Yang ada, hanyalah Tuhan Yang Maha Esa saja."
Dona Inez menarik napas panjang, seolah-olah ia baru
dilepaskan dari kecemasan yang menahun. "Kau pasti?"
"Pasti!" jawab Don Cornelio dengan mantap. "Tak mungkin ada
Tuhan Allah, dan ada juga dewa-dewa dahsyat. Pikirkanku melekat pada
adanya Tuhan Allah. Hatiku mulai terbuka kepada-Nya, bagaikan kuntum
bunga yang merekah ke arah sinar matahari. Kalau aku memikirkan Dia,
rasa bahagia meliputi seluruh diriku bagaikan langit biru yang cerah,
dan pikiran yang gelap dan jahat itu buyar."
Wajah Dona Inez menyatakan perasaan lapang dada. "Sudah lama
aku takut kalau percaya akan dewa-dewa dahsyat. Namun aku lebih takut
lagi kalau aku tidak percaya akan mereka. Alangkah gembiranya
mengetahui bahwa mereka itu sesungguhnya tidak ada!"
Namun Don Cornelio masih kelihatan gelisah.
"Tetapi...bagaimana kita berdua akan mencari nafkah, istriku? Kalau
kita tidak mengerjakan ilmu hitam, dari mana kita mendapat uang
pembeli tepung jagung dan kacang merah? Dari mana kita mendapat uang
untuk membeli pakaian? untuk membayar sewa rumah?"
Dona Inez kembali menjadi cemas. "Wah, rumit, ya?" desahnya.
Untuk sementara waktu Don Cornelio masih tetap menjalankan
praktiknya yang gelap. Tetapi makin lama ia makin kurang senang
mempersembahkan korban di mezbah-mezbah rahasia atau mengulangi
mantera yang memanggil dewa-dewa dahsyat. Makin lama ia makin kurang
senang menerima uang dari rakyat kecil yang minta tolong kepadanya
dengan penuh harapan.
Dengan rasa cemas Don Cornelio membolakbalikkan
halaman-halaman Alkitab. Hatinya serasa tidak tahan lagi membaca-baca
tentang Tuhan Allah. Allah itu baik, sedangkan ia sendiri
menghabiskan masa hidupnya dalam kejahatan. Haruskah ia berhenti
membaca Firman Tuhan?
Sementara itu, matanya tertumbuk pada Surat 1 Petrus; ia
membaca ayat-ayatnya yang terletak pada akhir pasal 1 dan permulaan
pasal 2:
```Kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana,
tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan
yang kekal.''' Maka Don Cornelio membatalkan rencananya untuk pergi
ke sebuah desa; ia tidak jadi mempraktikkan ilmu hitam di sana.
```Semua yang hidup adalah seperti rumput,''' dibacanya lebih
lanjut, ```dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput. Rumput
menjadi kering, dan bunga gugur, tetapi firman Tuhan tetap untuk
selama-lamanya. Inilah firman yang disampaikan Injil kepada kamu.'''
"Benar! Benar sekali!" Don Cornelio terus bergumam, "Tidak ada hal
lain yang tetap untuk selamanya; tidak ada hal lain yang sungguh
berarti. Tidak ada sama sekali!"
```Karena itu'," Don Cornelio terus membaca, ```buanglah
segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan,
kedengkian dan fitnah.''' Maka ia memutuskan akan membuang segala hal
yang semacam itu.
Kepada Dona Inez ia menjelaskan keputusannya: "Hanya Tuhan
Allah saja yang sungguh berarti. Kalau kita dalam hati percaya kepada
Dia, kita tidak boleh terus mempraktikkan ilmu hitam. Kita tidak
boleh terus menyembah dewa-dewa lama yang sesungguhnya tidak ada.
Mari kita membakar buku-buku mantera itu sampai habis. Aku akan
mencari cara lain untuk menghasilkan uang."
"Aku siap," jawab Dona Inez. "Aku sungguh bersedia."
Kepada pengabar Injil di sebuah cabang gereja, penjelasan
yang diberikan oleh Don Cornelio itu lebih sederhana: "Aku sudah
menemukan Juru Selamatku," katanya pendek.
Pada suatu hari ketika hujan turun dan semua jalan-jalan
becek, banyak orang mengerumuni gedung ibadah kecil milik cabang
gereja itu. Ada kabar lisan bahwa Don Cornelio, yang sudah lama
dicurigai itu, akan menyampaikan suatu pengumuman khusus. Orang
banyak berbondong-bondong ke gereja, walaupun harinya hujan.
Tidak mudah bagi Don Cornelio untuk menghadapi sekian banyak
orang Kristen! Banyak di antara mereka yang tidak tahu-menahu tentang
latar belakangnya. Sulit sekali menjelaskan masa lampaunya yang
gelap! Namun dengan berani ia mulai memberi kesaksiannya.
Anggota-anggota gereja itu mulai heran dan ngeri. Tetapi Don
Cornelio sudah bertekad hati. Ia bercerita tentang bagaimana ia
membaca Firman Allah, tentang bagaimana ia merasakan kasih Allah yang
meliputi jiwanya.
Akhirnya Don Cornelio dan Dona Inez mengeluarkan buku-buku
ilmu hitam milik mereka. Kitab-kitab itu ada yang sudah diwariskan
turun-temurun, berabad-abad lamanya. Mereka juga mengeluarkan setiap
benda yang bertalian dengan kuasa gelap, bahkan setiap carik kertas
yang bertuliskan jampi.
"Mari kita membakar semuanya!" kata Don Cornelio dan Dona
Inez. "Dan kami pun akan berusaha menghapus dari ingatan kami semua
mantera yang sudah kami hafal."
Hujan sudah mereda. Orang-orang Kristen itu keluar dan
menyalakan api. Satu persatu semua buku ilmu hitam dan alat-alat
kuasa gelap itu ditaruh di atasnya. Akhirnya yang tinggal, hanya
abunya saja.
"Musnah!" seru Don Cornelio sambil menengadah. "Lenyap!
Tetapi `Firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya'! Mari kita membangun
sisa hidup kita pada Firman Tuhan!"
"Amin! Amin!" orang-orang Kristen itu berseru dengan penuh
khidmat. Don Cornelio masih tetap suka berkeliling ke desa-desa dan
di daerah pegunungan itu. Mula-mula ia mencari dan membeli setiap
buku ilmu hitam dan setiap benda kuasa gelap yang masih disimpan pada
tempat-tempat yang tersembunyi. Dan di setiap desa itu ia pun
mengulangi kesaksiannya serta membakar habis semua benda-benda
kekafiran miliknya.
Kemudian Don Cornelio diangkat menjadi salah seorang agen
resmi yang pergi berkeliling menjual Alkitab. Kepandaian yang dulu
membuatnya berhasil sebagai seorang yang mempraktikkan ilmu hitam,
kemudiam membuatnya sebagai seorang yang mengedarkan Firman Tuhan ke
mana-mana.
TAMAT