10. ALKITAB YANG DIBELI DENGAN MUSIK
(Amerika Serikat, abad ke-20)
Pintu kantor lembaga Alkitab itu terkuak sedikit. Di depannya
berdiri seorang pria berkulit hitam. Sudah tua bangka dia, bahkan
begitu tua sehingga tubuhnya bungkuk sampai ke pinggangnya. Namun
matanya masih cerah.
Pria muda yang duduk di belakang meja tulis di kantor itu
juga seorang Negro, yakni seorang Amerika berkulit hitam. "Bagaimana,
Oom?" tanyanya dengan nada sopan. "Oom perlu apa? Silakan masuk!"
Si Tua melangkah masuk dengan tertatih-tatih. Jelas terlihat,
baju yang dipakainya itu adalah baju yang sudah dibuang orang lain.
Sepatunya berlubang besar.
"Kalian jual Alkitab di sini, Nak?"
"Tentu saja, Oom."
"Kalian mau dengar ceritaku?"
"Ya, mau Oom." Petugas kantor yang masih muda itu memang
ingin tahu, pengalaman apa gerangan yang hendak diceritakan oleh
seorang kakek setua itu.
"Rasanya sulit mengingat waktu panjang yang sudah lewat dalam
masa hidupku. Tapi aku masih bisa ingat tempo dulu, masa perbudakan
manusia." Si Tua mendongakkan mukanya ke atas seolah-olah ingin
melihat, apakah pemuda itu percaya akan ceritanya. "Memang aku lahir
sebagai budak, Nak."
Pemuda itu mengangguk. Mengapa tidak percaya? Walau semua
budak di seluruh Amerika Serikat sudah dimerdekakan berpuluh-puluh
tahun yang lalu, namun kakek ini kelihatannya hampir sama tuanya
seperti Metusalah yang dikisahkan dalam Kitab Kejadian itu.
"Ya, aku lahir sebagai budak. Dan tuanku dulu, ia bilang
tidak boleh ada seorang anak budak pun di perkebunannya yang belajar
membaca dan menulis. Tapi aku ini, . . . yah, aku rindu belajar. Dan
memang aku belajar! Sering juga aku dipukul dengan cambuk kalau
kedapatan sedang memegang buku." Si Tua tertawa terkekeh-kekeh. "Tapi
aku nekat terus belajar membaca!"
Beberapa detik kemudian, ia pun meneruskan ceritanya. "Nah,
tuanku dulu itu, ia mau kasih budak-budak sama putrinya. Sebagai
hadiah! Lalu ayahku sendiri dan aku sendiri jadi budak putrinya.
Lain lagi sifat dia dari sifat ayahnya! Katanya, aku boleh saja
belajar membaca dan menulis. Katanya, pasti tidak ada jeleknya kalau
orang membaca Alkitab. Memang betul!"
Si Tua tersenyum sendiri sambil mengenang kembali masa lampau
itu. "Aku belajar membaca Alkitab. Belajar mencintainya, juga."
Kakek itu mengangkat wajahnya. "Sayang, aku tidak punya
Alkitab sekarang. Dan aku ingin sekali punya. Rasanya aku sudah
terlalu tua sekarang untuk bisa bekerja. Tapi aku masih bisa membaca
. . . kalau punya Alkitab."
Petugas kantor itu lebih tertarik lagi. Apakah Si Tua akan
meminta supaya ia menghadiahkan sebuah Alkitab kepadanya? Seandainya
demikian, memang ada di kantor sedikit persediaan Alkitab yang dapat
diberikannya secara gratis, menurut kebijaksanaannya sendiri.
"Aku tidak punya uang, Nak," kata kakek itu melanjutkan.
"Tapi aku ingin sekali punya Alkitab. Kalau bisa, aku mau kasih
imbalan. Nih, lihat, . . . orang suka kasih uang kalau aku mainkan
lagu tarian bagi mereka dengan sulingku."
Tiba-tiba raut muka si Tua menjadi agak cemas. Ia sudah
memberanikan diri datang ke kantor Lembaga Alkitab, dengan harapan
bahwa melalui permainan sulingnya ia dapat memperoleh apa yang sangat
dirindukannya itu. Tetapi sekarang nampaknya ia ragu-ragu. Mungkin di
kantor lembaga Alkitab yang serba modern ini tidak ada seorang pun
yang ingin mendengar musik tarian. Rupanya semua orang di sini sedang
bekerja, dan tidak mau diganggu dengan musik tarian.
"Oom dapat memainkan lagu apa saja?" tanya pemuda itu lirih.
"Lagu-lagu tarian dan lagu-lagu gereja, Nak," jawab Si Tua
dengan penuh harapan.
"kalau begitu, mainkan lagu-lagu gereja, Oom."
Si Tua mengangkat sulingnya dan menempelkannya pada bibirnya.
Ia menarik napas panjang. Lalu not-not tinggi mulai mengalun di ruang
kantor lembaga Alkitab. Suara suling itu lembut dan merdu.
Selama petugas kantor itu mendengar beberapa lagu rohani,
dalam benaknya seolah-olah terlintas bayangan seorang anak laki-laki
kecil berkulit hitam legam, . . . dengan susah payah membaca Firman
Tuhan, . . . takut kalau-kalau dihukum, dan memang sewaktu-waktu
menerima ganjaran cambuk.
Dengan cepat ia melangkah ke lemari tempat penyimpanan
Alkitab yang khusus boleh diberikan dengan cuma-cuma. Diambilnya
sebuah Alkitab; ditaruhnya pada meja dekat Si Tua. "Ini Oom. Cukupkah
ini?"
Alunan musik dari suling Si Tua segera berhenti. Ia pun
segera lupa akan sulingnya, yang ditaruhnya dengan begitu saja di atas
meja. Kedua belah tangannya yang hitam dan keriput itu dengan
semangat baru menggenggam Alkitab tadi. "Boleh, Nak? Sungguh boleh?
Tanpa mesti kasih uang?"
"Rasanya Oom sudah membayar setimpal dengan harganya," kata
pemuda itu sambil tersenyum. "Sekalipun Oom tidak memainkan lagu-lagu
rohani tadi, Oom sudah membayarnya waktu masih kecil waktu Oom
berani dicambuki, asal saja dapat belajar membaca Alkitab."
Beberapa menit kemudian, pemuda itu berdiri di pintu kantor.
Ia memperhatikan Si Tua, yang berjalan kaki di trotoar dengan
pelan-pelan. Namun langkahnya tidak tertatih-tatih seperti tadi.
Sekarang ia sengaja berjalan pelan-pelan, agar ia dapat membaca
Alkitab yang terbuka dalam genggaman tangannya itu. Dan ia pun
membaca dengan bersuara.
Petugas kantor yang masih muda itu kembali ke meja tulisnya.
Ia merenung. Alangkah indahnya . . . . katanya pada dirinya sendiri.
Alangkah indahnya jika semua orang di seluruh dunia sama rindunya
seperti Si Tua tadi untuk memiliki Alkitab!
TAMAT