9. PENYANYI-PENYANYI DI DALAM KEGELAPAN
(Peru, abad ke-20)
Rakyat sedang berkumpul pada hari pasar di desa Tayabamba,
yang letaknya di daerah pegunungan Peru. Di mana-mana di sekeliling
desa kecil itu, ada gunung-gunung yang menjulang tinggi ke angkasa.
Jauh di atas pada sebuah lereng bukit, ada seorang pria yang
sedang berjalan kaki sambil memandang ke bawah, ke pasar desa di
lembah itu. Nama pejalan kaki itu Renoso; ia seorang buruh harian.
Matanya berbinar-binar kesenangan melihat pemandangan indah yang
terbentang di depannya. Bagus sekali negeri Peru milik kita ini!
katanya dalam hati.
Lalu Renoso mulai turun ke desa Tayabamba. Jalannya jelek.
Setiap orang di daerah itu yang mampu, suka bepergian dengan
menunggang bagal, keturunan kuda dan keledai. Tetapi bagi Renoso yang
keuangannya pas-pasan, . . . kedua kakinya yang kuat itulah yang
menjadi bagalnya! Sekalipun ia tidak mempunyai binatang tunggangan,
namun hatinya senang.
Renoso sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja di
suatu tempat di balik bukit. Ia membawa serta uang penghasilannya
dari pekerjaan itu. Dalam ranselnya ia membawa juga Alkitabnya, buku
lagu rohaninya, dan sebuah majalah gereja yang berjudul Kelahiran
Kembali. Baik di kampung halamannya maupun di tempat ia bepergian,
Renoso selalu setia sebagai anggota gerejanya.
Pasar mingguan itu masih ramai ketika Renoso tiba di desa
Tayabamba. Ia tersenyum. Tadi ia merasa kesepian selama dalam
perjalanan jauh di pegunungan tinggi. Kini ia dapat menikmati
keramaian pasar. Mungkin ia akan membeli oleh-oleh untuk dibawa
pulang kepada ibunya besok. Mungkin ia akan bercakap-cakap dengan
berbagai macam orang. Renoso sangat peramah; tidak ada yang lebih
menyenangkan hatinya daripada percakapan yang ramah.
Ternyata orang-orang di desa itu suka bergaul dan rela
mengobrol. Ada yang datang dari desa-desa lain untuk menjual barang
dagangannya di Tayabamba. Ada yang masih sibuk berjualan; ada yang
sudah siap pulang. Dan ada juga yang sudah siap untuk pergi berbakti
dengan cara-cara mereka yang khas.
Sambil bercakap-cakap Renoso memperhatikan orang-orang yang
hendak pergi berbakti itu.
"Kami tidak berbakti dengan cara-cara seperti itu," katanya,
seolah-olah mengobrol secara iseng-iseng saja. "Kami suka berbakti
dengan membaca Alkitab, dan dengan menyanyikan lagu-lagu rohani." Dan
ia pun mengeluarkan Alkitabnya dari ranselnya.
Orang-orang desa itu nampaknya tertarik sekali. Belum pernah
mereka melihat sebuah Alkitab! Maka Renoso memperlihatkannya dan
membacakan satu dua cerita dari halaman-halamannya.
"Buku itu bagus sekali!" kata seorang penduduk desa yang nama
julukannya Paman Besar.
Renoso menggeleng. "Mungkin tidak, kecuali kalau mereka itu
sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus."
"Kalau begitu, juallah Buku itu kepada kami," desak
Paman Besar. "Aku ingin mendengar isinya lebih banyak lagi."
"Maaf, Paman, aku tidak dapat menjualnya," jawab Renoso.
"Buku ini diberikan kepadaku pada suatu hari yang istimewa sekali."
Ia membuka halaman depannya. "Lihat! Namaku dan tanggal
pembabtisanku tertulis di sini dengan huruf besar. Maafkan, aku
tidak dapat menjual Alkitabku."
Pada malam itu Renoso menginap di desa Tayabamba. Banyak
orang yang berkumpul di sekelilingnya: Paman Besar, Kakek Tua, Si
Pincang, dan beberapa penduduk desa yang lain. Mereka semua menyukai
Renoso. Mereka semua ingin mendengar lebih banyak lagi tentang
tempat-tempat yang dilihat dalam perjalanannya, dan tentang cara-cara
berbakti di gerejanya.
"Mengenai cara berbakti itu," kata Paman Besar. "Katamu,
kalian biasa menyanyi?"
""Betul, Paman," Renoso mengiakan. "Kami menyanyikan
lagu-lagu pujian kepada Tuhan Allah, dan lagu-lagu doa yang memohon
pertolonganNya dan bimbinganNya."
"Ayo, nyanyikan salah satu lagu itu!" seru Si Pincang.
"Ya, ya, nyanyikan sebuah lagu bagi kami!" semuanya turut
mendesak.
Mula-mula Renoso merasa bahwa mereka bergurau saja. Ia bukan
seorang penyanyi! Bagaimana ia dapat menyanyikan sebuah lagu rohani
bagi mereka?
Namun wajah setiap orang yang sedang menatapnya itu nampak
begitu mengharap-harap. "Suaraku jelek," katanya ragu-ragu. Tetapi
melihat kekecewaan mereka, ia pun memberanikan diri. "Baiklah! Aku
akan mencoba bernyanyi. Tetapi kalian harus turut bernyanyi juga! Aku
akan mengajarkan kalian sebuah lagu rohani."
Maka mulailah Renoso bernyanyi. Ia menyanyi tentang kasih
Allah. Ia memuji-muji Allah atas kebaikanNya. Melodi lagu itu polos
sekali; kata-katanya sangat sederhana. Setiap anak di gereja Renoso
sudah biasa menyanyikan lagu itu, dengan suaranya yang merdu.
Mula-mula para penduduk desa Tayabamba dengan susah payah
ikut menyanyi. Mereka belum biasa mendengarkan lagu seperti itu,
apalagi menyanyikannya! Suara Kakek Tua terdengar sering pecah.
Sesuai dengan nama julukannya, Paman Besar mempunyai suara besar,
tetapi nadanya sering sumbang. Tetapi si Pincang pandai menyanyi.
Suaranya mengalun tinggi, seolah-olah ia sudah lama mengenal lagu
itu. Memang suaranya kedengaran agak kasar, namun not-notnya tepat.
Berkali-kali lagu rohani itu diulangi. Para ibu yang duduk di
pojok-pojok ruang yang gelap itu juga turut menyanyi. Anak-anak duduk
mendengarkan dengan mata tak berkedip, sedangkan para orang tua
mereka mengangkat suara.
"Ayo, biarlah Alkitab itu tetap tinggal disini," Kakek Tua
mendesak lagi.
"Maaf sekali, Kakek," kata Renoso sambil menolak secara
halus. "Tetapi, . . . ya, sudah . . . aku akan meninggalkan buku lagu
rohaniku pada Kakek, dan juga majalah ini dari gerejaku. Lihat
judulnya: Kelahiran Kembali. Itulah yang terjadi atas tiap orang yang
mengikut Tuhan Yesus. Ia menjadi manusia baru, seolah-olah ia lahir
kembali."
Keesokan harinya Renoso berangkat menuju kampung halamannya.
Dalam hati ia bertanya-tanya tentang desa Tayabamba: Alangkah baiknya
kalau bapak pendeta dapat pergi ke sana! Namun desa itu letaknya
empat hari perjalanan dari tempat tinggal bapak pendeta. Banyak desa
lain yang lebih dekat, yang juga belum sempat mendengar Kabar Baik
tentang Tuhan Yesus.
Sepeninggal Renoso, orang-orang di desa Tayabamba itu tidak
memikirkan tentang kedatangan seorang pendeta. Bukankah mereka sudah
mempunyai sebuah buku lagu rohani dan sebuah majalah Kristen? Semua
orang yang berminat, suka berkumpul sehabis kerja di rumah Paman
Besar. Si Pincang yang membacakan buku dan majalah itu bagi mereka;
tidak ada orang lain yang sepandai dia. Bahkan sebagian di antara
mereka itu buta huruf. Mereka hanya dapat belajar dengan mendengarkan
saja.
Si Pincang membacakan kata-kata dari lagu rohani yang telah
mereka hafalkan, yang halamannya telah ditandai oleh Renoso.
Berkali-kali mereka menyanyikannya. Lalu dengan susah payah, kata
demi kata Si Pincang membacakan kata-kata dari lagu-lagu lain. Ia
juga membacakan isi majalah Kelahiran Kembali. Ada yang sama sekali
tidak dapat mereka pahami. Tetapi ada juga yang jelas artinya, karena
masih ada hubungannya dengan hal-hal yang sudah disebut-sebut oleh
Renoso.
"Bagaimana kita dapat menyanyikan lagu-lagu yang lain itu?"
tanya Nenek Tua. "Melodi yang diajarkan Renoso itu tidak cocok dengan
kata-kata yang lain."
Memang betul. Sudah berkali-kali mereka berusaha mencocokkan
not-not itu pada lagu-lagu rohani yang lain, tetapi sia-sia semua.
"Mari kita membuat melodi sendiri," usul Si Pincang dengan
mantap. "Kata-kata itulah yang akan menjadi penunjuk, bagaimana kita
dapat menyanyikannya." Maka dengan gembira mulailah mereka
ramai-ramai membuat dan menyanyikan lagu-lagu rohani dengan
melodi-melodi baru.
Pada suatu hari Si Pincang melihat sebuah iklan dalam majalah
Kelahiran Kembali. Iklan itu dari sebuah toko buku Kristen di Lima,
ibu kota Peru. Di dalam iklan itu disebutkan juga buku lagu rohani
yang sudah mereka miliki. Katanya, buku itu dapat dibeli dengan harga
sekian.
Lalu si Pincang menemukan sesuatu yang mengejutkan sekali
dalam iklan itu. Alkitab juga dapat dibeli! Alkitab yang sama seperti
Alkitab milik Renoso! Dengan berjalan tertatih-tatih Si Pincang
cepat-cepat pergi ke rumah Kakek Tua dan rumah Paman Besar untuk
memberitahukan berita baik itu.
Malam itu mereka berkali-kali menghitung ongkosnya. Akhirnya
mereka berhasil memposkan sepucuk surat kepada toko buku Kristen di
kota Lima. Pesanan mereka: beberapa Alkitab, beberapa buku lagu
rohani, dan beberapa barang cetakan yang lain.
Para pengurus toko buku di ibu kota itu heran. Setahu mereka,
tidak ada seorang pun di desa pegunungan yang terpencil itu. Namun
mereka segera melayani pesanan itu. "Tayabamba, . . ." sewaktu-waktu
mereka berkata satu kepada yang lain. "Siapa kira-kira yang ingin
punya Alkitab dan buku lagu rohani di desa Tayabamba?"
Alangkah senangnya Si Pincang, Paman Besar, dan Kakek Tua
ketika pospaket yang dimuat di atas punggung seekor bagal itu tiba!
Banyak penduduk desa berkumpul pada saat bungkusan itu dibuka. Tetapi
orang-orang percaya itu tidak memperhatikan bahwa ada juga
musuh-musuh mereka yang mengerutkan dahi. Mereka tidak peduli, oleh
karena mereka begitu penuh dengan sukacita: Kini mereka mempunyai
Alkitab yang sama seperti Alkitab milik Renoso.
Dengan Alkitab dan buku lagu rohani di dalam tangan mereka
masing-masing, semua orang Kristen yang sudah dapat membaca sedikit
itu makin lama makin pandai. Memang mereka harus membaca dalam bahasa
Spanyol dan bukan dalam bahasa daerah, namun mereka berhasil juga.
"Lihat ini," kata Paman Besar sambil menunjuk pada sebuah
majalah Kristen. "Di sini ada gambar anak-anak yang disuruh berkumpul
untuk mendengarkan cerita-cerita Alkitab. Kenapa kita tidak
menirunya? Belajar ayat-ayat dan lagu-lagu rohani itu sangat berguna
bagi anak-anak."
"Gagasan yang baik!" kata Si Pincang. "Mari kita adakan
sekolah untuk anak-anak di desa ini!"
Dan mulailah mereka mengadakan Sekolah Minggu untuk
anak-anak. Hanya saja, mereka belum tahu ada istilah khusus "Sekolah
Minggu", maka mereka menyebutnya "sekolah" saja.
"Nah, lihat!" kata musuh-musuh orang Kristen di daerah itu.
"Mereka telah membuka sekolah tanpa izin!"
Alangkah terkejutnya Paman Besar, Kakek Tua, dan Si Pincang
serta beberapa teman pria mereka ketika mereka ditangkap dan
dijebloskan ke dalam penjara!
Mereka semua dimasukkan ke dalam satu sel yang kotor dan
gelap. Tiga perempat dari lantainya basah. Di sel itu hanya ada satu
jendela, dan itu pun tinggi di atas kepala mereka. Pintu besar dari
balok-balok kayu itu dipalang rapat-rapat.
Para ibu diizinkan membawakan jerami dan tikar ke penjara
sebagai tempat-tempat tidur. Sekali sehari mereka pun boleh mengirim
makanan. Tetapi pintu itu tetap terkunci, dan tidak ada seorang pun
di dunia luar yang tahu, bagaimana masib para tahanan itu kelak.
Sepanjang hari orang-orang Kristen yang sedang ditahan itu
hanya dapat duduk-duduk saja.
Satu hari lewat. Lalu tibalah hari kedua.
"Aku ada akal," kata Si Pincang. "Mari kita kirim telegram
kepada toko buku Kristen di kota Lima. Mungkin para penjual Alkitab
itu dapat mengutus seseorang untuk menolong kita."
"Wah, nekat sekali usul itu!" balas Kakek Tua. "Tetapi siapa
lagi yang mau menjadi teman kita?" Lalu ia mengeluh lirih;
sendi-sendinya yang tua itu sudah terasa pegal karena ia harus duduk
lama pada lantai yang lembab.
Nenek Tualah yang bersedia mengirimkan telegram. "Tapi
sebaiknya jangan dari sini," katanya. "Akan ketahuan oleh musuh-musuh
kita. Biar aku besok jalan kaki ke desa yang lain, lalu
mengirimkannya dari sana.
Hari ketiga pun tiba . . . dan lewat pula.
"Aku ada akal lagi," kata Si Pincang. "Mari kita menyanyikan
lagu-lagu rohani!"
Maka mulailah mereka menyanyi. Penjaga penjara itu heran
mendengar nyanyian-nyanyian yang ria dari sel yang gelap itu.
Berturut-turut mereka menyanyikan semua lagu yang sudah mereka hafal.
Lalu mereka mengarang sendiri melodi-melodi baru untuk lagu-lagu yang
kata-katanya sudah mereka dengar.
Tiap-tiap hari mereka menyanyi, bahkan kadang-kadang sampai
jauh malam. Di antara saat-saat menyanyi itu, mereka pun
bercakap-cakap dengan hati yang senang, serta membuat rencana tentang
kegiatan mereka setelah dibebaskan kelak.
Pada suatu hari ada kabar yang menyedihkan: Istri dari salah
seorang tahanan itu meninggal.
Para tahanan lainnya berusaha menghibur dia. Mereka juga
berusaha membujuk penjaga penjara agar ia mengizinkan orang itu
pulang selama satu hari saja.
"Biarkan dia pulang!" Penjaga penjara itu kaget pada saat ia
membeo seruan yang terdengar dari sel yang gelap. "Wah, bisa-bisa ia
melarikan diri!"
"Bukakan pintu!" seru Paman Besar. "Pasti dia akan kembali
lagi."
Dengan ragu-ragu penjaga penjara itu akhirnya membukakan
pintu. Orang yang istrinya baru mati itu diperbolehkan pulang.
Petang harinya, ia memang datang kembali ke penjara. "Terima
kasih banyak, Suadara," katanya kepada penjaga. "Keluargaku merasa
terhibur oleh karena aku diizinkan pulang untuk turut menguburkan
istriku."
Penjaga itu melongo keheranan. "Aneh benar ajaran baru ini!"
gumamnya. "Siapa yang percaya bahwa seorang tahanan dengan sukarela
akan kembali ke penjara?"
Seminggu . . . lalu dua minggu lewatlah sudah.
"Untung sekali kita dipenjarakan!" kata Si Pincang dengan
semangat. "Kalau kita sibuk dengan tugas sehari-hari, pasti tidak ada
waktu untuk mempelajari lagu-lagu rohani ini."
Ia berdiri di pojok sel yang paling basah, di mana seberkas
cahaya dari jendela tinggi itu menyinari buku nyanyiannya. "Nah, di
sini ada sebuah lagu rohani berupa doa, . . . seruan minta keberanian
dan kesabaran; Tentu saja kita perlu keberanian dan kesabaran;
jangan-jangan seumur hidup kita akan tetap terkurung di dalam
kegelapan ini!" Maka mulailah Si Pincang menyanyikan lagu baru itu.
Pada suatu hari penjaga penjara berbicara dengan
sungguh-sungguh kepada para pamong desa Tayabamba. "Lebih baik mereka
dibebaskan saja," begitulah nasihatnya. "Telingaku pekak mendengar
nyanyian mereka yang tak kunjung berakhir. Apalagi ada
tahanan-tahanan lain yang mulai terpengaruh oleh ajaran-ajaran
mereka. Tambahan pula, mustahil kita dapat terus menahan mereka
dengan alasan yang sepele saja."
Para pamong desa mengerutkan dahi. Mereka juga merasa
terganggu dengan nyanyian yang terus menerus berkumandang itu.
Apalagi, banyak penganggur sudah mulai berkumpul di luar tembok
penjara. Penyanyi-penyanyi di dalam kegelapan itu sudah banyak menarik
perhatian.
Akhirnya para pamong desa itu mengambil keputusan: "Baiklah,
lepaskan mereka."
Penjaga penjara itu tidak menunda-nunda. Segera ia
melangkahkan kakinya ke arah pintu penjara. Palang dan kunci dibukakannya
semua. "Bebas, kalian semua bebas!" serunya ia tersenyum, karena
dalam hati ia merasa kagum akan para tahanan yang tabah hatinya itu.
"Pulanglah dengan selamat!"
Gembira sekali suasana pada malam itu di rumah setiap orang
Kristen. Kemudian mereka semua berkumpul di rumah Paman Besar. Di
sana mereka menyanyi, sama seperti waktu mereka menyanyi di dalam
kegelapan. Di sana pula mereka mengucap syukur oleh karena masa
tahanan mereka sudah lewat.
Beberapa hari kemudian, seorang penginjil memasuki desa
Tayabamba dengan menunggang seekor bagal. Telegram kepada toko buku
Kristen itu memang sudah diterima. Secepat mungkin penginjil itu
dikirim ke sana.
Sesampainya di desa Tayabamba, penginjil itu agak bingung
tentang hukum yang berlaku di sana. Namun ketika ia mendengar bahwa
semua tahanan itu telah dibebaskan, hatinya lega. Sekarang ia dapat
memakai waktunya dengan lebih terarah.
"Tiga puluh orang di sini sudah mulai membaca Alkitab," Si
Pincang menjelaskan. "Lebih dari tiga puluh orang yang suka mendengar
ajaran-ajarannya. Tetapi kami semua perlu lebih tahu bagaimana
caranya mengikuti Tuhan Yesus."
Maka selama beberapa hari penginjil itu menetap du desa
Tayabamba. Sesuai dengan permintaan Si Pincang, ia menolong
orang-orang Kristen baru itu agar "lebih tahu bagaimana caranya
mengikuti Tuhan Yesus." Ia pun bercerita kepada mereka tentang umat
Kristen lainnya di seluruh dunia. Lalu ia pergi lagi, dengan janji
akan datang kembali sewaktu-waktu.
Satu demi satu ada lagi penduduk desa Tayabamba yang rela
mulai membaca Alkitab atau rela mulai mendengarkan pembacaannya. Satu
demi satu ada lagi orang-orang baru yang percaya kepada Tuhan
Yesus. Jumlah umat Kristen di desa itu tidak lagi hanya
berpuluh-puluh orang saja, melainkan beratus-ratus orang.
Kadang-kadang penjaga penjara di desa Tayabamba itu masih
suka bingung. Aneh . . . katanya pada dirinya sendiri, sejak aku
membebaskan tahanan-tahanan itu, kejahatan di sini semakin berkurang.
Tidak lagi sering terjadi perkelahian atau perjudian; tidak lagi
banyak orang yang mabuk-mabukan. Tentu ini adalah perubahan cara
hidup yang mengagumkan . . . berkat adanya penyanyi-penyanyi di dalam
kegelapan itu!
TAMAT