You are heree-JEMMi No. 07 Vol.19/2016 / Suku Lio, Nusa Tenggara Timur
Suku Lio, Nusa Tenggara Timur
Pulau Flores tak hanya memiliki kekayaan alam yang luar biasa, tradisi juga merupakan ciri khas masyarakat yang mendiami Pulau Flores. Keanekaragaman adat istiadat dan budaya masyarakat setempat juga menjadi kekayaan yang tak ternilai harganya. Masyarakat di pulau ini hidup bersuku-suku, maka dari itu dikenal berbagai macam kebudayaan. Salah satu suku yang memiliki kekhasan dalam tradisi adalah masyarakat suku Lio.
Suku Lio menempati wilayah kabupaten Ende, yang merupakan salah satu kabupaten di Pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat suku Lio merupakan penduduk mayoritas yang mendiami kabupaten ini. Nama Lio sendiri diambil dari ungkapan Sa Li, Sa Ine, Sa One. Ungkapan Li, Ine, One, bermakna sebaya, seibu, dan sekeluarga. Ungkapan ini menggambarkan prinsip persatuan yang dijunjung oleh suku Lio. Hal ini tergambar dari kenyataan bahwa suku Lio hidup terkotak-kotakan dalam berbagai tanah persekutuan. Akan tetapi, mereka tetap satu suku bangsa, bahasa, kebudayaan, dan adat istiadat yang sama.
Masyarakat Lio terbagi ke dalam beberapa suku yang menetap di wilayah-wilayah persekutuan di antaranya, suku Unggu yang menetap di wilayah Lio Utara, suku Seko yang menetap di Lio Selatan, suku Lise yang menetap di Lio Timur, dan suku Siga yang menetap di bagian Barat. Dan, juga ada beberapa suku kecil mendiami wilayah tanah persekutuan mereka sendiri. Dalam proses berkomunikasi sehari-hari, masyarakat suku Lio menggunakan bahasa percakapan, yaitu sara Lio atau bahasa Lio.
Secara umum, suku bangsa Flores merupakan suku percampuran antara etnis Melayu, Melanesia, dan Portugis. Pulau flores yang merupakan koloni Portugis di masa era awal invasi bangsa-bangsa asing ke Indonesia sehingga interaksi yang terjadi baik secara genetis dan kebudayaan berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat di pulau tersebut. Begitupun dengan suku Lio, masyarakat suku Lio terdiri dari dua jenis penganut agama, yaitu penganut agama I dan K. Penganut agama K merupakan mayoritas di suku Lio. Agama ini dibawa oleh orang Portugis ke wilayah Flores. Sementara I dibawa oleh para pedagang dari Makasar. Perbedaan ini tidak pernah menjadi penghalang yang berarti bagi masyarakat suku Lio. Bagaimanapun keteguhan masyarakat suku Lio terhadap prinsip persatuan yang mereka anut memiliki daya pemersatu bagi perbedaan-perbedaan itu.
Walaupun masyarakat suku Lio sudah mengenal agama sebagai pegangan hidup yang utama, tetapi masyarakat suku Lio juga masih mempertahankan kepercayaan lokal warisan leluhur seperti memercayai adanya arwah nenek moyang yang tinggal di danau Kelimutu. Dalam struktur kemasyarakatan, suku Lio dipimpin oleh kepala desa/suku yang dikenal dengan istilah Mosalaki. Segala bentuk permasalahan yang berkenaan dengan adat dan kemasyarakatan suku Lio dikonsultasikan kepada teta adat/kepala suku (Mosalaki). Hal ini biasa dilakukan di rumah adat yang juga menjadi pusat adat yang dikenal dengan Rumah Mosalaki atau Sao Ria.
Sebagian besar masyarakat suku Lio bermata pencaharian di bidang pertanian. Sebagian lain yang tinggal di pesisir pantai berprofesi sebagai nelayan. Masyarakat suku Lio juga mengenal beberapa upacara adat terkait dengan pertanian di antaranya upacara Paki tana neka watu adalah upacara musim tanam padi dan jagung Joka Ju / Ju Angi adalah upacara untuk menolak bala dan hama tanaman, upacara Keti uta atau Ka poka adalah upacara yang dilaksanakan untuk menyongsong panen padi, dan upacara Ngguaria adalah pesta syukuran atas keberhasilan panen selama satu tahun. Selain upacara dalam pertanian, suku Lio juga mengenal upacara-upacara adat lain seperti, upacara empat hari bayi dilahirkan (Wa'u tana), upacara bayi boleh digendong orang lain (Ka Ngaga), upacara cukur rambut pertama anak laki-laki atau anak perempuan (Kongga/poro fu), upacara potong gigi anak laki-laki atau perempuan yang sudah cukup umur (Roso Ngi'i ), dan upacara pernikahan adat (Wudu Tu).
Setiap kebudayaan yang lahir dari kearifan suatu kelompok masyarakat selalu mengandung pesan yang terpendam di dalamnya. Pesan itulah yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk kebudayaan yang menjadi tradisi atau adat istiadat dalam sebuah masyarakat. Begitupun dengan suku Lio, kekayaan tradisi masyarakat suku ini menyiratkan berbagai pesan leluhur atas kehidupan seperti penyembahan terhadap Tuhan dan penjagaan terhadap alam.
Diambil dari: | ||
Nama situs | : | Wacana Nusantara |
Alamat URL | : | http://www.wacananusantara.org/suku-lio/ |
Judul artikel | : | SUKU LIO, NUSA TENGGARA TIMUR |
Penulis artikel | : | Tidak dicantumkan |
Tanggal akses | : | 4 Februari 2016 |
- Login to post comments
- 10637 reads