Disiplin Sejak Dini, Masa Depan Cemerlang untuk Anak

Salah satu kunci keberhasilan hidup adalah sikap disiplin. Kalau kita menuruti keinginan daging, seperti kemalasan atau kesombongan, disiplin bisa menjadi hal yang menyakitkan. Di sisi lain, kalau kita menuruti keinginan Tuhan, disiplin itu menyenangkan dan menjadi sesuatu yang konsisten kita kerjakan.

Lebih baik lagi, jika kedisiplinan ini dipupuk sejak dini, yaitu dalam lingkungan keluarga. Anak-anak yang terbiasa mengerjakan segala sesuatu dengan disiplin akan tumbuh sebagai pribadi yang memiliki tanggung jawab, serta lebih tangguh menghadapi tantangan hidup.

Tiga kisah Alkitab berikut ini dapat membantu kita melihat: menjadi seperti apakah anak-anak yang dididik dengan disiplin oleh orang tuanya dan yang tidak?

1. Hofni dan Pinehas (1 Samuel 2:11-29)

Apakah anak pendeta, anak pelayan Tuhan, atau anak orang yang aktif dalam pelayanan gereja pasti baik hidup rohaninya dan takut akan Tuhan?

Belum tentu. Didikan orang tua berpengaruh pada karakter anak, termasuk di dalamnya sikap disiplin yang ditanamkan sejak kecil. Sebaik apa pun hidup rohani kita sebagai orang tua, kalau kita jarang atau tidak pernah mendisiplinkan anak, dia akan cenderung seenaknya berbuat dosa.

Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan Tuhan. – 1 Samuel 2:12

Sebagai seorang imam dan hakim, Eli dipercaya Tuhan menjadi imam di Silo, di mana tabut perjanjian disimpan. Doanya untuk Hana agar Tuhan berkenan memberikan keturunan lagi sebagai pengganti Samuel juga didengarkan Tuhan (1 Samuel 2:20-21).

Namun, sayang, bicara soal mendisiplinkan anak, Eli tidak melakukannya (1 Samuel 2:29). Hofni dan Pinehas memandang rendah korban persembahan untuk Tuhan (1 ayat 17). Mereka jatuh dosa perzinaan dengan perempuan-perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan (ayat 22), dan ketika ditegur, mereka tidak mau mendengarkan (ayat 23-25).

Tanpa disiplin, seorang anak akan hidup semaunya, menghalalkan segala cara, dan suka melanggar aturan.

2. Yoel dan Abia (1 Samuel 8:1-22)

Samuel adalah salah satu hakim terhebat yang dimiliki orang Israel pada masa itu. “… TUHAN menyertai dia dan tidak ada satupun dari firman-Nya itu yang dibiarkan-Nya gugur” (1 Samuel 3:19).

Sayang, karakter anak-anaknya, yaitu Yoel dan Abia, tidak mirip dengannya. Di masa tua Samuel, ketika kedua putranya menjadi hakim, masalah serius muncul. Selain tidak menjatuhkan putusan dengan adil, Yoel dan Abia juga hidup semaunya dan mementingkan diri sendiri.

Tetapi anak-anaknya itu tidak hidup seperti ayahnya; mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan. – 1 Samuel 8:3.

Kisah para putra Eli dan Samuel menjadi peringatan agar kita tidak hanya sibuk dengan aktivitas kerohanian, tetapi lalai mengajarkan disiplin kepada anak. Kita boleh saja hebat dalam pekerjaan dan pelayanan, atau disegani di lingkungan perumahan. Namun, semua itu tidak otomatis menjadikan kita orang tua yang baik.

Karena itulah, selain memberikan teladan kepada anak, kita juga perlu mengajarkan konsekuensi atas perbuatan yang salah. Jika kita biarkan, kebiasaan atau sikap buruk itu akan meningkat kadarnya, bahkan dapat merusak hidup anak dan hidup orang-orang di sekitarnya di kemudian hari.

3. Yesus Kristus (Lukas 2:41-52)

Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya. – Lukas 2:51

Mungkin ada yang berpikir bahwa Yesus tumbuh sebagai pribadi yang berhikmat, dikasihi Tuhan dan manusia, karena Dia Anak Allah. Betul, Yesus adalah putra Allah. Tapi, jangan lupa, Dia juga lahir sebagai anak manusia, dan menjalani kehidupan manusia. Dia dididik dan dibesarkan oleh Yusuf dan Maria.

Sebelum Yesus lahir, Yusuf dan Maria sudah tahu bahwa mereka diberi kepercayaan serta anugerah yang sangat besar. Mereka akan menjadi orang tua Juruselamat dan Penebus umat manusia. Dengan kata lain, mereka bertanggung jawab atas pengasuhan dan pemeliharaan Yesus.

Yusuf dan Maria adalah manusia biasa, sama seperti kita. Alkitab tidak mencatat secara rinci masa kecil dan remaja Yesus. Namun, melihat karakter Yesus saat dewasa, kita tahu bahwa Yusuf dan Maria telah mengasuh Dia sesuai ajaran Firman Tuhan.

Marilah kita meneladani Yusuf dan Maria yang mendisiplinkan Yesus sejak kecil, sehingga Dia menjadi anak yang taat kepada Allah. Sebagai manusia, keduanya memang tidak sempurna, tetapi mereka berusaha memberikan asuhan yang sempurna untuk Yesus.

Disiplin Berpadan dengan Teladan

Kalau Anda merasa belum mengajarkan disiplin kepada anak, mulai hari ini, cobalah “disiplinkan” diri untuk melakukannya. Jangan pelihara budaya membiarkan ketika anak melakukan hal tidak pantas atau berbuat dosa. Amsal 29:15 berkata: Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya.

Sebaiknya jangan hanya mengomel atau membentak anak tanpa alasan jelas. Beritahu dia di mana letak kesalahannya, kenapa itu salah, dan apa yang seharusnya dia lakukan. Ketika anak membandel, Anda dapat memberikan sanksi disiplin demi kebaikannya sendiri. Tentunya, dengan cara-cara yang berkenan kepada Allah, bukan sekadar untuk melampiaskan kemarahan atau memuaskan ego Anda sebagai orang tua.

Selain itu, barengi disiplin dengan teladan. Kalau Anda mengharapkan anak tepat waktu, jadilah orang tua yang tepat waktu pula. Kalau Anda ingin anak membereskan mainan atau membenahi kamarnya, tunjukkan bahwa Anda juga selalu menjaga kerapian kamar sendiri. Leading by example akan membuat anak lebih menaruh hormat kepada orang tua dan tertarik untuk meniru tindakan mereka.

Yang terakhir, jika Anda mengalami kendala, jangan segan untuk berdiskusi dengan pembimbing rohani atau saudara-saudari yang lebih berpengalaman dalam parenting. Tuhan memberkati keluarga Anda!

Source : https://gkdi.org/blog/disiplin/