Relasi Etika Misi (2)

Oleh: Purnawan Tenibemas

Etika Kristen -- Etika Kristus

Konteks yang kita jalani berbeda dalam banyak hal dengan konteks yang dijalani Tuhan Yesus. Namun, kita selayaknya memedomani sikap Tuhan dalam konteks hidup-Nya yang nyata dan terukur. Rasul Paulus mengajak penerima suratnya untuk meneladaninya sebab ia adalah pengikut Kristus (1 Korintus 11:1). Patokan etika yang diajarkan dan dihadirkan dalam kehidupan Yesus, bisa kita simak sebagaimana dicatat dan dilaporkan oleh rasul Matius dalam Injil yang kita kenal sebagai Khotbah di Bukit. Tuhan tidak merombak budaya, Ia hidup dalam budaya Yahudi, mengenakan pakaian Yahudi, makan panganan Yahudi, bercakap dalam bahasa Aramik yang merupakan bahasa yang digunakan saat itu. Namun, Ia memberi nilai dan motivasi baru dalam menjalani hidup keagamaan dalam konteks budaya saat itu. Etikanya bukan lagi etika Taurati, melainkan etika Kristus yang tentu derajatnya lebih unggul. Simak ungkapan yang Tuhan pakai dalam membandingkan kedua sistem tersebut, berulang-ulang Tuhan mengatakan, "Kamu mendengar ... Tetapi Aku berkata ..." Ia menutup bagian itu dengan ucapan "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna." (Matius 5:21-48)

Tuhan Yesus memberi motivasi baru dalam menerapkan ritual keagamaan yaitu dalam hal memberi, doa, dan puasa. Motivasi dalam melaksanakan ritual tersebut bukan untuk dipuji manusia, melainkan untuk menikmati relasi dengan Bapa. Demikian juga dalam kaitannya dengan kebendaan (Matius 6). Dalam bagian akhir pengajaran-Nya tentang khotbah di bukit, Tuhan memberi perintah dan tawaran yang ditandai dengan kata jangan menghakimi ..., jangan memberi barang kudus kepada anjing ..., mintalah ..., waspadalah ..., serta menutupnya dengan kesimpulan yang memberi gambaran paradoks tentang orang yang menerima dan yang menolak pengajaran-Nya yaitu sebagai orang yang bijaksana dan sebagai orang yang bodoh (Matius 7). Pada bagian akhir khotbah-Nya, terdapat ajaran yang kita kenal sebagai "kaidah kencana" atau "the golden rule" (Matius 7:12). Kaidah kencana adalah etika pergaulan yang diajarkan Tuhan kepada kita, yang Tuhan katakan sebagai inti seluruh pengajaran Perjanjian Lama. Rasul Matius memberi laporan reaksi para pendengar-Nya yang takjub, sebab pengajaran itu pun disajikan dengan kuasa. Berkuasa sebab pribadi penyampainya serta motivasi penyampaian pengajaran-Nya pun berbeda dengan para ahli Taurat saat mereka mengajar (Matius 7:28-29). Nyata sekali bahwa norma etika Kristus lebih tinggi dibanding dengan norma etika legalistik Taurati.

Tentu tidak cukup ruang untuk mengurai lebih jauh pengajaran dan sikap etika Tuhan dari keempat Injil. Namun, para penulis Injil bersaksi saat Tuhan Yesus melaksanakan misi Bapa di bumi ini, Ia banyak sekali mendapat tantangan. Tantangan-tantangan itu bisa berupa pengujian, debat, fitnah, atau pun aniaya fisik, namun semua pihak tidak bisa mendapati bahwa Ia berdosa (Yohanes 8:46). Etika hidup kudus-Nya begitu sempurna. Berbagai jerat dipasang oleh kaum Farisi dan ahli-ahli Taurat untuk menangkap Tuhan dan menyeret-Nya ke pengadilan. Saat waktu-Nya tiba, Tuhan bukan ditangkap melainkan menyerahkan diri dan pengadilan rekayasa pun digelar. Fitnah serta saksi palsu ditampilkan, namun mereka tetap tidak mendapati bahwa Tuhan Yesus berdosa. Pada dasarnya motivasi peradilan itu adalah kebencian dan iri hati dari para pemuka agama itu.

Imam Besar Kayafas, tanpa sadar dan tanpa memahami kebenaran rohani dari ucapannya, meneguhkan tujuan misi Tuhan Yesus saat ia mengatakan, "Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa." (Yohanes 18:14) Motivasi yang tergambar dalam kalimatnya untuk menghukum mati Tuhan, telah menjadi kebenaran bahkan bukan hanya bagi bangsa Yahudi melainkan bagi segenap manusia. Yang pasti, Yesus di hukuman mati bukan karena mereka mendapati-Nya berdosa. Raja Herodes dan Gubernur Pilatus pun tidak menemukan hukum untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Tuhan Yesus (Lukas 23:14-15, 22). Saat Pilatus terdesak akibat ketidaktegasannya dan saat isu politik yang diajukan para penuduh kepadanya, Pilatus pun menyerah dan mengurbankan kebenaran hukum (Yohanes 19:12).

Begitu nyata gambarannya bahwa saat Tuhan Yesus mengemban misi Bapa di bumi. Tuhan Yesus menampilkan hidup yang tidak berdosa, bahkan para penentang-Nya pun tidak bisa menuduh Dia sebagai orang berdosa secara etika. Ia ditangkap karena fanatisme keagamaan semata. Kini saat kita mengemban misi Tuhan, kita pun seharusnya menampilkan hidup seperti hidup yang Tuhan tampilkan. Kehidupan Tuhan Yesus adalah cermin bagi kita. Memang kita berbeda dengan Tuhan Yesus, namun kita diberi janji bahwa orang yang percaya kepada-Nya, akan dimampukan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang Ia lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu (Yohanes 14:12). Sebelum Tuhan naik ke surga, Ia menjanjikan penyertaan kuasa untuk mengemban misi-Nya yaitu saat Roh Kudus mendiami orang percaya (Kisah Para Rasul 1:8). Kenyataan ini merupakan janji yang indah dan sangat membesarkan hati kita.

Kasih Motor Etika Kristen

Sebagaimana dicatat dalam Injil Matius 22:37-40, Tuhan Yesus menyimpulkan kitab Perjanjian Lama dengan kalimat yang berbeda dengan Kaidah Kencana. Kitab Perjanjian Lama diringkaskan menjadi dua Hukum Kasih yang dikenal dalam gereja Kristen kini sebagai dua Hukum Utama. Mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap akal budi adalah pengutamaan Allah di atas segala hal. Allahlah yang seharusnya menjadi yang terutama dalam hidup orang Kristen, apalagi para penyandang misi Tuhan, serta mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri adalah ungkapan lain tetapi memunyai makna yang sama dengan Kaidah Kencana. Kita mampu melaksanakan Kaidah Kencana dengan motivasi tepat, bila kita bisa mengasihi sesama dengan tulus seperti halnya kita mengasihi diri sendiri.

Kita akan mempersembahkan mutu hidup terbaik sebagai persembahan yang hidup, jika kita memiliki kesadaran untuk mengasihi Allah seperti yang Tuhan Yesus minta. Orang seperti itu akan melakukan kehendak Allah dan akan meneladani hidup Tuhannya, sebab Tuhan adalah hidupnya sendiri. Saat Tuhan mengatakan bahwa kita harus mengasihi musuh (Matius 5:44), mungkin kedagingan kita memberontak apalagi mengingat hal-hal buruk yang telah orang itu lakukan terhadap kita. Namun, kasih akan Allah akan mengangkat dan memampukan kita untuk melaksanakan kehendak Tuhan itu.

Rasul Yohanes memberi kesimpulan indah saat ia menulis bahwa kasih akan Allah itu akan nyata lewat hidup yang menuruti perintah-perintah-Nya, dan perintah-perintah-Nya itu tidak berat (1 Yohanes 5:3). Rasul yang dikenal sebagai murid yang paling Tuhan kasihi ini, tidak menulis bahwa perintah-perintah Tuhan itu ringan, melainkan perintah-perintah Tuhan itu tidak berat. Tidak berat, sebab bagi orang yang mengasihi Tuhan Allahnya dengan segenap hatinya, dengan segenap jiwanya, dan dengan segenap akal budinya atau dengan segenap kehidupannya, perintah Tuhan itu tidak dinilainya sebagai beban melainkan sebagai kehormatan. Melaksanakan perintah Tuhan itu sebagai wujud kasih kepada Tuhannya. Orang seperti itu tidak mengangkat atau melaksanakan perintah Tuhan itu hanya dengan ototnya, melainkan dengan hidupnya sebagai pengejawantahan kasihnya kepada Allah.

Berbeda halnya bila sikap etikanya adalah legalistik. Perintah untuk mengasihi musuh itu mungkin tetap dilaksanakan, namun terasa teramat berat sebab motornya bukan kasih melainkan pelaksanaan hukum. Anggapannya bila tidak dilaksanakan, ia akan terkena tulah atau akibat buruk lainnya. Inilah perbedaan etika legalistik dengan etika Kristus. Etika legalistik, saat melakukan perintah-perintah Allahnya itu, sangat mungkin pelakunya kurang bersukacita bahkan ada perasaan terpaksa karena takut akan akibatnya bila melalaikan perintah atau hukum itu. Sedangkan pelaku etika Kristus, hukum Tuhan bukan lagi sebagai beban yang memaksanya untuk dilaksanakan, melainkan ia merasa mendapat kehormatan saat melaksanakan hukum itu. Norma di atas bisa dikenakan pada berbagai ragam kehendak Tuhan lainnya, bukan hanya berkenaan dengan mengasihi musuh semata. Bila hal itu dilaksanakan, maka etika Kristus yang kita sandang dan peragakan sebagai pelaksana misi Tuhan akan memesona banyak orang, dan pada gilirannya berita yang kita sampaikan sangat mungkin akan didengar, harap bersambut pula dengan penerimaan Kristus.

Saat kita melaksanakan misi Tuhan, kasih yang akan membawa kita pada upaya untuk melakukannya dengan kadar terbaik sebagai wujud kasih kepada pemberi mandat misi itu yaitu Tuhan Yesus. Kita akan melaksanakannya dengan kadar terbaik saat melayani sesama sebagai wujud kasih kepada orang itu. Saat orang dengan kesadaran di atas melaksanakan pekabaran Injil, ia akan melaksanakannya bukan supaya target program gereja atau yayasan misinya tercapai, melainkan karena mengasihi orang yang diinjilinya, sebab keselamatan bagi orang itu hanya ada di dalam Kristus. Orientasi pelayanannya bukan semata pada program melainkan pada orang yang dilayaninya. Orang yang mengemban misi Tuhan dengan motivasi seperti itu akan memberi dirinya untuk mengasihi orang yang dilayaninya, agar orang itu menikmati keselamatan dan kebahagiaan seperti ia sendiri telah alami dan nikmati di dalam Kristus.

Karena kasih kepada sesama yang dilayaninya, sekalipun norma etikanya berbeda dengannya, ia akan menghargainya sebagai sesama yang membutuhkan keselamatan dalam Kristus. Bila etika orang yang dilayaninya itu lebih rendah, ia tidak akan menghina, meremehkan, ataupun mencelanya. Kasih yang tulus bersedia menerima orang itu apa adanya. Etika Kristus yang ia peragakan bukan dalam motivasi untuk mendapat pujian atau mempermalukan orang yang sedang dilayaninya. Bukan pula memperagakan etika Kristus hanya pada saat pelayanan saja, melainkan telah menjadi norma hidupnya, dan ia tidak mau menjadi batu sandungan untuk berita indah yang akan disampaikannya.

Tata Laksana Misi Kasih

Motivasi kasihlah yang harus tampil dalam mengemban misi Kristus dalam pelayanan di Nusantara ini. Bercermin dari sikap Tuhan Yesus saat Ia mengemban misi Bapa di Israel, Ia begitu mengasihi bangsa itu -- Ia menangisi Yerusalem dan menggambarkan dirinya seperti seekor induk ayam yang merindukan untuk melindungi anak-anaknya dari ancaman pemangsa (Lukas 13:34). Tidak dapat disangkal bahwa Tuhan mengalami banyak kesulitan dari bangsa Yahudi, namun kasih-Nya kepada mereka tidak pernah surut. Sekalipun pada saat Ia tergantung di atas kayu salib, Ia tidak mengutuki para algojo-Nya atau para perekayasa penyaliban-Nya itu. Tuhan Yesus tidak mengerahkan kuasa-Nya untuk mendatangkan 12 batalion tentara malaikat (Matius 26:53). Tuhan Yesus yang Mahakuasa, sanggup untuk terhindar dari penyaliban atau saat disalibkan dan melepaskan diri. Bagi Tuhan, turun dari kayu salib adalah teramat mudah, namun Tuhan rela mati tersalib demi keselamatan kita. Itulah wujud kasih-Nya kepada umat manusia. Tuhan Yesus pun tidak melaknat atau mengutuk atau pun meminta kepada Bapa untuk menghukum semua yang memusuhi-Nya. Saat kedua tangan-Nya terbentang, terpaku, saat luka-luka pada punggung-Nya membengkak dan mungkin mulai bernanah, dan demam pun menyergap-Nya, saat kaki-Nya di paku dan ditopang agar tergantung dan menderita, mati pelahan-lahan, Tuhan Yesus justru bersyafaat bagi para algojo-Nya (Lukas 23:34). Tuhan tidak membenci mereka, kasih-Nya tetap tidak berubah sekali pun kepada orang yang berbuat jahat kepada-Nya.

Cermin kedua adalah sikap Stefanus yang tentunya meneladani Tuhan Yesus. Saat Stefanus dirajam, yang tentunya merupakan salah satu wujud hukuman mati yang kejam dan teramat menyakitkan, Stefanus tidak menyerapahi para algojonya, dan ia pun tidak meminta Bapa di surga menurunkan api untuk menghukum para algojonya itu, melainkan Stefanus bersyafaat dan memohon ampun bagi mereka (Kisah Para Rasul 7:60). Suatu sikap yang luar biasa. Sikap Stefanus merupakan hasil dari penerapan etika Kristus, telah mengguncang hati dan merasuki pikiran seorang Farisi muda, Saulus (Kisah Para Rasul 7:58; 8:1). Namun, Saulus yang dididik secara keras dalam mazhab Farisi yang paling keras (Kisah Para Rasul 26:5), mengeraskan hatinya dan mencoba menutup kegundahannya setelah pengalaman perjumpaannya dengan Stefanus yaitu dengan menganiaya orang-orang Kristen.

Betapa pun kerasnya upaya untuk menutupi keterpesonaannya akan sikap Stefanus -- dengan aniaya demi aniaya yang ia lakukan (Kisah Para Rasul 9:1-2) -- ia gagal. Puncak pergumulannya itu terjadi saat ia dalam perjalanan menuju Damsyik, yang juga untuk menganiaya orang Kristen Damsyik. Saat itulah Tuhan Yesus menampakkan diri-Nya dan memberi pengampunan, maka hidup Farisi ini pun berubah total. Kesediaan Stefanus untuk berjalan dalam jalan Tuhan, sekalipun harus menanggung penderitaan yang teramat hebat dan memberi respons kasih kepada yang memusuhi dan menganiayanya, telah menghasilkan buah unggul. Buah itu berupa pertobatan calon rasul besar yang kemudian dipakai Tuhan secara luar biasa. Dialah yang berhasil menanam jemaat Tuhan di keempat provinsi utama kekaisaran Romawi.

Cermin ketiga adalah sikap rasul Paulus sendiri. Dalam Roma 9:1-3, rasul Paulus menyampaikan jeritan hatinya yang mengungkap kerinduan terdalamnya untuk melihat saudara-saudara sebangsanya datang kepada Kristus dan menikmati keselamatan-Nya. Sekalipun ia mengalami banyak kesulitan dari kaum sebangsanya, ia dikejar dari kota ke kota oleh kaum sebangsanya yang berupaya untuk menangkap bahkan membunuh Farisi "murtad" itu, ia tetap mengasihi mereka. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, rasul Paulus menyatakan bila mungkin ia rela menjadi tumbal atau menjadi kutuk demi keselamatan kaum sebangsanya. Sikap seperti itu tidaklah mungkin lahir dari hati yang membenci. Sikap itu lahir dari hati yang mengasihi secara tulus. Tidak dapat disangkal, rasul Paulus meneladani Tuhannya yang telah memberi pengampunan ajaib kepadanya.

Sumber: Simposium Teologi XI-2001, Persekutuan Antar Sekolah Injili di Indonesia

e-JEMMi 20/2011