Saya Hanya Mau Menyembah Tuhan!

Setahun sesudah dibebaskan dari penjara Turkmenistan, Shagildy Atakov bersaksi bagaimana ia telah dibantu untuk tetap setia kepada Kristus karena melihat contoh kesetiaan para napi Kristen Rusia yang dipenjarakan semasa pendudukan Uni Soviet.

Rumah tangga Atakov pertama kali diserbu oleh polisi rahasia bulan Desember 1998. Shagildy dituduh sebagai "musuh negara", karena aktif menjadi pendeta awam dari sebuah gereja di bawah tanah. Karena perbuatan "subversif" (merongrong negara) Shagildy ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan yang direkayasa. Apa boleh buat, hari raya Natal tahun itu ia tidak dapat merayakan bersama keluarganya.

Lebih dari tiga tahun berlalu sebelum Shagildy dibebaskan dan bertemu kembali dengan Gulya, istrinya, serta kelima anak lelakinya. Hampir empat puluh bulan ia ditahan dalam kamp kerja paksa. Para sipir penjara mendapat perintah khusus: "Jaga orang ini supaya melupakan siapa orangtua dan siapa Tuhannya."

Para sipir penjara menempuh segala cara untuk melaksanakan perintah tersebut, sampai-sampai juga menghasut para napi lain agar memaksa Shagildy menyangkal iman.

TETAP PERCAYA PADA RENCANA TUHAN

Shagildy teringat peristiwa-peristiwa mengerikan yang dialaminya di sel penjara. Ia sendiri pun bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa Tuhan membiarkannya menderita demikian. Tetapi tak lama kemudian ia mendapat jawaban atas pertanyaannya.

Pada malam pertama di dalam sel itu, ketika sedang tidur nyenyak tiba-tiba ia dibangunkan oleh salah seorang napi lain. Orang itu ingin tahu lebih banyak mengenai "agama"nya, karena melihat betapa kuat imannya. Tak lama kemudian, semua napi lain di sel itu juga bertanya-tanya tentang "Kabar Baik" itu.

Tetapi Shagildy harus membayar mahal untuk semua itu. Ketika para penjaga penjara mendapati bahwa ia telah memberitakan Injil mengenai Kristus, ia disuruh menghadap dan dianiaya.

Sekalipun harus menahan rasa sakit, Shagildy melihat bagaimana Tuhan bekerja. Beberapa malam sesudah ia mendapat penganiayaan berat itu, seorang penghuni sel lain datang kepadanya dan berbisik: "Shagildy, aku berhasil membawa sebuah kitab Injil bagimu -- bolehkah kita berdoa bersama sekarang? Aku ingin juga bisa berdoa seperti kamu."

PENGHINAAN DAN PELECEHAN

Mungkin pengalaman paling berat baginya adalah ketika dipindahkan ke kamp kerja paksa di kota Sejdi. Ia masih ingat benar kejadiannya: "Ternyata para petugas penjara telah lama menunggu kedatanganku. Mereka berteriak: 'Mana orang (Kristen) Baptis itu? Mana si Atakov?' Ketika saya maju dan memperkenalkan diri, mereka mencemooh saya: 'Mengapa kamu berbuat begini (pindah agama, maksudnya)? Bukankah kamu juga warga Turkmen, bukankah seharusnya kamu menganut agama non-Kristen?"

"Seminggu kemudian saya disuruh menanggalkan semua pakaian dan berdiri di depan semua orang," demikian Shagildy meneruskan. "Mereka berpesan agar setiap muslim jangan berurusan lagi dengan saya, karena: 'Orang Turkmen ini telah murtad imannya dan menjadi orang Kristen. Sekarang ia berusaha mengkristenkan semua orang di sini. Jangan dekat-dekat orang ini!' Sementara dipermalukan itu saya berdiri saja, sambil menangis dan berdoa dalam hati agar Tuhan memberi saya kekuatan untuk tetap setia dan rendah hati, seperti Tuhan Yesus."

TETAP SETIA KEPADA KRISTUS

Bagaimana caranya Shagildy dapat bertahan meski menderita dan dipermalukan? Ia tahu itu hanya mungkin karena kuasa Roh Kudus. Ia mempunyai banyak cerita bagaimana Tuhan menolong dan menguatkannya selama berada di penjara.

Terutama sekali, Shagildy dan Gulya berterima kasih kepada Tuhan karena begitu banyak dukungan dan kesetiaan pendoa syafaat "Open Doors" yang tersebar di seluruh dunia, karena mereka selalu membawa keluarga itu ke hadapan takhta Allah selama tiga tahun yang sulit itu.

Shagildy dan istrinya juga berterima kasih karena diam-diam Tuhan telah mempersiapkan mereka untuk menghadapi aniaya yang akan mereka alami. Beberapa tahun yang silam, tak lama sebelum Shagildy bertobat, ia membaca kisah-kisah kesaksian dari umat Kristen Rusia. Ketika pemerintah Uni Soviet masih berkuasa, umat Kristen Rusia juga menderita aniaya demi pekabaran Injil. Mereka tetap setia dibawah tekanan dan aniaya di masa-masa lalu, dan Tuhan memakai kesaksian hidup mereka untuk menguatkan Shagildy sehingga ia dapat juga setia kepada Kristus ketika ia dipenjarakan dan dianiaya.

"Penguasa berkata kalau saya bersedia mengucapkan sumpah pengabdian kepada Presiden, maka saya akan segera dibebaskan," kata Shagildy. "Tetapi saya jawab mereka, bahwa saya hanya dapat mengabdi kepada Tuhan yang kusembah. Setelah saya dibebaskan sekarang, sama juga. Saya hanya ingin mengabdi kepada Tuhan."

Diedit dari sumber:
Buletin Doa "PINTU-PINTU TERBUKA"
Edisi April-Mei 2003, Vol.6, No.2

e-JEMMi 19/2003