Alkitab Sebagai Kerangka Referensi

Uraian ini saya awali dengan satu tema pernyataan iman yang masih dapat berkembang: Allah, Allah yang hidup, Allah yang menyelamatkan, Allah yang berbicara, dan Allah yang mencukupi. Kita harus menyampaikannya dengan cara sedemikian rupa sehingga kita dapat melihatnya dengan latar belakang kepercayaan-kepercayaan yang berbeda. Entah disadari atau tidak, para misiolog, sebagaimana para ilmuwan, sama-sama mengawali riset mereka dengan tindakan iman. Walaupun Durkheim menyatakan, "semua prakonsepsi harus dihapuskan" (1962:31), tidak ada cara lain untuk memulai sebuah riset kecuali dengan tindakan iman. Faktanya, yang dilakukan Durkheim sendiri ternyata persis seperti itu. Saltman, seorang ahli biokimia, berpendapat bahwa "ilmu pengetahuan adalah satu pengalaman religius" (1970). Pertama-tama, para peneliti ilmu pengetahuan percaya bahwa alam semesta memunyai tatanan; kedua, manusia dapat memahami tatanan ini dengan melakukan penelitian-penelitian; dan ketiga, adalah suatu hal yang baik bagi manusia untuk mendapat pemahaman tersebut.

Seorang peneliti tidak hanya memulai dengan iman yang pribadi, tetapi juga membutuhkan semacam "kerangka acuan" untuk menyusun, menguji, dan menafsirkan pengalamannya. Kerangka acuan itu dapat berbentuk peta atau diagram, yang telah dirancang oleh orang lain berdasarkan riset sebelumnya dan telah diuji selama bertahun-tahun melalui serangkaian penemuan ilmiah yang terus berkembang. Selain itu, sebuah kerangka acuan bisa berbentuk sistem kalkulasi, dengan rumusan dan metode trigonometri yang telah dibuktikan secara matematis. Kerangka acuan juga bisa berbentuk metode pengumpulan, pengelompokan, dan pembandingan data kuantitatif dan kemudian dicatat dalam bentuk grafik hingga membuat kita dapat mengenali kondisi dan kecenderungan tertentu. Pilihan-pilihan kerangka acuan yang disediakan untuk berbagai jenis riset hampir tidak terbatas jumlahnya. Setiap disiplin ilmu dapat memunyai satu atau lebih kerangka acuan bergantung tujuan risetnya.

Kerangka acuan untuk misiologi harus memenuhi persyaratan berikut:

  1. Kerangka acuan itu harus cukup memadai untuk disiplin ilmu tersebut; artinya, penggunaan kerangka acuan itu harus dapat diaplikasikan di tengah-tengah konsep misi Kristen dan tujuannya.

  2. Kerangka acuan itu harus dilengkapi dengan cara-cara yang memadai untuk pengelompokan dan pengujian data yang sudah diamati dan dikumpulkan; artinya, acuan itu harus memiliki nilai-nilai dan moral-moral religius.

  3. Kerangka acuan itu harus dijadikan alat penguji yang bisa meyakinkan misiolog itu sendiri akan keandalan temuan mereka.

Kemudian, jika seorang peneliti sudah memilih satu kerangka acuan yang meyakinkan, dia harus menggunakan kerangka acuan itu dengan jujur dan konsisten, dan tidak memanipulasinya -- tidak seperti yang sering dilakukan oleh beberapa peramal licik -- untuk keuntungan diri sendiri. Kerangka acuan adalah sesuatu yang berasal dari luar diri sang peneliti, yang diadopsi untuk tujuan pengujian, agar diperoleh hasil yang tidak didasarkan pada penilaian subjektif sang peneliti. Sebuah kerangka acuan disusun bukan hanya untuk tujuan pengelompokan data, tetapi juga untuk dijadikan tolok ukur sumber data yang diteliti dan otoritas data yang diuji. Selain itu, adanya sebuah kerangka acuan akan mengurangi subjektivitas temuan itu dan membantu sang peneliti untuk menetapkan kesimpulan secara ilmiah. Beberapa penilaian dan pertimbangan subjektif tentu masih akan ada, namun sang peneliti akan bertindak mengikuti "aturan permainan".

Dalam misiologi, kerangka acuan kita adalah Alkitab. Kita menerima Alkitab "apa adanya" sebagai alat bantu untuk mengelompokkan dan menguji materi kita. Materi-materi ini diambil dari sumber-sumber historis, arsip-arsip bersejarah, dan riset-riset antropologi. Materi-materi ini dikumpulkan dengan teknik-teknik kesejarahan dan antropologi yang telah diakui secara luas dan diletakkan pada kisi-kisi Alkitab untuk ditafsirkan.

Agenda dunia, perbandingan agama, dan filsafat tidak memberikan skala penguji misiologi yang memadai. Sebaliknya, Alkitab telah memenuhi hal itu dikarenakan beberapa hal. Alkitab adalah firman Allah yang tertulis, yang dengan firman itu Allah telah mengutus para pengikut-Nya ke ladang misi di dalam dunia dan kepada dunia -- itu merupakan prioritas utama. Alkitab juga menunjukkan konteks pengutusan itu secara tepat. Selain itu, Alkitab menyimpan informasi mendasar tentang satu "Pribadi", yang adalah pusat dari misi Kristen, tentang hakikat misi-Nya sendiri untuk umat manusia, dan otoritas yang memberi-Nya kuasa untuk mengutus pengikut-pengikut-Nya. Alkitab telah menerangkan tujuan dan ruang lingkup misi dunia. Maka, sudah sewajarnya kita kembali pada pokok-pokok tersebut untuk menguji praktik misi kita sendiri.

Perjanjian Lama menceritakan bagaimana Allah berhubungan dengan manusia melalui Israel. Dua gagasan mulai muncul dari sini: "bangsa-bangsa" dan "tanggung jawab umat Allah" terhadap

bangsa-bangsa itu. Perjanjian Lama menunjukkan betapa Israel sudah gagal dalam tanggung jawab itu. Semuanya ini adalah konteks yang di dalamnya Yesus hidup di bumi dan menghadapkan Amanat Agung. Israel yang baru sudah diwarisi janji-janji itu. Kemudian, Alkitab adalah sebuah catatan mengenai permulaan karya misi Kristen pada zaman Kekaisaran Roma, dengan satu uraian yang jelas tentang berbagai jenis pola pertumbuhan dan permasalahannya -- keduanya ternyata sangat menyerupai temuan kita pada zaman kita. Selanjutnya, Alkitab berisi sekumpulan bahan-bahan, yang walaupun [pada mulanya] tersebar, dapat ditelusuri melalui penelitian untuk memberikan dasar teoretis dan teologis yang memadai untuk aktivitas misi Kristen itu. Beberapa dimensi teologi ini telah saya satukan dalam buku "Church Growth and the Word of God" (1970a). Karena hal ini dan alasan lainnya, tampak bagi saya bahwa tidak ada kerangka acuan lain yang lebih memadai untuk menguji misi Kristen selain Alkitab itu sendiri. Oleh sebab itu, saya telah memakainya sebagai kerangka acuan saya selama bertahun-tahun, saya tidak merasa perlu untuk menggantinya dengan sesuatu yang berasal dari dalam diri saya sendiri (secara filosofis) atau beberapa ideologi lain yang berlandaskan agenda dunia, yang menjadikannya sebagai otoritas, alih-alih Allah.

Saya menggunakan Alkitab secara "menyeluruh". Tidak ada alasan untuk menyimpang dari Alkitab, untuk menghilangkan bagian ini atau itu karena beberapa alasan yang seolah-olah saja kritis. Bagi saya, Alkitab senantiasa berperan sebagai otoritas firman Allah bagi umat-Nya. Bagi seorang antropolog, kebenaran firman Tuhan yang sudah diberikan kepada manusia dan dikumpulkan selama mungkin lebih dari dua ribu tahun itu, seharusnya mencerminkan bentuk-bentuk dan struktur kesastraan yang berbeda mulai dari suku-suku nomaden yang bersistem patriarki, kerajaan-kerajaan oriental, dan masyarakat pinggiran dan perkotaan Yunani-Romawi. Saya tidak menemukan Alkitab bermasalah dalam hal ini; bentuknya yang multikultural itu justru dipakai Allah untuk berbicara di dalam berbagai ruang dan waktu. Apabila saya membaca suatu bagian Alkitab yang memunyai konteks budaya tertentu, saya selalu membiarkan diri saya dituntun melalui bentuk budaya itu menuju kebenaran kekal yang seakan-akan berbicara kepada saya di dalam situasi budaya saya sendiri. Bagi saya, inilah alat bantu yang sempurna untuk mengevaluasi situasi-situasi lintas budaya pada dunia misi.

Dalam kajian ini, tidak terdapat butir yang memunculkan masalah kritik Alkitab. Itu bukan berarti saya mengabaikannya. Saya sudah mempelajarinya setiap hari dan menganggapnya murni sebagai hal yang akademis dan teoretis, dan bukan suatu masalah yang berkaitan dengan misi. Apabila saya memotong bagian Amanat Agung pada akhir masing-masing kitab Injil (karena itu adalah pernyataan setelah kebangkitan), kita tidak memiliki Amanat Agung hingga secara keseluruhan tidak terdapat lagi kebutuhan akan misiologi. Jika saya menghapus kisah kebangkitan, baik karena alasan cerita tersebut merupakan cerita tambahan atau mitos, maka khotbah-khotbah tentang kebangkitan tidak akan berarti lagi -- sekadar suatu gagasan saja. Kitab Suci dijadikan salah, iman kita sia-sia, dan kita masih tinggal di dalam dosa-dosa kita; selanjutnya, misi Kristen dianggap sebagai satu konsep yang palsu dan tidak terdapat kebutuhan akan misiologi. Alkitab saling lekat sebagai satu keutuhan sepenuhnya! Saya tidak menginginkan satu alat bantu yang kehilangan sebuah bagian utamanya. Pergunakanlah Alkitab sebagaimana adanya jika Anda tidak ingin kehilangan satu kerangka acuan. Jika Anda sudah tidak menggunakannya, artinya Anda sudah mengabaikan misi Kristen dan misiologi. Oleh karena itu, saya menetapkan syarat menerima Alkitab seutuhnya untuk setiap buku Pengantar Misiologi.

Tanpa sebuah Alkitab yang utuh, Tuhan yang bangkit, perjumpaan yang mengantarkan seseorang untuk menerima Kristus sebagai satu-satunya Juru Selamat, atau amanat pengutusan untuk pergi kepada bangsa-bangsa dan menjadikan murid-murid, apakah yang masih tersisa bagi misi-misi Kristen itu? Tentu saja, masih terdapat banyak proyek Kristen: menolong mereka yang membutuhkan, melatih orang-orang yang tidak terlatih, perjuangan untuk keadilan sosial, dan seterusnya. Semuanya ini adalah bagian dari tugas orang Kristen, sebagai satu tugas yang menyertai, tetapi bukanlah satu pengganti untuk misi. Menurut kitab suci, tugas-tugas itu merupakan dua pelayanan yang berbeda pada satu Gereja yang utuh. Dengan demikian, pelayanan Gereja di dunia sebagai sesuatu yang parsial dan gagasan pemisah-misahan ini sudah bertentangan dengan uraian Alkitab tentang Gereja. Kita memang bisa mengerjakan separuh-layanan ini dan menjadi penganut Universalis atau bahkan Hindu. Artinya, apa yang kita akan dapatkan adalah pelayanan kemanusiaan (dan sejauh ini hal tersebut merupakan satu tindakan yang mulia), namun secara keseluruhan sama sekali tidak menunjukkan ciri-ciri yang membedakan orang Kristen -- dan itu tentu saja bukanlah misi. Oleh sebab itu, apa pun yang kita kerjakan, entah kita menyadari bahwa kita harus menjadikan Alkitab sebagai satu kesatuan seutuhnya ataupun kita mengakui keharusan untuk ikut dalam misi Kristen, kita sudah menganggap pemikiran tentang misiologi sebagai suatu kepalsuan. Tampaklah jelas bahwa tidak terdapat kerangka acuan lain untuk misi Kristen, yang saya percayai, kecuali Alkitab secara keseluruhan, dan itulah yang saya yakini dalam buku Pengantar Misiologi ini. (t/Ully)

Diterjemahkan dan disunting seperlunya dari:

Nama buku : Introduction to Missiology
Judul asli artikel : The Bible as a Frame of Reference
Penulis : Alan R. Tippett
Penerbit : William Carey Library, California, 1987
Halaman Artikel : 13 -- 16

e-JEMMi 14/2010