PERPECAHAN GEREJA MENYEBABKAN KEHANCURAN BANGSA?

Bangsa ini telah mengalami degradasi moral! Lihatlah, berita yang bermunculan di berbagai media belakangan ini. Ayah memerkosa putri kandung, anak membunuh orang tua, pemuda memerkosa anak-anak di bawah umur. Anda mau menambahkan daftar itu? Silakan. Karena sekarang memang makin banyak peristiwa amoral yang terjadi di bangsa ini. Jika direnungkan lebih dalam, paling tidak ada dua penyebab utama terjadinya perpecahan, yaitu kurangnya rasa hormat kepada orang tua dan kurangnya keteladanan yang diberikan generasi tua kepada generasi yang lebih muda. Kedua faktor itu memang sangat berkaitan.

Menghormati Orang Tua

Pemberontakan terhadap orang tua ternyata telah tertulis di Alkitab. Gambaran tentang akhir zaman dapat kita baca dalam 2 Timotius 3:1-5. Pada ayat 2 tertulis, "...mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih..." Pemberontakan itu bisa terjadi karena mereka kurang hormat pada orang tua. Dan parahnya, itu tak hanya terjadi di keluarga saja, tetapi sudah mulai menjalar ke gereja. Buktinya, begitu banyak gereja yang mengalami perpecahan.

Proses terjadinya perpecahan biasanya dimulai dari generasi yang tidak merasakan langsung berkat/visi Tuhan dari generasi perintis yang memulai suatu pelayanan. Adanya gap antara generasi perintis dan penerus akan membuat mereka tidak lagi merasa saling membutuhkan. Generasi penerus merasa bisa berjalan sendiri tanpa bimbingan dari para "sesepuhnya". Sedangkan generasi perintis kurang memberi keteladanan kepada generasi penerus. Di titik inilah roh perpecahan semakin merajalela.

Kunci untuk menghancurkan roh pemberontakan ini terdapat dalam kitab Ulangan 6:6-7, "Apa yang kuperintahkan kepadamu hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-uiang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun". Perintah ini jelas tidak main-main dan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika setiap generasi senantiasa memberi keteladanan dengan menunjukkan rasa hormat pada "sesepuhnya, roh pemberontakan tidak akan pernah bisa eksis.

Kita bisa belajar dari suku primitif yang tinggal di pedalaman. Peradaban mereka dianggap masih rendah, tapi mereka justru sangat menghormati generasi yang lebih tua. Ketika menghadapi suatu persoalan, tak jarang mereka datang dan minta nasihat pada orang yang lebih tua. Mereka menganggap bahwa generasi tua memiliki banyak pengalaman. Berbeda dengan kita yang merasa lebih modern, yang justru kurang menganggap keberadaan generasi tua. Tindakan itu tidak berbeda jauh dari tindakan Raja Rehabeam yang mengabaikan nasihat generasi tua dan mendengarkan nasihat generasi muda sehingga membuat bangsa Israel pecah (1 Raja-Raja 12).

Keteladanan

Tampaknya, keteladanan merupakan sesuatu yang sangat sulit kita temukan sekarang ini. Para hamba Tuhan yang seharusnya dapat memberikan keteladanan malah tidak dapat kita harapkan. Mereka masih sering dikuasai amarah. Tak sedikit pula hamba Tuhan yang jatuh karena cinta harta, takhta, dan wanita.

Bagaimana mungkin gereja bisa eksis kalau faktor keteladanan dan para pemimpinnya diabaikan? Kalau dalam lembaga sesakral gereja faktor keteladanan sulit didapat, apalagi di lembaga sekuler. Biasanya apa yang terjadi di alam jasmani berbanding lurus dengan apa yang terjadi di alam rohani. Perceraian yang semakin marak terjadi bahkan dalam keluarga Kristen berhubungan erat dengan perpecahan yang terjadi dalam tubuh gereja-Nya. Lalu siapa korban yang paling menderita jika terjadi perceraian? Anak-anak! Mereka akan menanggung akibat yang paling utama. Mereka biasanya menjadi generasi yang kehilangan figur seorang ayah atau ibu. Dengan begitu, mereka bisa menjadi liar, tak terkendali sehingga melakukan tindakan keji yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Sementara, jika gereja pecah, yang menjadi korban utamanya adalah jemaat. Mereka akan kebingungan karena kehilangan pegangan. Yesus menggambarkan jemaat yang demikian sebagai jemaat yang kelelahan dan telantar seperti domba yang tidak bergembala (Matius 9:36). Dan, domba yang demikian menjadi santapan lezat bagi serigala yang akan membunuh, menyesatkan, dan membinasakan mereka (Yehezkiel 34:5-6).

Pemulihan

Bagaimana memulihkan keadaan yang sudah carut-marut seperti ini? Alkitab sudah menuliskannya. "Sesungguhnya Aku akan mengutus Nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari Tuhan yang besar dan dahsyat itu. Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah."

Ayat di atas menyingkapkan bahwa kunci pemulihan tak hanya bagi gereja-Nya, tetapi juga bagi bangsa dan negara. Munculnya pelayanan Elia akan menimbulkan dua dampak. Pertama, berbaliknya hati bapa kepada anaknya. Ini bicara tentang kembalinya sebuah keteladanan yang hilang. Dalam lingkup keluarga, keteladanan para pria sebagai ayah bagi anaknya dan sebagai suami bagi istrinya. Dalam lingkup gereja, dipulihkannya keteladanan para gembala, pendeta, pastor, penginjil, majelis, dan kelima jawatan gereja bagi jemaat sebagai domba gembalaannya. Di lingkup negara, dipulihkannya keteladanan para pemimpin dari pusat hingga daerah sehingga rakyat pun percaya dan mencintai mereka.

Dampak kedua, karena ada pemulihan keteladanan maka penghormatan pun dikembalikan. Anak akan menghormati orang tuanya. Perempuan akan lebih dihargai, tidak ada pelecehan lagi terhadap perempuan. Orang yang lebih tua dihormati oleh yang lebih muda. Keharmonisan hubungan antara gembala, majelis, jemaat dan semua elemen dalam gereja akan terbangun. Jemaat saling mendahului dalam memberi hormat (Roma 12:10). Rakyat juga akan menghormati dan mempercayai pemimpinnya.

Pelayanan Elia

Pelayanan Elia berhubungan dengan pelayanan kebapaan. Elia banyak melayani para janda miskin. Melalui pelayanannya pada seorang janda di Sarfat, hidup sang janda dan anaknya terselamatkan dan kebutuhannya pun terpenuhi. Pelayanan ini diturunkan pada Nabi Elisa sebagai penerusnya sehingga seorang janda dapat membayar semua utangnya sekaligus memenuhi kebutuhan hidupnya.

Melalui pelayanan mereka pada janda miskin ini, sebenarnya Allah sedang mengingatkan gereja agar tidak melupakan pelayanan kebapaan ini. "Ibadah yang murni dan tidak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia (Yakobus 1:27). Pelayanan ini sangat berharga di mata Tuhan.

Gereja mula-mula pernah mengabaikan pelayanan kepada janda miskin seperti yang banyak dilakukan gereja pada saat ini. Namun, mereka segera bertobat dengan membentuk tim khusus yang beranggotakan tujuh orang pelayan Tuhan "kelas satu". Anggotanya, antara lain Stefanus yang merupakan martir pertama di zaman Perjanjian Baru serta Filipus yang melayani sida-sida dari Etiopia.

Pelayanan pada janda miskin tersebut termasuk dalam pelayanan diakonia. Namun, pelayanan ini sering kali kurang diperhatikan dibanding pelayanan yang lain. Mungkin penyebabnya, antara lain para janda miskin itu sering dianggap merepotkan karena kebutuhan mereka harus diurus oleh gereja. Paradigma ini harus diubah. Jika tidak, gereja bisa saja menghadapi banyak masalah yang bisa menyeretnya ke dalam perpecahan.

Degradasi moral yang melanda bangsa ini erat hubungannya dengan kondisi gereja. Karena itu, gereja harus peduli dan kembali pada panggilannya semula. Dengan begitu, pemulihan negeri dengan segala krisis multidimensinya ini sudah dekat. Hanya ada satu syarat, hati bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak kepada bapanya.

Diambil dari:

Judul majalah : Bahana, Edisi Mei 2005, Volume 169
Judul artikel : Perpecahan Gereja Menyebabkan Kehancuran Bangsa?
Penulis : Yusak Cahyadi
Penerbit : Yayasan ANDI, Yogyakarta
Halaman : 22 -- 23