You are heree-JEMMi No.17 Vol.16/2013 / Fletcher Brockman
Fletcher Brockman
Kerinduan untuk melihat para pemuda unggul melibatkan diri dalam Gerakan Relawan Mahasiswa serta mendedikasikan hidup mereka bagi pelayanan misi luar negeri menggelora ketika metode dan ideologi beberapa orang dari antara mereka menjadi terkenal. Misionaris injili konservatif berkali-kali dikejutkan oleh konsep-konsep baru yang dibawa oleh kaum intelektual muda ke ladang misi, tetapi tak sedikit juga yang percaya bahwa nilai-nilai kekristenan konservatif sedang dirusak dan tidak dapat dipulihkan kembali. Konflik filsafat ini terjadi khususnya di China, dan salah satu misionaris muda yang mengungkapkan pandangan progresifnya secara vokal adalah Fletcher Brockman.
Brockman dibesarkan di perkebunan kapas di Georgia, dan dididik di Vanderbilt University, lulus pada tahun 1891. Setelah lulus, ia menjabat sebagai sekretaris nasional untuk YMCA, bekerja sama dengan mahasiswa di Selatan dan memperkembangkan misi untuk luar negeri. Sebagai kaum Methodis, Brockman pertama kali menawarkan jasanya kepada dewan misi denominasinya sendiri, tetapi uskupnya menyarankan bahwa sponsor interdenominasi dari YMCA mungkin lebih tepat untuk pelayanan berbasis luas yang ia harap dimiliki siswa di China. YMCA bersemangat menerima pelayanannya, menanggapi undangan dari banyak misionaris China yang telah meminta organisasi itu untuk memasuki bidang tersebut.
Pada tahun 1898, bersama dengan istri dan anaknya yang masih kecil, Brockman berlayar ke China. Ia tiba pada masa yang kritis sesaat sebelum Pemberontakan Boxer. Meskipun ia selamat dari teror pada periode kekerasan itu, mahasiswa relawan lainnya tidak mengalami hal yang sama. Horace Pitkin, pemimpin kelompok relawan Yale, baru tinggal di China selama empat tahun ketika ia dieksekusi secara brutal di Paoting oleh gerombolan Boxer pada musim panas 1900. Namun, kematiannya tidak sia-sia. Empat belas tahun kemudian, Sherwood Eddy, seorang relawan Yale, mengunjungi kota yang sama di China atas undangan Brockman dan dia mengingatkan para pendengarnya (termasuk sekitar tiga ribu siswa) tentang pengurbanan Pitkin: "Ketika saya menceritakan kisah salib dan kematian Pitkin, penerjemah saya menangis dengan emosi yang mendalam dan berdiri diam, ia tak sanggup berbicara. Menangis di depan umum dianggap sebagai aib yang memalukan bagi orang China. Orang-orang yang hadir menundukkan kepala mereka dalam simpati dan rasa malu, banyak juga yang menangis. Setelah jeda, dengan sopan kami mengundang mereka untuk menerima Kristus. Sebagian orang memutuskan percaya kepada Kristus dan ada lebih banyak lagi yang sungguh-sungguh tergugah untuk bertanya tentang Kristus secara mendalam. Lebih dari sepuluh ribu buku Kristen terjual dalam satu hari di kota tempat Pitkin meninggal sebagai martir."
Pada masa Pemberontakan Boxer, Brockman tetap melakukan pelayanan misinya, tetapi ia segera menemukan bahwa konsepnya mengenai misi berubah dengan cepat. "Di Amerika," menurut Sherwood Eddy, "Brockman telah bersiap-siap untuk pergi ke luar dan mengusahakan pelayanan kepada orang-orang yang tidak mengenal Tuhan di Timur. Namun, setelah ia mencapai China, dengan rendah hati ia duduk di kaki Confusius. Melalui studi bahasanya, ia menemukan bahwa "semua yang di dalam empat laut adalah saudara." Dalam bukunya, "I Discover the Orient", ia menulis tentang usahanya mencari makna filsafat dan agama asli China: "Dalam sepuluh tahun berikutnya, saya menghabiskan sebagian waktu saya untuk menemukan dan membedakan apa yang benar dari yang salah, tanpa merusak pemahaman saya tentang misi."
Brockman, seperti beberapa relawan mahasiswa lainnya di China, disambut baik oleh "sastrawan China" karena ia begitu toleran dan simpatik terhadap Konfusianisme, Buddhisme, dan agama-agama Timur lainnya -- sebuah sikap yang berani di luar strategi misionaris Injili tradisional. Meskipun ia selalu menjadi seorang misionaris Kristen dan penginjil, ia mengejutkan banyak sesama misionaris dan pendukungnya, yang kembali ke tempat asal dengan pandangan terbuka terhadap agama-agama dunia lainnya dan para pemimpin mereka. "Saya kaya," tulisnya dalam "I Discover the Orient", "Saya mewarisi harta yang besar. Kekayaan saya telah dikumpulkan selama ribuan tahun oleh Konfusius, Mencius, Mo Ti, Buddha, Abraham, Musa, Yesaya, Paulus, Yesus -- Saya turut ambil bagian dalam harta pusaka mereka. Saya adalah seorang pewaris zaman. Saya tidak diutus untuk menggali ke akar, tetapi untuk menuai hasil panen."
Ketika Brockman mempelajari tulisan-tulisan China dan belajar dari para sarjana China, ia memenangkan hati mereka. Namun, belajar saja tidaklah cukup. Dia percaya bahwa dia harus membalas kebaikan mereka dengan mengajari mereka tentang cara hidupnya, termasuk membagikan iman Kristennya. Tak berhenti sampai di situ, selain membangun reputasi di hadapan mereka, ia juga mengajari mereka tentang ilmu pengetahuan modern dan teknologi, sampai-sampai para siswanya ingin mempelajarinya lebih banyak lagi. Menyadari kekurangannya dalam bidang ini, Brockman menulis kepada John R. Mott dan, dalam kata-kata Eddy, "memohon kepadanya untuk mencarikan orang terbaik di Amerika dengan kemampuan ilmiah untuk memenuhi kebutuhan di China." C.H. Robertson, profesor teknik mesin di Universitas Purdue, yang pernah terlibat dalam Asosiasi Kristen selama dia menjadi mahasiswa, diutus, dan "dalam beberapa tahun mimpi Brockman terwujud dengan cara yang luar biasa. Brockman, seorang jenius muda berpendidikan populer dari Amerika berbicara kepada 'audiens' terbesar dalam seluruh sejarah China. Pendengarnya terdiri dari para pejabat, bangsawan, sarjana purbakala, dan mahasiswa modern yang pernah mendengarkan banyak pembicara hebat, baik orang China ataupun orang asing."
Salah satu tugas utama Brockman di China adalah untuk membangun YMCA di setiap kota di negeri itu. Pekerjaan tersebut memerlukan dukungan keuangan, dan Brockman sangat bergantung pada orang-orang China -- terutama golongan Konfusius yang lebih toleran untuk bantuan ini. Meskipun kendali YMCA berada di tangan orang-orang Kristen, beberapa organisasi kemudian jatuh ke dalam kendali pihak lain dari populasi mayoritas dan hari ini, YMBA (Young Men Buddha Association) telah menjadi bagian dari masyarakat Timur.
Begitu dihormatinya Brockman di China sehingga setelah kurang dari 15 tahun di sana, ia ditawari untuk menjabat sebagai presiden di Universitas Peking. Berdasarkan saran John R. Mott, ia menolak tawaran tersebut. Mott percaya bahwa pelayanan organisasi Brockman dengan mahasiswa China adalah sebuah panggilan yang lebih besar sehingga tidak layak ditinggalkan demi mengejar hal-hal yang sekuler. Namun, tiga tahun kemudian, Mott sendiri meminta Brockman meninggalkan China untuk membantu menopang YMCA di Amerika. Brockman meninggalkan China dengan penyesalan yang mendalam. "Mott," menurut Latourette, "hampir memaksa Brockman untuk melakukannya," dan tahun-tahun berikutnya adalah masa yang tidak membahagiakan. Masa-masa Brockman di bawah kewenangan langsung Mott adalah masa yang paling membutuhkan "penyangkalan diri," "sulit," dan "melelahkan." Sebelum ia pensiun pada tahun 1927, Brockman sempat melakukan perjalanan kembali ke Timur Jauh dan bekerja lagi di antara orang-orang yang sangat ia kasihi dan hormati. (t\Jing Jing)
Diterjemahkan dan disunting dari:
Judul buku | : | From Jerusalem to Irian Jaya |
Judul bab | : | Student Volunteers: Forsaking Wealth and Prestige |
Penulis | : | Ruth A. Tucker |
Penerbit | : | Academic Books, Grand Rapids 1983 |
Halaman | : | 280 -- 282 |
- Login to post comments
- 2578 reads