Marianna Slocum sudah tahu bagaimana cara kehidupan di kota. Bukankah gadis Amerika itu telah dibesarkan di kota besar Philadelphia? Bukankah ayahnya seorang dosen dan penulis buku kesarjanaan yang cukup terkenal di bidangnya? Bukankah si Marianna sudah terbiasa dengan rumah yang nyaman, buku dan majalah, bahkan segala sesuatu yang lazim bila merasakan enaknya hidup di kota besar?
Namun pada musim panas tahun 1940, si Marianna sedang sibuk belajar bagaimana tidur di tenda. Ia pun sedang belajar bagaimana mencari dan menyiapkan makanannya sendiri, bagaimana mempertahankan hidupnya di tengah-tengah hutan rimba.
Sejak tahun ketiga masa kuliahnya, Marianna Slocum sudah merasakan panggilan Tuhan untuk menjadi seorang penerjemah Alkitab bagi suku terasing. Ia ingin melayani suku yang masih biadab, suku yang belum mempunyai bahasa yang tertulis. Untuk dapat mencapai cita-citanya itu, tentu saja si Marianna harus tahu bagaimana cara hidup di tempat yang jauh dari kota. Itulah sebabnya pada musim panas tahun 1940 ia memasuki suatu perkemahan khusus sebagai pusat pelatihan para calon penerjemah Alkitab.
Di antara kaum muda Kristen yang sedang mengikuti latihan yang cukup berat itu, ada juga seorang pemuda Kristen bernama Bill Bentley. Mulailah terjalin persahabatan yang akrab antara si Bill dan Marianna Slocum.
Apakah itu kebetulan saja bahwa kedua penerjemah muda ditugaskan di negara yang sama, yakni Meksiko, negara tetangga Amerika Serikat di sebelah selatan? Bukan hanya itu saja: Marianna harus mendekati suku Indian Chol, yang daerah pemukimannya hanya sejauh satu hari perjalanan kaki dari daerah pemukiman suku India Tzeeltal, yang harus didekati oleh Bill.
Pada bulan Februari 1941, kedua hamba Tuhan yang masih muda itu bertunangan. Dan menjelang pertengahan tahun itu juga, mereka pun pulang dulu ke Amerika Serikat agar dapat mempersiapkan pernikahan mereka.
Akan tetapi, . . . pernikahan itu tidak pernah terjadi. Pada tanggal 23 Agustus 1941, hanya berselang enam hari sebelum tanggal pernikahannya, Bill Bentley dengan tenang meninggal sewaktu tidur. Menurut pemeriksaan para dokter kemudian, ada kelainan pada jantungnya suatu kelemahan fisik yang tak terduga sebelumnya.
Calon suami Marianna Slocum itu sudah tidak ada lagi. Namun panggilan Tuhan masih tetap ada. Maka seorang diri Marianna kembali ke negeri Meksiko. Tetapi ia tidak kembali ke tempat tinggalnya yang dahulu: Ia telah mendapat persetujuan atasannya, agar diperbolehkan pindah tugas ke suku Indian Tzeltal, untuk meneruskan pekerjaan Bill yang belum selesai itu.
Di daerah pemukiman suku Tzeltal itu, ada sebuah perkebunan kopi milik orang Jerman. Di sana Marianna menyewa kamar yang dulu ditempati Bill. Tidak lama kemudian, ada seorang pemudi lain yang datang menemani dia dalam tugas terjemahannya itu.
Sulit sekali mendekati suku Indian Tzeltal! Pergaulan mereka dengan orang Barat telah merusak adat mereka. Banyak di antara mereka yang bermabuk-mabukan; banyak juga yang suka berkelahi saja. Dan cukup jelas, mereka semua sangat membenci kedua pemudi yang telah datang dari Amerika Serikat dan tinggal di tengah-tengah mereka.
Teman sekerja Marianna itu tidak tahan lama; ia pulang saja. Kemudian ada pembantu lain lagi yang datang, tetapi ia pun tidak tahan lama. Baru pada tahun 1947 Marianna Slocum mendapat seorang rekan sepanggilan yang rela menemani di dalam jangka waktu panjang. Utusan Injil itu adalah seorang juru rawat bernama Florence Gerdel. Anehnya, kedatangan Florence ke Meksiko itu dengan maksud hanya menolong untuk sementara saja. Tetapi ternyata ia tetap bekerja sama dengan Marianna selama dua puluh tahun lebih.
Banyak halangan yang harus dihadapi oleh kedua wanita pemberani itu! Pemabukan, pengotoran lingkungan hidup, takhayul, kuasa gelap yang bekerja melalui para dukun ini semua menyulitkan usaha Florence untuk meningkatkan taraf kesehatan suku Tzeltal. Dan setiap hari Marianna harus bergumul berjam-jam lamannya, bekerja keras untuk dapat membedakan bunyi-bunyi yang diucapkan oleh orang-orang Indian itu. Ia pun harus bekerja keras untuk menyusun bunyi-bunyi itu menjadi suatu bahasa yang tertulis.
Ternyata suku Indian Tzeltal itu mempunyai lebih dari satu bahasa. Marianna megambil keputusan untuk menyoroti dulu bahasa Oxchuc. Sedikit demi sedikit ia berhasil mengalihkan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa itu.
Hampir tujuh tahun setelah usaha penginjilan itu dimulai, barulah ada seorang suku Indian Tzeltal Oxchuc yang rela mengaku percaya kepada Tuhan Yesus di depan umum. Dia itu putra seorang dukun. Banyak penganiayaan yang diterimanya! Namun ia tetap memberi kesaksian tentang imannya yang baru itu. Dan lambat laun ada lagi orang-orang Indian yang menjadi percaya.
Jumlah umat Kristen di antara suku Tzeltal itu meningkat menjadi puluhan orang, lalu ratusan orang, kemudian ribuan orang. Minggu demi minggu mereka setia datang ke tempat-tempat ibadah--walau di tengah-tengah musim hujan, walau harus mengarungi sungai yang sedang banjir sekalipun.
Tanggal 6 Agustus 1956 adalah suatu hari yang amat bahagia bagi Marianna Slocum, Florence Gerdel, dan semua orang Kristen suku Tzeltal. Di langit nan biru nampaklah sebuah pesawat terbang kecil berwarna kuning. Pesawat kecil itu memuat barang yang sangat berharga: Sejumlah Kitab Perjanjian Baru yang sudah dicetak dalam bahasa Tzeltal Oxchuc. Setelah diadakan kebaktian pengucapan syukur, ratusan orang Indian antri untuk membeli Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri.
Di samping Perjanjian Baru dalam bahasa Oxchuc, Marianna juga sudah menerjemahkan cerita-cerita yang paling penting dari perjanjian Lama, lagu-lagu rohani, dan buku-buku petunjuk pemberantasan buta huruf. Rasanya tugas Bill yang tidak sempat dikerjakannya dulu itu sudah selesai. Teman Marianna, Florence, juga sempat melatih beberapa orang setempat untuk meneruskan pelayanan medis itu.
Itulah sebabnya pada bulan April tahun 1957, Marianna Slocum dan Florence Gerdel menaiki sebuah pesawat terbang yang kecil. Tidak lama kemudian, setelah mendarat lagi, mereka harus berjalan kaki melalui hutan rimba selama enam jam. Barulah mereka tiba di tempat mereka akan mulai lagi dari nol di tengah-tengah suku terasing lain.
Namun ternyata kali ini tugas Marianna tidak seberat tugasnya yang pertama. Orang-orang Indian di tempat tinggalnya yang baru itu masih termasuk suku Tzeltal, walaupun mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda. Pengalaman Marianna dalam menguasai bahasa Oxchuc itu sangat menolong usahanya untuk menguasai bahasa Bachajon.
Dulu, Marianna menghabiskan 16 tahun untuk menerjemahkan seluruh Perjanjian Baru ke dalam bahasa Oxchuc. Tetapi ia hanya menghabiskan separo waktu itu untuk menerjemahkan Perjanjian Baru dalam suatu bahasa yang semulanya belum tertulis.
Marianna dan Florence rajin bersaksi bagi Tuhan Yesus selama delapan tahun mereka tinggal di antara suku Indian Tzeltal Bachajon itu. Berkat kerja keras mereka, sudah ada sebanyak empat puluh jemaat di desa-desa suku Indian itu. Jadi, ada banyak orang Indian yang antri untuk membeli Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa mereka sendiri.
Pada hari yang menggembirakan itu, ada satu pertanyaan yang sering terdengar dari para orang Kristen suku Indian:
"Berapa harganya Alkitab yang baru itu?"
Secara harfiah, jawabannya ialah: "Tujuh belas setengah peso uang Meksiko." Namun pembayaran sekian itu hanyalah sebagian kecil harga yang harus dibayar oleh Marianna Slocum agar terwujud Firman Tuhan dalam bahasa Bachajon: Rasa kesepian, sakit-penyakit, cara hidup yang amat primitif, tinggal jauh dari keluarga dia rela mengalami semuanya demi suku-suku terasing, supaya mereka dapat mendengar Berita Baik tentang Tuhan Yesus.
Dan bukan hanya itu saja: Sekali lagi, rupa-rupanya tugas Marianna dan Florence di antara suku Indian Tzeltal Bachajon itu sudah selesai. Jadi, mereka berdua meninggalkan negeri Meksiko dan mulai lagi dari nol di tempat pemukiman suku terasing lain di daerah pegunungan negeri Kolombia.
TAMAT