Mata Yang Mendengar, Jari Yang Melihat Perancis dan seluruh dunia, 1824 hingga kini

Berita Alkitab itu diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia, bukankah begitu?

Akan tetapi, . . . bagaimana dengan manusia yang tidak dapat melihat? Bagaimana dengan manusia yang tidak dapat mendengar? Bagaimana dengan manusia yang memang dapat melihat dan mendengar, namun tidak dapat membaca? Bukankah mereka itu juga berhak memperoleh berita Alkitab?

Ada bermacam-macam cara menyampaikan Firman Allah kepada orang-orang yang buta, yang tuli, atau yang buta huruf. Pasal 3 dan pasal 11 dalam buku ini, serta beberapa pasal dalam jilid-jilid lain dari buku seri ini, memuat kisah nyata tentang hamba-hamba Tuhan yang pernah menyusun abjad untuk bahasa yang belum pernah ditulis, lalu mengajarkannya kepada orang-orang buta huruf sehingga mereka dapat membaca Alkitab dalam bahasa ibu mereka.

Akan tetapi, . . . bagaimana kalau ada orang-orang tertentu yang tidak begitu berminat belajar membaca? Bagaimana kalau ada suku terasing yang sama sekali tidak peduli akan hal tulisan atau bahan cetakan? Bagaimana kalau menurut adat kebiasaan suku itu, segala sesuatu sebaiknya disampaikan secara lisan saja?

Untuk orang-orang seperti itu, ada banyak pengabar Injil di seluruh dunia yang suka menyampaikan inti Alkitab berupa serangkaian cerita. Mereka bercerita mulai dengan penciptaan alam, dan mencapai puncaknya dengan menceritakan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Kadang-kadang ada cerita-cerita Alkitab yang direkam; lalu rekaman itu diputar di daerah pemukiman yang terpencil. Kadang-kadang ada juga gambar-gambar sederhana yang dapat turut menjelaskan "Alkitab lisan" itu.

Lain lagi masalahnya di negeri Jepang. Konon, bangsa Jepang pada umumnya sangat maju dan berpendidikan tinggi. Namun bagi orang Jepang yang tuli, besar halanggannya jika ia hendak membaca Alkitab. Sama seperti kaum tuna rungu di negeri-negeri lain, orang-orang tuli di Jepang itu dapat berkomunikasi melalui isyarat tangan. Akan tetapi, bahasa Jepang yang disampaikan melalui isyarat itu, agak berbeda dengan bahasa Jepang yang ditulis. Banyak seluk beluk yang harus diperagakan dengan raut muka dan sikap badan. Oleh karena itu, orang tuli di Jepang amat sulit membaca Alkitab dengan penuh pengertian, walau dalam bahasanya sendiri sekalipun.

Pada tahun 1993, sekelompok umat Kristen di Jepang mulai menyediakan Firman Allah dalam bentuk yang sungguh lain daripada yang lain. Seorang Jepang yang pandai memperagakan bahasa isyarat itu berturut-turut "membacakan" seluruh isi Kitab Injil Markus. Semua gerak-geriknya itu diabadikan dengan bantuan sebuah kamera video. Lalu rekaman video itu diperbanyak dan diedarkan kepada orang-orang tuli di seluruh Jepang. Barulah mereka benar-benar dapat menangkap seluruh arti Berita Baik tentang Tuhan Yesus. Boleh dikatakan, orang-orang Jepang itu memperoleh Firman Tuhan melalui mata yang mendengar.

Mungkin kisah nyata yang paling menarik tentang berbagai macam usaha sepanjang abad untuk menyediakan Alkitab bagi orang-orang yang ada kelainannya itu, ialah cerita tentang jari yang melihat. Cerita itu dimulai hampir dua abad yang lalu, dengan seorang bocah Perancis bernama Louis Braile . . . .

Louis Braile dilahirkan pada tahun 1809, di sebuah desa yang letaknya tiga puluh kilometer di sebelah timur ibu kota Paris. Ayahnya seorang tukang pembuat tali-temali. Si Louis suka bermain dengan sisa-sisa kulit binatang yang dipakai di bengkel ayahnya. Pada suatu hari, ketika ia berusaha membuat lubang dengan penggerek, alat itu selip dan mengenai pada bola matanya.

Sebagai akibat kecelakaan itu, Louis Braille menjadi buta sama sekali. Namun ia masih tetap ingin belajar tentang segala sesuatu, masih tetap ingin menikmati hidupnya sepenuhnya. Dengan bantuan orang tua dan kakak-kakaknya, bocah tuna netra itu menemukan berbagai-bagai cara untuk memanfaatkan setiap kecakapan yang masih ada padanya. Misalnya: Bila ia mencium bau daging ayam, bawang, dan kentang, ia tahu bahwa ibunya sedang memasak sup. Bila ia mendengar bunyi gerabak-gerubuk roda besar di jalan, ia tahu bahwa tetanggannya sedang membawa hasil tani ke pasar.

Tetapi anggota tubuh yang paling menolong si Louis untuk mengalami keanekaragaman dunia di sekitarnya itu ialah, kesepuluh jarinya. Dengan jari-jarinya itu ia dapat menjamah sehingga dapat membedakan buah apel dengan buah jeruk, alat penggerek dengan alat pengikis, kotak kecil dengan buku besar.

Nah, buku-uku itu! Khususnya buku-buku yang menarik perhatian si Louis. Ia senang mendengar cerita yang disampaikan oleh orang lain. Namun dalam hatinya ia bertanya: Kapan aku dapat membaca sendiri buku-buku yang memuat cerita-cerita itu?

Pada umur sepuluh tahun, Louis Braille meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi ke Paris, karena ia telah diterima di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak buta. Ia sangat merindukan keluarganya. Namun ia senang dapat pergi ke sekolah, karena ia telah mendengar, di sekolah itu anak-anak tuna netra pun dapat belajar membaca buku.

Memang di sekolah itu ada buku-buku khusus untuk orang buta. Setiap buku itu besar sekali, karena di dalamnya setiap huruf harus dicetak menonjol. Dengan menjamah huruf-huruf yang besar itu satu persatu, si Louis dapat mengenali bentuk tonjolannya. Lalu dengan susah payah ia dapat mengingat deretan huruf-huruf yang digabung itu sehingga menjadi kalimat.

Perlahan-lahan saja cara Louis Braille dapat membaca! Namun dalam waktu yang singkat, ia telah berhasil membaca semua buku yang ada di perpustakaan sekolah khusus itu.

"Mahal sekali mencetak sebuah buku gede dengan huruf-huruf yang menonjol begini!" para guru menjelaskan kepadanya. "Kau tidak usah mengharapkan orang akan mencetak banyak buku semacam itu."

Louis Braille sungguh merasa kecewa pada saat ia menyadari bahwa jumlah buku dalam perpustakaan khusus di sekolah anak-anak buta di ibu kota itu kurang dari dua puluh jilid. Tetapi ia berbesar hati bila para guru mulai mengajar ketrampilan-ketrampilan lain, di samping membaca. Ia menjadi pandai memainkan piano, organ, dan selo (semacam alat musik gesek yang mirip biola tetapi ukurannya lebih besar). Ada juga bengkel pembuat sepatu di sekolah itu, dan si Louis begitu rajin bekerja sehingga ia ditunjuk menjadi mandornya.

Pada umur dua belas tahun, Louis Braille sempat bertemu dengan mantan guru kepala sekolah khusus itu, yakni orang yang mula-mula medapat gagasan mencetak buku-buku besar dengan huruf-huruf menonjol. Si Louis sangat menghargai jasa guru pensiunan yang sudah tua itu. Namun ia pun rindu menemukan suatu cara untuk menghasilkan banyak buku bagi orang buta, dan bukan hanya sedikit saja.

Rasanya harus ada semacam abjad khusus, kata Louis Braille pada diri sendiri. Setiap huruf dalam abjad baru itu harus cukup sederhana, dan harus juga cukup kecil sehingga dapat dirasakan oleh ujung jari manusia.

Pada waktu liburan sekolah, si Louis pulang ke desa. Sepanjang masa libur itu, ia tekun mengadakan percobaan dengan bermacam-macam bahan baku dan alat pertukangan. Ia berusaha menyusun suatu abjad baru dengan memakai berbagai-bagai bentuk: bulat, segitiga, dan persegi empat. Bahkan ia berusaha menggunakan tanda-tanda zodiak sebagai pengganti huruf-huruf biasa. Namun semua usahanya itu sia-sia belaka.

Bila Louis Braille dan teman-temannya kembali ke sekolah di ibu kota, kepada mereka guru kepala menyerahkan beberapa helai kertas tebal dengan bintik-bintik kecil yang terasa menonjol. "Seorang perwira tentara telah menyesuaikan semacam kode Morse sehingga dapat dipakai pada waktu malam," kata guru kepala itu. "Di tempat yang sedang terjadi peperangan, berbahaya sekali pada malam hari jika menyalakan lilin atau lampu. Jadi, melalui sistem ini, para tentara dapat menjamah berbagai tonjolan, dan dengan demikian mereka dapat mengerti perintah yang hendak disampaikan oleh atasan mereka."

Nah, ini dia! kata Louis Braille dalam hati. Ia sudah menemukan prinsip abjad baru yang sangat dirindukannya itu. Aku dapat membuat tonjolan-tonjolan kecil seperti ini, dengan menggunakan alat penggerek dari bengkel ayahku. Tetapi . . . sistem sang perwira ini masih kurang praktis, karena tidak cocok dengan ukuran ujung jari manusia.

Jika manusia menudingkan jari, ujungnya itu berbentuk lebih meninggi daripada melebar. Jadi, pada kertas tebal si Louis membuat susunan enam bintik tonjolan; susunan itu tingginya tiga bintik dan lebarnya dua bintik. Sedikit demi sedikit ia menyusun berbagai-bagai kombinasi antara keenam bintik tonjolan itu, sehingga dengan demikian ia dapat membuat sebuah abjad baru. Dan abjad itu dapat dijamah dengan cepat oleh jari-jari manusia, sehingga dengan demikian orang buta dapat membaca banyak buku! . . .

Ya, sungguh menakjubkan: Tulisan Braille itu ditemukan oleh seorang bocah Perancis yang baru berumur 15 tahun. Memang sistemnya itu masih perlu diperkembangkan dan disempurnakan. Namun tulisan Braille, yang pada masa kini dikenal di seluruh dunia, semuanya berasal dari penemuan si Louis pada tahun 1824 itu.

Sebagai seorang dewasa, Louis Braille menjadi guru anak-anak tuna netra dan pemain organ di gereja. Lama sekali ia harus memperjuangkan sistem tulisannya itu. Ia pun meninggal tahun 1852 pada umur relatif muda, sebelum tulisan Braille itu menjadi lazim di mana-mana. Namun lambat laun sistemnya itu terbukti secara tuntas sebagai cara yang paling praktis untuk menyediakan banyak buku bagi kaum tuna netra.

Kitab lengkap yang pertama-tama dicetak dalam tulisan Braille itu adalah Kitab Mazmur. Contoh singkat yang dipakai untuk memperkenalkan tulisan Braille dalam bahasa Italia, bahasa Spanyol, bahasa Jerman, dan bahasa Inggris ialah, Doa Bapa Kami. Pada masa sekarang, sudah ada Alkitab tulisan Braille dalam berpuluh-puluh bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Satu Alkitab lengkap dengan tulisan abjad khusus pada kertas tebal itu terdiri dua puluh jilid; beratnya 41 kilogram.

Banyak orang buta di seluruh dunia yang dapat menerima Berita Baik, oleh karena penemuan Louis Braille itu ketika ia baru berumur 15 tahun. Dengan jari yang melihat, kaum tuna netra di mana-mana dapat memperoleh Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri.

TAMAT