Kim menggigil sambil meringkuk di atas tikarnya. Ibu Ahn mengerutkan dahinya. Mereka berdua, seorang anak laki-laki dengan ibunya di dalam gubuk petani khas gaya orang Korea itu, sedang memasang telinga mereka dengan rasa cemas. Jam sudah menunjukkan larut malam.
Ya, betul, suara itu makin lama makin mendekat. Pak Ahn sedang pulang ke rumah, dan seperti biasanya ia benar-benar mabuk.
Air mata meleleh pada pipi Ibu Ahn. Sepanjang minggu Pak Ahn telah bekerja keras. Lalu tadi pagi, pada hari Sabtu, ia telah berangkat membawa hasil kebun sayurannya ke pasar. Kali ini, katanya, ia bertekad akan menjual semuanya secepat mungkin dan akan segera pulang dengan membawa serta upah jerih payahnya.
"Wah, ia begitu lagi, Bu," bisik si Kim dengan sedih. "Ia sudah mabuk lagi. Pasti semua uang itu sudah pindah tangan kepada tukang judi."
Pak Ahn memang benar-benar dalam keadaan mabuk ketika ia memasuki gubuk petani itu. Tadi pagi waktu berangkat, pakaiannya rapi dan bersih, berkat kerja keras Ibu Ahn; kini pakaiannya itu kotor dan compang camping. Matanya yang sebelah sudah membiru, bengkak sampai hampir tertutup. Dan pasti sakunya kosong melompong.
Keesokan harinya, Pak Ahn bangun dari tidur dengan rasa putus asa. ia duduk termenung sambil menutup mukanya dengan kedua belah tangannya.
Kim dan ibunya berusaha membesarkan hati Pak Ahn. "Kau sudah tergoda lagi," kata Ibu Ahn. "Tidak apa-apa. Sepanjang minggu ini kami dapat makan nasi dengan lauk sayuran saja. Bajumu dapat kujahit. Kim dapat terus memakai sandalnya yang lama; toh belum sama sekali rusak. Dan minggu depan, kalau kau pergi ke pasar lagi, kau pasti akan pulang tanpa jatuh ke dalam tangan tukang judi, dan tanpa berkelahi lagi."
Namun Pak Ahn benar-benar merasa putus asa, bahkan sampai ke lubuk hatinya. "Ai-yoh!" ia meratap dengan nyaring. "Untuk inikah kita pindah dari kampung halaman? Untuk inikah kita menetap di sini, di kebun sayur milik kaum pertapa? Apakah cerita lama itu akan bertalu-talu diulangi lagi? Apakah aku akan bekerja keras dari pagi sampai sore di kebun, lalu ... begitu kakiku menginjak jalanan di kota, saat itu juga aku akan jatuh ke dalam godaan?"
Hampir-hampir Pak Ahn menangis. Kalau ia sedang sadar, kemauannya untuk berkelakuan baik itu benar-benar kuat. Namun ia mudah dikalahkan oleh godaan-godaan untuk minum minuman keras, godaan untuk berjudi, godaan untuk berkelahi.
Dengan tersipu-sipu Ibu Ahn menyarankan: "Mungkin sebaiknya kita membawa sajian yang lebih besar ke kelenteng."
Pak Ahn memandang istrinya dengan mata sayu. "Buat apa?" tantangnya. "Agama kaum pertapa itu terus menuntut: `Kau harus berkelakuan baik! Harus!' Namun agama itu tidak memberiku kekuatan untuk berkelakuan baik. Buat apa aku berkali-kali meletakkan sajian di kelenteng? Apakah persembahanku itu mencegah aku meletakkan uangku di kedai minuman keras? atau di tempat perjudian? Apakah aku tertolong sehingga menjauhi tukang berkelahi?" Pak Ahn menghela napas panjang, lalu berbicara dengan lebih keras: "Tidak! Aku tidak mau memberi sajian lagi!"
Pada hari Sabtu berikutnya, Kim menemani ayahnya ke pasar. Harapannya ialah bahwa ia datang untuk menolong Pak Ahn menghindari godaan.
Tetapi pada waktu mereka memasuki kota, si Kim menjadi sangat kecewa. Sebagian dari hasil kebun sayur mereka cepat terjual. Lalu Pak Ahn menyuruh Kim menjaga sisanya, sedangkan ia sendiri hendak pergi ke tempat lain.
Kim mendesah. Ia kurang bersemangat menawarkan sisa sayuran itu. Apa gunanya? Pasti beberapa saat kemudian ayahnya akan kembali lagi, menuntut untung dari segala penjualannya, lalu pergi berjudi.
Namun pada saat pandangan mata Kim mengikuti langkah ayahnya menuju kedai minuman keras, ia pun menjadi heran. Sosok tubuh yang tinggi itu tidak terus menghilang di kejauhan. Ternyata Pak Ahn berdiri mematung, mendengarkan sesuatu. Apa sih yang sedang didengarkannya? tanya si Kim kepada dirinya sendiri.
Sudah lewat lima menit. Lalu sepuluh menit. Lalu seperempat jam. Masih tetap Pak Ahn kelihatan di sana. Masih tetap ia berdiri. Apa gerangan yang begitu menarik hatinya sehingga ia tidak segera pergi membeli minuman keras?
Dengan semangat yang berkobar kembali, Kim cepat-cepat menjual sisa sayuran di bakulnya. Lalu ia berlari-lari kecil ke sisi ayahnya.
Amboi, . . . ada seorang pria yang tersenyum sambil membaca sebuah buku kecil dengan suara nyaring. Persis pada saat si Kim muncul di sisi ayahnya, orang itu menutup bukunya. "Belilah, Pak!" ia mendesak. "Di dalam buku kecil ini Bapak akan menemukan Kabar Baik, Kabar Keselamatan. Ajaran-ajarannya sanggup menyelamatkan manusia dari kejahatan."
Pak Ahn bergumam: "Menyelamatkan manusia dari kejahatan ah! Mustahil! Tidak ada yang sekuat itu." Ia baru memperhatikan si Kim di sisinya. "Kan Ayah katakan, kau harus terus jaga di sana?"
"Sudah kujual semuanya, pak."
"Mana uangnya?" Pak Ahn mengulurkan tangannya.
"Biarlah aku simpan dulu, Pak," si Kim membujuk ayahnya. "Sampai di rumah saja. Biarlah aku nanti beri kepada ibuku."
Muka Pak Ahn mulai memerah. "Anakku sendiri yang masih kecil sudah tahu aku tidak boleh dipercaya menyimpan hasil jerih payahku," katanya dengan sedih. "Baiklah, Kim, kau saja yang pegang, hanya kali ini saja. Tapi awas kau! Lebih baik kau cepat lari jauh-jauh. Kalau kau terus dekat, awas, nanti Ayah akan merampas uangmu itu dan menghabiskannya dengan berjudi!"
Ternyata pria yang tadi membaca itu masih memperhatikan percakapan mereka." "Mengapa mau menghabiskan uang dengan berjudi?" tanyanya dengan sopan. "Rasanya Bapak sebenarnya tidak suka berjudi." Pandangannya jatuh ke tangan Pak Ahn tangan yang sudah mengeras karena sudah betahun-tahun dipakai untuk bercocok tanam. "Kalau dilihat dari bukti di kedua belah tangan ini, Bapak seorang tukang kebun, bukan seorang tukang judi," katanya pula.
"Benar!" cetus Pak Ahn. Ia senang diajak mengobrol, senang dibuat sibuk supaya tidak sempat lari ke kedai minuman keras. "Aku seorang tukang kebun yang pandai. Tanamanku banyak hasilnya. Tetapi . . . yah, sayang, tidak ada untungnya."
Pria yang memegang buku kecil itu rupanya ingin tahu. "Bagaimana mungkin tidak ada untungnya, Pak?" ia bertanya lagi.
Pak Ahn merasa tertarik kepada orang ini yang berbudi bahasa baik. Mungkin juga orang ini dapat menolong dia. "Yah, . . . begini, Pak: Aku bekerja keras," katanya menjelaskan. "Aku membawa hasil kebunku ke mari kepasar ini. Lantas lantas"
Ia membentangkan kedua belah tangannya; raut mukanya menandakan keputusasaannya. "Para desa saja yang tahu apa yang mempesonakan diriku. Dengan uang hasil jerih payah dalam tanganku, aku pergi ke kedai minuman keras. Kalau masih ada sisanya setelah itu, aku menghabiskannya dengan tukang judi. Dan kalau ada yang menantang pada waktu aku sedang mabuk biar soalnya sepele saja aku pun suka berkelahi."
Kim memotong pengakuan ayahnya. "Tetapi ia sungguh seorang ayah yang baik, pak. Sunguh rajin kerjanya! Sepanjang minggu, dari pagi sampai sore ia bekerja, tanpa istirahat, agar ada makanan untuk aku dan ibuku. Hanya saja, . . . seperti ia katakan, ia tidak sanggup membawa pulang uang hasil jerih payahnya."
Pak Ahn menggelengkan kepalanya. "Tidak ada harapan bagiku," bisiknya.
"Ah jangan katakan begitu, Pak!" ujar pria itu. Ia pun mengeluarkan lagi empat buku kecil. "Ini obatnya, pak. Inilah jalan keselamatan, jalan menghindari kejahatan. Di sini Bapak dapat belajar tentang Dia yang memang sanggup memberi kekuatan untuk berkelakuan baik. Bapak mau beli buku-buku kecil ini? Lebih baik menyerahkan uang Bapak di sini, ya, daripada di sana, di kedai minuman keras, kan?"
Pak Ahn rupanya bingung. Hampir saja si Kim mengeluarkan uang dari sakunya. Tetapi penjual buku tadi memperhatikan gerakan tangannya. "Jangan, Nak," katanya mencegah. "Ayahmulah yang harus memilih sendiri: Jalan keselamatan, ataukah jalan kemusnahan. Satu kali saja mencicipi minuman keras, dan sudah terlambat. Ia akan ketagihan lagi dengan minuman keras dan perjudian."
Pak Ahn masih bingung rupanya. Betapa rindunya dia merasakan minuman keras itu meleleh lewat kerongkongannya yang kering! Betapa rindunya merasakan, bukan lagi kebingunangan, melainkan kejantanan, kesombongan, kerelaan mengadu kekuatan dengan siapa saja!
Pikiran Pak Ahn melayang jauh ke kampung halamannya dulu. Di sana pula ia sering tergoda. Itulah sebabnya ia sudah mengambil keputusan untuk pindah ke kebun sayuran milik para pertapa: agar ia dapat menjauhkan diri dari godaan.
Baiklah! Kata Pak Ahn dalam hati. Dulu aku telah mengambil ketputusan: sekarang pun aku masih dapat mengambil keputusan. Lalu ia mengeluarkan uang di dalam sakunya sendiri "Aku akan membeli," katanya dengan jelas.
"Baiklah!" Penjual itu tersenyum lebar pada saat ia menyodorkan keempat buku kecil. "Bapak tidak akan menyesal setelah membeli. Nah, sekarang . . ."
Pak Ahn tidak menunggu penjual itu selesai bicara. "Sekarang aku akan pulang saja," katanya, "Kali ini saja, aku akan pulang tanpa menghabiskan sisa uangku."
Namun mereka tidak jadi segera pulang. Mereka mampir dulu di sebuah kios tempat penjual pakaian. Mata si Kim berbinar-binar pada saat ia menyaksikan jubah baru yang dibeli untuk ibunya. Ia merasa sangat senang karena mereka pulang dengan penuh hasil jerih payah ayahnya. Ia juga senang karena ibunya pasti gembira sekali dibelikan jubah baru yang bagus.
Wah, terasa amat pendek jalannya ketika mereka berdua pulang! Pak Ahn seperti orang baru. Kegersangan hatinya telah hilang. Mengapa tidak? Ia sudah pergi ke pasar, sudah menjual hasilnya, dengan bantuan seorang penjual buku, ia sekarang pulang dengan uang masih di dalam sakunya.
Banyak lelucon yang diceritakannya kepada si Kim selama mereka berjalan kaki. Dan kasih sayang si Kim terhadap ayahnya itu menjadi lebih besar lagi karena diwarnai rasa banggga: Bukankah ayahnya telah mengalahkan godaan?
Sudah sore pada saat mereka tiba di tempat kaum pertapa. Tercium bau kemenyan dan hio yang sedang dipersembahkan di dalam kelenteng yang letaknya di situ.
"Ah!" kata Pak Ahn sambil mengerutkan dahinya. "Aku kurang pasti, Nak, tapi rasanya ajaran keempat buku kecil ini lebih cocok bagiku daripada agama kaum pertapa. Agama mereka itu belum sanggup memberiku kekuatan untuk berkelakuan baik. Mari kita lihat, kalau-kalau ajaran dalam buku-buku kecil ini dapat menolong diriku." . . .
Sementara itu, di dalam gubuk mereka, Ibu Ahn sedang menyelesaikan tugas tetek-bengeknya. Lalu ia berdiri tegak. Terdengar suara-suara . . . masih samar-samar, seolah-olah dari jauh. Ia melirik ke cakrawala: Langit masih berwarna-warni karena matahari sedang terbenam, dan belum kelihatan bintang sebuah pun. Masakan Pak Ahn dan si Kim sudah pulang dari pasar seawal ini! masakan . . .
Namun . . . memang betul! Kim menari-nari kegirangan, walau kakinya yang kecil itu sudah capai. Dan Pak Ahn: matanya bersinar nakal seperti pada waktu mereka baru menikah!
Ibu Ahn bertambah heran ketika jubah baru itu dikeluarkan dari bungkusannya, dan ketika uang sisa diletakkan pada telapak tangannya. "Wah, kok begini?" tanyanya.
Pak Ahn mulai menjelaskan. Diceritakannya tentang penjual buku itu, dan tentang kata-kata yang dibacakannya dengan nyaring dari buku-buku kecil. Diceritakannya pula tentang nasihat bahwa ajaran dalam keempat buku kecil itu dapat menyelamatkan seseorang dari jalan kejahatan, sehingga Pak Ahn membeli keempatnya, lalu segera pulang.
Kemudian mereka makan bersama-sama. Setelah itu, selama masih ada seberkas cahaya, Pak Ahn membcakan bagi istrinya yang masih keheranan, dan bagi anak mereka si Kim. Dibacakannya kisah indah yang termuat di dalam Keempat Kitab Injil.
Sore dmei sore, setelah pekerjaan di kebun usai, pak Ahn suka membacakan. Istrinya mendengarkan dengan diam, sambil menyiapkan makanan mereka. Kim juga memasang telinga. Kemudian mereka bertiga suka berbincang-bincang tentang isi Keempat Kitab itu. Alangkah baiknya kalau mereka dapat mengetahui lebih banyak tentang ajaran-ajaran yang indah itu!
Sekali lagi Pak Ahn pergi ke pasar. Sekali lagi ia ditemani oleh si Kim. Sekali lagi penjual buku itu ada di sana, maka Pak Ahn membujuk dia agar mampir ke kebun milik kaum pertapa serta mengajar keluarga Ahn di sana.
Pada hari itu pula, untuk kedua kalinya Pak Ahn dan putranya pulang awal, dengan wajah yang tengadah dan dengan uang di dalam saku mereka. pada hari itu pula, si Kim dengan bangga berjalan kaki sambil memakai sandal yang baru, dan ayahnya membawa serta sebuah pacul yang bagus. Sekali lagi dengan penuh sukacita mereka pulang kepada Ibu Ahn dan menceritakan kepadanya segala sesuatu yang telah dikatakan oleh penjual buku itu.
Beberapa minggu kemudian, penjual itu sendiri datang berkunjung. Setelah itu, menyusul juga seorang pengabar Injil. Ternyata Pak Ahn, ibu Ahn, dan si Kim benar-benar sudah menempuh jalan hidup baru yang ditunjukkan di dalam "Keempat Buku Kecil" itu. Mereka benar-benar telah menjadi pengikut Tuhan Yesus.
"Kekuatan untuk berkelakuan baik!" kata Pak Ahn dengan rasa puas. "Yah, . . . aku sudah menemukannya. Tidak usah lagi aku bekerja keras namun putus asa karena semua hasil jerih payahku itu akan menjadi sia-sia kalau aku menghadapi godaan."
Bahkan Pak Ahn berani tertawa saja kalau kawan-kawannya yang lama itu mengajak dia berjudi lagi. Dengan mudah saja ia dapat menggelengkan kepala, lalu meninggalkan kedai minuman keras. Tidak lagi ia merasa tergoda untuk berbual-bual, bertengkar mulut, kemudian berkelahi.
Putranya sering menemani dia pergi ke kota. Memang kehidupan mereka masih menuntut kerja keras. Tetapi bercampur dengan pekerjaan yang berat itu ada juga sukacita yang sejati; dan apa gerangan yang dapat diharapkan di dunia ini yang melebihi sukacita seperti itu?
Pada suatu hari Sabtu, hasil sayuran milik Pak Ahn terjual habis agak siang. Maka ia mulai membantu penjual "Keempat Buku Kecil."
Penjual itu mengamat-amati pembantunya yang baru. Dalam jangka waktu yang sama, ternyata Pak Ahn dapat menjual sepuluh buku, sedangkan ia sendiri hanya sanggup menjual satu buku saja.
Orang ini seharusnya bergabung dengan kami! kata penjual Alkitab itu dalam hatinya. Bapak ini seharusnya memanfaatkan sisa umurnya untuk menyampaikan Kabar Keselamatan kepada orang-orang lain. Karena tidak setiap orang yang berbakat seperti dia untuk bercakap-cakap dengan orang lain, serta menolong mereka menemukan sendiri kekuatan agar berkelakuan baik.
Jadilah Pak Ahn seorang penjual Alkitab. Ia Berkelana jauh di jalan-jalan pedesaan negeri Korea walau hari hujan, walau matahari sedang bersinar terik. Di mana saja ia menceritakan Kabar Keselamatan. Dan di mana saja ia pun menjual Alkitab lengkap, Kitab Perjanjian Baru, dan "Keempat Buku Kecil."
"Nah, ini dia!" ia suka berseru di alun-alun, di pasar, di mana-mana. "Keempat Buku Kecil ini dapat memberi kekuatan agar berkelakuan baik. Aku tahu, karena melalui ajaran-ajaran yang ada di dalamnya, aku sendiri telah mendapat kekuatan itu aku, sebelumnya tidak berdaya. Yah, . . . Pak Ahn si pemabuk, Pak Ahn si penjudi, Pak Ahn si tukang berkelahi itulah aku sendiri, yang sedang berdiri di sini, dan yang sedang menawarkan Keempat Buku Kecil ini pada kalian. Maukan kalian beli?"
TAMAT