Di lautan dekat pantai negeri Inggris, terdapat sebuah pulau kecil yang sangat indah, seindah impian. Kalau pada hari-hari tertentu badai hujan sedang mengamuk, gelombang-gelombang besar menghantam pulau itu dan angin kencang menamparnya. Tetapi pada hari-hari lainnya matahari bersinar lembut, dan pulau kecil itu nampaknya bagaikan batu permata di tengah laut. Ombak-ombak kecil berdatangan membelai-belai pantainya, lalu surut kembali dan menghilang di dalam samudra.
Nama pulau kecil itu bagaikan lagu pada bibir orang yang mengucapkannya. Kalau seseorang mengucapkan kata indah "Lindesfarne", seakan-akan ada rasa puas yang meliputi hatinya.
Pulau itu pun diberi nama julukan: "Pulau Suci." Nama yang manakah yang lebih tepat? Biarlah setiap pembaca menilainya sendiri.
Lebih dari seribu tahun yang lampau, kira-kira pada tahun 690 M., di pulau Lindesfarne ada seorang biarawan Kristen bernama Eadfrith. Dialah bapak kepala dari semua biarawan yang terkumpul di tempat yang terpencil itu. Mereka sengaja berkumpul di sana agar dapat melayani Tuhan Yesus dan sesama manusia tanpa gangguan dari dunia luar.
Raut muka Eadfrith mencerminkan ketenangan dan keberanian. Dan memang ia memerlukan sifat-sifat itu, karena masa hidupnya adalah masa yang sangat berbahaya. Siapa yang tahu, kapan para penyerbu suku Viking yang garang itu akan datang dari benua Eropa dan menyerang pulau Lindesfarne? Mereka itu suka naik perahu-perahu panjang yang haluannya berukiran naga. Dengan tak terduga mereka tiba-tiba akan mendarat di suatu tempat yang sebelumnya aman. Kemudian tempat itu dilanda teriakan perang dan perbuatan teror, sampai semua penduduknya tewas dan semua bangunannya terbakar.
Namun raut muka Eadfrith tetap mencerminkan ketenangan dan keberanian. Bahkan ia berani mengimpikan suatu masa depan yang indah. Pada waktu yang dibayangkannya itu, seluruh umat manusia akan meletakkan pedang dan tombak mereka, dan akan mengikuti seorang Pemimpin yang mengibarkan bendera kasih.
Eadfrith bukan hanya mengepalai sekelompok kecil kaum pria yang tinggal di dalam biara di pulau Lindesfarne itu: Ia pun suka bekerja bersama-sama dengan mereka. Ia telah menyediakan sehelai kulit domba yang sangat halus, sehingga layak menjadi tempat penulisan Firman Tuhan. Dan di atas kulit yang halus itu, dengan panjang sabar Eadfrith mulai menyalin keempat Kitab Injil yang menceritakan masalah pelayanan Tuhan Yesus di dunia ini. Karena (demikianlah pikir Eadfrith) bagaimana pedang dan tombak akan berhenti mengamuk, kecuali jika Kabar Baik tentang Tuhan Yesus itu diberitakan dimana-mana? Hanyalah Tuhan Yesus yang sanggup menyelamatkan dunia dari dosa dan sengsara.
Hari demi hari, minggu demi minggu Eadfrith bekerja keras. Dengan seluruh keahliannya ia menulis setiap huruf dalam naskah salinannya itu. Ada huruf-huruf yang polos saja; ada juga huruf-huruf (khususnya yang letaknya di permulaan pasal atau di kepala halaman) yang dibuat semarak dengan warna-warni yang indah. Di dalam kotak dan lingkaran yang menghiasi huruf-huruf besar itu dapat terlihat gambar para malaikat dan para hamba-hamba Tuhan dari masa lampau.
Hari demi hari, minggu demi minggu Eadfrith terus bekerja. Setiap kata disalinnya dengan huruf-huruf yang indah dan jelas. Kata demi kata, baris demi baris, seluruh isi keempat Kitab Injil itu diturunkannya dari naskah-naskah dalam bahasa Latin, yang merupakan satu-satunya Alkitab milik para biarawan di pulau Lindesfarne.
Musim demi musim berlalu. Pada musim semi, rerumputan bertaburan bunga di pantai pulau Lindesfarne yang sering terhantam badai itu. Warna-warna bunga itu menyamai warna-warna tinta yang berkembang dari kuas Eadfrith sehingga menjadi huruf-huruf besar yang terhias pada Kitab Injil Matius dan Kitab Injil Markus. Musim panas dan musim rontok pun lewat, dan tibalah musim salju. Masih tetap jari-jari Eadfrith yang kedinginan itu menelusuri baris-baris tulisan dari Kitab Injil Lukas dan Kitab Injil Yohanes. Kadang-kadang juru tulis yang panjang sabar itu harus berhenti dulu untuk memanaskan tangannya: Ia khawatir jari-jarinya yang kaku akan mencemarkan keindahan hasil karyanya.
Akhirnya seluruh pekerjaan penyalinan itu selesai. Helai-helai kulit domba yang telah bertuliskan keempat Kitab Injil itu disusun oleh tangan orang lain, bukan oleh tangan Eadfrith, sebab Bapak Eadfrith sudah meninggal. Waktu itu tahun 724 M., dan yang menjadi bapak kepala biara di pulau Lindesfarne adalah Ethelwald. Dialah yang menyuruh supaya dibuat suatu sampul keras, agar halaman-halaman dalam dari kitab yang terindah itu dapat terlindung dengan baik.
Billfrith, seorang rahib suci yang suka hidup sendirian, disuruh mengambil kitab itu. Ia seorang pandai perak dan emas yang sangat ahli. Dengan logam-logam berharga dan batu-batu permata ia menghiasi sampul dari salinan keempat Kitab Injil itu.
Pekerjaan Billfrith pun sudah selesai. Untuk terakhir kalinya tangan Billfrith yang cekatan itu menjamah Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah. Maka Kitab Suci itu dibawa dengan penuh khidmat ke ruang ibadat, yaitu ke tempat yang paling terhormat di seluruh pulau Lindesfarne. Di sana para biarawan berkumpul untuk mengucap syukur kepada Tuhan, oleh karena tidak ada halangan apapun dalam proses persiapan Kitab Suci yang telah mulai disalin oleh Eadfrith berpuluh-puluh tahun yang lampau.
Siapa yang tahu, berapa kali halaman-halaman yang indah itu dibolak-balikkan dengan hati-hati oleh tangan para biarawan? Siapa yang tahu, berapa kali kata-kata panjang dalam bahasa Latin itu dibacakan oleh mereka dalam kebaktian? Siapa yang tahu, berapa kali mereka mengucap syukur atas harta milik mereka, yaitu Firman Tuhan? Selama berpuluh-puluh tahun Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu menjadi kekayaan yang paling berharga dari para biarawan di pulau Lindesfarne.
Lalu . . . malapetaka yang sudah lama mereka khawatirkan itu tiba. Perahu-perahu panjang berukiran naga itu terlihat lagi di lautan lepas. Maka tahulah para biarawan bahwa penyerbu-penyerbu dari suku Viking itu sedang kian mendekat, dengan membawa serta teror dan api kemusnahan dan muat. Mereka sempat juga menemukan pulau Lindesfarne yang indah permai itu!
Dengan khidmat para biarawan mengangkat Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu dari tempatnya di ruang ibadah. Dengan tangan yang lembut mereka membungkusnya, agar harta mereka itu dapat dibawa serta dalam suatu perjalanan yang panjang. Pada suatu malam yang diterangi sinar bulan, bertolaklah mereka dengan naik sebuah perahu kecil. Mereka merahasiakan keberangkatan mereka, agar kekayaan mereka dapat dibawa dengan selamat ke negeri Inggris.
Setelah mendarat, kelompok kecil dari biara itu kemudian menjelajahi negeri Inggris, mencari suatu tempat yang aman. Mereka tidak berani kembali ke Lindesfarne, karena pulau kecil itu telah diserbu suku Viking yang garang. Selama brpuluh-puluh tahun, tidak ada lagi tempat pengungsian di sana.
Bahkan di Inggris pun rombongan pengungsi dari Lindesfarne itu dihadang bahaya. Kaum penyerbu dari suku Viking sewaktu-waktu menyerang pantai negara itu. Para biarawan mengambil keputusan untuk mencari sebuah pulau lain lagi di mana mereka dapat hidup dalam damai sejahtera serta dapat bekerja tanpa gangguan.
Lalu mereka menaiki sebuah kapal yang akan berlayar menuju pulau Irlandia. Kecil sekali kapal itu! Sedangkan lautan amat besar. Namun para pengungsi itu berani membawa serta Keempat Kitab Injil yang pernah disalin dengan penuh penyerahan diri oleh Eadfrith, almarhum kepala biara mereka.
Pada waktu kapal itu berlayar menuju Irlandia, timbullah badai besar. Angin dan ombak mencakar geladak dan tiang layar kepal kecil itu, serta merenggut apa saja yang dapat ditarik hingga hanyut. Para biarawan berjuang mati-matian untuk menyelamatkan diri mereka dari keganasan samudra. Namun keruan saja mereka menangis tersedu sedan pada saat mereka menyaksikan harta merreka, Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu, dijilat dan ditelan oleh gelombang yang nampaknya setinggi langit.
Akhirnya dengan susah payah kapal kecil itu berhasil kembali ke pantai negeri Ingggris. Para biarawan mengucap syukur kepada Tuhan oleh karena mereka telah luput dari maut. Mereka berkumpul di pantai, walau ombak masih amat tinggi. Hati mereka penuh dengan kerinduan; mata mereka menerawang jauh ke lautan lepas . . . lautan yang telah menelan kekayaan mereka.
Ternyata ada benda-benda yang terapung di permukaan samudra. Ada gumpalan gelagat laut, ada juga papan dan tambang dan layar yang terlepas dari kapal yang ditimpa badai itu. Dan . . . ada sebuah bungkusan kecil yang tadinya termasuk muatan kapal.
Setiap gelombang yang ditiup angin mengangkat benda-benda yang terapung itu tinggi-tinggi makin lama makin tinggi, sampai akhirnya semua gelagat dan papan dan bungkusan itu terhempas keluar dari jangkauan air laut yang pasang surut. Benda-benda itu terdampar di atas batu-batu runcing di pinggir samudra.
Badai telah mereda; angin bagaikan bisikan saja. Kebetulan pada hari itu air surut secara luar biasa, sehingga seluruh pesisir seolah-olah telanjang. Maka seluruh penduduk desa nelayan di daerah itu turun ke pinggir laut untuk mencari kalau-kalau ada barang berharga yang terdampar di batu karang. Beserta dengan mereka turun juga para biarawan.
Kaum nelayan itu memang menemukan sisa-sisa tiang layar, papan-papan, dan tambang-tambang. Mereka gembira atas harta yang telah mereka peroleh. Tetapi para biarawan itu tidak peduli. Sangat tipis harapan mereka, namun dengan tekun mereka menelusuri pantai yang masih basah itu.
Amboi, . . . apa itu? Di sana nampak sebuah bungkusan, terjepit di antara dua batu yang runcing. Sambil berseru seorang kepada yang lain, para biarawan itu mulai berlari-lari kecil di sepanjang pantai?
Apakah bungkusan itu hanya berisi pakaian? Ataukah barang lain? Atau . . . mungkin isinya . . . barang yang mereka cari.
Dengan rasa ingin tahu para penduduk desa nelayan berkumpul dan memperhatikan kaum biarawan pada saat mereka mulai membuka bungkusan itu. Tiada seorang jua di antara mereka yang pernah melihat benda apa pun yang menyerupai isi bungkusan itu:
Tengoklah, ada helai-helai besar terbuat dari kulit domba dan tersusun di dalam sampul yang berkilauan dengan emas dan perak! Batu-batu permata pada sampul kitab itu memantulkan sinar matahari; terangnya melebihi pantulan cahaya dari permukaan laut. Dan pada halaman-halaman besar itu terlihat baris-baris tulisan hitam yang dihiasi gambar-gambar yang semarak warnanya biru, hijau, merah, kuning keemasan.
"Terpujilah Tuhan Allah!" Demikianlah para biarawan berseru dalam doa. "Salinan Keempat Kitab Injil kekayaan kita masih terselamatkan!"
"Dan . . . masih utuh, hanya rusak sedikit saja," salah seorang biarawan menambahkan "Lihat, hanya beberapa halaman saja yang pinggirnya ternodai karena terkena air laut!"
Sekali lagi Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu mulai bepergian. Para biarawan membawa serta harta mereka yang paling berharga itu, sambil mondar-mandir mencari suatu tempat yang aman. Mereka tidak lagi berusaha mengantar kitab kekayaan mereka itu ke pulau Irlandia, walau beberapa orang di antara mereka memang pindah ke sana serta meneruskan keahlian mereka dalam membuat salinan Kitab Suci yang sangat elok.
Akhirnya pada suatu hari, kaum biarawan itu mencari perlindungan di sebuah biara kaum Kristen di kota Chester. Dan di sanalah mereka mendapat tempat perhentian untuk harta milik mereka. Para biarawan setempat melihat dengan rasa kagum akan hasil karya Eadfrith, bapak kepala biara dulu, serta Billfrith, rahib suci yang suka tinggal sendirian itu. Dengan penuh khidmat mereka membolakbalikkan halaman-halaman dari Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu. Sungguh mereka sadar bahwa hanya keahlian yang sangat tinggi serta kegigihan yang luar biasa dapat menghasilkan suatu benda yang sedemikian eloknya.
Para biarawan di kota Chester itu kurang terpelajar. Mereka hanya dapat berbicara dalam bahasa Inggris kuno. Sedikit saja di antara mereka yang pandai bahasa Latin, walau ada kerinduan besar pada mereka untuk dapat membaca Firman Tuhan dalam bahasa kesarjanaan itu.
Maka salah seorang biarawan itu yang bernama Aldred mengutarakan suatu gagasan baru. Rencana itu dijelaskannya kepada kaum pengungsi dari pulau Lindesfarne. Setelah lama berpikir dan lama berdoa, para biarawan pendatang itu menyetujui rencana Aldred.
Pohon-pohon buah apel mengeluarkan bunganya; lebah-lebah mendengung di padang rumput yang harum. Namun Aldred tidak mendengar suara lebah atau mencium wangi bunga. Ia pun tidak menghiraukan burung-burung yang berkicau, menyongsong kedatangan musim semi.
Aldred duduk menghadapi halaman-halaman besar yang indah itu. Di antara setiap baris tulisan Salinan Keempat Kitab Injil itu ada tempat kosong--seolah-olah sejak semula dimaksudkan untuk diisi dengan sesuatu. Di dalam ruang-ruang luas itulah Aldred menulis arti dalam bahasa Inggris kuno dari setiap kata bahasa Latin.
Baris demi baris, halaman demi halaman, Kitab Injil demi Kitab Injil semuanya disisipi oleh Aldred dengan bahasanya sendiri, yaitu bahasa sehari-hari yang dipakai oleh para rekannya di biara itu.
Karena bagaimanakah pedang dan tombak akan berhenti mengamuk (demikianlah pikir Aldred), kecuali jika Kabar Baik tentang Dia yang sanggup menyelamatkan dunia dari dosa dan sengsara itu akan diberitakan di mana-mana? Dan bagaimanakah Kabar Baik itu akan diberitakan, kecuali jika setiap orang dapat memahaminya dalam bahasanya sendiri?
Angin badai masih tetap menghantam pantai Lindesfarne, yaitu "Pulau Suci." Lebah-lebah masih tetap mendengung di antara pohon-pohon buah apel di kota Chester yang kuno. Dan di dalam suatu museum di ibu kota London, tempat bangsa Inggris suka menyimpan harta milik mereka yang paling berharga, Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu masih tetap dapat dilihat. Para pengunjung yang datang ke sana boleh memandang dengan mata kepala sendiri kata-kata itu yang pernah ditulis oleh Eadfrith di pulau Lindesfarne dan oleh Aldred di kota Chester, . . . lebih dari seribu tahun yang lalu.
TAMAT