Rombongan berkuda itu berhenti pada lereng sebuah bukit kecil. Jalan sempit yang sedang mereka ikuti itu terus menanjak sampai ke puncak, lalu menghilang di lembah sebelah sana.
Seorang pemuda bernama Charles Martin turun dari kudanya. "Tunggu dulu di sini!" perintahnya.
Anggota-anggota lainnya dari rombongan berkuda itu adalah pria-pria dewasa. Namun tanpa menggerutu mereka menuruti perintah pemuda itu. Sudah lebih dari satu kali, nyawa mereka semua terselamatkan berkat kewaspadaan si Charles yang menjadi petunjuk suatu jalan mereka. Ia tidak akan membiarkan mereka terjebak memasuki suatu lembah yang mungkin dikuasai oleh segerombolan perampok atau suku indian Apache yang garang. Sebagai seorang pemuda koboi yang dibesarkan di wilayah sebelah barat Amerika yang luas dan belum beradab itu, Charles Martin merasa bertanggung jawab atas orang-orang dari kota yang telah mempercayakan diri mereka kepadanya.
Saat ini si Charles mendaki bukit sendirian, tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun. Dekat puncak bukit ini, ia bersembunyi sejenak di belakang sebuah pohon yang kerdil. Lalu ia tidak kelihatan lagi. Tetapi tidak lama kemudian, ia muncul kembali, lari ke bawah, dan melompat ke pelananya. "Cukup aman sejauh mataku dapat melihat," katanya cepat. Maka rombongan berkuda itu mulai maju lagi.
Malam itu para penunggang kuda berkemah di sebuah lembah yang terpencil. Si Charles memasak untuk mereka semua; api yang dinyalakannya begitu kecil, sehingga sedikit sekali asap yang mengepul-ngepul ke atas . . . . Siapa tahu, mungkin ada mata jahil yang sedang mengawasi tempat perkemahan mereka.
Bulan bersinar; malam itu cukup hangat. Api unggun pelan-pelan padam sampai tinggal baranya saja. Kebanyakan anggota rombongan berkuda itu meringkuk di bawah selimut mereka masing-masing, siap untuk tidur. Tetapi salah seorang di antara mereka menuntun temannya ke samping untuk bercakap-cakap sebentar. Temannya itu seorang pria yang tinggi besar dan berjenggot panjang.
"Puas, Pak Majors?" tanyanya kepada pria berjenggot itu.
"Ya, lebih dari puas!" jawab Pak Majors seraya mengangguk. "Aku telah mendengar bahwa di seluruh wilayah sebelah barat Amerika ini, tidak ada koboi yang lebih hebat daripada si Charles, dan sekarang aku pun percaya. Coba bayangkan bagaimana ia meloloskan kita dari bahaya kemarin. Ya, Charles Martinlah orangnya, . . . . asal ia mau bekerja pada kami."
Pada waktu perjalanan yang lama dan meletihkan itu sudah berakhir, Pak Majors mengajak Charles Martin berunding.
"Charles," katanya, "tahukah engkau bagaimana sepucuk surat dari kota New York di pantai timur sampai ke kota San Francisco di pantai barat?"
Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kami di wilayah sebelah barat ini jarang sekali berurusan dengan surat, Pak."
Pak Majors tersenyum. "Tetapi sebaliknya, penduduk Amerika Serikat di daerah-daerah lain sering berurusan dengan surat. Soalnya, selalu memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan lamanya, baru sepucuk dari sebelah timur dapat tiba di sebelah barat."
"Lho! Kalau naik kuda, bisa pergi jauh sekali dalam waktu satu bulan, Pak," kata Charles.
"Betul!" Tetapi surat-surat itu tidak diantar dengan naik kuda. Surat-surat itu harus naik kapal sampai ke pelabuhan di pantai Panama, lalu diturunkan dari kapal dan dibawa melintasi tanah genting sampai ke pelabuhan lagi, kemudian kembali naik kapal ke Kalifornia. Nah, aku punya gagasan baru tentang cara yang lebih cepat untuk mengantar surat. Dan aku ingin engkau membantu cara baru itu, Charles."
Dengan penuh perhatian Charles Martin mendengarkan Pak Majors menjelaskan gagasan baru itu.
"Sudah ada kereta api dari pantai timur sampai ke pedalaman Amerika Serikat," kata Pak Majors. "Dari ujung rel kereta api itu, aku ingin menyiapkan para penunggang kuda yang masih muda dan yang sangat berani. Seperti perlombaan estafet, mereka harus bekerja sama, terus berjalan siang dan malam, apakah hari cerah atau hari hujan. Tidak boleh ada apapun juga yang menghalangi mereka! Sepucuk surat yang dikirim dari New York harus dapat sampai ke San Fransisco dalam waktu sepuluh hari saja."
Mata Charles terbelalak "Sepuluh hari naik kuda!"
"Bukan! Jumlah semuanya sepuluh hari, termasuk waktu di kereta api itu.
"Hmmm, . . ." Nampaknya si Charles mencium kemungkinan petualangan yang baru "Pasti sudah ada rencana, ya, Pak?"
"Sudah. Kami akan mendirikan dua ratus pos pergantian kuda, dengan lima ratus kuda yang larinya paling kencang, serta delapan puluh penunggang kuda. "Pria besar yang berjenggot panjang itu berhenti sebentar dan menatap Charles Martin. "Dan belum cukuplah bila para penunggang kuda itu berani. Mengantar surat adalah tanggung jawab yang penting. Pemuda-pemuda itu tidak boleh berkelahi, tidak boleh berjudi, tidak boleh bermabuk-mabukan. Mereka harus jujur dan setia selalu."
Kelihatannya Charles Martin semakin tertarik.
"Berbahaya sekali tugas semacam itu, Charles!" Pak Majors memperingatkan. "Apakah engkau berminat?"
"Barangkali," jawab Charles.
Pak Majors lalu membentangkan sehelai peta yang kasar di atas meja. "Kami hanya ingin pakai orang-orang yang terpilih saja. Bagaimana kalau kau yang mencarikan penunggang kuda bagi kami di seluruh dunia ini? Lalu tugasmu selanjutnya ialah, . . . mengantar surat dari sini . . . ke sini." Ia menunjuk tempat-tempat itu di peta.
"Rasanya tidak begitu jauh perjalanan itu, Pak," si Charles berkomentar.
"Tetapi bagaimana kalau malam hari? Bagaimana kalau musim salju?" Pak Majors melirik lagi ke wajah Charles. "Pokoknya, surat itu harus selalu tiba, tepat pada waktunya! Biar turun hujan atau salju, biar sedang masa kekeringan atau peperangan, biar ada gangguan dari suku Indian yang garang atau gerombolan perampok, surat itu harus selalu tiba, tepat pada waktunya. Penunggang yang mendahuluimu harus tiba di pos pergantian sehingga kantung surat dapat diserahkan sebelum kudanya berhenti. Lalu engkau harus segera berangkat, berpacu-pacu menuju pos pergantian kuda yang berikutnya."
Charles tersenyum. Rupa-rupanya ia memang semakin tertarik.
"Masih ada hal lain lagi," tambah Pak Majors. "Perusahaan kami hanya ingin mempekerjakan orang-orang yang berwatak baik. Tiap penunggang kuda harus rela menandatangani perjanjian ini." Lalu ia meletakkan sehelai kertas di atas meja. Tulisan di atas jelas. "Bacalah baik-baik, Charles!" katanya.
Si Charles membaca dengan suara keras: "Aku berjanji, dengan bersumpah di hadapan Tuhan Yang Mahabesar, bahwa selama aku menjadi pegawai perusahaan ini: Aku tidak akan mengucapkan kata-kata kotor, tidak akan mencicipi minuman keras, dan tidak akan bercekcok atau berkelahi dengan pegawai lain; sebaliknya, aku akan berlaku jujur, menunaikan tugasku dengan rajin, dan mencari nama baik dari majikanku. Semoga Tuhan menolong aku supaya tetap setia kepada janji ini!"
Tegas sekali syarat-syarat perjanjian itu! Kebanyakan koboi di wilayah sebelah barat justru suka melakukan hal-hal yang dilarang olehnya.
"Mengantar surat itu tugas yang penting," kata Pak Majors pelan-pelan. "Kami tidak mau mengambil resiko dengan orang-orang yang lemah wataknya. Kami tidak ingin ada seorang pengantar pos kami yang berkelakuan seolah-olah ia tak bertuhan."
Si Charles merenungkannya sejenak, lalu berkata: "Aku rela bersumpah, Pak. Janji itu tidak terlalu berat."
"Pada saat pemuda yang kurus tetapi kuat itu menandatangani kertas yang dibentangkan di depannya, mata Pak Majors berbinar-binar tanda puas. Lalu majikan itu pun mengeluarkan tiga macam bekal perjalanan yang diperlihatkannya di samping kertas tadi. Yang satu adalah sebuah pistol; yang satunya lagi, sebilah pisau; dan yang ketiga, sebuah Alkitab ukuran saku yang dijilid kuat-kuat dengan kulit binatang.
"Senjata yang berat-berat tidak mungkin dapat kaubawa dengan naik kuda, Charles, Pak Majors menjelaskan. "Mudah-mudahan kedua macam senjata yang kami jatahkan kepadamu ini akan cukup ampuh. Tetapi mungkin yang penting ialah, . . . bekal yang ketiga ini."
Pak Majors mengangkat Alkitab itu sambil melanjutkan: "Kami tidak mengharuskan pengantar pos kami berjanji akan membaca Alkitab, Charles. Tiap orang bebas memilih agama untuk dirinya sendiri. Tetapi bawalah Kitab Suci yang kecil ini besertamu, ya? Dan jikalau engkau membacanya, pasti hal itu akan memudahkan engkau menepati janjimu tadi."
Berkali-kali Pak Majors mengadakan wawancara dengan pemuda-pemuda yang melamar pekerjaan mengantar surat lewat Ekspres Berkuda. Akhirnya ia selesai memilih. Semua pemuda yang terpilih telah menandatangani perjanjian itu. Dan semuanya telah diberi tiga macam bekal perjalanan yang sama.
Tibalah tanggal 3 April 1860, hari permulaan Expres Berkuda. Celaka! Kereta api dari pantai timur itu datangnya terlambat di pedalaman Amerika Serikat. Namun surat-surat segera diturunkan dari gerbong pos serta dimasukkan ke dalam kantung pelana. Lalu pemuda yang sudah ditunjuk untuk jarak pertama itu berangkat seperti joki di lapangan pacuan kuda.
Hari telah sore; . . . lalu malam pun tiba. Empat kali penunggang kuda itu turun dari pelana selama beberapa detik saja, supaya petugas di pos pergantian dapat menolong dia menaiki seekor kuda baru yang masih segar. Setelah ia bepergian sejak 20 kilometer, tahu-tahu pengantar pos kedua muncul di sampingnya dalam kegelapan malam. Kedua kuda itu mencongklang bersama-sama pada jalan berbatu, selama kantung pelana pindah tangan. Dan surat-surat itu pun berjalan terus!
Dalam waktu seminggu saja, surat-surat yang dikirim lewat Expres Berkuda itu dibawa sejauh 3.200 kolometer! Kadang-kadang ada penunggang kuda yang tiba di suatu pos pergantian, lalu ia mendapati pengantar surat yang seharusnya menggantikan dia itu tiba-tiba jatuh sakit, atau terluka berat oleh serangan penjahat, ataupun sudah mati dibunuh. Namun surat-surat itu masih tetap di menuju tempat sialamat: Pengantar yang sudah capai itu terpaksa harus tahan perjalanan yang lebih jauh dan lebih meletihkan lagi, sampai akhirnya ia berhasil mencapai suatu tempat di mana ada kawan sekerjanya yang sanggup menerima dan meneruskan kantung pelana berisi surat itu.
Maka demikianlah kisah Expres Berkuda yang penuh petualangan itu. Walau disengat terik matahari, walau diguyur hujan lebat, melalui segala peredaraan musim, para penunggang kuda yang berani itu tetap menunaikan tugas mereka. Si Charles dan teman-temannya yang masih muda itu tidak pernah gagal menyampaikan surat-surat ke tempat tujuannya.
Pada waktu-waktu senggang yang mereka lewati sebelum dan sesudah perjalanan mereka yang penuh marabahaya, para pemberani muda itu memang terbukti hidup sesuai dengan perjanjian dan sumpah mereka. Dan tidak sedikit di antara mereka mendapat penghiburan dan pertolongan dari Buku kecil ukuran saku yang selalu dibawa serta sepanjang perjalanan Expres Berkuda.
TAMAT