Selama mengajar sebagai seorang guru selama 13 tahun di sebuah negara Arab, saya menyadari pola pikir kultural dan tradisi-tradisi masyarakat melalui siswa-siswa saya dan keluarganya. Mereka, sebaliknya, mengamati saya dengan hati-hati dan menanyakan kepercayaan saya dan praktik-praktiknya. Saya segera sadar bahwa membagikan Kabar Baik kepada mereka melibatkan seluruh hidup saya: kata-kata, tindakan, dan pikiran saya.
Kebanyakan wanita yang saya temui di dunia Arab memiliki rasa ingin tahu. Karena saya sangat tertarik untuk mengetahui kehidupan mereka, maka hanya dibutuhkan satu menit sebelum kami benar-benar terlibat dalam serangkaian tanya jawab. Mereka sangat suka membicarakan hal-hal ruwet tentang hubungan keluarga. Jadi, saya harus benar-benar memberi perhatian pada nama-nama, jumlah, ataupun istilah-istilah kekeluargaan (seorang bibi mungkin juga menjadi saudara perempuan mertua!). Selanjutnya, mereka akan menanyakan tentang keluarga saya.
Kehidupan saya yang membujang, meski sudah berusia setengah abad, sangat membuat mereka heran. Saya menggunakan hal ini sebagai satu pintu masuk untuk berbicara tentang Allah yang memberikan keamanan dan perlindungan. Dia mengatur dan memimpin dalam mengambil keputusan mengenai pernikahan dan pekerjaan. Saya juga yakin bahwa tetap membujang dalam sebuah masyarakat yang memandang wanita sebagai objek pemenuhan hubungan seksual, merupakan satu cara untuk mewujudkan nilai atau harga dirinya sebagai pribadi yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dari perspektif berbeda, rekan-rekan yang sudah menikah ditambahkan pada gambaran ini sebagai nilai pribadi. Hubungan suami istri yang saling tunduk, saling menghargai, dan saling mengasihi mengungkapkan kebenaran yang sangat dalam tentang pria dan wanita dan Allah.
Salah satu pertanyaan yang mereka ajukan mengenai gaya hidup saya berkaitan dengan doa. Jawaban saya untuk pertanyaan "Apakah Anda sembahyang?" adalah membandingkan penyucian tubuh mereka secara jasmaniah dengan penyucian batiniah yang diberikan Allah melalui darah pengorbanan-Nya. Kadang-kadang, saya menggunakan pengetahuan mereka mengenai seekor domba yang disediakan untuk menggantikan putra Abraham. Biasanya, saya akan membicarakan tentang ketulusan Allah, hati yang suci, dan tentang bebas bertemu Dia kapan saja. Bahkan, saya mungkin memberikan contoh-contoh tentang apa yang saya katakan di dalam doa, memuji Dia, mengakui dosa, mendoakan orang lain. Dalam penyembahan ini, saya berharap dapat menyampaikan realitas dan dekatnya Bapa surgawi, seraya menjaga rasa hormat karena nama-Nya yang kudus.
Persiapan pribadi bagi pelayanan terhadap wanita-wanita ini sangat penting. Berdoa, membaca Kitab Suci, dan merenungkannya adalah bagian dari kehidupan saya sehari-hari, sehingga pemikiran yang saya bagi pada teman-teman agama lain benar-benar berasal dari minat, persoalan, dan keyakinan pribadi. Mula-mula, saya berdoa dengan cara yang lebih umum, agar Allah mengikat roh-roh jahat dan membebaskan hati para wanita itu untuk mendengarkan perkataan-Nya. Saya akan menyebutkan nama wanita tertentu dalam doa dan menunggu Dia memberikan kebenaran khusus yang berkenaan dengan kebutuhan wanita itu. Kemudian, saya menyelidiki ayat-ayat Alkitab yang relevan dalam bahasa Arab dan memikirkan aplikasi dari ayat-ayat itu yang berkaitan dengan wanita itu, contoh-contoh dari kehidupan mereka sehari-hari dan hal-hal yang menarik secara pribadi. Sebelum bertemu dengan teman-teman agama lain, saya menyerahkan kunjungan itu pada Allah dan mendoakan wanita yang saya kunjungi, agar ada di rumah dan memiliki waktu luang untuk duduk dan berbincang-bincang. Lalu, saya akan berbicara santai, menikmati kebersamaan dengan wanita itu dan keluarganya, percaya bahwa Allah akan bekerja.
Sumber: Muslim and Christian on the Emmaus Road. J.Dudley Woodberry. Page 197 -- 218. MARC Pub, 1989