Bagaimana Tata Cara Upacaranya?

Ayah mempelai wanita menanyakan mas kawin yang mereka inginkan kepada keluarga mempelai pria. Kesulitan ekonomi menjadikan pernikahan sebagai sarana penting untuk bisa mendapat uang dan mengabulkan mimpi. Orang-orang meminta mobil, sepeda motor, TV, dan barang mewah lain.

Wedding

Beberapa keluarga berjanji akan memenuhi permintaan setelah pernikahan berlangsung, dan kalau mereka tidak mampu memberikannya, anak perempuan mereka diganggu, dipukul, dan terkadang dibunuh untuk membalas dendam. Kematian yang disebabkan masalah mas kawin sering kali terpampang di surat kabar. Namun, Injil Yesus telah memberi perspektif yang berbeda pada keluarga ini.

Aku mengitari desa dengan membawa kamera video dan ingin merekam upacara persiapan mempelai pria yang unik itu, yang semuanya diatur oleh keluarga mempelai wanita. Seorang bibi yang tertua memegang otoritas tertinggi. Bak sebuah buku panduan tradisi berjalan, dia adalah sumber terpenting dalam kebudayaan yang masih buta huruf itu. Dia memastikan semua detail dilakukan dengan benar dalam waktu yang tepat, seperti seorang konduktor yang sangat tahu mana nada-nada yang pas.

Pertama, mempelai pria dimandikan lalu dipijat dengan pasta berwarna kuning jingga. Kakinya diwarnai dengan dicelupkan ke dalam cairan merah muda. Para wanita memadati area ini, tertawa, bercanda. Inilah dunia mereka. Pria hanya sebagai embel-embel. Sementara merekam, aku menanyakan maksud dari aspek-aspek ritual yang beragam itu. Tampaknya tidak ada yang tahu. Aku mulai khawatir. Bagaimana kita bisa memisahkan penyembahan berhala dari bagian upacara. Ini hanyalah awal keanehan yang masih susah diterima oleh aku dan teman sekerjaku.

Akhirnya, mempelai pria didandani dengan pakaian pernikahan berupa setelan berwarna cokelat keabuan dan sorban yang berkilau. Ia didudukkan di atas panggung yang berupa tempat tidur kecil di bawah sebuah kanopi. Ibunya memegang ekor panjang di belakang sorbannya. Bersamaan dengan itu, makanan disiapkan dan disajikan kepada para kerabat yang datang dari dekat dan jauh.

Setelah kira-kira enam jam, persiapan mempelai pria dan penyambutan keluarga selesai dilakukan. Kami mengemasi barang-barang dan naik ke atas kendaraan sembari menunggu prosesi mempelai pria menuju rumah mempelai wanita. Kendaraan itu disewa dengan tarif yang sangat mahal. Aku diberi kehormatan untuk duduk dengan mempelai pria dan ibunya di sebuah mobil putih bersama beberapa keluarga lainnya. Keluarga yang lainnya naik trailer yang ditarik oleh traktor.

Ketika sampai di desa mempelai wanita, terlihat tenda-tenda besar sudah didirikan untuk kami, tempat di mana pesta bagi mempelai pria digelar semalam suntuk. Pelbet telah disewa dan dipasang. Hari mulai gelap. Api dinyalakan dan makan malam mulai disiapkan di depan rumah mempelai wanita. Mereka menghidupkan generator dan lampu-lampu pijar menerangi tenda kami, yang berjarak lima puluh yard dari rumah mempelai wanita. Aku mencoba merekam sebanyak mungkin dalam kegelapan dan penerangan yang minim. Kami duduk di pelbet di bawah kanopi sambil berbicara, berkenalan dengan keluarga yang belum pernah kami temui sebelumnya. Kami saling bertukar berita. Aku terus menggali informasi tentang maksud ritual yang kami lihat di desa lainnya. Beberapa orang memberikan penjelasan, beberapa lagi menjelaskan yang lain, tetapi kebanyakan dari mereka tidak yakin.

Sekitar pukul 10 malam, kami pindah ke halaman depan rumah mempelai wanita untuk makan malam. Para pelayan mempersilakan kami duduk berbaris di atas tanah. Piring yang terbuat dari daun telah disiapkan dan berisi nasi hangat, sayuran, roti tak beragi yang digoreng, yoghurt, dan beragam makanan kecil lainnya. Setelah hidangan utama, kami diberi permen tradisional India. Semuanya dilakukan dengan sangat saksama dan sopan.

Kami kembali ke tenda pukul 23.30. Tak lama kemudian, ayah mempelai wanita dan seorang pria lainnya datang menemuiku dan rekan kerjaku. Pertanyaan mereka sederhana saja, "Bagaimana kami seharusnya melakukan upacara?" Mereka tahu bahwa upacara tradisional Hindu Chamaar sudah tidak zamannya lagi. Jadi, kami memberi tahu semua hal yang tidak kami inginkan, seperti penyembahan berhala, pemanggilan roh, dan sebagainya. Mereka mengajak kami melintasi halaman. Kami duduk di atas kursi di bawah tirai. Pendeta lokal, yang merupakan saudara mempelai wanita, juga terlibat dalam diskusi itu. Mereka mengulangi pertanyaan di atas. Pendeta itu memandang skeptis kepada kami sementara ayah mempelai wanita menunggu jawaban. Menurut pengamatan pendeta itu, seluruh upacara Chamaar tidak dapat diterima oleh cara pandang Kristen. Kami tidak bisa menanggapi hal itu. Kami belum pernah melakukan ini sebelumnya, ataupun tahu bagaimana cara merancang suatu upacara baru yang menghormati Tuhan sekaligus sesuai dengan budaya Chamaar. Kami mulai sadar, dengan perasaan kecewa, inilah yang mereka harapkan dari kami, yaitu agar kami siap untuk menjawabnya.

Jadi, mereka melaksanakan upacara sebaik mungkin tanpa pendeta Hindu dan pemimpin upacara. Mulai tersebar kabar bahwa pesta orang Kristen Chamaar tidak mempercayai adanya Tuhan, karena mereka (yaitu kami) terus menyuruh agar jangan ada dewa-dewa Hindu di sana. Kami menjelaskan sisi negatif tanpa memberi sisi positifnya. Mereka merasa tidak ada pilihan lain yang kami miliki. Upacara tersebut adalah upacara Hindu, tetapi dilaksanakan dengan agak aneh, yang dipertahankan hanya hal-hal kecil -- yang tak berarti apa pun. Lambat dan menyakitkan, mulai jelas bagi kami bahwa suatu kesempatan yang berharga untuk memuliakan Tuhan, untuk menyaksikan pemberitaan Injil sekaligus mencintai budaya, telah kandas. Perasaan kami sangat kacau, terjebak di antara pendeta yang mencemooh dan pesta pernikahan yang membingungkan.

Kekaguman bercampur kefrustrasian tentang bagaimana harus mendirikan dan mengembangkan suatu gereja yang aktif masih menaungi kami. Meskipun kami telah terhalang dan harus berjuang, semoga Tuhan tetap menolong kami. (t/lan)

Bahan diterjemahkan dari:
Judul artikel : How Should We Do the Ceremony?
Alamat situs : http://www.wec-int.org/stories/stories.php
Sumber : e-JEMMi 34/2006