Rencana itu pada dasarnya cukup sederhana. Gereja Baptis di Stockton, California, akan menaruh pohon Natal setinggi 2 meter di dekat mimbar. Hiasan untuk pohon itu dibuat oleh anak-anak Sekolah Minggu. Di bagian belakang, setiap hiasan tercantum nama keluarga atau nama orang yang memerlukan bantuan. Jemaat dari Gereja Baptis dengan sukarela akan "mengadopsi" salah satu keluarga yang kurang mampu ini selama masa Natal.
Proyek yang disebut Proyek Pohon Natal ini telah dicoba setahun yang lalu oleh salah satu kelas Sekolah Minggu. Selama masa Natal 1984, William D. Webber, pendeta senior, mengharapkan peran serta dari 700 jemaat gerejanya.
Panitia Pelayanan Masyarakat telah menetapkan sasaran 110 keluarga asuh yang perlu "diadopsi" oleh 110 keluarga jemaat Gereja Baptis. Tetapi, waktu proyek ini dimulai, timbul masalah aneh. Jemaat Gereja Baptis adalah jemaat yang mapan -- terdiri atas masyarakat kelas menengah atas. Kebutuhan apakah yang diperlukan oleh keluarga- keluarga itu? Dan, di mana menemukan 110 keluarga yang kurang mampu?
Mark dan Valerie Turner, ketua proyek itu, berkata, "Kita bahkan tidak tahu, ada berapa banyak keluarga di luar gereja yang kebutuhannya tidak terpenuhi. Kita buta terhadap apa yang terjadi di Stockton."
Kota metropolitan Stockton berpenduduk hampir 350.000 orang. Kota itu terletak di Pegunungan California Tengah, salah satu daerah pertanian yang paling subur di dunia, yang terkenal akan sayuran dan buah anggurnya. Jalur pelayanannya menghubungkan Pelabuhan Stockton dengan Teluk San Fransisco sehingga Stockton menjadi pusat pelayanan utama. Selama musim panen, ladang-ladang dan dermaga-dermaga ramai dengan aktivitas.
Tetapi, di antara musim-musim panen terdapat kisah yang menyedihkan. Pada masa ini, ribuan pekerja ladang tidak mempunyai pekerjaan; persentasinya mencapai 25%. Orang-orang yang tidak bekerja ini, umumnya, tinggal di daerah terpencil di Stockton, jauh dari lingkungan keluarga Gereja Baptis. Waktu anggota gereja menghubungi wakil anggota masyarakat, mereka mulai melihat sisi yang menyedihkan dari kota mereka. Mereka segera menyadari bahwa tidak sulit menemukan 110 keluarga yang kurang mampu.
Telepon dan kartu mulai melimpah. Kata Mark Turner, "Sering kami menjumpai lima sampai sepuluh orang anak tinggal bersama orangtua, kakek dan nenek, anjing dan kucing -- semuanya dalam satu pondok yang terdiri atas dua atau tiga kamar sempit. Meskipun begitu, permintaan mereka sangat sederhana. Orangtua jarang menginginkan sesuatu untuk mereka sendiri. Salah seorang janda tua hanya meminta sepasang sandal untuk dipakai di rumah. Seorang pria menulis, dia hanya berharap diberi air destilasi -- yang tidak bisa dibelinya -- untuk mesin dialisis ginjalnya."
Setelah mengetahui keadaan tersebut, anggota-anggota gereja mulai bekerja. Mula-mula, anak-anak membuat 110 hiasan yang merupakan daftar keluarga-keluarga yang kurang mampu, lalu menggantung hiasan itu pada pohon Natal. Hiasan-hiasan itu akan diambil oleh keluarga- keluarga gereja, yang akan mencatat kebutuhan keluarga "asuh" mereka, lalu mereka akan memenuhinya.
Ada beberapa keluarga Gereja Baptis yang sudah pensiun atau sedang mengalami masalah keuangan. Jadi, keluarga-keluarga ini memilih keluarga-keluarga yang memerlukan pelayanan, bukan barang yang harus dibeli, atau mereka bergabung dengan anggota gereja yang lain. Persahabatan terjalin selama proyek itu berjalan.
Satu minggu sebelum Natal, seluruh anggota gereja berkumpul untuk Kebaktian Pengabdian. Hadiah-hadiah dibawa ke depan dan diletakkan di bawah pohon Natal. Mark Turner berkata, "Tidak ada seorang pun yang membayangkan, ada begitu banyak hadiah -- semuanya terbungkus dengan indahnya. Di dekat mimbar ini penuh dengan ratusan hadiah."
Tujuh hari sebelum Natal merupakan waktu pengiriman. Satu kelompok yang terdiri atas para relawan bertugas membagikan hadiah-hadiah ke seluruh daerah Stockton. Tetapi sekarang, sisi lain dari Proyek Pohon Natal ini menjadi jelas. Proyek ini juga membantu keluarga- keluarga di dalam gereja dengan cara yang tidak terduga.
Misalnya keluarga Regina Williams. Regina dan anak-anaknya, Michael yang berumur empat belas tahun, dan Jennifer, empat tahun, sudah lama hidup dalam kemiskinan. Cek dari suaminya yang cacat merupakan satu-satunya sumber penghasilan mereka. Pada waktu Natal 1984 semakin dekat, Regina merasa tertekan. Sekali lagi, ia tidak akan dapat memenuhi keinginan anak-anaknya.
Waktu Proyek Pohon Natal diumumkan di gerejanya, Regina mula-mula merasa semakin tertekan. Gereja Baptis merupakan salah satu tempat yang menyenangkan baginya, dan ia ingin sekali menjadi anggota yang ikut berperan aktif dalam Proyek Pohon Natal. Tetapi karena ia sendiri kurang mampu, bagaimana ia dapat membantu orang lain?
Akhirnya, dengan gembira Regina memutuskan untuk ikut menjadi anggota bagian pengiriman. Pada suatu hari, waktu ia bekerja dengan John dan Leah Lewis, mereka berhenti pada alamat yang salah. Tetapi dengan demikian, mereka menemukan keluarga yang sangat kekurangan.
"Saya tahu dari dalam hati saya bahwa Tuhan telah memimpin kami ke sana karena satu alasan," kata Regina. "Di tempat itu ada 12 anak yang tinggal dengan orangtuanya hanya dalam dua kamar. Mereka tidak mempunyai apa-apa. Tidak ada pohon Natal, tidak ada mainan, bahkan hampir tidak ada makanan. Keadaan mereka menyentuh hati saya. Malam itu saya pulang ke rumah dan berkata kepada keluarga saya, "Saya rasa, Tuhan ingin supaya kita dapat membantu mereka. Marilah kita pikirkan apa yang dapat kita lakukan."
Banyak yang mereka lakukan. Mereka mencari perabotan rumah tangga dan mainan yang mungkin diperlukan keluarga "asuh" itu. Mereka mengajak orang lain di lingkungan mereka dan bersama-sama mereka mengunjungi toko-toko murah dan tempat-tempat yang menjual barang- barang bekas. Anak-anak Regina membujuk seorang guru supaya keluarga asuh itu juga menjadi proyek kelasnya. Bahkan, ibu Regina yang juga tidak mampu, ikut ambil bagian. Waktu semua hadiah sudah dikirim, tumpukan hadiah itu membentuk sebuah gundukan kecil.
"Hal itu membuka mata kita untuk menyadari bahwa banyak kebutuhan orang lain yang dapat dipenuhi dari keadaan kita meskipun kita kurang mampu," kata Regina. "Keluarga yang kurang mampu itu tentu sangat senang menerima semua hadiah, tetapi saya rasa keluarga saya sama senangnya karena dapat memberi."
Regina tidak lagi merasa takut karena tidak dapat membahagiakan anak-anaknya pada hari Natal. Dan anak-anaknya tidak lagi merasa Natal hanya merupakan masa dimana kerinduan tidak terpenuhi. Dengan menggapai ke luar, dengan menawarkan kasih kepada orang lain, mereka membawa kasih yang baru ke dalam keluarga mereka.
Keluarga Williams bukan satu-satunya anggota Gereja Baptis yang mengalami mata air kasih yang melimpah. Banyak keluarga lain yang mengalami pembaruan yang serupa. Semuanya membuktikan, pesan utama dari Proyek Pohon Natal, yaitu bahwa proyek penjangkauan ke luar gereja dapat sekaligus menolong keluarga di dalam gereja.
Sebenarnya, proyek itu menimbulkan pengaruh yang menguntungkan bagi Gereja Baptis seutuhnya. "Pada bulan November 1984," kata Pendeta Webber, "gereja telah terbiasa untuk tidak mau tahu masalah orang lain. Sukar sekali mendorong orang supaya bersemangat dalam segala hal. Anggaran keuangan kami terbatas dan setiap minggu uang kolekte terus menurun. Tetapi Proyek Pohon Natal merupakan titik balik yang besar bagi kita. Gereja kita telah memperlihatkan kemurahan yang menakjubkan, yang melimpah, dan meluap. Dan kemurahan hati tidak dimulai dan berakhir dengan proyek itu. Defisit kita dalam waktu singkat sudah sirna. Sebaiknya pelayanan tetap dijalankan. Pujian kepada Allah terus dinaikkan."
Sekali lagi, pesannya jelas: Keluarga -- termasuk keluarga dalam gereja -- dikuatkan dengan menjangkau ke luar.
Judul Buku | : | Kisah Nyata Seputar Natal |
Judul Artikel | : | Proyek Pohon Natal |
Penulis | : | Susan Devore Williams |
Penerbit | : | Yayasan Kalam Hidup, Bandung 1989 |
Halaman | : | 178-181 |