PRAKATA
Alkitab ditulis atas ilham Tuhan Yang Maha Esa. Proses penulisan Firman Tuhan itu melintasi jangka waktu seribu tahun dalam sejarah dunia, yakni antara tiga ribu tahun dengan dua ribu tahun yang lalu. Bahasa-bahasa asli yang dipakai di dalam Alkitab adalah bahasa Ibrani, bahasa Arami, dan bahasa Yunani. Sebagian besar dari isinya mula-mula ditulis di daerah Palestina, di Timur Tengah.
Walau pada permulaannya Alkitab begitu dibatasi pada tempat, waktu, dan bahasa tertentu, namun pada zaman sekarang -- sesuai dengan judul seri buku ini sudah ada Alkitab di Seluruh Dunia.
Bagaimana sampai terjadi demikian?
Siapakah yang menyalin Alkitab dengan tulisan tangan, sehingga walau naskah-naskah aslinya sudah lama musnah menjadi debu, namun isi Kitab Suci itu masih utuh dan tetap dapat dibaca hingga kini?
Siapakah yang memperbanyak Alkitab, setelah seni cetak ditemukan, sehingga orang-orang biasa di mana-mana dapat mempunyai Firman Tuhan?
Siapakah yang mengedarkan Alkitab sampai ke setiap pelosok dunia ini, walau tugas itu amat sukar, bahkan kadang-kadang sangat berbahaya?
Siapakah yang menenjermahkan Alkitab dari bahasa-bahasa aslinya, sehingga pada masa kini kebanyakan umat manusia dapat membaca Firman Allah dalam kata-kata yang mudah dipahami?
Kisah-kisah nyata dalam seribu buku ini memberi berbagai macam jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi. Sesuai dengan judulnya, dalam tiap jilid seri buku Alkitab di Seluruh Dunia ini terdapat 48 Kisah Nyata. Boleh dikatakan bahwa semua cerita ini memaparkan riwayat hidup Alkitab sendiri penyalinannya, pencetakannya, penerjemahannya, pengedarannya, pemberitaannya, serta pengaruhnya dalam kehidupan umat manusia.
Namun pada hakikatnya judul seri buku ini lebih merupakan harapan daripada kenyataan yang telah terwujud. Memang boleh dikatakan sudah ada Alkitab di Seluruh Dunia. Namun masih ada juga bangsa-bangsa tertentu yang belum dapat membaca Alkitab dalam bahasa mereka sendiri. Misalnya, di Kalimantan dan di Irian Jaya, masih ada banyak suku yang belum mempunyai Firman Tuhan dalam bahasa ibu mereka.
Di samping itu, ada juga banyak orang di seluruh dunia yang belum pernah membaca Alkitab ataupun mendengar penjelasan isinya. Mengapa? Oleh karena belum pernah ada orang yang memberitakan Firman Allah itu kepada mereka. Atau belum pernah ada orang yang menjelaskan isinya dengan cara yang dapat mereka pahami dan terima.
Semoga para pencinta Firman Tuhan di mana-mana akan mendapat semangat baru setelah membaca seri buku ini. Semoga teladan orang- orang lain yang telah menjunjung tinggi Alkitab sepanjang abad itu akan mendorong umat Allah masa kini untuk lebih rajin lagi menerjemahkan, memperbanyak, mengedarkan, memberitakan, dan menerapkan Firman Allah. Semoga akan tiba waktunya bila benar-benar terwujud harapan yang terungkap dalam judul seri buku ini. Semoga kelak benar-benar ada Alkitab di Seluruh Dunia!
Penyadur
Jimmy duduk di depan, di sisi ayahnya yang sedang menyetir mobil. "hati-hati, Jimmy," kata Ayah, "kau harus bantu Ayah lihat t'rus pada mobil Paman John yang di depan sana. Kita akan mengikuti jejaknya dari North Carolina sampai ke Indiana. Khususnya perhatikan kalau ada mobil lain yang menyelinap masuk, atau kalau mobil kita harus berhenti di stopan."
Si Jimmy senang dapat membantu ayahnya. Sudah berminggu-minggu lamanya ia mengharapkan saat keberangkatan mereka. Jimmy dengan kedua orang tuanya menaiki mobil yang satu, sedangkan Paman John dengan tiga anggota gereja menaiki mobil yang satunya lagi. Mereka akan menghadiri suatu pekan persekutuan gereja di negara bagian Indiana. Wah, betapa senangnya bepergian bersama-sama!
Tetapi pada hari pertama dalam perjalanan mereka, pada waktu sinar matahari terasa paling terik, kira-kira jam satu siang salah satu ban mobil Ayah bocor. Ayah membunyikan klakson dua kali panjang, sekali pendek, dan sekali lagi panjang. Itulah aba-aba yang telah disetujui, agar mereka di mobil yang di depan dapat segera mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan mobil yang dibelakang.
Mobil Paman John mundur pela-pelan sampai ke tempat di mana Ayah sibuk bekerja. Ia sudah mengeluarkan ban serep dan dongkrak.
"Wah, kurang mujur!" kata Paman John.
"Yah, tapi mujur juga. Terjadinya persis di sini, dibawah naungan pohon besar," balas Ayah.
Kedua bapak itu mulai bekerja sama, agar dapat lebih cepat selesai. Si Jimmy dan ibunya dan para penumpang lainnya itu menunggu di tempat yang teduh.
"Nah! Sekarang beres," kata Paman John. "Dan sekarang aku haus." Ia melihat sekeliling. Agak jauh dari jalan, kelihatan sebuah rumah kecil. Di serambi mukanya duduk seorang perempuan tua; kulitnya hitam legam dan rambutnya putih bersih. Ia duduk dengan memangku sebuah buku besar.
Paman John menunjuk ke arah perempuan tua itu. "Hei Jimmy, coba kau lari ke sana dan minta air minum," suruhnya.
Setelah si Jimmy sampai ke undak-undakan rumah, ia pun naik ke serambi. Perempuan tua itu berpaling ke arahnya tetapi tidak berkata sepatah kata pun. "Tolong, Ibu," kata Jimmy, "kami harus ganti ban yang bocor; kami semua haus. Boleh kami minta air minum di sini?"
Perempuan tua itu tersenyum. "Air minum? Wah, ada mata air yang airnya paling manis sana, di hutan, di belakang bukit kecil. Ini, Nak peganglah ini t'rus dan kau akan sampai ke sana!" Seraya menjelaskannya, perempuan tua itu meletakkan tangannya pada seutas tali kuat yang diikatkan pada tiang serambi muka. Kelihatannya tali itu terbentang di sepanjang halaman, lalu menghilang di belakang rumah.
Jimmy mengucapkan terima kasih. Lalu dengan sedikit ragu-ragu ia mulai memegang tali itu. Terus ia mengikutnya, . . . menyeberang halaman rumah, . . . masuk hutan, . . . terus mengikuti tali sampai di belakang sebuah bukit kecil. Di situ ia memang menemukan sebuah mata air. Dan benar juga, airnya manis sekali, lagi sangat dingin.
Setelah minum, Jimmy lalu kembali ke pinggir jalan dan menunjukkan tempatnya kepada orang lain. Mereka pun pergi ke sana dan minum sampai puas.
"Aku akan ke rumah ibu tua itu bersama kamu," kata Ayah kepada Jimmy. "Aku ingin menanyakan petunjuk jalan. Dan kita harus berterima kasih sekali lagi kepada ibu tua itu atas air minumnya."
Pelan-pelan mereka berdua berjalan melalui hutan kecil, lalu menyeberangi halaman rumah. "Sudah jelas orang yang tinggal di sini suka bunga," kata Ayah. "Belum pernah aku mencium sekian banyak bau wangi."
Pada saat mereka mendekati serambi muka, perempuan itu masih tetap duduk di sana. Tetapi ia tidak menoleh ke arah mereka. Rupa-rupanya matanya ditujukan ke depan, bukan arah buku besar yang sedang dipangkunya. Namun jari-jarinya bergerak dengan sangat cepat di atas halaman-halaman buku besar itu.
"Wah, dia orang buta!" Ayah berbisik kepada Jimmy. "itulah sebabnya ada tali: Untuk membimbing dia sampai ke mata air. Dan itulah sebabnya pula ia suka menanam bunga. ia tidak dapat melihatnya, namun ia dapat menikmati bau wanginya.
Rupanya pendengaran perempuan tua itu masih tajam, walau matanya buta. Ia mendengar suara bisikan itu, lalu ia berpaling ke arah Jimmy dan ayahnya. "Bagaimana Nak? Kau menemukan mata air itu? Segar rasanya pada hari yang panas terik seperti hari ini, ya?
"Memang segar, ibu, "jawab Jimmy dengan sopan. "Dan enak sekali!"
Lalu Ayah turut berbicara. "Kami berhutang budi kepada Ibu," katanya. Sejenak kemudian ia pun menambahkan: "Adakah apa-apa yang dapat kami kerjakan untuk Ibu, sebelum kami meneruskan perjalanan?"
Perempuan tua itu tersenyum. "O tidak, pak, terima kasih. Tidak usah. Kalian dapat melihat sendiri, mataku ini sudah rusak. Sejak kecil, malah. Tapi aku tidak perlu bantuan. Tidak usah!" Dan ia tertawa riang.
"Pasti ibu tidak tinggal sendirian di sini!" cetus Ayah.
"Sendirian! Dan aku suka tinggal di sini!" jawab perempuan tua itu sambil tertawa lagi. "Putraku, dia yang pasang tali-tali untukku. Tali ini, sampai ke mata air. Tali sana, sampai ke kandang ayam. Tali lain lagi, sampai ke pohon buah. Dan ada juga tali, sampai ke kebun sayur. Kalau di dalam rumah, tidak usah pakai tali segala, sebab aku dapat meraba-raba dan berjalan-jalan ke mana-mana."
Sekali lagi ia tersenyum ke arah Jimmy dan ayahnya, walau ia tidak dapat melihat mereka. "Aku hanya pegang tali-taliku t'rus," katanya lagi. Lalu ia pun mengangkat buku besar yang ada di pangkuannya itu. "Kalian tahu, ini apa?"
"Aku tahu itu sebuah buku Braille, yang dicetak dengan huruf-huruf timbul yang dapat diraba oleh jari-jari," jawab Ayah. "Dan kalau tidak salah, buku itu Alkitab."
"Betul! Betul!" kata perempuan berkulit hitam itu dengan nada suara yang gembira. "Nah, dengarlah, kalian, pada nasihat seorang yang sudah tua: Tadi kalian memegang taliku t'rus dan kalian sampai ke mata air. Nah, peganglah Alkitab ini t'rus, dan kalian akan sampai ke surga!"
"Benar, Ibu," kata Ayah.
Prempuan tua itu meletakkan tangannya yang berkeriput itu pada tali yang menuju mata air. "Peganglah ini t'rus mendapat air minum," katanya. Lalu ia menjamah tali yang menuju ke kebun. "Peganglah ini t'rus, mendapat makanan." Kemudian dengan penuh rasa kasih dan khidmat ia meletakkan tangannya pada Alkitabnya yang besar. "Peganglah ini t'rus, mendapat Tuhan Allah. Dan inilah taliku yang paling penting!"
"Benar," kata Ayah lagi. "Ibu, kalau aku, aku tidak usah memegang tali-tali seperti Ibu. Namun aku berusaha terus memegang ajaran-ajaran Alkitab. Sama halnya dengan anakku ini, juga sama dengan yang lainnya yang sedang bepergian bersama-sama dengan kami."
"Bagus! Bagus!" kata perempuan tua itu sambil tersenyum lebih lebar lagi.
Ayah Jimmy masih mengobrol sebentar lagi dengan perempuan tua itu. Lalu Paman John membunyikan klakson dari pinggir jalan, dan mereka harus pergi. Ternyata Ayah sama sekali lupa menanyakan petunjuk jalan.
Perempuan tua itu berdiri di serambi mukanya pada saat mereka berpamitan. Wajahnya dipalingkan ke arah bunyi derap kaki mereka. Ia menunggu sampai ia mendengar kedua mesin mobil itu dihidupkan kembali, lalu ia pun berseru lagi dengan suara keras: "Peganglah ini t'rus, hai kalian! Yah, selalu peganglah ini t'rus!" dan dengan kedua belah tangannya ia mengangkat Alkitabnya yang besar itu.
Si Jimmy menoleh kepada ayahnya; mukanya memeperlihatkan rasa heran. "Rupanya ia tidak sedih, Ayah walau matanya buta," kata Jimmy.
"Memang ia tidak sedih, Jimmy," Ayah menyetujui. "Ia sudah belajar sesuatu yang sering dilalaikan orang-orang lain yang punya mata tajam, Ibu tadi sudah tahu, kita harus berpegang terus pada apa yang paling penting."
Kedua mobil itu terus melaju naik bukit, turun ke lembah. Dan dengan irama ban-bannya yang berputar-putar terus, si Jimmy seolah-olah dapat mendengar lagi seruan perempuan tua yang berkulit hitam itu:
"Peganglah itu t'rus, hai kalian! Yah, selalu peganglah ini t'rus!"
TAMAT
Raja Henry VIII merasa pusing. Yang memusingkan pikiran sang raja Inggris ialah, pembicaraan penasihatnya yang terpercaya, Thomas Cromwell. Cromwell lagi-lagi berbicara mengenai keperluan adanya satu versi Alkitab bahasa Inggris yang pada umumnya diakui.
"Terlalu banyak perselisihan pendapat tentang Alkitab, hai Baginda yang mulia," kata Cromwell. "Sebagian orang ingin memakai terjemahan William Tyndale, yang dulu pernah dilarang. Sebagian lagi lebih suka versi Thomas Mattew. Yang lain lagi berpendapat bahwa terjemahan baru hasil karya Miles Coverdale adalah versi yang paling bagus. Sebaiknya Baginda sendiri yang memutuskan, edisi manakah harus dipakai. Lalu Baginda dapat bertitah supaya Alkitab versi itulah yang dicetak, agar dapat ditempatkan di dalam setiap gereja di seluruh Kerajaan Inggris."
Cukup panjang pembicaraan Thomas Cromwell itu! Lalu ia mohon diri, karena ia sadar bahwa sang raja sudah mulai pusing. Pada masa itu, empat setengah abad yang lalu, seorang penasihat raja tidak berani membangkitkan murka tuannya!
Selama beberapa minggu Raja Henry memikirkan nasihat Cromwell. Sambil mengusap-usap jenggotnya, ia bergumam: "Usul yang baik . . . aku akan melakukannya. Sekarang akulah kepala gereja di Inggris, dan bukan sri paus yang bertakhta di kota Roma. Jadi, akulah yang berhak memutuskan agar ada satu versi Alkitab bahasa Inggris yang diakui oleh umum.
Dengan suara keras sang raja berseru: "Panggil Thomas Cromwell!"
Ketika Cromwell masuk dan menghadap, Raja Henry memberi isyarat dengan tangannya. "Suruh orang mencetak Alkitab bahasa Inggris edisi baru!" katanya, seolah-olah dia sendiri yang menemukan gagasan baru itu.
"Baik, Baginda," kata Thomas Cromwell sambil tersenyum.
Tidak lama kemudian, Cromwell berunding dengan Miles Coverdale, orang yang mula-mula berhasil menerbitkan seluruh Alkitab dalam bahasa Inggris. Sebagian besar versi itu adalah hasil karya William Tyndale almarhum (lihat pasal 1 dalam buku ini); sisanya, hasil karya orang-orang lain, termasuk Coverdale sendiri.
"Maukah engkau menyiapkan versi baru itu?" tanya Thomas Cromwell kepada Miles Coverdale.
Coverdale rela saja melakukannya. Ia dapat memanfaatkan terjemahan gabungan yang sudah menjadi miliknya itu.
"Sebaiknya dicetak di Paris, ibu kota Perancis," Cromwell mengusulkan. "Di sana ada bengkel percetakan yang paling baik. Dan percayalah, Raja Henry tidak akan puas kecuali ada hasil yang paling baik!"
Maka Miles Coverdale mulai bekerja. Bila satu bagian naskahnya sudah siap, ia menyerahkannya kepada tukang-tukang cetak cetak di kota Paris. Dan bila naskah yang diserahkan itu sedang dicetak, bagian berikutnya sedang dizet. Rupanya tidak lama kemudian, seluruh Alkitab edisi baru pesanan sang raja itu akan selesai. Bahkan beberapa halamannya sudah dikirim ke negeri Inggris.
Tiba-tiba Thomas Cromwell menjadi gelisah. Di benua Eropa ada bahaya. Ada orang-orang tertentu yang tidak menginginkan rakyat jelata dapat membaca Alkitab. Jangan-jangan ada gerombolan musuh yang menyerbu bengkel percetakan di kota Paris! Boleh jadi mereka akan memusnahkan alat-alat percetakan, tumpukan-tumpukan kertas, beberapa halaman yang sudah jadi, dan naskah terjemahannya!
Memang sebagian dari halaman yang sudah jadi itu kemudian dirampas oleh musuh, dan dijual begitu saja kepada seorang tukang pembuat topi. Maka Thomas Cromwell memutuskan, sebaiknya seluruh proyek penerbitan sang raja itu dipindahkan ke negeri Inggris. " Di negeri sendiri kita tidak akan diganggu!" katanya.
Lalu Miles Coverdale disuruh memindahkan segala-galanya ke negeri Inggris: alat-alat percetakan kertas, bahkan tukang-tukang cetak juga. Dan pekerjaan itu pun diteruskan.
Akhirnya pada tahun 1539 seluruh Alkitab itu selesai dicetak. Ukuran halamannya sangat besar, sehingga versi itu segera diberi julukan: "Alkitab Agung."
"Nah, kalau sudah dicetak, pasti harus dibaca!" kata Raja Henry VIII. Ia mengeluarkan suatu titah supaya Alkitab Agung itu dibacakan di setiap gereja. Ia juga memerintahkan supaya di setiap gereja besar disediakan tiga atau empat buah meja khusus dengan sebuah Alkitab Agung di atasnya masing-masing, dan supaya meja-meja itu diletakkan di tempat yang berbeda-beda di dalam gereja. Jadi, siapa saja boleh masuk ke dalam gereja dan membaca sendiri isi Alkitab.
Titah sang raja pasti dilaksanakan dengan segera oleh rakyat. Tidak lama kemudian, di seluruh Kerajaan Inggris orang-orang saleh yang memasuki gereja atau katerdal mana saja, pasti menemukan di situ beberapa meja. Dan di atas setiap meja itu diletakkan sebuah eksemplar Alkitab Agung yang indah. Setiap Alkitab yang berukuran besar itu dirantaikan pada meja, sehingga tak mungkin dibawa pulang.
Empat setengah abad yang lalu, hanya sedikit saja orang yang mempunyai buku. Juga, hanya sedikit orang yang pandai membaca. Dan orang yang pandai membaca, biasanya suka membaca dengan bersuara.
Coba andaikan ada seorang saudagar yang berhenti di depan Alkitab Agung di sebuah gereja. Ia membolakbalikkan halaman demi halaman sampai ia menemukan sesuatu yang menarik. Lalu ia berdiri di situ sambil membaca dengan suara keras. Orang-orang lain yang berdiri di sekelilingnya mendengarkan dengan penuh perhatian, apalagi jika mereka sendiri kurang pandai membaca.
Beberapa waktu kemudian, saudagar itu pun pergi. Lalu ada seorang sarjana yang kemungkinan memasuki gereja. Ia juga membolakbalikkan halaman demi halaman yang besar itu, dan segera mulai membaca dengan bersuara.
Mungkin juga menyusul seorang mahasiswa, atau seorang anak bangsawan, ataupun seorang pegawai toko. Mereka masing-masing dengan senang hati membuka Alkitab dan membaca isinya. Mungkin di antara mereka itu ada yang membaca dengan suara yang lebih nyaring, dengan harapan akan dikagumi orang lain: "Ah! Orang itu sungguh pandai membaca!" Mungkin si pembaca Alkitab bahkan tidak menghiraukan waktu, bahwa saat itu kebaktian umum di gereja sudah dimulai.
Maka timbullah kekacauan besar di dalam gereja-gereja di seluruh Kerajaan Inggris. Orang-orang Inggris begitu asyik membaca Firman Allah, sehingga mereka tidak lagi memperhatikan apakah gereja itu sedang dipakai untuk beribadah atau tidak. Mungkin di tengah-tengah khotbah terdengar suara melengkung dari arah belakang ruang kebaktian, karena seseorang sedang membaca salah satu pasal Kitab Mazmur. Menyusullah suara kedua di sebelah kiri dengan sangat nyaring membaca Sepuluh Hukum Allah, sedangkan suara ketiga di sebelah kanan menyerukan Ucapan Bahagia Tuhan Yesus. Tentu saja bagi para anggota jemaat amat sulit mengikuti khotbah dalam keadaan seperti itu!
Maka sang raja harus mengeluarkan suatu peraturan baru: "Dilarang membaca bersuara keras jika ada upacara kebaktian yang sedang berlangsung." Tetapi di luar jam-jam ibadah itu, siapa saja boleh memasuki gereja dan membaca Alkitab Agung.
Pasti Raja Henry VIII senang atas keberhasilan tindakannya itu. Namun di Kerajaan Inggris masih banyak orang yang belum sempat mengetahui isi Alkitab. Di antara mereka itu ada yang kekurangan waktu, sehingga mereka tidak sempat membeli sebuah Alkitab untuk dibaca sendiri di rumah.
Rakyat biasa negeri Inggris harus menunggu dua setengah abad lagi, barulah mereka dapat membaca Alkitab dengan mudah sama seperti sang raja dan para bangsawan serta kaum cerdik pandai. Bahkan tindakan seorang raja yang memungkinkan mereka mempunyai Alkitab sendiri. Malah yang bertindak seorang anak perempuan dari rakyat biasa di Wales, salah satu daerah kecil dari Kerajaan Inggris Raya.
Menjelang permulaan tahun 1800an, Mary Jones baru berumur sepuluh tahun, namun ia sudah mempunyai dua cita-cita besar:
"Aku ingin belajar membaca!" kata si Mary. "Dan aku ingin punya sebuah Alkitab sendiri."
"Cuma orang kaya saja yang punya Alkitab," jawab ayahnya. "Dan kalau membaca, Ayah sendiri belum pernah belajar."
Ayah Mary Jones adalah seorang penenun kain. Walau ia tidak dapat membaca, namun ia seorang pembawa cerita yang pandai. Di gereja ia mendengarkan baik-baik waktu Firman Tuhan dibacakan dalam bahasanya sendiri, yaitu bahasa Wales. Lalu ia suka menceritakannya kembali kepada si Mary. Kisah nyata dari Alkitab itu adalah cerita kesayangan Mary Jones sejak kecil.
Pada waktu si Mary berumur sepuluh tahun, salah satu citanya itu mulai menjadi kenyataan. Sebuah sekolah dibuka, hanya tiga kilometer jauhnya dari tempat tinggalnya. Si Mary merasa tidak apa-apa setiap hari berjalan enam kilometer di lorong-lorong pegunungan, asal saja ia dapat belajar membaca.
Ada seorang tetangga keluarga Jones yang cukup kaya; ia mempunyai sebuah Alkitab. Istrinya mengajak si Mary main ke rumah mereka, agar ia dapat membaca Firman Tuhan. Semakin banyak ia membaca, semakin besar kerinduan hatinya untuk mempunyai sebuah Alkitab sendiri.
Untuk mewujudkan keinginannya, Mary Jones mulai memelihara ayam. Sedikit demi sedikit tabungannya menjadi berat. Namun ia harus menunggu selama enam tahun, baru uang simpanannya itu cukup untuk membeli sebuah Alkitab.
Di desa tempat tinggal Mary Jones tidak ada toko buku. Seseorang memberitahu dia, "Aku mendengar bahwa di desa Bala, Pdt. Charles suka menjual Alkitab. Tetapi jaraknya empat puluh kilometer dari sini. Apa lagi, jalannya menanjak!"
Tidak mengapa. Si Mary toh sudah bekerja dan sudah menabung selama enam tahun. Ia tidak akan melewatkan kesempatan ini, hanya oleh karena ia harus berjalan lagi empat puluh kilometer pulang ke rumahnya. Ia hanya memiliki sepasang sepatu saja, jadi sambil berjalan ia menjinjing sepatu itu agar tidak terlalu cepat menjadi usang.
Dengan kaki telanjang Mary Jones berjalan empat puluh kilometer di jalan yang menanjak. Di pinggir desa Bala, baru ia mengenakan lagi sepatunya: Tentu saja ia harus berpakaian rapi dan sopan pada saat menghadap sang pendeta untuk membeli sebuah Alkitab!
Tetapi pendeta itu memberi kabar yang sangat mengecewakan: "Alkitab berbahasa Wales itu hanya ada sisa tiga buah saja, dan ketiga-tiganya sudah dijanjikan kepada orang lain. Aku kurang tahu kapan akan ada lagi persediaan Alkitab."
Sampai saat itu Mary Jones sangat tabah. Tetapi ketika mendengar kabar yang demikian, ia langsung duduk dan menangis.
Pdt. Charles merasa prihatin, apalagi setelah si Mary dengan terbata-bata menceritakan pengalamannya. "Mungkin . . . mungkin salah seorang calon pembeli itu rela menunggu sampai ada kiriman lagi," usulnya.
Memang ia berhasil membujuk salah seorang calon pembeli itu untuk menunggu dengan sabar. Jadi, Alkitab yang semula dijanjikan kepada orang itu dapat dijual kepada Mary Jones. Pdt. Charles yang baik hati itu juga mengusahakan makanan, minuman, dan penginapan untuk si Mary. Gadis itu dapat beristirahat secukupnya sebelum menempuh perjalanan pulang kembali sejauh empat puluh kilometer.
Sesudah anak perempuan yang berumur enam belas tahun itu pulang, Pdt. Charles masih tetap mengenang dia. Mestinya ada cukup banyak Alkitab berbahasa Wales, katanya dalam hati. Pasti si Mary hanya salah satu di antara sekian banyak rakyat biasa yang ingin mempunyai sebuah Alkitab sendiri. Mestinya harga Alkitab lebih rendah, sehingga rakyat tidak harus menabung bertahun-tahun lamanya. Mestinya persediaan Alkitab lebih banyak, sehingga rakyat tidak harus berjalan kaki jauh-jauh di lorong pegunungan untuk menemukan hanya sebuah Alkitab saja.
Lalu Pdt. Charles mengadakan perjalanan jauh, dari desa Bala ke ibu kota London. Di sana ia berunding dengan pemimpin-pemimpin gereja. Kepada mereka ia menceritakan pengalamannya dengan si Mary Jones.
Melalui peristiwa itu, maka pada tahun 1804 didirikan Lembaga Alkitab Inggris Raya dan Luar Negeri. Itulah lembaga Alkitab yang pertama-tema didirikan di seluruh dunia. Kemudian di mana-mana menyusul lembaga-lembaga Alkitab yang lain, . . . termasuk Lembaga Alkitab Indonesia.
Pekerjaan setiap lembaga Alkitab itu ialah, menerjemahkan Firman Tuhan ke dalam bahasa sebanyak mungkin, menerbitkannya sehingga dapat dijual semurah mungkin, lalu mengedarkannya seluas mungkin. Itulah sebabnya pada masa sekarang ada ratusan juta orang di dunia ini yang sempat mempunyai Alkitab dalam bahasa mereka sendiri.
Jadi, belum cukup jika ada seorang raja yang menitahkan supaya Alkitab diterbitkan dan dibacakan. Juga diperlukan cita-cita yang besar dari seorang rakyat biasa, yaitu seorang putri penenun kain. Mary Jones rela bekerja keras sambil menabung selama enam tahun, lalu rela berjalan kaki sejauh empat puluh kilometer, oleh karena tekadnya serta tindakannya itu, sekarang ada Alkitab bukan hanya di Inggris Raya, melainkan juga di seluruh dunia.
TAMAT
Matahari sudah mulai terbenam pada saat seorang pria dengan susah payah berjalan kaki lewat lorong yang becek menuju Desa Gersang.
Wah, jelek sekali jalan-jalan di daerah Polandia Timur ini, katanya pada dirinya sendiri. Kalau aku tidak bertekad untuk membawa Alkitab kepada orang-orang yang belum mempunyainya, pasti aku tidak mau bepergian ke daerah yang terpencil seperti ini!
Memang pria itu sudah biasa berjalan di jalan-jalan desa yang jelek. Umumnya ia tidak mengomel. Tetapi sudah bekerja keras sepanjang hari, kadang-kadang ia merasa sedikit jengkel.
Tenaganya hampir terkuras habis ketika lampu-lampu nampak berkedip-kedip pada jendela-jendela di Desa Gersang. Pada saat pria itu berjalan semakin dekat, anjing-anjing menggonggongi dia. Tetapi pria itu sudah biasa menghadapi anjing-anjing penjaga; seandainya tidak, pasti sudah berkali-kali ia diserang.
Ia mengetuk pintu rumah pertama yang didatanginya. Seorang pria muncul dipintu; tiga orang anak mengintip dari belakang punggungnya.
"Selamat sore." sapa tuan rumah itu. "Silakan masuk; sudah mulai dingin di luar."
"Selamat sore." Tetapi pria yang mengetuk pintu itu tidak segera masuk. "Pak, aku mencari tempat menginap. Aku bersedia membayar, juga untuk makananku. Dan aku pun menjual sebuah Buku yang berisi cerita-cerita yang paling indah di seluruh dunia."
Dengan tenang ia menunggu keputusan tuan rumah; ia tidak mau memaksa orang itu menerimanya. Tetapi biasanya, begitu orang memandang wajahnya, saat itu juga mereka merasa bahwa ia seorang yang dapat dipercaya.
"Bagaimana, Marya?" tanya tuan rumah itu kepada istrinya.
Istrinya melangkah maju dan memperhatikan wajah pria yang masih berdiri di luar itu. "Nanti malam pasti dingin sekali," katanya. "Kami punya cukup makanan di sini dan cukup tempat tidur juga." Lalu ia kembali ke tungku perapian agar dapat mengurus masakannya.
Maka pintu itu dibukakan lebih lebar. "Silakan masuk!" kata tuan rumah. "Kenalkan, namaku Antoni Kowalski."
"Dan aku, Karl Olsen, penjual Alkitab," jawab tamu itu seraya berjabat tangan. "Di samping menjual, aku pun suka menyampaikan cerita di tempat aku menginap."
Ketiga anak itu berdiri di sekeliling Karl Olsen pada saat ia duduk di dekat tungku perapian. Si Marya Kecil adalah anak sulung; namanya sama dengan nama ibunya. Ia Tersenyum tersipu-sipu. "Cerita, Pak?" bujuknya.
Ayahnya tertawa. "Si Marya tidak puas-puasnya mendengar cerita. Biarkan tamu kita memanaskan tangannya dulu, Nak!"
Tidak lama kemudian Karl Olsen sudah merasa hangat dan nyaman. Maka dibukanya bungkusannya dan dikeluarkannya sebuah Alkitab. "Nah, ini dia, Buku yang paling berharga di seluruh dunia. Kalian mau aku bacakan sebuah cerita, ya? Bagaimana kalau cerita ini, yang pernah dibawakan oleh Tuhan Yesus sendiri?"
Karl membuka Alkitabnya pada perumpamaan orang Samaria yang murah hati. "Kalian bagaikan orang Samaria terhadap diriku," katanya. "Dengan murah hati kalian sudah menerima aku, sehingga aku tidak kedinginan, dan aku selamat dari bahaya binatang buas yang mengintai dalam kegelapan malam."
Tibalah waktu makan malam. Karl makan dengan lahapnya. Makanan itu sangat sederhana, tetapi disuguhkan dalam keadaan panas dan diberi bumbu menurut seleranya.
Sesudah makan, Karl Olsen mulai bercerita lagi. Pak Antoni dan Ibu Marya duduk sambil mendengarkan, bersama dengan si Marya Kecil dan si Yan dan si Zosia. Yang dibacakan ialah cerita-cerita tentang Yusuf, tentang Daud, tentang Raja Salomo yang membangun Bait Allah yang indah, tentang Nabi Daniel yang dijebloskan ke dalam gua singa.
Sebelum ia menyampaikan tiap cerita baru, Karl membuka Alkitab pada pasalnya yang tepat. Smbil bercerita ia pun menyisipkan di sana sini dengan susunan kata persis seperti yang tertera di halaman Alkitab.
Si Marya Kecil menarik napas panjang pada saat Karl Olsen menutub Alkitab. "Papa, beli Buku itu, ya? Supaya setiap malam Papa dapat membacakan isinya," bujuknya. "Papa satu-satunya orang di Desa Gersang yang dapat membaca," ia menjelaskan dengan bagga kepada tamu itu.
Ayahnya mengerutkan dahinya. "Kita ini orang miskin, Nak. Tidak mampu membeli buku," katanya.
Suara Karl Olsen lirih pada saat ia mengatakan: "Mereka yang tidak mempunyai Buku ini memang miskin. Tetapi bagi mereka yang mempunyainya, Buku ini lebih berharga daripada banyak harta."
"Papa! Papa! Beli, ya, Papa!" si Marya terus membujuk.
Akhirnya Antoni Kowalski membeli sebuah Alkitab, meski untuk orang seperti dia harganya terhitung cukup mahal. Ia meletakkan Buku itu di tempat yang terhormat di dalam rumahnya.
Selama dua hari Karl Olsen tetap menginap pada keluarga Kowakski. Ia berkenalan dengan penduduk lain di desa itu. Tetapi tidak ada seorang pun, di antara mereka yang mau membeli Alkitab. Kitab-kitab Perjanjian Baru, bahkan Kitab-Kitab Injil yang kecil-kecil tidak ada satu pun yang laku.
Karl kecewa. Tadinya ia berbesar hati karena pada malam yang pertama itu ia sudah menemui sebuah keluarga yang rela membeli Alkitab lengkap. Harapannya semula ialah, pasti ada juga orang-orang lain di Desa Gersang yang mau membeli.
Pada hari yang ketiga, Karl Olsen berangkat menuju desa-desa lain. Sambil berjalan kaki melewati lorong yang becek, ia terus berpikir: Ah! Biarlah cuma sebuah Alkitab saja yang laku di Desa Gersang. Tadinya tidak ada Firman Allah sama sekali di sini. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi?
Kemudian datanglah musim salju di Polandia Timur. Matahari terbenam agak awal; kawanan serigala melolong di dalam kegelapan malam. Semua orang harus tetap tinggal di rumah.
Pada malam-malam seperti itu Antoni Kowalski biasa membuka Alkitabnya serta membacakan cerita-cerita yang sudah diberi tanda oleh Karl Olsen. Ia pun membacakan ajaran-ajaran Tuhan Yesus, menurut daftar penunjuk ayat yang ditinggalkan oleh penjual Alkitab itu.
Selama saat-saat pembacaan itu, Ibu Marya dengan si Marya Kecil serta Yan dan Zosia suka duduk mendengarkan. Kemudian mereka memperbincangkan apa yang sudah mereka dengar.
Kadang-kadang ada juga tetangga yang turut mendengarkan. Seraya mengambil Alkitabnya, Pak Antoni suka mengatakan: "Coba dengarkan apa yang sudah kutemukan di dalam Buku ini. Dengarkan baik-baik, dan berilah tanggapan."
Lalu ia akan membacakan dengan suara keras, sedangkan tetangga-tetangannya duduk termenung. Kemudian mereka memberi tanggapan dan memperbincangkan arti ayat-ayat tadi. Percakapan itu selalu berkisar pada hal-hal yang patut mereka terapkan dalam hidup mereka.
"Mengapa aku harus mengampuni musuhku?" tanya seorang tetangga. "Apakah Buku ini bermaksud, aku harus membantu seseorang memotong kayu, padahal ia sudah mencuri sebagian dari panen gandumku? Wah, tidak masuk akal!"
Pak antoni menggelengkan kepalanya. "Siapa tahu? Memang ini ajaran yang aneh." Lalu ia pun membuka sebuah ayat yang lain lagi. "Nah, ini: `Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.'''
Si Marya Kecil dan Yan ikut mendengarkan ayah mereka bertukar pikiran dengan tetangga-tetanggnya. Mereka saling berpandangan. Memang mereka tidak selalu memperlakukan teman-teman sepermainan mereka seperti mereka kehendaki supaya teman-teman itu memperlakukan mereka!
Sulit mengatakan secara persis, kapan dan bagaimana perbuahan ajaib itu mulai terjadi. "Seumpama ragi yang diadukan ke dalam tepung sampai khamir seluruhnya", demikian kata-kata Tuhan Yesus tentang Firman Allah yang berkerja dengan tidak kentara dalam hati manusia.
Demikianlah halnya di Desa Gersang. Ajaran-ajaran Alkitab mulai mengubah cara hidup Antoni Kowalski serta keluarganya dan tetangga-tetangganya. Desa Gersang mulai bersemi secara rohani, dengan pikiran dan perbuatan yang bersifat murah hati.
Pada suatu hari Pak Antoni dan Ibu Marya mengaku percaya kepada Tuhan Yesus dengan terang-terangan. Tak ketinggalan juga si Marya Kecil dan Yan. Zosia, si bungsu, masih terlalu kecil untuk menjadi anggota gereja, namun ia pun mengasihi Tuhan Yesus sebagai Temannya yang terbaik.
Lambat laun orang-orang lain di desa itu juga memihak Tuhan Yesus dan menggabungkan diri dengan umat Kristen. Pada suatu hari Pak Antoni dan Ibu Marya mulai menghitung: "Seratus sembilan puluh delapan, . . . seratus sembilan puluh sembilan, . . . dua ratus. Sudah ada dua ratus orang Kristen!" kata mereka. "Alangkah baiknya jika Karl Olsen dapat diberitahu, betapa besarnya perubahan di desa ini sebagai hal dari Alkitab yang pernah dijualnya!"
Nah, justru fakta itu yang mulai mencemaskan hati kedua ratus orang Kristen baru di Desa Gersang: Alkitab yang mereka miliki itu hanya ada satu.
Mengapa kita juga tidak membelinya waktu Karl Olsen ada di sini dulu?" kata mereka dengan wajah sedih. "Bagaimana kalau Kitab Suci itu dicuri orang? Bagaimana kalau rumahmu kebakaran, Antoni?"
"Aku sudah tahu sebagian dari Alkitab di luar kepala," kata si Marya Kecil. "Aku sudah hafal cerita tentang Tuhan Yesus bersama kanak-kanak itu, dan juga Mazmur pasal 100."
"Dan aku pun sudah tahu di luar kepala cerita orang Samaria yang murah hati," kata si Yan dengan bangga. "Aku dapat menghafalkan seluruh cerita itu, tanpa kekeliruan sedikit pun."
Ibu Marya tidak mau ketinggalan. "Hatiku sarat dengan ayat-ayat yang pendek yang telah kauhafa," katanya. "Tetapi satu pasal semuanya? Wah, aku belum sanggup!"
Perkataan ibu Marya itu menimbulkan gagasan baru. "Kita harus menghafal selurh Alkitab!" demikianlah keputusan kedua ratus orang Kriten itu. "Tiap bagian yang indah, tiap bagian yang penting, harus dapat diucapkan di luar kepala."
Maka mereka membuat rencana bersama-sama. Mula-mula mereka mendaftarkan semua ayat dan pasal kesayangan mereka masing-masing, serta ajaran-ajaran Alkitab yang mereka anggap paling indah dan paling penting. Lalu setiap orang diberi tugas hafalan. Anak-anak kecil menghafal ayat-ayat pendek saja. Anak-anak yang lebih besar ditugasi menghafal cerita dan perumpamaan serta mazmur yang tidak terlalu sulit untuk diingat. Orang-orang dewasa ditunjuk untuk menghafal bagian-bagian Alkitab yang paling rumit. Dengan rajin dan tekun mereka mulai menunaikan tugas mereka masing-masing.
Kadang-kadang mereka berkumpul di rumah keluarga Kowalski. Seseorang akan mulai mengucapkan apa yang sudah dihafalkannya, misalnya dari Kitab Injil Lukas, pasal yang pertama. Orang tadi akan terus menghafal sejauh bagiannya. Lalu orang yang berikutnya akan berdiri dan meneruskan tugas hafalannya. Pak Antoni memegang Alkitab di tangannya, agar ia dapat memperhatikan tiap kata yang diucapkan itu persis dengan yang tertulis di dalam Firman Tuhan.
Setiap malam hari selama musim salju itu, tidak lagi terasa waktunya lewat dengan amat panjang. Setiap oramg Kristen di Desa Gersang memanfaatkan waktunya dengan menghafalkan Alkitab. Banyak sekali bagian Firman Allah yang sudah dapat diucapkan di luar kepala setelah musim salju itu lewat!
Selama musim semi dan musim panas dan musim rontok, mereka semua sibuk mengusahakan gandum dan memotong kayu dan mengerjakan tugas-tugas yang lain. Tetapi setiap musim salju selama tahun-tahun yang berikutnya, mereka terus menambah perbendaharaan ayat dan pasal hafalan mereka . . . .
Matahari sudah terbenam pada saat Karl Olsen dengan susah payah berjalan kaki lewat lorong yang becek menuju Desa Gersang lagi. Dulu aku pernah mampir di desa yang terpecil ini, demikianlah pikirnya. Waktu itu cuma sebuah Alkitab saja yang laku. Aku menjualnya kepada tuan rumah di sini . . . eh, siapa namanya?
Tenaganya hampir terkuras habis ketika lampu-lampu nampak berkedip-kedip pada jendela-jendela di Desa Gersang. Ia mengetuk pintu rumah pertama yang di datanginya. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah keluarga yang dulu itu masih tinggal di situ, dan apakah ketiga anak mereka masih sehat-sehat saja.
Seorang gadis remaja membukakan pintu. Ia tertegun sejenak, lalu berlari ke dalam sambil memanggil ibunya: "Mama! Mama! Pak Karl Olsen datang kembali! Pak Karl Olsen!"
Seluruh keluarga Kowalski keluar dan menyambut tamu mereka dengan penuh sukacita: Pak Antoni, Ibu Marya, Yan, Zosia, dan "si Marya Kecil", yang sekarang lebih tinggi daripada ibunya. Kabar kedatangan Karl Olsen itu dengan cepat-cepat disampaikan ke rumah-rumah tetangga, dan mereka pun menyambut dia dengan girang.
Karl haren sekali. Mengapa mereka semua menyongsong dia dengan seramah itu? Mengapa mereka masih mengingat namanya selama bertahun-tahun itu?
Sedikit demi sedikit ia mendengar ceritanya. Pak Antoni mengeluarkan Alkitabnya, yang sudah hampir usang karena sudah terlalu sering dibuka-buka. Ibu Marya bercerita tentang dua ratus penduduk Desa Gersang yang sudah menjadi pengikut Tuhan Yesus. Teman dan tetangga mereka sering memotong percakapannya dengan berita-berita yang lain, . . . tetapi tidak seorang pun yang bercerita tentang tugas hafalan mereka. Rupanya mereka merasa itu urusan mereka sendiri, yang mungkin tidak begitu menarik untuk diceritakan kepada orang lain.
Keesokan harinya, dengan senang hati penduduk Desa Gersang berkumpul untuk berbakti bersama-sama dengan Karl Olsen. Dalam kebaktian itu, Karl bertanya: Adakah seseorang di sini yang dapat mengucapkan ayat kesayangannya?"
Semua orang terdiam. Lalu Antoni Kowalski bertanya, "Ayat kesayangannya, Pak? Ataukah pasal kesayangannya?"
Karl Olsen kaget. "Pasal! Adakah di sini seseorang yang sudah menghafal kseluruhan dari satu pasal di dalam Alkitab?"
Lalu mereka bercerita kepadanya tentang kecemasan mereka dulu: Jangan-jangan Alkitab satu-satunya milik mereka itu hilang! Mereka menjelaskan bagaimana mereka membagi-bagi tugas hafalan. "Hampir seluruh Alkitab itu telah kami hafalkan," kata mereka dengan bangga. "Dan kami sedang berusaha menghafalkan sisanya."
Yan adalah orang pertama yang berdiri dan mulai mengucapkan ayat-ayat di luar kepala. Lalu Zosia, dan Marya, dan semua anak yang lain, ayat demi ayat, pasal demi pasal. Kaum dewasa pun mengucapkan beberapa ayat dan pasal kesayangan mereka.
Seminggu lamanya Karl Olsen menetap bersama-sama dengan orang-orang Kristen di Desa Gersang. Desa itu jauh sekali dari tempat tinggal orang-orang Kristen yang lain; banyak sekali pertanyaan mereka tentang saudara-saudara seiman mereka yang belum pernah mereka lihat! Dan mereka pun membeli Alkitab, Kitab Perjanjian Baru, dan Kitab-Kitab Injil sampai persediaan yang dibawa karl Olsen itu habis semuanya.
"Kami sudah mempunyai Alkitab di dalam hati kami," kata mereka. "Akan tetapi kami masing-masing hanya mempunyai sebagian saja. Padahal kami masing-masing memerlukan Firman Allah yang lengkap."
Semalam sebelum Karl Olsen hendak berangkat lagi dari Desa Gersang, ia berbaring di tempat tidurnya. Demikianlah renungan hatinya: Sungguh Firman Allah bekerja di dalam hati orang-orang di sini. Dari hanya satu Alkitab saja, . . . lihatlah hasilnya!
TAMAT
Pintu kantor lembaga Alkitab itu terkuak sedikit. Di depannya berdiri seorang pria berkulit hitam. Sudah tua bangka dia, bahkan begitu tua sehingga tubuhnya bungkuk sampai ke pinggangnya. Namun matanya masih cerah.
Pria muda yang duduk di belakang meja tulis di kantor itu juga seorang Negro, yakni seorang Amerika berkulit hitam. "Bagaimana, Oom?" tanyanya dengan nada sopan. "Oom perlu apa? Silakan masuk!"
Si Tua melangkah masuk dengan tertatih-tatih. Jelas terlihat, baju yang dipakainya itu adalah baju yang sudah dibuang orang lain. Sepatunya berlubang besar.
"Kalian jual Alkitab di sini, Nak?"
"Tentu saja, Oom."
"Kalian mau dengar ceritaku?"
"Ya, mau Oom." Petugas kantor yang masih muda itu memang ingin tahu, pengalaman apa gerangan yang hendak diceritakan oleh seorang kakek setua itu.
"Rasanya sulit mengingat waktu panjang yang sudah lewat dalam masa hidupku. Tapi aku masih bisa ingat tempo dulu, masa perbudakan manusia." Si Tua mendongakkan mukanya ke atas seolah-olah ingin melihat, apakah pemuda itu percaya akan ceritanya. "Memang aku lahir sebagai budak, Nak."
Pemuda itu mengangguk. Mengapa tidak percaya? Walau semua budak di seluruh Amerika Serikat sudah dimerdekakan berpuluh-puluh tahun yang lalu, namun kakek ini kelihatannya hampir sama tuanya seperti Metusalah yang dikisahkan dalam Kitab Kejadian itu.
"Ya, aku lahir sebagai budak. Dan tuanku dulu, ia bilang tidak boleh ada seorang anak budak pun di perkebunannya yang belajar membaca dan menulis. Tapi aku ini, . . . yah, aku rindu belajar. Dan memang aku belajar! Sering juga aku dipukul dengan cambuk kalau kedapatan sedang memegang buku." Si Tua tertawa terkekeh-kekeh. "Tapi aku nekat terus belajar membaca!"
Beberapa detik kemudian, ia pun meneruskan ceritanya. "Nah, tuanku dulu itu, ia mau kasih budak-budak sama putrinya. Sebagai hadiah! Lalu ayahku sendiri dan aku sendiri jadi budak putrinya. Lain lagi sifat dia dari sifat ayahnya! Katanya, aku boleh saja belajar membaca dan menulis. Katanya, pasti tidak ada jeleknya kalau orang membaca Alkitab. Memang betul!"
Si Tua tersenyum sendiri sambil mengenang kembali masa lampau itu. "Aku belajar membaca Alkitab. Belajar mencintainya, juga."
Kakek itu mengangkat wajahnya. "Sayang, aku tidak punya Alkitab sekarang. Dan aku ingin sekali punya. Rasanya aku sudah terlalu tua sekarang untuk bisa bekerja. Tapi aku masih bisa membaca . . . kalau punya Alkitab."
Petugas kantor itu lebih tertarik lagi. Apakah Si Tua akan meminta supaya ia menghadiahkan sebuah Alkitab kepadanya? Seandainya demikian, memang ada di kantor sedikit persediaan Alkitab yang dapat diberikannya secara gratis, menurut kebijaksanaannya sendiri.
"Aku tidak punya uang, Nak," kata kakek itu melanjutkan. "Tapi aku ingin sekali punya Alkitab. Kalau bisa, aku mau kasih imbalan. Nih, lihat, . . . orang suka kasih uang kalau aku mainkan lagu tarian bagi mereka dengan sulingku."
Tiba-tiba raut muka si Tua menjadi agak cemas. Ia sudah memberanikan diri datang ke kantor Lembaga Alkitab, dengan harapan bahwa melalui permainan sulingnya ia dapat memperoleh apa yang sangat dirindukannya itu. Tetapi sekarang nampaknya ia ragu-ragu. Mungkin di kantor lembaga Alkitab yang serba modern ini tidak ada seorang pun yang ingin mendengar musik tarian. Rupanya semua orang di sini sedang bekerja, dan tidak mau diganggu dengan musik tarian.
"Oom dapat memainkan lagu apa saja?" tanya pemuda itu lirih.
"Lagu-lagu tarian dan lagu-lagu gereja, Nak," jawab Si Tua dengan penuh harapan.
"kalau begitu, mainkan lagu-lagu gereja, Oom."
Si Tua mengangkat sulingnya dan menempelkannya pada bibirnya. Ia menarik napas panjang. Lalu not-not tinggi mulai mengalun di ruang kantor lembaga Alkitab. Suara suling itu lembut dan merdu.
Selama petugas kantor itu mendengar beberapa lagu rohani, dalam benaknya seolah-olah terlintas bayangan seorang anak laki-laki kecil berkulit hitam legam, . . . dengan susah payah membaca Firman Tuhan, . . . takut kalau-kalau dihukum, dan memang sewaktu-waktu menerima ganjaran cambuk.
Dengan cepat ia melangkah ke lemari tempat penyimpanan Alkitab yang khusus boleh diberikan dengan cuma-cuma. Diambilnya sebuah Alkitab; ditaruhnya pada meja dekat Si Tua. "Ini Oom. Cukupkah ini?"
Alunan musik dari suling Si Tua segera berhenti. Ia pun segera lupa akan sulingnya, yang ditaruhnya dengan begitu saja di atas meja. Kedua belah tangannya yang hitam dan keriput itu dengan semangat baru menggenggam Alkitab tadi. "Boleh, Nak? Sungguh boleh? Tanpa mesti kasih uang?"
"Rasanya Oom sudah membayar setimpal dengan harganya," kata pemuda itu sambil tersenyum. "Sekalipun Oom tidak memainkan lagu-lagu rohani tadi, Oom sudah membayarnya waktu masih kecil waktu Oom berani dicambuki, asal saja dapat belajar membaca Alkitab."
Beberapa menit kemudian, pemuda itu berdiri di pintu kantor. Ia memperhatikan Si Tua, yang berjalan kaki di trotoar dengan pelan-pelan. Namun langkahnya tidak tertatih-tatih seperti tadi. Sekarang ia sengaja berjalan pelan-pelan, agar ia dapat membaca Alkitab yang terbuka dalam genggaman tangannya itu. Dan ia pun membaca dengan bersuara.
Petugas kantor yang masih muda itu kembali ke meja tulisnya. Ia merenung. Alangkah indahnya . . . . katanya pada dirinya sendiri. Alangkah indahnya jika semua orang di seluruh dunia sama rindunya seperti Si Tua tadi untuk memiliki Alkitab!
TAMAT
"Ya, boleh, Nak," kata seorang ibu rumah tangga kepada seorang anak laki-laki belasan tahun yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya. "Kamu boleh menyewa kamar di sini selama bersekolah. Tetapi ibu tidak sanggup membersihkan kamar itu. Kamulah yang harus membersihkannya, ya? Dengan demikian Ibu dapat memberi harga sewa yang lebih murah."
Nama anak remaja Amerika itu John. Ia seorang putra desa yang terpaksa harus tinggal di sebuah kota kecil kalau mau meneruskan pendidikannya pada tingkat SLTA.
Terus terang, si John tidak begitu senang mendengar bahwa ia harus membersihkan kamarnya sendiri. Tetapi ia merasa dapat berbuat demikian kalau terpaksa. Memang, ibu tidak menentukan berapa sering saya harus membersihkan kamar, begitulah pikirannya. Maka John setuju akan menyewa kamar itu.
Beberapa hari setelah John mulai memakai kamar itu, ketika ia pulang dari sekolah, ia menemukan sebuah Alkitab di atas mejanya. Alkitab itu bukan milik John; pasti orang lain telah meletakkannya di situ.
John mengangkat Alkitab itu. Di atasnya ada secarik kertas dengan tulisan: "Inilah Buku yang paling baik di seluruh dunia. Mudah-mudahan kamu akan membacanya setiap hari."
John tersenyum sinis. Peduli amat dengan Alkitab! katanya pada diri sendiri. Dulu, waktu ia masih kecil, kadang-kadang si John pergi ke gereja dengan neneknya. Tetapi sejak di gereja desa itu, ia tidak pernah lagi membuka-buka Alkitab.
"Saya tidak perlu membaca Alkitab," gumamnya. Lalu ia merebahkan diri di tempat tidurnya yang kumal dan mulai membaca sebuah cerita . . . .
Dua minggu sudah lewat. John belum berbuat apa-apa untuk membereskan kamarnya. Tempat tidurnya tetap kumal; lantai tidak disapu; di atas setiap benda di kamar sewaan itu ada lapisan debu.
Namun dengan lewatnya waktu, John memperhatikan sesuatu yang aneh. Betapa pun tebalnya lapisan debu di atas lemari, meja, dan lantai, Alkitab itu tetap bersih. Ibu rumah tangga itu sedang menunggu dengan sabar sampai si John memenuhi janjinya dengan mulai membersihkan kamarnya. Tetapi sementara itu, setiap hari sang ibu diam-diam masuk dan membersihkan Alkitab yang ia harapkan akan dibaca oleh John.
John mulai merasa terganggu oleh keadaan kamarnya yang begitu berantakan. Ia merindukan sebuah kamar yang bersih; namun ia tidak berbuat apa-apa untuk membersihkannya. Pada waktu yang sama, John juga mulai terasa terganggu karena ia mengalami banyak kesulitan di sekolah. Tidak ada lagi ayah atau ibu yang menyuruh dia mengerjakan PR-nya. Banyak waktu dihabiskannya dengan bermain dan membaca cerita. Rupa-rupanya ia belum tahu bagaimana mengurus cara hidupnya sendiri.
Pada suatu hari John pulang dari sekolah dan berdiri sejenak di ambang pintu kamarnya. Ia melongok dan melihat-lihat ke dalam. Alangkah kotornya! Namun heran, di tengah-tengah segala sesuatu yang kotor dan berserakan itu, ada sebuah Alkitab yang tetap bersih.
Selama beberapa menit John masih mematung sambil melihat ke arah Alkitab itu. Tiba-tiba ia duduk di kursi dekat mejanya dan menggapai Alkitab yang senantiasa dibersihkannya itu. Ia masih ingat letaknya beberapa ayat dan pasal yang dulu pernah dipelajarinya di Sekolah Minggu, sewaktu ia masih seorang anak kecil di desa. Mulailah dia membaca.
Sambil membaca Alkitab, John menjadi sadar akan pikiran-pikiran baru yang sedang muncul dibenaknya. Saya ini sangat malas, katanya pada diri sendiri. Saya belum memenuhi janji saya kepada ibu itu, tentang membersihkan kamar ini. Dan saya pun bermalas-malasan saja di sekolah.
Rasanya di dalam Alkitab ada sebuah ayat entah di mana letaknya yang berbunyi begini: "Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga." John tidak ingat lagi penunjuk ayat Pengkhotbah 9:10, namun ia yakin bahwa dulu ia pernah menghafalkan ayat itu.
Mungkin . . . mungkin jika saya membaca Alkitab, hal itu akan menolong diri saya, kata John dalam hati. Jika saya membaca tentang cara hidup Tuhan Yesus, mungkin saya dapat belajar bagaimana membagi waktu, bagaimana mengatur hidup saya sendiri.
John berdiri lagi. Ia melangkah ke lemari pakaiannya. Sang ibu telah menggantungkan sebuah bulu ayam di situ, dengan harapan si John akan memakainya. Bulu ayam itu kelihatannya masih baru, belum pernah digunakan. John menggapainya dan mulai membersihkan meja; baru kemudian ia meletakkan kembali Alkitab di atas meja itu . Lalu ia turun ke dapur untuk mencari ember dan kain pel. Dengan tekun ia bekerja terus, sampai kamarnya cukup bersih.
Entah apa sebabnya, . . . setelah itu setiap pelajaran di sekolah si John mulai berjalan lebih lancar. Rupa-rupanya John menjadi lebih pandai mengatur jadwal dan tugasnya. Memang kamar sewaan itu kadang-kadang berantakan lagi, tetapi tidak lama kemudian, pasti John membersihkannya kembali. Alkitab itu masih tetap diletakkan di atas meja, tetapi hampir setiap hari diambil dan dibuka-buka oleh si John: . . .
Bertahun-tahun sudah lewat. Pada suatu hari Minggu pagi, John berdiri di belakang mimbar di sebuah gereja kecil. Ia membuka Alkitab. Dengan suara jelas, dibacakannya kepada jemaat beberapa ayat. Lalu ia duduk kembali.
Sementara paduan suara menyampaikan lagu istimewa, pikiran John menerawang jauh . . . kembali kepada waktu ketika ia masih seorang siswa SLTA, dan pada suatu hari ia membuka Alkitab yang tetap bersih, di sebuah kamar sewaan yang pada waktu itu belum dibersihkan.
Semoga Tuhan memberkati ibu rumah tangga itu! kata John dalam hati. Pasti ia akan merasa heran, seandainya ia dapat melihat saya pada saat ini membacakan kata-kata yang indah dari Alkitab, sebagai persiapan untuk menyampaikan khotbah saya yang pertama-tama di gereja ini . . . yang saya sendiri menjadi gembala sidangnya!
TAMAT
Laurens mempunyai sebuah Alkitab yang baru. Betapa senang rasanya. Ia baru duduk di kelas 3 SD dan sesungguhnya belum dapat membaca ayat-ayat dengan lancar, namun ia bangga mempunyai sebuah Alkitab yang baru. Sesuai dengan sistem pendidikan di Amerika Serikat, pelajaran itu diadakan bukan di sekolah, melainkan di gereja, walau masih dalam jadwal belajar.
Pada suatu hari, ketika si Laurens sedang mengikuti pelajaran agama seperti biasanya, ada seorang murid SMP yang mengunjungi kelas 3 SD. Anak laki-laki itu kelihatannya cuku tinggi bila berdiri di depan Laurens dan kawan-kawannya.
"Anak-anak," kata Ibu Rusell, guru mereka, "David ingin mengumumkan sesuatu kepadamu. Ada pesan dari kakak-kakakmu di SMP. Mari kita dengarkan!"
David berdiri di depan. "Pasti kalian tahu bahwa negeri Jerman dan negeri Jepang kalah dalam perang beberapa tahun yang lalu," katanya.
Laurens menganggukkan kepalanya. Walau ia sendiri masih terlalu kecil untuk mengingat banyak hal dari masa perang itu, namun ia sudah pernah mendengar ceritanya dari orang tuannya. Ia tahu bahwa banyak kota di kedua negara asing itu rusak berat akibat pemboman. Banyak barang yang musnah; banyak orang yang tewas.
"Nah! Kami mendengar bahwa negeri Jerman dan Jepang kekurangan Alkitab," kata David meneruskan. "Tahukah kalian, ada banyak keluarga di sana yang tidak punya Alkitab satu pun tidak?"
Si Laurens mengacungkan tangannya. "Kenapa sih tidak beli saja? Kenapa orang tua dalam keluarga-keluarga itu tidak membeli Alkitab untuk anak-anak mereka?"
"Karena tidak ada Alkitab di toko buku di sana," David menjelaskan. "Dan seandainya ada, orang-orang di sana tidak punya cukup banyak uang untuk dapat membeli makanan bagi anak-anak mereka, apa lagi untuk membeli buku. Sebenarnya mereka tidak punya apa-apa. Tapi mereka sangat rindu punya Alkitab."
"Ya, memangnya kenapa?" tanya Laurens lagi. Anak laki-laki yang berambut merah itu sering mengajukan pertanyaan yang agak sulit dijawab.
"Nanti dulu, Dik," kata David dengan sabar. "Itulah sebabnya aku datang mengunjungi kelas 3 ini. Kelas kami akan menyediakan sebuah Tabungan Alkitab. Kami akan memasukkan uang kami, agar dapat mengirim Alkitab ke negeri Jerman dan negeri Jepang. Kami berharap dapat mengumpulkan dana sebanyak empat puluh dolar sebelum akhir tahun pelajaran ini. Dan kami pikir, mungkin kalian juga mau menyediakan Tabungan Alkitab."
"Tetapi . . . aku tidak punya uang tambahan," kata Laurens memprotes.
Murid SMP yang tinggi perawakannya itu memandang pada wajah Laurens sambil tersenyum nakal. "Lho! Kan kulihat kau kemarin sedang makan permen coklat?"
Muka si Laurens mulai memerah. "Tetapi itu . . . ya, itu . . . Huh! Masa aku tidak boleh makan permen cokelat?"
"Kami rela kehilangan permen cokelat," kata David menjelaskan. "Kami pun rela membagi-bagikan uang saku kami. Dan juga, kami akan mencari uang dengan cara-cara lain. Tetapi masing-masing menurut kerelaan hati sendiri. Tidak ada yang memaksa."
Laurens terdiam. Kepalanya yang merah itu terkulai, tetapi rahangnya mengeras. Ia tidak mau absen makan permen cokelatnya. Setiap hari sehabis sekolah ia suka jajan, dan permen coklat itulah makanan kesayangannya.
Setelah David pergi lagi, murid-murid kelas 3 itu memperbincangkan usulnya. Dengan bantuan ibu guru, mereka menyelidiki negeri-negeri jauh itu yang sangat kekurangan Alkitab. Hampir setiap anak dalam kelas 3 itu setuju untuk menyediakan Tabungan Alkitab. Hanya si Laurens saja yang tidak turut berunding. Ia duduk saja dengan muka yang masam.
Ketika pelajaran agama Kristen itu usai, ibu Russell menyuruh Laurens tinggal sejenak. "Laurens," katanya, "kawan-kawan sekelasmu telah setuju untuk menediakan tempat tabungan itu. Tetapi Ibu tidak mau engkau memasukkan uangmu ke dalamnya. Sesen pun kau tidak boleh!" katanya dengan tersenyum.
Laurens melongo. "Kenapa, Bu?"
"karena ini merupakan pemberian kasih, Nak. Yah, . . . pemberian dari anak-anak yang lebih senang orang lain mempunyai Alkitab daripada mendapat sesuatu untuk diri mereka sendiri. Seorang pun tidak boleh turut memberi kalau hatinya kurang senang. Lebih baik kau lupakan saja Tabungan Alkitab itu. Tidak seorang pun akan tahu siapa yang memasukkan uang dan siapa yang tidak." Ia tersenyum lagi dan mendorong Laurens ke arah pintu ruang kelas. "Pulang saja, Nak. jangan pikirkan hal itu lagi!"
Untuk sementara waktu si Laurens memang melupakan hal itu. Dengan senangnya ia jajan. "Hmm, . . ." kata si Henry seolah-olah menghitung-hitung dalam hati, "kalau aku tidak jajan satu hari dalam seminggu saja, . . . kira-kira berapa banyakkah yang dapat aku masukkan ke dalam Tabungan Alkitab itu?"
Hari demi hari ada murid-murid kelas 3 yang maju ke depan dan memasukkan sesuatu ke dalam tabungan itu kadang-kadang satu sen, atau lima sen, atau sepuluh sen. Tidak ada yang mencatat pemberian-pemberian mereka; tidak ada yang memperhatikan siapa yang memberi dan siapa yang tidak memberi.
Pada suatu pagi ketika Laurens sedang berjalan menuju sekalah, ia melihat di trotoar ada suatu benda yang mengkilap dalam sinar matahari. Lima puluh sen! Setengah dolar! Ia mulai menghitung-hitung dalam hati, berapa banyak permen coklat yang dapat dibelinya dengan uang sebanyak itu. Si Laurens sungguh doyan makan permen cokelat.
Lalu terlintas pikiran: Kalau uang ini aku masukkan ke dalam Tabungan Alkitab, aku tidak rugi apa-apa. Uang jajanku masih tetap utuh. Tetapi lebih baik uang ini kutukarkan dulu.
Maka Laurens membawa mata uang besar itu ke kios dan menukarkannya dengan sepuluh mata uang kecil. Di ruang kelas pelajaran agama Kristen, ia menunggu sampai semua kawannya sudah masuk. Lalu ia pun maju ke depan dan mulai menjatuhkan uangnya ke dalam tabungan itu. Satu persatu mata uang lima sen itu dijatuhkannya, sampai jumlahnya sepuluh biji. Semua anak memperhatikan perbuatannya. Lalu ia kembali ke tempat duduknya dengan raut muka yang sombong.
Tetapi beberapa jam kemudian, pada waktu si Laurens mampir ke kios sebelum pulang dari sekolah, hatinya mulai merasa tidak enak. Ia tidak segera melahap permen cokelatnya seperti biasa. Pada saat itu ia insaf. Tidak benar perbuatanku tadi . . . . Mereka semua mengira aku sudah mengorbankan sesuatu untuk menyumbang dana pembelian Alkitab, . . . padahal aku cuma memasukkan uang orang lain yang kebetulan jatuh di trotoar. Sama sekali bukan aku yang memberi, hanya orang yang kehilangan uang itu.
Bungkusan kecil permen cokelat yang tadinya hendak dibelinya itu ditaruhnya kembali. Tidak jadi Laurens membelinya. Sore itu ia menahan lapar sampai waktu ibunya menyajikan makanan di rumah. Dan esok harinya, uang sepuluh sen yang biasanya dibelikan permen coklat itu dimasukkannya ke dalam Tabungan Alkitab.
Sangat senang rasanya! Ia sudah turut serta dalam pemberian kasih. Ia sudah menolong orang-orang lain di negeri-negeri yang jauh, agar mereka pun dapat mempunyai Alkitab.
Minggu demi minggu murid-murid kelas 3 itu menyediakan Tabungan Alkitab. Menjelang akhir tahun sekolah, si David yang tinggi itu kembali lagi ke ruang kelas mereka. "Kami berhasil mengumpulkan dana empat puluh dolar!" katanya dengan mata yang berbinar-binar. "Rasanya mustahil uang sebanyak itu dikumpulkan murid-murid SMP, tetapi kami telah berhasil!"
Anak-anak kelas 3 itu berseru "Hore!" dan bertepuk tangan.
"Yang penting, uang itu sekarang akan dikirim ke negeri Jerman dan negeri Jepang, untuk dibelikan banyak Alkitab di sana," David melanjutkan "Nah, dengarkan, adik-adik: Kami akan memuat laporan di surat kabar tentang usaha semua kelas. Memang kamilah yang memulai proyek itu, tetapi alangkah baiknya kalau jumlah dana nanti jika digabung dapat mencapai delapan puluh dolar empat puluh dari kelas kami, dan empat puluh lagi dari kelas-kelas lainnya."
"Mustahil!" kata si Laurens. "Masakan anak-anak sekolah dapat menabung uang sebanyak itu."
Tetapi pada saat ayahnya membacakan laporan dari surat kabar itu, si Laurens hampir tidak percaya: ```semua kelas telah menggabungkan isi Tabungan Alkitab mereka masing-masing. Ternyata jumlahnya dua ratus enam puluh enam dolar, semuanya untuk membeli Alkitab bagi orang-orang Jerman dan orang-orang Jepang.'''
"Dua ratus enam puluh enam dolar wah!" cetus Laurens.
Beberapa minggu kemudian, mulailah tahun pelajaran yang baru. Kini Laurens duduk di kelas 4. Pada saat seorang murid bertanya kepada Ibu Rusell tentang Tabungan Alkitab, guru mereka itu tersenyum saja. "Tergantung kalian sendiri," katanya. "Kalau mau, boleh. Kalau tidak mau, jangan."
Laurens membuka pembicaraannya. "Menurut hematku, sebaiknya kita adakan lagi," katanya. "Hanya saja, kita semua sudah lebih besar sekarang. Mestinya kita dapat mengumpulkan lebih banyak uang. Misalnya, pamanku telah menjanjikan uang jasa kalau aku mau memelihara kudanya."
Susi juga memberi usul: "aku akan memasukkan uang persembahanku dari gereja."
Semua murid kerlas 4 itu menjadi diam.
"Wah, nanti banyak uang akan terkumpul kalau kita semua berbuat begitu," kata Henry.
"Lebih baik kalian pikir dulu," kata Ibu Rusell dengan tenang.
Setelah beberapa saat, si Laurens berbicara lagi. "Kupikir lebih baik jangan," katanya. "Gereja kita perlu menggunakan uang persembahan itu untuk banyak usaha yang baik. Kalau uang itu kita masukkan ke dalam Tabungan Alkitab itu harus kita ambil dari uang saku kita sendiri."
"Aku tidak diberi uang saku," kata Tom. "Tetapi aku dapat mencari uang dengan bekerja sambilan."
"Kalau aku, sering ada pemberian khusus dari ayahku yang boleh kupakai sesuka hatiku," kata Henry. "Aku dapat memasukkan sebagian dari uang itu."
Jadi, mereka memang membuat suatu peraturan: Semua uang yang dimasukkan ke dalam Tabungan Alkitab itu harus diambil dari uang saku, atau dari uang jasa, atau pun dari uang pemberian.
Kelas-kelas pelajaran agama Kristen yang lain juga menyukai peraturan itu bukan hanya di sekolah si Laurens, tetapi juga di sekolah-sekolah lain yang letaknya berdekatan. Mereka semua setuju dengan rencana itu. Maka mereka semua mulai menyediakan Tabungan Alkitab.
Menjelang akhir tahun pelajaran pada bulan Juni yang berikutnya, sudah ada dua ratus dolar lagi dalam tabungan-tabungan itu.
Di pertengahan tahun 1953, si Laurens dan teman-temannya sudah naik kelas; mereka duduk di kelas 5. "Mari kita membuat poster-poster," Laurens mengusulkan. "Kita dapat menempelkan poster-poster itu di mana-mana, agar murid-murid lain mau turut memberi." Dengan segera mereka berbuat demikian, dan bahkan murid-murid SMA mulai tertarik akan usaha pengumpulan dana itu.
Menjelang bulan juni lagi, jumlah pemberian mereka selama tiga tahun itu telah mencapai seribu dolar lebih!
"Mau diteruskn?" tanya Ibu Rusell pada waktu tahun pelajaran dimulai lagi.
"Mau!" Laurens dan teman-temannya sudah duduk di kelas 6. Dan proyek pengumpulan dana Alkitab itu dilanjutkan untuk satu tahun lagi.
"Aku akan menyusun daftar tentang semua cara yang kami pakai untuk mencari uang." kata Laurens. "Mungkin anak-anak di tempat lain akan tertarik juga mengetahuinya. Hai kawan-kawan, beritahu, kalau kalian punya cara baru untuk mendapatkan uang yang akan dimasukkan ke dalam Tabungan Alkitab kita."
Si Laurens lalu menyusun daftar itu. Sebagai judulnya ia menulis dengan huruf cetak: "CARA-CARA KITA MENGUMPULKAN UANG." Di bawah judul itu ada kalimat-kalimat sebagai berikut:
Aku sendiri memelihara kuda milik pamanku.
Susi tidak jadi membeli es krim.
Lolita membuat krans-krans Natal dan menjualnya.
Jack menabung untuk membeli sebuah pistol air,
tetapi uang itu kemudian dimasukkannya
ke dalam Tabungan Alkitab.
June mencari langganan baru untuk majalah.
Lorraine mencuci piring.
Marie menolong tetanggannya membereskan
tempat-tempat tidur.
Donald mengantar koran.
Makin lama makin panjang daftar itu! Orang-orang dewasa di seluruh daerah itu pun tertarik. Kalau ada tugas kecil yang perlu di kerjakan, mereka suka memanggil salah seorang murid sekolah. "Hei, kamu mau mendapat dua puluh lima sen untuk Tabungan Alkitabmu?" mereja suka menawarkan.
Laurens adalah murid yang paling bersemangat. Ketika tahun 1954 sudah tiba dan mereka sudah mengumpulkan dana sebesar tiga ribu dolar, ada beberapa anak yang diundang turut tampil pada siaran televisi. Tentu saja si Laurens termasuk rombongan acara itu.
Sekarang si Laurens sudah tinggi, sama seperti si David dulu. Sama seperti David pula, dialah orangnya yang suka pergi ke ruang-ruang kelas lain serta mendorong adik-adik kelasnya agar mereka turut memberi.
"Bukankah kau sudah bosan dengan proyek itu?" tanya seseorang. Sama sekali tidak!" jawab Laurens. "Tahun ini kami mencari uang untuk Alkitab dalam bahasa Hongaria, karena ada banyak pengungsi dari negeri itu. Semua harta mereka hampir ludes. Paling sedikit kami dapat menyediakan Alkitab untuk mereka."
Bulan Juni tahun 1957 sudah tiba. Laurens termasuk kelompok kecil murid-murid kelas 2 SMP yang bertugas menghitung jumlah uang yang telah ditabung selama masa enam tahun itu. "Lima ribu lima ratus dolar," Laurens menulis. "Wah! Dan coba bayangkan, . . . dulu aku seorang anak kecil yang bodoh, yang lebih senang membeli permen cokelat daripada untuk memberi Alkitab kepada orang-orang di seberang. Sungguh bodoh aku dulu!"
"Kamu bukan anak yang bodoh," kata Ibu Rusell,. "Sikapmu itu wajar saja. Waktu itu kau belum merasakan kesenangan memberi. Ingatkah kau perkataan Tuhan Yesus itu, yang dikutip dalam Kisah Para Rasul 20:35? `Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.'''
"Ya, Bu. Kami sudah membuktikan kebenaran ayat itu, kan?" kata Laurens. "Wah! Tahun depan, kira-kira kami dapat mengumpulkan berapa banyak uang ya?"
TAMAT
Ciri-ciri kepulauan Hawaii ada banyak yang mirip dengan ciri-ciri kepulauan Indonesia. Pepohonan dan buah-buahan yang tumbuh di sana agak sama dengan pepohonan dan buah-buahan yang tumbuh di sini.
Orang Hawaii, sama seperti orang Indonesia, adalah keturunan bangsa pelaut. Berabad-abad yang lalu, nenek moyang mereka berdatangan dari jauh ke pulau-pulau yang indah itu, dengan berlayar dalam perahu-perahu besar. Bahasa mereka pun masih termasuk serumpun bahasa Melayu. Jalan di sana disebut: alan. Langit disana disebut: lani. Dan dalam bahasa Hawaii kuno malo adalah untuk cawat yang dipakai oleh kaum pria agar mereka tidak merasa malu.
Namun selama berabad-abad bahasa Hawaii itu belum pernah ditulis. Bahasa itu hanya dipakai secara lisan saja, . . . sampai ada sebuah kapal layar yang berlabuh di kepulauan Hawaii pada tanggal 14 April 1820.
Pdt. dan Ibu Hiram Bingham, dengan dua belas utusan Injil yang lain, berlayar ke sana dengan kapal itu selama hampir setengah tahun. Begitu lama mereka menghabiskan waktu untuk mengarungi laut dari Amerika Serikat ke kepulauan Hawaii. Konon, pada masa itu belum ada kapal terbang atau pun kapal bermotor, belum ada radio dan radar ataupun alat-alat modern lainnya yang menunjang kelancaran perjalanan antar pulau dan benua pada masa kini.
Pdt. Bingham dan rekan-rekan sepanggilannya itu berlabuh, lalu turun ke darat. Mereka menghadap Raja Liholiho dan minta izin menetap di kepulauan Hawaii. Permohonan mereka itu diterjemahkan oleh seorang pedagang yang berperan sebagai pengalih bahasa.
Raja Liholiho agak bingung. Rupa-rupanya ia sudah mendengar sedikit tentang ajaran-ajaran agama Kristen. "Jika aku menerima kalian," katanya, "dan jika ajaran-ajaran kalian mulai berlaku di sini, itu berarti aku harus menceraikan empat dari kelima istriku yang tercinta, dan selanjutnya aku hanya boleh beristri seorang saja."
Untuk membujuk sang raja, rombongan utusan Injil itu menghadiahkan kepadanya sebuah Alkitab bahasa Inggris yang bagus. Baginda sangat menyukai Buku besar itu. Namun ia tidak dapat membacanya. Pada hakikatnya ia tidak dapat membaca sepatah kata pun dalam bahasa apa saja, karena bahasanya sendiri, bahasa Hawaii, belum pernah ditulis.
"Memang di seluruh kepulauan ini," demikianlah Pdt. Bingham menulis dalam sepucuk surat kepada temannya di Amerika, "tidak ada buku, pena, attau pun potlot, untuk dipakai baik untuk kesenangan maupun untuk urusan, baik untuk mendapat ilmu maupun untuk menyampaikan pikiran."
Raja Liholiho bersikeras bahwa para utusan Injil itu harus segera mengajarkan bahasa Inggris kepadanya. Pdt. Bingham dengan senang hati melayaninya, dan tidak lama kemudian sang raja dapat berseru dengan sangat nyaring: "How do you do! Aloha!" (Aloha adalah kata salaman yang paling lazim di kepulauan Hawaii.)
Sang raja dengan seluruh pengiringnya diajak menikmati suatu perjamuan di atas kapal, yang masih tetap menjadi tempat tinggal sementara untuk para utusan Injil. Keesokan harinya, Raja Lihaliho hendak membalas budi dengan mengundang rombongan orang asing itu ke pesta makannya sendiri.
Namun mereka menolak undangan itu, karena harinya jatuh tepat pada hari Minggu. Sang raja sangat murka. Tetapi kemudian ia diberi pengertian bahwa hal berpesta pada hari Minggu itu dianggap kapu (tabu) oleh umat Kristen. Maka undangan itu diundurkan sehari. pada hari Senin seluruh rombongan utusan Injil turrun ke darat dan makan bersama-sama dengan sang raja dan kelima istrinya.
Akhirnya Raja Liloho mengambil keputusan bahwa para utusan Injil itu boleh menetap di mana saja di kepulauan Hawaii, serta boleh tinggal "selama satu tahun." Mula-mula Pdt. Bingham dan kawan-kawannya agak bingung tentang batas waktu yang sedemikian pendeknya. Namun "satu tahun" itu kemudian diperpanjang sampai berpuluh-puluh tahun.
Pdt. dan Ibu Bingham menetap di pulau Oahu, sedangkan kebanyakan rekan sepanggilan mereka menetap di pulau Kauai. Dalam sepucuk surat yang dikirimnya ke Amerika, Pdt. Bingham menggambarkan kesibukan mereka semua: "Kami bekerja keras untuk belajar bahasa Hawaii. Kami pun berusaha menyusun sitem tulisan untuk bahasa itu serta menyediakan buku-buku pelajaran, agar semua penduduk di sini dapat belajar membaca secepat mungkin."
Memang hanya satu bulan setelah keluarga Bingham mendarat di pulau Oahu, mereka berhasil membuka sebuah sekolah untuk anak-anak Hawaii. Karena belum ada jam atau lonceng di kepulauan itu, anak-anak disuruh berkumpul tiap hari pada saat matahari mencapai ketinggian tertentu.
Tidak lama kemudian, Raja Liholiho menjadi kurang senang atas berhasilnya sekolah itu dan mengancam akan menutupnya. "Nanti anak-anak itu akan lebih cepat mnjadi pandai daripada aku sendiri!" demikianlah omelannya. Tetapi utusan-utusan Injil dapat meredakan kegeramannya dengan menjelaskan bahwa baginda sedang belajar bahasa Inggris, yang jauh lebih sulit daripada bahasa Hawaii yang dipakai oleh anak-anak sekolah.
Sementara itu, ada seorang raja bawahan di pulau Kauai yang dengan senang hati menerima ajaran bahasa Inggris maupun ajaran Alkitab. Tujuannya belajar bahasa asing itu ialah, justru supaya ia dapat membaca Firman Tuhan. Maka ia menulis sepucuk surat kepada badan zending di Amerika Serikat yang telah mengirim rombongan utusan Injil kepadanya. Inilah saduran suratnya itu:
Kawan-kawan yang baik hati,
Biarlah kami menulis beberapa baris saja untuk
mengucapkan terima kasih atas Buku yang baik itu, yang
diberikan oleh Tuhan Allah supaya kami membacanya.
Mudah-mudahan seluruh rakyat kami dengan segera akan membaca
Buku ini.
Kami percaya bahwa semua patung berhala kami itu
kurang berguna, dan bahwa Tuhan Allah itulah satu-satunya
Allah yang benar, yang telah menciptakan segala sesuatu.
Patung-patung berhala itu telah kami buang; tiada
gunanya, kami merasa tertipu olehnya. Kami telah memberi
mereka kelapa, nanas, daging babi, dan banyak hal yang baik,
namun mereka menipu kami. Sekarang kami sudah membuang
semuanya.
Setelah kami belajar dari orang-orang yang baik yang
telah kalian kirim ke mari, maka kami akan mulai menyembah
Tuhan Allah yang disembah oleh kalian. Kami senang oleh
karena kalian telah mengutus orang-orang baik itu ke mari,
agar mereka dapat menolong kami. Kami mengucapkan terima
kasih karena mereka telah mengajar putra kami. Kami
mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang berada di
Amerika.
Terimalah ini dari sahabat kalian
Raja Kaumualii
Sementara itu, Pdt. Hiram Bingham dan seorang kawan sekerjanya sedang membanting tulang menyusun abjad untuk bahasa Hawaii. Mereka menemukan bahwa dua belas huruf saja sudah cukup untuk menulis semua bunyi yang biasa dilafalkan dalam bahasa itu: kelima huruf hidup, a, e, i, o, dan u, ditambah dengan tujuh huruf mati saja, yaitu h, k, l, m, n, p, dan w.
Namun mereka merasa sangat bingung pada waktu mereka mulai berusaha menerjemahkan Alkitab. Bagaimanakah nama Raja Daud itu dapat ditulis tanpa huruf D? Bagaimanakah nama Rut dapat ditulis tanpa huruf R maupun huruf t? Sama parahnya juga nama suami Rut, Boas, kalau harus ditulis tanpa huruf B maupun huruf s!
Maka mereka memutuskan untuk menambah sembilan huruf lagi pada abjad bahasa Hawaii, khusus agar dapat menulis nama-nama di dalam Alkitab. Namun kesembilan huruf itu tidak segera diajarkan kepada seseorang yang buta huruf. Biarlah dia belajar dulu kedua belas huruf yang cukup untuk melafalkan semua kata asli dalam bahasa ibunya. Kemudian ia baru akan diajarkan huruf-huruf tambahan.
Pada tanggal 7 Januari 1822, sebuah mesin cetak tiba di kepulauan Hawaii, sesuai dengan permintaan Pdt. Hiram Bingham. Raja Liholoho datang untuk melihat "alat ajaib" itu. Ketika satu halaman telah dizet dengan kata-kata dalam bahasa Hawaii, Pdt. Bingham membiarkan sang raja sendiri menekan pengukit mesin cetaknya. Baginda tersenyum lebar ketika ia melihat kertas putih itu yang diisi penuh dengan kata-kata yang dapat dibacanya sendiri.
Penggunaan seni cetak itu mengobarkan hidup baru dalam gereja-gereja dan sekolah-sekolah Kristen di kepulauan Hawaii. Beberapa minggu kemudian, sudah terdaftar lima ratus pelajar baru. Pada saat Raja Liholiho pergi melawat ke seluruh wilayah kerajaannya, hadiah-hadiah yang dibawa sertanya bukan lagi jubah-jubah kebesaran yang terbuat dari bulu burang yang berwarna-warni, melainkan buku-buku pelajaran mengeja.
Pdt. Bingham telah menerjemahkan beberapa lagu rohani ke dalam bahasa Hawaii. Orang-orang Hawaii sangat menyukainya, serta menyanyikannya dengan penuh semangat dalam gedung-gedung gereja mereka yang terbuat dari rumput kering.
Pada tanggal 4 Agustus 1828, Pdt. Bingham mencatat bahwa ia sudah tidak usah lagi menggunakan seorang pengalih bahasa pada saat berkhotbah. Hari Minggu yang berikutnya, Raja Lihaliho dan ibunya datang mendengar Pdt. Bingham berkhotbah. Mereka naik sebuah gerobak yang ditarik oleh manusia, karena belum ada kuda maupun lembu di seluruh kepulauan Hawaii. Setelah kebaktian biasa, Pdt. Bingham juga menikahkan pengabar Injil bangsa Hawaii yang pertama. Pengantinnya yang cantik itu adalah seorang lulusan sekolah putri. Sang permaisuri begitu terharu menyaksikan pernikahan Kristen itu sampai-sampai ia menangis dengan suara nyaring selama ia berada di gereja.
Beberapa hari kemudian, Raja Liholiho menulis sepucuk surat kepada Raja Mahina di kepulauan Tahiti. Sengaja ia memakai bahasa Inggris, agar saingannya itu dapat mengetahui kepandaiannya yang baru. Demikianlah bunyinya surat sang raja itu:
O Mahina,
Kami sedang menulis pesan ini kepadamu. Kami merasa
terharu oleh karena putramu sudah meninggal. Kami mengirim
salam kasih kepadamu dan kepada seluruh kaum bangsawan di
kepulauanmu.
Kami sedang mempelajari Palapala [Alkitab]. Kalau
kami sudah pandai, kami akan datang ke tempatmu untuk
mengunjungimu. Semoga engkau akan diselamatkan oleh Yesus
Kristus.
Liholiho
Ibunya Raja Liholiho baru minta dibaptiskan pada saat menjelang kematiannya. Sang permaisuri itu pun menyuruh putranya menghadap dia, lalu memesan kepadanya sebagai berikut: "Peliharalah baik-baik kepulauanmu itu dan bangsa ini. Lindungilah para utusan Injil. Ikutlah jalan yang lurus. Ingatlah dan kuduskanlah Hari Sabat. Layanilah Tuhan Allah. Indahkanlah Firman Allah, agar engkau berhasil baik dan akan bertemu kembali dengan ibumu di surga kelak."
Kepada kaum bangsawan, permaisuri yang sedang menghadapi ajalnya itu berpesan: "Lindungilah guru-guru yang telah datang ke tempat orang-orang yang berhati gelap ini; indahkanlah ajaran-ajaran mereka. Sekali-kali jangan mengingkari perintah-perintah Tuhan. Dialah Allah yang baik. Dewa-dewa kita yang lama itu sia-sia belaka."
Pada bulan Nopember tahun 1828, sang raja dan para bangsawan menerbitkan undang-undang yang pertama untuk seluruh kepulauan Hawaii. Polanya? Sepuluh Hukum Tuhan. Pada minggu yang sama itu, halaman pertama dari Kitab Injil Lukas dalam bahasa Hawaii berhasil dicetak di kota Honolulu. Naskah-naskah terjemahan Kitab-Kitab Injil Matius, Markus, dan Yohanes sudah lebih dahulu dikirim ke Amerika untuk dicetak di sana.
Dalam tahun-tahun yang berikutnya, ada bagian-bagian dari Kitab Perjanjian Lama yang diterbitkan, dan terjemahan Kitab Perjanjian Baru itu pun mengalami beberapa perbaikan. Baru pada tahun 1839, setelah ia berkhotbah, belajar, dan mengajar di kepulauan Hawaii selama sembilan belas tahun, Pdt. Hiram Bingham dapat melaporkan: "Seluruh Alkitab sudah selesai!" Selesainya terjemahan lengkap dari Firman Allah itu benar-benar membawa pengaruh: Ribuan orang lagi berbondong-bondong memasuki gereja.
Sudah timbul suatu generasi baru di antara bangsa Hawaii, yang dibesarkan menurut ajaran-ajaran Alkitab. Mereka itu insaf bahwa masih banyak perubahan dan perbaikan yang perlu diadakan di tanah air mereka. Maka pada tahun 1839 sistem hukum mereka disempurnakan, dan pada tahun 1840 mereka menetapkan undang-undang dasar.
Ada raja baru yang masih muda, yaitu cucu Raja Liholiho. Ia menempuh suatu masa perjuangan yang panjang, bergumul dengan negara-negara asing agar daulat dan kemerdekaan kepulauan Hawii itu tetap dihormati. Dalam rangka usaha itu, pada tahun 1841 Pdt. Hiram Bingham pergi ke Washington, ibu kota Amerika Serikat. Kepada Konggres (DPR) di sana ia mempersembahkan sebuah salinan Alkitab lengkap dalam bahasa Hawaii. Dengan maksud tujuan yang sama, raja Hawaii yang masih muda itu pergi ke negeri Inggris dan bertemu dengan Ratu Victoria yang tersohor.
Pada tahun 1845, DPR Hawaii berkumpul di kota Honolulu untuk mendengar suatu pidato penting yang disampaikan oleh raja mereka. Inilah sebagian dari pidato baginda pada kesempatan itu:
Kemerdekaan negara kita telah diakui oleh Amerika
Serikat, Inggris Raya, Perancis, dan Belgia. Kami ingin tetap
memelihara hubungan perdamaian dan persahabatan dengan segala
bangsa.
Kami pun insaf betul bahwa Firman Tuhan merupakan
batu penjuru negara kita. Melalui pengaruhnya, bangsa kita
telah diperkenalkan ke dalam keluarga besar negara-negara
yang merdeka di seluruh dunia. Oleh karena itu, kami akan
berusaha terus-menerus untuk menjalankan pemerintahan kami
dengan sikap takut akan Allah; untuk mengimbangi kebenaran
dengan belas kasihan dalam menghukum kejahatan; dan untuk
memberi imbalan yang sepatutnya kepada rakyat yang rajin
berbuat baik.
Demikianlah pengaruh Alkitab terhadap suatu bangsa yang hanya satu generasi sebelumnya belum mempunyai bahasa yang ditulis!
TAMAT
John Wolsey menggigil. Dengan cepat ia keluar dari sungai yang sangat dingin airnya. Pantas saja John merasa kedinginan sampai kulitnya merinding, karena ia sedang telanjang. Dan sungai itu mengalir dari gunung yang tinggi, yang puncaknya berlapiskan salju.
Kedua orang suku Indian yang menemani dia dalam perjalanannya melalui hutan rimba di negeri Kanada itu juga hampir telanjang. Namun mereka sudah biasa dengan pakaian yang minim sekali, sedangkan John biasanya memakai baju panas, kemeja, dan celana yang hangat. Karena mereka harus mengarungi sungai, ia membuka pakaiannya, lalu membungkusnya dan menaruh di atas kepalanya agar tidak sampai basah.
Waktu menyeberang, John tetap memakai sepatunya. Ia khawatir kalau-kalau kakinya terkena batu runcing di dasar sungai. Setibanya di seberang, sepatu John sudah banyak menyerap air. Dengan tergesa-gesa ia mengenakan pakainya lagi. Kaus kakinya yang kering dan tebal itu segera mulai menghangatkan kakinya yang terasa seperti sudah beku. Tetapi kemudian ia harus memasukkan kakinya kembali ke dalam sepatunya yang basah kuyup itu.
Kedua orang suku Indian itu memandang John Wolsey dengan muka masam. Kaki mereka sudah biasa terkena batu runcing; kulit mereka pun sudah kebal terhadap angin dan air dingin. Namun mereka sudah berjanji akan menemani orang kulit putih dalam perjalanannya. Jadi, mereka menunggu denga sabar sampai ia selesai berpakaian lagi.
Dengan segera tubuh John menjadi hangat lagi, karena kedua pemandunya itu berjalan dengan cepat, dan terpaksa ia harus membuntuti mereka. Jika ia tidak salah mengerti keterangan mereka tadi, ia akan tiba di tempat perkemahan suku mereka sebelum matahari terbenam.
Hati John mulai deg-degan bila mengingat bahwa ia belum pernah menghadap kepala suku Indian mereka. Pada awal tiap kunjungannya ke suku yang baru, ia selalu ingat: Ada kemungkinan ia akan kehilangan nyawa. Memang, sampai sekarang setiap kepala suku yang ditemuinya itu berlaku cukup ramah terhadap dia. Tetapi seandainya ada hanya seorang kepala suku saja yang tidak suka terhadap John Wolsey, mungkin sekali rambutnya akan dijadikan hiasan kemah, sedangkan bangkainya akan dibuang ke dalam hutan.
Berjam-jam lamanya John mengikuti kedua orang Indian itu. Kadang-kadang kakinya tersandung batu, tetapi umumnya ia melangkah dengan mantap. Ia sudah banyak belajar bagaimana menelusuri jalan setapak di tengah hutan rimba.
Tiba-tiba kedua pemandu itu berhenti. Yang lebih muda menunjuk ke arah depan. Nampaklah asap yang mengepul ke atas.
"Itu tempat perkemahan sukuku!" kata pemuda itu. "Tunggu dulu di sini."
John rela saja menunggu. Ia tahu, pemuda itu akan memasuki perkemahan lebih dahulu agar dapat menghadap kepala suku. Ia akan menceritakan kedatangan soerang kulit putih, dan akan memohon supaya orang asing itu pun diperbolehkan menghadap.
Sementara orang Indian yang lebih muda itu pergi mendahului mereka, temannya yang lebih tua tetap mengawal John: Jangan-jangan ada suku Indian lain yang muncul di hutan ini dan langsung saja membunuh dia!
Satu jam kemudian, orang Indian yang lebih muda itu kembali. Ia melambaikan tangannya ke arah kumpulan asap tadi. Beritanya singkat saja: "Kepala suku rela menerimamu."
Ia tidak usah memberi keterangan lebih lanjut. Sejak John Wolsey tiba di daerah suku Cree beberapa bulan yang lalu, ia berusaha keras agar dapat mempelajari bahasa mereka. Namun hasilnya sedikit saja. Paling-paling ia dapat mengerti petunjuk-petunjuk sederhana dari kedua pemandunya itu. Tetapi ia tidak dapat mengikuti percakapan mereka. Ia pun tidak dapat mengatakan hal-hal yang sungguh penting kepada mereka.
Kepala suku dan para anggota pasukan perangnya itu bermuka masam pada saat John Wolsey dan kedua pemandunya memasuki perkemahan. Rupanya mereka kurang senang didatangi seorang kulit putih: apa lagi, ia seorang kulit putih yang tidak membawa serta bingkisan besar sebagai hadiah bagi mereka.
Namun dengan mantap John melangkah masuk ke dalam perkumpulan orang Indian itu. Ia menghadap kepala suku dan mengulurkan kedua belah tangannya sebagai tanda persahabatan. "Kawan-kawan!" ia berseru. Lalu ia memberi isyarat kepada pemandunya yang lebih tua itu. "Tolong beritahu mereka," pintanya.
Orang Indian itu mulai berbicara. Ia sudah biasa menemani John dalam perjalanan. Ia tahu apa yang biasa terjadi bila mereka baru pertama kali memasuki perkemahan suatu suku.
"Orang berkulit putih ini tidak membawa senjata, hai Tuanku," katanya dengan hormat kepada kepala suku itu. "Ia hanya membawa serta sebungkus benda-benda putih lebih tipis daripada kulit pohon, lebih keras daripada daunnya. Di atas benda-benda putih itu ada tanda-tanda, seolah-olah telah dicoreti dengan arang. Salah satu benda putih itu ada dipegang oleh orang berkulit putih ini, sedangkan matanya diarahkan kepadanya."
Kepala suku itu agak melongok ke depan agar ia dapat mendengar. Para anggota pasukan perangnya juga menarik napas panjang. Kira-kiranya apa yang dilakukan orang berkulit putih yang aneh ini, dengan semacam benda yang aneh pula?
Pemandu itu meneruskan ceritanya. "Setelah itu, hai Tuanku, dengan menggunakan semacam sihir yang belum kupahami, orang berkulit putih ini yang kurang mengerti bahasa kita namun dapat membuka mulutnya, dan yang keluar ialah . . . kata-kata dalam bahasa kita! Cerita-cerita yang belum pernah didengar oleh suku kita, itulah yang disampaikannya. Dan ajarannya itu mengenai Sang Roh Agung, bagaikan Bapak yang sangat mengasihi anak-anak-Nya."
"Sihir! Sihir!" Kata itu terdengar dibisikkan dari dalam kemah-kemah yang mengelilingi tempat John Wolsey dan pemandunya sedang menghadap kepala suku. Di belakang setiap pintu kemah yang terbuat dari kulit rusa itu, ibu-ibu dan anak-anak sedang asyik mendengarkan. "Orang berkulit putih ini pasti seorang tukang sihir yang besar!" mereka berbisik seorang kepada yang lain.
"Sihir?" kata kepala suku dengan nada bertanya. "Apakah ia memakai mantera dan guna-guna?"
"Tidak begitu, Tuanku," jawab pemandu itu. Rupanya ia sama saja seperti orang-orang berkulit putih lainnya. Namun . . . tidak sama juga. Walau ia sangat bodoh dan tidak dapat mengikuti jalan setapak tanpa bantuan seorang pemandu, namun ia berjalan terus dengan gigih. Ia tidak pernah marah atau mengomel, walaupun kadang-kadang usaha kami untuk memburu binatang gagal dan kami harus berjalan sepanjang hari tanpa makan."
"Dan . . . apa yang diinginkannya dari kami?" tanya kepala suku itu dengan was-was. "Ia sudah berjalan begitu jauh dari bangsanya sendiri."
"Ia cuma mau duduk-duduk bersama semua orang di sisi api unggun," pemandu itu melanjutkan. "Yah, pada malam hari, bila tugas sehari-hari selesai. Pada waktu itu ia mau membongkar bungkusannya dan mengeluarkan benda-benda putih yang seolah-olah dicoreti arang. Lalu ia mau membuka mulutnya dan menyampaikan kata-kata yang diberikan kepadanya oleh ilmu sihir itu. Hanya itu saja yang diinginkannya, hai Tuanku."
Kepala suku itu diam sebentar. Sesungguhnya ia kurang senang terhadap orang-orang berkulit putih. Mereka sering menipu sukunya, atau menjual minuman keras yang memabukkan kaum mudanya. Baru sebulan yang lalu, ada dua pemburu berkulit putih yang serta-merta masuk ke dalam perkemahan itu; rambut kepala mereka berdua telah menjadi hiasan kemah kepala suku. Tetapi orang berkulit putih yang ini . . . kelihatannya lain daripada yang lain. Di tengah-tengah mereka ia berdiri dengan sopan namun mantap. Tidak ada ciri-ciri ketakutan padanya hanya ciri-ciri persahabatan belaka.
"Biar dia tinggal di sini," kepala suku itu memutuskan. "Suruh ibu-ibu menyiapkan kemah bagi dia. Tetapi sebaliknya ia dijaga ketat; siapa tahu, mungkin ada siasat jahat."
Sebuah kemah kecil segera dipasang di tengah-tengah perkemahan, agar mudah dijaga. John Wolsey memasuki kemah itu untuk melepaskan lelah sejenak. Dari dalam bungkusannya ia mengeluarkan selimut dan pakaian cadangannya yang hanya satu stel itu. Lalu ia pun membongkar sebuah bungkusan kecil yang dilapisi kulit rusa putih halus. Ia melihat benda-benda putih yang sudah diceritakan oleh pemandunya itu.
Dengan pelan ia membolak-balikkan halaman demi halaman. Yang dicoreti di atasnya, bukanlah huruf-huruf biasa abjad biasa melainkan tanda-tanda yang mirip dengan gambar-gambar kecil. Dengan memeriksa nomor pasal dan ayat, John memilih bagian-bagian yang hendak dibacakannya kepada orang-orang Indian, yang sepanjang umur belum pernah mendengar sepatah kata pun dari Alkitab.
Lalu John tersenyum. Sungguh aneh: Di sana sini ia dapat mengerti hanya beberapa kata saja, dari, dari apa yang hendak dibacakannya itu. Namun ia tahu bahwa bunyi-bunyi yang dapat disampaikannya itu akan membawa arti yang dalam bagi setiap orang Indian yang mendengarnya.
John melamun sejenak. Ia teringat kembali akan seorang utusan Injil dahulu kala yang pernah diceritakan kepadanya; namanya, James Evans. Beberapa waktu yang lampau, James Evans pernah pergi kepada orang-orang suku Indian di daerah Danau Winnipeg, di Kanada. Mula-mula ia mempelajari bahasa lisan mereka. Lalu ia menentukan sebuah huruf berupa gambar kecil untuk setiap bunyi bahasa itu.
(Di antara bunyi-bunyi itu ada yang mirip dengan bunyi dalam bahasa Indonesia, namun artinya lain sekali. Misalnya saja, maka berarti "tetapi"; ayat berarti "ia telah.")
Dari kayu James Evans mengukir setiap gambar kecil tanda bunyi dalam bahasa suku Cree itu. Lalu ia melekatkan tanah liat pada setiap ukiran kayu itu, agar dapat dibuat cetakan. Setelah setiap cetakan yang tertuang itu kering, ia pun hendak menuangkan cairan timah ke dalamnya. Dengan demikian ia dapat membuat gambar-gambar kecil yang kemudian dapat diberi tinta, lalu dapat dikenakan pada kertas.
Tetapi pada waktu itu James Evans menghadapi suatu masalah besar. Di tengah-tengah hutan rimba di negeri Kanada, tidak ada timah untuk dicairkan; tidak ada kertas; juga tidak ada tinta untuk mencetak sesuatu di atas kertas itu.
Namun James Evans mendapat akal. Dos-dos tempat perbekalannya itu dilapisi logam, agar jangan dimakan rayap. Logam itu dibongkar dan dicairkannya untuk membuat gambar-gambar cetakan. Untuk membuat tinta, ia mencampur minyak ikan dengan jelaga lampu. Dan untuk kertasnya, ia memanfaatkan semacam kulit pohon yang tipis dan berwarna putih. Setelah ia berhasil mencetak beberapa helai kulit pohon itu, ibu-ibu suku Indian menjahitnya menjadi buku.
Ternyata gambar-gambar kecil itu mudah sekali dibaca, dengan mengucapkan bunyi-bunyi yang cocok. Pasti Tuhan Allah sendiri yang membimbing James Evans, kata John Wolsey pada dirinya sendiri di dalam kemah kecil itu. Sistem penulisan yang itu sangat sederhana. Bahkan aku sendiri, yang belum mengerti bahasa suku Cree, dapat membacakan Alkitab kepada mereka. Dan bunyi-bunyi aneh yang keluar dari mulutku itu membawa arti kepada semua orang yang mendengarkannya!
Lalu John berlutut di dalam kemah kecil itu. Ia memohon agar Firman Allah dapat meresap ke dalam hati orang-orang Indian. Ia berdoa agar mereka dapat mengerti dan menerima kasih Tuhan. Ia pun berdoa, semoga ia dapat tetap menyatakan kasihnya sendiri melalui persahabatan dan keberaniannya, sehingga orang-orang Indian itu rindu mengenal Sang Roh Agung yang disembahnya.
Senja telah tiba. Makan malam pun sudah selesai. Api unggun dinyalakan. Tubuh orang Indian itu membuat bayangan-bayangan besar pada lereng-lereng bukit batu yang melindungi lembah yang sunyi, tempat perkemahan mereka.
John Wolsey menunggu dengan tenang. Lalu kepala suku memberi isyarat, dan John maju ke depan. Ia berlutut dan memegang benda putih di tangannya, agar coretan di atasnya itu dapat dibaca dalam keremangan. Dengan pelan dan jelas ia membacakan isinya halaman demi halaman walau bunyinya membawa arti sedikit sekali bagi telinganya sendiri.
Kepala suku dan semua rakyatnya itu menarik napas panjang. Mereka tertegun mendengar kata-kata bahasa mereka sendiri keluar dari mulut orang asing berkulit putih itu.
"`Pada awal mulanya Sang Roh Agung membuat langit dan bumi, . . .'" demikianlah John membacakan. Setelah selesai menceritakan penciptaan itu, ia pun membalik beberapa halaman. "`Sang Roh Agung ini begitu mengasihi seisi dunia sehingga Ia mengirim Anak-Nya yang Kekasih . . .'"
Tidak ada suara kecuali keresek api unggun serta desau angin pohon-pohon cemara. Sekali lagi John membalik halaman dan mulai membacakan tentang Tuhan Yesus yang melayani orang banyak dengan menghajar dan menyembuhkan mereka.
Api unggun itu hampir padam, hanya tinggal baranya saja. Namun tidak ada seorang pun yang bergerak. Seorang bayi mulai merengek dalam pelukan ibunya; ibu itu dengan cepat menenangkannya, sambil tetap mendengarkan.
Lalu dengan terbata-bata John Wolsey mengucapkan beberapa kata dalam bahasa suku Cree yang telah dihafalkannya. Ia bersaksi bahwa Tuhan Allah, Sang Roh Agung, mengasihi semua orang Indian sama seperti Ia mengasihi anak-anak-Nya yang lain. Sang Roh Agung ingin supaya mereka pun mengasihi Dia sebagai anak-anak-Nya yang taat, dan supaya mereka mengikut Yesus Kristus.
Hening sejenak di sekitar api unggun itu . . . . Lalu kepala suku membuka suara. "Aneh sekali cerita itu," katanya. "Belum pernah kami mendengar cerita seperti itu. Masih adakah lagi?" tanyanya, sambil menuding ke arah benda-benda putih itu.
John Wolsey memberi isyarat kepada pemandunya yang lebih tua. Orang Indian itu mulai berbicara lagi:
"Berkali-kali orang kulit putih ini suka membuka mulutnya, sambil tetap memandang pada benda-benda putihnya selama dua malam, tiga malam, bahkan sampai empat malam berturut-turut. Setelah itu, ia pun akan meneruskan perjalanannya kecuali ada kepala suku yang mengundang dia untuk menetap lebih lama."
"Perjalanan? Mau ke mana dia?" tanya kepala suku.
Kali ini pemandu yang lebih muda yang menjawab. "Dari sini, hai Tuanku, ia mau pulang ke tempatnya sendiri. Sudah berminggu-minggu lamanya kami berjalan bersama dia. Sering kami berhenti di tempat-tempat perkemahan selama dua hari, tiga hari, bahkan sampai empat hari. Bila Tuanku ingin melepaskan dia, aku sudah berjanji akan menemani dia sampai ia kembali ke tempat bangsanya sendiri dengan selamat."
"Baik!" Kepala suku itu berdiri."Besok malam kami akan mendengarkan ceritanya lagi. Aneh . . . aneh sekali ceritanya itu!"
Para anggota pasukan perangnya ikut berdiri. Seseorang menimbun bara api unggun itu dengan abu. Hanya sinar rembulan saja yang menerangi mereka pada waktu mereka kembali ke kemahnya masing-masing.
Di dalam kemah kecil di tengah-tengah perkemahan suku itu, John Wolsey meringkuk di dalam selimutnya. Ia amat senang, sebab pada waktu ia membacakan Firman Allah tadi, ia telah memperhatikan wajah-wajah yang sungguh berminat.
Pada suatu hari, John berkata pada dirinya sendiri, akan datang utusan-utusan Injil yang dapat mengajar suku Cree, bagaimana cara membaca bahasa mereka sendiri. Para penginjil itu pun akan membawa serta seluruh Alkitab dalam bahasa suku Cree, . . . sedangkan aku ini hanya mempunyai beberapa halaman saja dari Firman Tuhan.
Sambil membayangkan masa depan yang bahagia itu, John Wolsey tertidur nyeyak . . . walau sebelumnya belum pernah ada seorang asing yang diperbolehkan menginap dengan aman di tengah-tengah perkemahan suku Cree.
TAMAT
Sudah enam tahun lamanya Adoniram Judson mencoba mengabarkan Injil di negeri Birma (kini Myanmar). Dengan segala daya upaya ia membanting tulang, berusaha memberitahu orang-orang Birma tentang Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi, dan tentang Yesus Kristus, satu-satunya Juru Selamat manusia yang berdosa.
Utusan Injil muda dari Amerika Serikat itu sudah mencoba berbagai macam cara penginjilan. Dengan susah payah ia telah menerjemahkan Kitab Injil Matius ke dalam bahasa Birma; lalu ia menyuruh mencetak terjemahannya itu. Tetapi banyak orang Birma yang masih buta huruf. Dan mereka yang dapat membaca, sering mengejek hasil karya Adoniram Judson itu.
Pdt. Judson juga sudah berusaha meniru metode mengajar yang lazim dipakai oleh guru-guru bangsa Birma sendiri. Ia menyuruh membangun sebuah pendopo untuk dia di pinggir jalan raya. Pendopo itu dikapur putih bersih, sehingga kelihatan lebih mencolok mata daripada pendopo-pendopo lainnya.
Sepanjang hari dengan sabar Adoniram Judson duduk di depan pendoponnya itu dan menyerukan kata-kata ajakan dari Kitab Nabi Yesaya, pasal 55:
Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air,
dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! . . .
Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku;
Dengarkankanlah, maka kamu akan hidup!"
Namun kebanyakan orang Birma yang lewat di depan pendopo Kristen itu masih terus berjalan. Hanya beberapa orang saja yang cukup berminat, sehingga mereka mampir untuk mendengarkan ajaran guru asing itu. Dan kebanyakan pengunjung pendopo itu pun tidak mau kembali lagi untuk yang kedua kalinya.
Ya, sudah jelas, bangsa Birma lebih suka mengikuti ajaran lain . . . ajaran yang sama sekali tidak memberi janji kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Mereka tidak mau mendengar Berita Kesukaan tentang Tuhan Yesus.
Anak Pdt Judson jatuh sakit dan meninggal; Judson sendiri dan istrinya sering dihinggapi penyakit. Namun ia pantang mundur. Dan akhirnya pada tahun 1819, ada tiga orang Birma yang percaya kepada Sang Juru Selamat.
Hanya tiga orang saja, setelah usaha pengabaran Injil selama enam tahun! Dan ketiga orang itu pun sangat takut terhadap pemerintah Birma; mereka minta dibaptiskan pada malam hari, di sebuah perairan yang sepi. Pada waktu itu ada raja baru yang bersemayam di Ava, ibu kota Birma; rupanya beliau lebih keras lagi melawan ajaran asing daripada raja yang memerintah sebelumnya.
Dengan sedih Pdt. Judson menutup pendoponya. Ia khawatir kalau-kalau penginjilan secara terbuka akan dibalas dengan tindakan kekerasan terhadap ketiga petobat baru itu. Pelanggar hukum di Kerajaan Birma pada masa itu bukan hanya dihukum mati saja: Boleh jadi ia dihukum mati dengan siksaan secara paling kejam.
Seorang pendeta pengantar Injil muda bernama James Colman datang dari Amerika untuk membantu keluarga Judson. Pada suatu hari dalam tahun 1819, Pdt. Colman mengusulkan, "Mengapa kita tidak pergi saja ke ibu kota dan menghadap raja baru itu? Mengapa kita tidak minta izin secara terang-terangan untuk menyebarkan ajaran Kristen di Kerajaan Birma.
Pdt. Judson bertanya, "Kalau ditolak?"
"Lebih baik kalau kita tahu," jawab rekannya yang masih muda itu. "kalau demikian halnya, mungkin lebih baik kita meninggalkan saja negeri Birma dan pergi ke tempat lain."
Meninggalkan Birma! Adoniram Judson tidak sampai hati memikirkan kemungkinan demikian. Bukankah ia telah menghabiskan masa enam tahun dengan usaha mempelajari bahasa Birma yang amat sulit itu? Bukankah ia baru mulai melihat hasil jerih payahnya itu, dengan pertobatan tiga orang Birma?
Namun Pdt. Judson setuju dengan usul Pdt. Colman. Mereka menyediakan sebuah perahu sungai yang panjang, dengan sepuluh orang pendayungnya. Perjalanan mereka ke ibu kota Ava itu memakan waktu 35 hari. Di pinggir sungai, di mana-mana mereka melihat patung-patung berhala yang menandakan bahwa penduduk setempat pasti belum mengenal Tuhan Yang Maha Esa.
Setiba di ibu kota Ava, mereka pergi ke pintu gerbang istana raja. Mereka menaiki sebuah tangga yang terbuat dari batu marmer. Mereka melalui sebuah ruang yang dilapisi kayu eban. Di depan mereka ada sebuah pintu yang berkilauan dengan batu permata. Lalu pintu itu dibukakan, dan mereka memasuki ruang takhta. Tiang-tiang dan langit-langit ruang agung itu berlapiskan emas.
Sementara menunggu kedatangan sang raja, Pdt. Judson berunding dengan salah seorang menteri kerajaan. Ia menyodorkan hadiah yang hendak dipersembahkan: sebuah Alkitab bahasa Inggris berukuran besar, dengan sampul keemasan. Ia juga memperlihatkan salah satu surat selebaran berbahasa Birma yang telah dikarangnya, serta sepucuk surat permohonan agar ia diperbolehkan mengajar orang-orang Birma tentang Tuhan Yesus.
Sang raja masuk dengan segala kebesarannya. Sang menteri dan para hadirin sujud sampai ke lantai, . . . kecuali kedua orang asing itu. Mereka hanya berlutut dengan sikap hormat.
Sang raja duduk di atas takhta. Lalu ia menuding seraya bertanya kepada menterinya, "Siapa kedua orang ini?"
Andoniram Judson yang menjawab: "Kami guru-guru agama, hai Baginda yang mulia."
"Wah! Kalian dapat berbicara bahasa Birma?" tanya sang raja, amat heran. Selama beberapa menit ia bercakap-cakap dengan Pdt. Judson, dan rupanya ia merasa senang.
Ketika sang raja bertanya tentang maksud kedatangan kedua orang asing itu, sang menteri maju dengan bertiarap sampai ia dapat meletakkan persembahan dan permohonan mereka di depan takhta.
Sang raja mulai membaca surat selebaran itu: "Tuhan yang Maha Esa hidup selama-lamanya, dan di samping Dia tidak ada allah lain." Dengan muka yang menunjukkan murka sang raja membiarkan surat selebaran itu jatuh ke lantai.
Sang menteri segera mengantarkan kedua orang asing itu keluar. Kemudian ia pun menjelaskan keputusan sang raja: "Tidak ada jawaban atas permohonanmu itu. Dan mengenai tulisan sucimu, sang raja tidak memerlukannya; bawalah pulang saja."
Dari ibu kota Ava, Adoniram Judson dan James Colman memang pulang ke kota pelabuhan Yangoon. Mereka telah gagal. Sebaiknya mereka sekeluarga bersiap-siap pindah ke tempat lain.
Namun . . . heran, ketiga orang Kristen Birma itu, yang pada mulanya takut dibaptiskan pada siang hari, justru menantang Pdt. Judson agar bersikap lebih berani. "Tetaplah tinggal dengan kami sampai ada sepuluh orang yang percaya, Pendeta," mereka membujuk. "Setelah itu, kalau terpaksa, pergilah, karena selanjutnya kepercayaan kami akan tersebar dengan sendirinya. Sekalipun sang raja mengancam, tak mungkin ia dapat mencegahnya!"
Memang ada yang percaya, . . . tetapi Adoniram Judson tetap tinggal. Dan dalam jangka waktu satu bulan saja, ada sembilan orang Birma lagi yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus!
Maka Judson pun memberanikan diri untuk berjuang terus, sambil menerjemahkan Firman Allah ke dalam bahasa Birma. Para anggota jemaat yang hanya beberapa orang itu berkata bahwa terjemahan Surat Efesus hasil karya gembala sidang mereka, jauh lebih mudah dipahami daripada terjemahan Injil Matius yang terdahulu. Pdt. Judson berbesar hati; ia pun mulai mengusahakan terjemahan Kisah Para Rasul.
Tugas terjemahan itu sulit sekali! Huruf-huruf bahasa Birma berbeda sama sekali dengan huruf-huruf yang dipakai dalam semua bahasa lainnya. Apa lagi, tidak ada tanda pemisah antara kata atau kalimat, misalnya huruf besar atau tanda baca. Tidak ada kamus; tidak ada buku pedoman tata bahasa. Di samping semua halangan ini, pada zaman itu tulisan bahasa Birma biasa digores pada daun lontar kering, sehingga amat sukar untuk dilihat, apa lagi untuk dibaca.
Berita mengenai keberhasilan Adoniran Judson dalam menguasai bahasa Birma itu sampai ke ibu kota. Sang raja pun berminat, karena untuk hubungan luar negeri ia sering memerlukan seorang pengalih bahasa. Maka keluarga Judson dipanggil untuk pindah ke Ava. Tetapi Pdt. Judson harus menunggu istrinya kembali dari Amerika; Ibu Judson terpaksa pulang untuk berobat. Sambil menunggu istrinya selama sepuluh bulan di Yangoon itu, Adoniram Judson berhasil menyelesaikan terjemahan seluruh Kitab Pernjanjian Baru ke dalam bahasa Birma.
Sesudah sembuh, Ibu Judson kembali, dan mereka segera pindah ke Ava. Salah seorang anggota jemaat di Yangoon itu ikut serta sebagai pembantu mereka.
Ternyata cuaca di ibu kota itu panas dan lembab; ini yang menyebabkan baik Pdt. Judson maupun istrinya sering sakit. Dan yang payah lagi berkobarlah perang antara Kerajaan Inggris dengan Kerajaan Birma.
Adoniram Judson seorang Amerika; ia bukan orang Inggris. Namun semua orang asing yang berkulit putih itu digiring bersama-sama ke dalam sebuah penjara yang dikhususkan untuk menjalani siksaan dan hukuman mati. Kedua kaki mereka masing-masing dipasang rantai seberat enam kilo. Lalu mereka dijebloskan ke dalam ruang penjara yang paling kotor dan gelap.
Seandainya Ibu Judson tidak setia menolong suaminya, pasti ia meninggal pada waktu sengsara itu. Tiap hari Ibu Judson datang dengan membawa makanan segar serta air minum yang bersih. Berkali-kali ia memberi uang suap kepada para penjaga, agar suaminya mendapat tempat yang agak sehat, di bawah naungan semacam gubuk di halaman penjara.
Selama beberapa minggu Ibu Judson tidak sanggup datang sendiri; seorang pembantu menggantikan dia. Lalu ia muncul lagi, dengan membawa serta bayinya yang baru lahir.
Tentu Pdt. Judson senang melihat bayinya yang mungil itu, serta istrinya yang sudah sehat kembali. Namun ada hal lain yang sering menyusahkan pikirannya: Bagaimana dengan naskah tulisan tangannya itu? Bagaimana dengan satu-satunya salinan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Birma?
Di rumah naskah itu kurang aman, karena rumah keluarga Judson sudah dua kali digeledah tentara kerajaan. Maka Ibu Judson menjahit sebuah bantal yang sengaja dibuat keras dan kumal, agar penjaga penjara tidak mengirannya. Di dalam bantal itulah ia memasukkan naskah Kitab Perjanjian Baru berbahasa Birma.
Selama sebelas bulan Adoniram Judson tidur dengan kepala bersandarkan bantal yang berisi buku itu. Siang malam ia menderita; namun ia mengucap syukur kepada Tuhan, karena naskahnya yang berharga itu masih aman.
Tiba-tiba pada suatu hari semua tahanan disuruh berderet di halaman penjara. Rantai yang berat itu dilepaskan, lalu mereka diikat berdua-dua. Judson mohon dengan sangat agar ia boleh membawa serta bantalnya, sampai-sampai ia menangis dan orang-orang tahanan lainnya mengejek dia. Namun penjaga yang bengis menyobek bantal itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Judson dan para tahanan lainnya dipaksa berbaris sejauh enam belas kilometer di luar kota, di bawah terik matahari. Kaki mereka berdarah; mulut mereka kekeringan. Ada yang tidak tahan dalam perjalanan maut itu; ada yang meninggal sebelum tiba di tempat tujuan; ada juga yang jatuh pingsan di ujung jalan. Namun Pdt. Judson masih hidup. Dan ia masih tetap terkurung di dalam penjara di luar kota itu, selama tujuh bulan lagi.
Pada suatu hari ada berita dari sang raja; Ia memerlukan seorang pengalih bahasa yang pandai berbahasa Inggris dan bahasa Birma. Maka Adoniram Judson dibebaskan dari penjara, walau masih tetap dijaga dengan ketat.
Setibanya di ibu kota, yang pertama-tama dipertanyakan Judson ialah mengenai istri dan anaknya. Para penjaga memberitahu bahwa kedua orang itu masih selamat. Pertanyaan Judson yang kedua adalah mengenai bantalnya. Para penjaga tidak tahu, dan tidak ambil pusing tentang benda yang mereka anggap kurang berharga itu.
Ternyata Kerajaan Birma tidak kuat menghadapi pasukan perang Kerajaan Inggris. Tentara Birma dipukul kalah. Dalam perundingan perdamaian, jasa Adoniram Judson sebagai pengalih bahasa itu sangat diperlukan.
Akhirnya semua tugas yang dituntut sang raja itu selesai. Pdt. Judson dengan keluarganya boleh kembali ke Yangoon, kota pelabuhan dan tempat tinggal mereka semula. Di sana mereka kembali menjumpai orang-orang Kristen Birma, yang selama masa perang itu masih setia mengikut Tuhan Yesus.
Salah seorang di antara ketiga petobat yang pertama-tama itu, rupanya sangat senang bertemu kembali dengan gurunya. "Wah, kami kira Pendeta sudah meninggal! Lagi pula tiada kubur tempat tinggal kami dapat pergi berrkabung. Namun aku masih tetap memelihara bantal itu, tempat kepala Pendeta pernah bersandar."
"Bantal?" tanya Adoniram Judson, hampir tidak percaya. "Bantal apa itu?"
"Ya, bantal kecil itu yang dipakai Pendeta waktu di penjara. Untung aku sempat menyelamatkannya dari tempat sampah sebagai kenang-kenangan, pada hari itu ketika Pendeta digiring keluar halaman penjara dalam perjalanan maut."
Dengan tangan gemetar Pdt. Judson menerima kembali bantal yang kotor dan tersobek itu. Ia sengaja menyobek tutupnya lagi sehingga rusak sama sekali, dan . . . ternyata naskahnya masih utuh!
Maka dengan semangat baru Adoniram Judson mulai mengabarkan "isi bantal" itu kepada orang-orang Birma. Tidak lama kemudian, istri dan anaknya yang tercinta itu meninggal; namun ia berjuang terus. Dan ia pun meneruskan tugas terjemahan Firman Tuhan itu. Perkataan Raja Daud dalam Kitab Mazmur yang tengah dialihkannya itu sering menghibur hatinya yang sedang sedih.
Bertahun-tahun kemudian, pengabar Injil yang setia itu dikarunia sebuah keluarga baru. Istri keduanya itu melahirkan beberapa anak; di antara mereka, di kemudian hari ada yang menjadi hamba Tuhan sama seperti ayahnya.
Baru pada tahun 1835 seluruh Alkitab itu selesai diterjemahkannya ke dalam bahasa Birma. Namun Judson masih belum puas. Selama lima tahun ia mendalami lagi tulisan sastra bahasa Birma, baik prosa maupun puisi. Sering ia meminta pendapat para rekannya, baik utusan Injil maupun orang Kristen Birma. Akhirnya pada tahun 1840 ia merasa puas. Terjemahan Alkitab hasil karyanya yang diterbitkan pada tahun itu, hingga kini masih tetap dibaca di gereja-gereja di negeri Myanmar.
Selama tahun-tahun Adoniram Judson berjuang mati-matian demi tugas penginjilan dan penerjemahannya itu, suatu gerakan Kristen besar mulai nampak di negeri Birma. Bahkan pada masa hidup Judson, sudah ada ribuan orang Birma yang percaya kepada Tuhan Yesus. Dan sekarang, lebih dari satu setengah abad kemudian, ada ratusan ribu orang Kristen di negeri Myanmar.
Siapa tahu, mungkin semuanya itu tidak akan terjadi, . . . seandainya tidak ada seorang ibu Amerika yang pandai menjahit, serta seorang bapak bangsa Birma yang setia menyimpan bantal yang berisi buku, sampai saat ia menyerahkan kembali kepada pemiliknya!
TAMAT
Pada tahun 1939 itu, gempar sekali umat Kristen di kota Ujung pandang!
Ada penginjil tersohor yang datang dari benua Tiongkok; namanya, Dr. John Sung. Kata orang, ia sudah berkhotbah di mana-mana di Asia Tenggara, di Taiwan, di Philipina, di Malaysia, di Singapura, di MuangThai. Dan di mana pun juga ada banyak sekali orang yang bertobat dan percaya kepada Tuhan Yesus.
Pada tahun 1939, untuk pertama kalinya penginjil ternama itu datang ke Indonesia. Ada kampanye penginjilan raksasa di Jakarta, di Bandung, di Madiun, di Solo, di Surabaya, . . . dan di Ujungpandang.
Pada tahun 1939 itu juga, di kota Ujungpandang tinggallah seorang gadis kecil yang biasa dipanggil "Mia. Nama lengkapnya ialah, Maria Josephien Jacob. Tetapi nama itu rasanya terlalu panjang untuk seorang anak perempuan yang begitu kecil.
Si Mia adalah salah satu di antara delapan anak dari seorang janda. Ibu Jacob harus bekerja keras untuk memenuhi keperluan keluarganya yang banyak itu. Pagi-pagi ia menggoreng pisang, lalu kakak-kakak Mia menjajakannya waktu mereka pergi ke sekolah. Siangnya ibu itu mencuci pakaian orang lain. Setelah dikanji, lalu diseterika, pakaian uang sudah bersih itu diantarkan sore hari. Malam pun Ibu Jacob masih tetap bekerja; ia menjahitkan pakaian orang Belanda, kaum penjajah pada masa itu.
Walau ia begitu sibuk, Ibu Jacob sangat setia kepada Tuhan. Setiap jam lima pagi, ia membagunkan seisi rumah untuk berdoa bersama-sama (si Mia biasanya duduk di pangkuan Mama). Setiap malam, ibadah keluarga itu diulang lagi. Setiap hari Minggu, seluruh keluarga Jacob pergi ke gereja. Dan setiap bulan, masing-masing anak disediakan amplop persepuluhan untuk dipersembahkan kepada Tuhan.
Waktu ibunya pergi berkunjung, si Mia sering diajak. Mereka suka membawa sup dan bubur untuk tetangga yang sedang sakit. Mereka juga pergi ke sebuah rumah yang dipakai untuk perjudian dan pelacuran, untuk menginjili penghuninya. Alhasil, seorang wanita yang tinggal di situ percaya kepada Tuhan Yesus. Ia keluar dari rumah itu, dan kemudian ia menikah dengan seorang pemuda dari gereja.
Tentu saja seluruh keluarga Jacob ikut gempar pada waktu mereka mendengar bahwa Dr. John Sung dari benua Tiongkok akan datang di kota Ujungpandang untuk mengabarkan Injil. Setiap kali ada kebaktian kebangunan rohani, mereka selalu hadir, Ibu Jacob juga selalu turut memberi persembahan khusus untuk membiayai KKR itu.
Si Mia duduk terpaku selama Dr. John Sung berkhotbah. Kata-katanya sederhana saja; dengan sangat jelas ia memaparkan dosa manusia serta keselamatan yang tersedia dalam Yesus Kristus.
Sepulangnya dari kebaktian khusus itu, si Mia tidak dapat melupakan penjelasan tentang dosa dan keselamatan yang disampaikan tadi. Dengan menangis ia menemui ibunya di kamar.
"Mama," katanya dengan terisak-isak, "semua uang yang hilang itu, Mia yang ambil. Minta ampun, Mama, Mia sering berbohong, Mia sering melawan Mama . . . ."
Ibu Jacob merangkul dan memeluk anaknya yang masih kecil itu. Lalu ia berdoa sambil menumpangkan tangannya di atas kepala Mia. Dan si Mia dalam hatinya merasa pasti: Baik ibunya maupun Tuhan Yesus Sang Juru Selamat sudah mengampuni dosanya. . . . .
Pada tahun 1942 itu, kembali gempar penduduk kota Ujungpandang!
Tentara Jepang telah mengepung seluruh Nusantara. Si Mia terpaksa putus sekolah, karena keluarga Jacob dari kota mengungsi ke desa Wiliwili.
Pada masa perang itu, banyak anak yang pendidikannya telantar. Melihat keadaan yang menyedihkan itu, ibu dan kakak si Mia membuka sebuah sekolah darurat. Paling sedikit di desa itu anak-anak dapat diajar membaca dan menulis. Ada seorang pejabat pemerintahan Jepang yang menyumbangkan buku-buku tulis untuk usaha pendidikan itu. Tetapi ibu dan kakak si Mia hanya sanggup menyekolahkan anak-anak itu sampai tingkat SD kelas 3 saja. Pendidikan Mia sendiri masih tetap terlantar.
Menjelang masa berakhirnya Perang Dunia II, keluarga Jacob sempat kembali ke kota Ujungpandang. Mia rajin belajar, karena hendak mengejar waktu yang terhilang itu. Tamatlah dia dari SD; lalu ia masuk SLTP.
Pada masa perjuangan fisik itu, kota Ujungpandang masih dikuasai Belanda. Bahasa pengantar di SLTP tempat Mia belajar itu, bahasa Belanda; bahasa Indonesia hanya diajarkan sebagai pelengkap saja. Sebagai akibatnya, Mia sangat pandai bahasa Belanda, sedangkan bahasa Indonesianya agak kurang. Mia tahu, ia tidak akan naik kelas kecuali pelajaran bahasa Belanda mendapat angka tinggi.
Namun kepala sekolah SLTP itu memberi Mia nasihat yang bijaksana: "Mia, tekunilah bahasa Indonesia," katanya. "Kelak Indonesia akan merdeka. Bahasa Indonesia akan sangat dibutuhkan di kemudian hari."
Pada tahun 1949, Mia Jacob tamat SLTP. Setiap pelajaran yang angka rata-ratanya cukup tinggi itu dipanggil satu per satu ke kantor kepala sekolah. Teman-teman yang masuk ranking itu seorang demi seorang dipanggil . . . tetapi nama Mia Jacob belum disebut-sebut.
Ternyata si Mia adalah pelajar yang paling akhir dipanggil untuk menghadap. Pada saat itu, barulah ia mengerti mengapa ia diharuskan sengaja menunggu sekian lama: Dialah bintang pelajar, bukan hanya di sekolahnya saja, tetapi di semua SLTP di seluruh kota Ujungpandang! Dan bukan hanya itu saja: Kepala sekolah menawarkan beasiswa, jika Mia rela pergi ke Belanda dan belajar menjadi seorang juru rawat.
Begitu ia keluar dari kantor kepala sekolah, Mia dikerumuni oleh teman-temannya. Mereka semua ingin merayakan prestasi mereka.
"Nanti di rumah saya ada pesta," kata salah seorang pelajar wanita itu. "Tentu kalian diundang!"
"Wah, saya akan mentraktir kalian ke rumah makan!" kata seorang gadis lain lagi dengan penuh semangat.
"Papa saya punya bioskop," kata anak perempuan yang ketiga dengan pongah. "Kalian boleh nonton gratis!"
Mia ikut saling menyalami teman-temannya. Namun dalam hatinya ia tidak begitu menghiraukan hiruk-pikuk mereka. Mengapa saya mendapat angka yang tertinggi? tanyanya pada diri sendiri. Saya bukan yang terpandai. Ada seorang teman sekelas yang lebih pandai. Namun . . . sayalah yang menjadi bintang pelajar sekota. Pasti ini karunia Tuhan, bukan karena kemampuan saya. Ini kebaikan Tuhan kepada saya!
Kepada teman-temannya yang sedang bersuka ria itu, Mia mohon diri. Tetapi ia tidak segera pulang: Ia mampir dulu ke gereja. Tentu Mia tahu, Tuhan ada di mana-mana. Namun Miia merasakan Tuhan lebih dekat bila ia memasuki gedung ibadah.
Hari itu hari kerja, dan tidak ada acara apa-apa; gedung gereja pun tertutup. Mia mencari penjaganya dan minta agar gereja dibuka. Untung, penjaga itu sudah mengenal si Mia dan keluarganya dengan baik; ia tidak curiga, walau Mia tidak menjelaskan maksudnya.
Mia memasuki aula kebaktian yang besar itu. Selangkah demi selangkah ia maju ke depan. Ia berlutut di hadapan mimbar. Di situ ia mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan: "Ya Tuhan, aku tidak layak menerima pemberian-Mu yang terlalu baik ini. Terima kasih, Tuhan! Aku serahkan seluruh hidupku kepada-Mu yan terlalu baik ini. Terima kasih, Tuhan! Aku serahkan seluruh hidupku kepada-Mu. Pakailah sesuka-Mu!"
Barulah sesudah itu Mia keluar dari gereja, pulang ke rumah, dan memberitahu ibu dan kakak-kakaknya bahwa ia telah mendapat kehormatan khusus sebagai bintang pelajar sekota Ujungpandang. . . .
Pada tahun 1951 itu, gempar lagi penduduk kota Ujungpandang!
Pemberontakan Andi Aziz telah berkobar di pulau Sulawesi. Sebagai akibatnya, untuk yang kedua kalinya Mia Jacob terpaksa putus sekolah.
Ternyata Mia tidak jadi pergi ke Belanda untuk menerima beasiswa yang ditawarkan itu. Ia tetap memasuki SLTA di kota Ujungpandang. Tetapi baru kelas 2, sekolahnya pun terhenti.
Ketika pemberontakan itu aman dan sekolah-sekolah dibuka kembali, keadaan sudah berubah. Bahasa Belanda bukan lagi bahasa pengantar, melainkan bahasa Indonesia. Sedangkan Mia merasa masih kurang pandai berbahasa Nasional itu.
Lalu ada kesempatan yang tak terduga untuk mulai memperbaiki bahasa Indonnesianya. Mia diminta menerjemahkan sebuah buku kecil tentang George Muller, seorang tokoh Kristen Inggris keturunan Jerman yang sangat mengandalkan kuasa doa dalam memelihara ratusan anak yatim piatu.
Pada tahun 1955, dari pulai Sulawesi Mia pindah ke pulau Jawa. Di Semarang ia masuk sebuah sekolah tinggi teologia yang diselenggarakan oleh gereja-gereja Baptis. Pendidikan Alkitab dan ketuhanan itu akan melengkapi dia untuk memenuhi panggilannya yang dulu sudah ia rasakan sejak ia menjadi bintang pelajar sekota.
Selama berkuliah di Semarang, Mia diminta menerjemahkan cerita-cerita Alkitab untuk anak-anak Sekolah Minggu. Namun kekurangannya dalam bahasa Indonesia itu masih sangat terasa . . . lebih-lebih ketika ia mulai berkenalan dengan seorang mahasiswa teologi yang bernama Juliaan Sigar. Dengan cepat mereka berdua menjadi akrab, sekalipun pemuda itu berani memperbaiki cara Mia berbicara. "Sebaiknya Mia belajar membedakan kata `kita' dengan kata `kami'," Juliaan menasihati dengan lemah lembut.
Tidak lama kemudian, Nona Mia Jacob menjadi Ibu Mia Sigar. Ia menolong suaminya menggembalakan sebuah gereja di Semarang, kemudian sebuah gereja di Solo. Dan Pendeta Sigar masih tetap menolong istrinya memperbaiki bahasa Indonesianya.
Pada tahun 1963, suami-istri yang pandai itu diminta pindah ke Bandung, agar mereka dapat melayani melalui Lembaga Literatur Baptis. Tidak lama kemudian, Pdt. Juliaan Sigar keluar dari kantor penerbit itu, karena ia menjadi gembala sidang sebuah gereja di kota Bandung. Tetapi Ibu Mia Sigar masih tetap bekerja diLembaga Literatur Baptis selama sepuluh tahun lebih. Banyak sekali lembaran Sekolah Minggu, pelajaran Sekolah Injil Liburan, dan buku-buku tentang pengabaran Injil yang diredaksikannya selama tahun-tahun ini.
Ketika putri tunggalnya masih kecil, Ibu Mia rindu agar dapat bekerja di rumah; dengan demikian ia tidak usah datang ke kantor setiap hari. Terbukalah kesempatan itu pada tahun 1974, ketika ia pindah pekerjaan ke Lembaga Alkitab Indonesia. Ia diminta mengambil alih suatu proyek penerjemahan yang sudah setengah jalan, yaitu: Kabar Baik untuk Masa Kini, atau Kitab Perjanjian Baru Dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari.
Tugas besar itu diselesaikannya pada tahun 1978. Lalu Ibu Mia diminta mengetauai sebuah panitia yang terdiri atas tiga wanita, untuk memperlengkapi terjemahan gaya baru itu dengan Perjanjian Lamanya. Kedua anggota panitia itu masing-masing adalah seorang rohaniawati dari Gereja Katolik, dan seorang pengarang dan ahli Alkitab dari Gereja Protestan. Sebagai seorang Baptis, Ibu Mia berhasil membimbing pekerjaan mereka dengan lancar. Pada tahun 1985, terbitlah Alkitab Kabar Baik yang sudah lengkap.
Sejak dahulu Ibu Mia sangat memperhatikan anak-anak. Walau anaknya sendiri hanya seorang, namun sering ada anak-anak lain di rumahnya, juga di gereja dan di SD Kristen yang dibina oleh suaminya. Tidaklah mengherankan, sesudah selesai dengan Alkitab Kabar Baik, Ibu Mia juga menerjemahkan Kabar Baik Untuk Anak-Anak.
Ibu Mia masih ingat kesulitannya yang dulu, dalam hal menguasai bahasa Indonesia. Mungkin itu yang menyebabkan dia tetap rela mengerjakan berbagai macam terjemahan Alkitab untuk orang yang memerlukan bahasa Indonesia yang sederhana dan jelas.
Sampai saat ini Ibu Mia Sigar masih mengenangkan pengalamannya yang dulu, ketika ia menjadi bintang pelajar sekota Ujungpandang. Kata Ibu Mia: "Jauh sebelum saya memikirkan apa pun untuk melayani Tuhan dalam bidang literatur rohani, Ia sudah mempunyai rencana bagi saya. Rencana-Nya, serta cara-Nya Ia memperlengkapi saya untuk tugas yang telah disediakan-Nya itu, nyata jelas!"
TAMAT
"Darat!" seru seorang kelasi yang sedang bertengger di mercu yang tiang itu. "Ada darat di sana!" Suaranya mengalun dari atas ke bawah, ke geladak kapal layar yang sedang melintasi Lautan Pasifik itu.
Seluruh isi kapal itu segera naik dari bawah. Sudah lama mereka rindu menyaksikan daratan! Ada kelasi yang mulai naik ke tiang layar untuk dapat melihat lebih jauh ke arah haluan. Ada penumpang yang lari ke kayu rimbat di pinggir geladak.
Salah seorang penumpang itu adalah seorang pemuda bernama John Geddie. Ia pun rindu sekali menyaksikan daratan yang sudah nampak di kejauhan itu. Pasti daratan itu lain sekali daripada apa saja yang pernah dilihatnya sepanjang umur.
John Geddie berasal dari negara Kanada, propinsi Nova Skotia. Ia sudah mengenal lautan, tetapi lautan di sana ditumbuhi pohon cemara dan pines, dan sering tertutup salju.
Lain sekali dengan daratan yang sedang dituju oleh kapal layar itu! John Geddie telah datang ke daerah Pasifik Selatan yang panas lembab, agar ia dapat memberitakan Kabar Baik tentang Tuhan Yesus kepada para penduduk Kepulauan Vanuatu. Atau lebih tepat: Ia berharap ada kesempatan memberitakan Kabar Baik kepada mereka, sebelum mereka sempat memakan dia, . . . karena pada tahun 1848, masih ada di antara penduduk Vanuatu itu yang suka makan daging manusia.
Selama kapal berlayar mendekati pelabuhan, John Geddie menunggu dengan perasaan kurang sabar. Pulau itu nampaknya seperti zamrud hijau di tengah-tengah lauatan nan biru. Pohon-pohon palem menjulang tinggi di pantai pasir putih.
Ternyata pulau yang pertama-tama dilihat John Geddie itu bernama pulau Aneityum. Penduduk pulau itu sudah biasa didatangi orang asing. Mereka suka berdagang dengan para pendatang yang naik kapal dari jauh. Jadi, John tidak usah khawatir akan dibunuh dan dimakan selama ia menetap di pulau Anityum itu.
Dengan mudah John Geddie menyewa sebuah rumah. Para tetangganya yang baru itu rupanya cukup ramah. Namun mereka kurang berminat akan ajarannya tentang Tuhan Yang Maha Esa.
"Kami punya ilah-ilah sendiri," demikian kata orang-orang Vanuatu itu. "Buat apa kamu mau mendengar tentang ilah lain yang diceritakan orang asing yang warna kulitnya sudah luntur itu?"
Tidak lama kemudian, kapal laut yang telah membawa John Geddie ke pulau Aneityum itu berangkat lagi. Ia berdiri di pantai sambil melambaikan tangannya selama layar itu kelihatan semakin kecil di kejauhan.
Di pantai itu, di kelilingnya berdiri bapak-bapak, ibu-ibu, dan anak-anak. Mereka semua asyik bercakap-cakap. Namun tidak ada satu kata pun yang dapat dipahami oleh John Geddie.
Sudah jelas, aku harus belajar bahasa mereka, kata John dalam hatinya. Maka pada saat kapal layar itu makin menghilang di lautan lepas, ia mulai mendengarkan baik-baik lagu kalimat yang sedang diucapkan di sekitarnya.
Penduduk pulau Aneityum yang suka berdagang itu cukup pandai berbicara bahasa Inggris. Mereka biasa bisa menggali akar ararut (ubi garut), lalu menawarkannya kepada para pendatang. Biasanya daripada menerima uang, mereka lebih suka tukar-menukar saja, sehingga dengan demikian mereka mendapat barang-barang yang mereka inginkan.
Tetapi masalahnya, bahasa Inggris yang cocok untuk perdagangan tukar menukar itu, bukanlah bahasa Inggris yang cocok untuk memberitakan Kabar Baik tentang Tuhan Yesus. Apa lagi, John Geddie tidak berminat mengajarkan bahasa Inggris kepada penduduk pulau itu.
Buat apa aku mengajar mereka membaca Alkitab dalam bahasa Inggris? tanya John pada dirinya sendiri. Sebaiknya, aku mau belajar bahasa Aneityum, bahasa mereka. Bila aku menceritakan isi Alkitab, aku ingin supaya mereka semua dapat mengerti, dari nenek yang paling tua samapi anak yang paling kecil. Aku ingin menjadi begitu pandai berbicara dalam bahasa mereka, sampai-sampai mereka akan merasakan bahwa aku adalah salah seorang dari antara mereka.
Tidak lama kemudian, John Geddie memang dapat mengucapkan banyak kata dalam bahasa Aneityum. Namun ia belum puas. Ia sering meminta orang-orang Vanuatu mengulangi sampai berkali-kali satu kata yang sama. Ia pun minta supaya satu kata itu mereka ucapkan dengan sangat pelan-pelan, agar ia dapat membeo bunyi yang sedang didengarnya itu.
Tetapi penduduk pulau itu kurang senang jika terus-menerus mengulangi kata-kata yang sama. Malu rasanya, jika harus bertalu-talu mengluarkan bunyi yang sama, . . . hanya agar seorang asing dapat memperhatikan mulut mereka. Lambat laun mereka tidak segan-segan menyatakan rasa bosan atau rasa tersinggung mereka; satu persatu mereka meninggalkan di seorang diri.
Wah, bagaimana aku dapat menguasai bunyi bahasa ini? tanya John Geddie pada dirinya sendiri. Apa lagi, jika aku tidak dapat menguasai bunyinya, bagaimana aku dapat menyusun tanda-tanda tulisan untuk bahasa ini yang belum pernah ditulis?
Pada suatu hari John sedang mengunyah sepotong biskuit kapal. Biskuit kapal itu lain daripada biskuit kaleng--keras sekali, dan rasanya asin. Justru karena kerasnya, biskuit semacam itu dapat bertahan lama. Pada masa lampau, selama pelayaran yang memakan waktu panjang, biskuit kapal biasa dibawa serta sebagai bekal.
Mula-mula John Geddie tidak suka memakan biskuit kapal. Tetapi lambat laun ia mulai menyukai rasanya, sehingga pada waktu kapal hendak melanjutkan perjalanannya, ia minta supaya ditinggalkan satu peti biskuit itu baginya. Sewaktu-waktu ia mengunyah sepotong biskuit yang keras dan asin rasanya itu.
Pada waktu John sedang makan-makan, kebetulan lewatlah seorang Vanuatu. Ia salah seorang penduduk setempat yang telah meninggalkan John tanpa pamit, karena ia bosan atau tersinggung jika diminta berulang-ulang mengucapkan kata yang sama. Namun John ingin tetap bersikap ramah terhadap tetangganya itu, maka ia menawarkan sepotong biskuit kapal kepadanya. "Silakan coba!" katanya dalam bahasa Inggris.
Dengan agak was-was orang itu mulai mencicipi. Ia mengunyah biskuit yang keras itu. Ia menjilat dengan lidahnya. Lalu ia mengunyah lagi. Sudah jelas, ia menyukai biskuit yang asin rasanya itu.
Setelah selesai, ia mengulurkan tangannya. Tetapi John Geddie baru mendapat akal. Ia tidak segera memberikan lagi kepada tetangganya itu.
"Ayo, tukar!" kata John. Dan memang mereka mulai tukar-menukar. Yang diterima John sebagai pengganti biskuit itu, bukannya barang melainkan bunyi-bunyi yang diucapkan berulang-ulang.
Dengan cepat berita itu mulai tersiar: "Orang asing yang aneh itu rela memberikan makanan yang enak, asal saja ada penduduk yang rela membuang waktu dengan berkali-kali mengucapkan kata-kata dalam bahasanya sendiri!" Maka selanjutnya John tidak pernah kekurangan penolong dalam usahanya belajar bahasa setempat.
Sepotong demi sepotong ia menawarkan biskuit kapal itu kepada penduduk setempat. Satu demi satu ia menguasai bunyi yang biasa dilafalkan dalam bahasa mereka, sampai dapat membeo setiap kata dengan tepat dan jelas.
Sementara itu, John Geddie juga sudah menyusun semacam abjad bahasa Aneityum. Ia mulai mencatat kata-kata dalam bentuk tulisan. Tidak lama kemudian, kepada para tetangganya ia dapat bercerita tentang Tuhan Yang Maha Esa. Ia juga dapat bercerita tentang Yesus Kristus, yang sangat mengasihi semua orang.
Cerita-cerita yang disampaikan John Geddie itu berasal dari Kitab Injil Markus. Setiap kali bercerita, ia pun mencatat kata-kata dari ceritanya itu. Lambat laun ia dapat menyusun seluruh Injil Markus dalam bahasa Aneityum.
Penduduk pulau itu sudah mulai mengenal John Geddie; ia pun sudah semakin mengenal mereka. Mereka mulai saling mempercayai dan saling mengasihi. Oleh para tetangganya John sering dibawa serta pada waktu mereka pergi menjala ikan atau memelihara tanaman ubi ararut. Mereka memperlihatkan kepadanya bagaimana mereka menggali akar ararut, serta menyiapkan hasil tumbuhan itu untuk dijual.
Mereka juga mengajar John tentang adat mereka, tentang dongeng mereka, tentang cara mereka beribadah. Dengan panjang sabar John pun mengajar mereka tentang Tuhan Yesus Kristus. Lambat laun ada banyak di antara mereka yang menjadi orang Kristen.
Di samping mengajar, John Geddie juga masih terus menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa setempat. Setelah Kitab Injil Markus selesai, naskahnya dikirim ke Australia untuk dicetak. Ketika buku-buku kecil yang berisi Injil Markus itu sudah kembali lagi, sebagian penduduk Vanuatu merasa sangat senang: Mereka dapat membaca Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri! Tetapi sebagian lagi merasa sangat sedih, karena mereka itu masih buta huruf.
Maka John Geddie mulai mengajar orang-orang yang buta huruf itu, agar mereka dapat membaca bahasa mereka sendiri. Sementara itu, ia pun terus mengalihkan Firman Allah ke dalam bahasa mereka. Ketika Kitab Injil Matius selesai, John berhasil membeli sebuah alat cetak kecil. Selanjutnya hasil karyanya itu dapat langsung dicetak di Vanuatu.
Akhirnya seluruh Kitab Perjanjian Baru selesai diterjemahkan ke dalam bahas Aneityum. Dengan gembira John Geddie berkata kepada kawan-kawannya, "Sekarang kita harus mencetaknya."
Tetapi Kitab Perjanjian Baru itu terlalu tebal; tak mungkin dikerjakan dengan alat cetak kecil yang sudah ada. Maka John Geddie mengumpulkan para pemimpin masyarakat setempat.
"Sekarang sudah ada Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa kalian sendiri," ia mengumumkan.
"Benar!" jawab pemimpin mereka yang tertua. "Sungguh bagus dan ajaib, bahwa hal itu sudah terwujud."
"Selanjutnya," kata John, "banyak salinan yang harus dibuat oleh mesin."
Para pemimpin masyarakat akan menunggu perkataannya lebih lanjut.
"Hal itu menuntut uang."
Tidak ada seorang pun yang berbicara.
"Aku tidak punya uang," kata John dengan sedih.
"Kami juga tidak punya uang," kata para pemimpin.
Hening sejenak . . . Lalu John Geddie berbicara lagi: "Namun kalian sudah biasa menawarkan akar arurat kepada para pedagang kapal. Apakah kalian rela menyisihkan sepersepuluh dari hasil tukar-menukar itu? Apakah kalian rela menguangkan yang sepersepuluh itu, agar dapat dipakai untuk mengongkosi pencetakan Alkitab?"
Para pemimpin itu pulang dan berunding dengan rakyat. Lalu mereka melaporkan bahwa rakyat Vanuatu memang rela menyisihkan sepersepuluh dari hasil perdagangan mereka.
Setelah sepersepuluh itu diuangkan, hasilnya dua ribu dolar. John Geddie mengirimkan uang itu beserta naskah Kitab Perjanjian Baru berbahasa Aneityum, agar dapat dicetak ditempat yang jauh.
Berbulan-bulan lamanya John dan kawan-kawannya menunggu. Lalu pada suatu hari, ada sebuah kapal yang sedang membongkar muatannya di pulau Aneityum. Di antara muatannya itu ada beberapa bungkusan besar yang dialamatkan kepada John Geddie.
Setiap keluarga di pulau itu menerima sebuah Kitab Perjanjian Baru. Namun di antara mereka masih ada yang belum pandai membaca.
"Mari kita mengadakan sayembara!" usul John. Beberapa hadiah di tawarkan kepada orang-orang yang berhasil membacakan Perjanjian Baru secara tepat dan jelas. Dengan rajin mereka bersaing untuk menjadi pandai membaca Firman Allah. Ternyata setiap hari ada sebanyak dua ribu orang Vanuatu asyik membacakan Alkitab. Dan sisa penduduk pulau itu asyik mendengarkan pembacaan mereka.
Sementara itu, John Geddie masih tetap meneruskan tugasnya sebagai guru dan penerjemah. Menjelang tahun 1872, hampir seluruh Kitab Perjanjian Lama sudah dialihkan ke dalam bahasa Aneityum.
Dua puluh empat tahun sudah lewat sejak kelasi itu menyerukan "Darat!" dari mercu tiang layar yang sedang membawa John Geddie dari jauh. Dan pada tahun yang kedua puluh empat itu juga, John Geddie pun tutup usia.
Para penduduk Vanuatu berkabung. "Ia telah meninggalkan kita," kata mereka. "Ia telah berpulang ke surga." Lalu mereka memasang sebuah plaket pada dinding gedung gereja terbesar di pulau Aneityem. Di atas plaket itu terukir kata-kata ini:
"Ketika ia mendarat pada tahun 1848,
Di sini tidak ada orang Kristen.
Ketika ia berpulang pada tahun 1872,
Di sini tidak ada orang kafir."
TAMAT
Satu abad yang lalu, di sebuah pulau besar yang jauh dari kepulauan Indonesia, seorang anak perempuan kecil sedang menangis tersedu sedan.
Pantas saja ia menangis! Coba bayangkan: Si Upik baru saja diculik dari rumah orang tuanya. Ia ditangkap oleh orang-orang kejam yang memperbudak manusia.
Seluruh badan gadis cilik itu gemetar menahan tangisnya.
Dengan bengis si penjual budak memandangnya; tangannya menggenggam cambuk. "Cukup kau menangis!" ia berteriak. "Kau mau kucambuki?"
Mata si Upik terbelalak, penuh rasa takut dan ngeri. "Wah, jangan, pak!"
"Kenapa jangan?" bentak penjual budak itu. "Kau bukan lagi anak ibumu yang manja. Kau sekarang seorang budak belian. Coba pikir, di kampung halamanmu sendiri, siapa yang peduli akan nasib budak?"
Lalu ia pergi, seraya memberikan peringatan terakhir: "Aku tidak mau mendengar tangisanmu lagi, tahu! Bagaimana aku dapat menjualmu besok kalau mukamu bengkak karena menangis terus?"
Apa yang dikatakan oleh pedagang budak itu memang benar. Di seluruh pulau Malagasy yang besar itu, tidak ada seorang pun yang menghiraukan nasib budak belian. Bahkan di kampung halaman si Upik sendiri, jauh di sebelah selatan, seorang budak pasti dihukum kalau menangis terus dan merepotkan pemiliknya.
Gadis kecil itu mulai berusaha membiasakan diri dengan kegaduhan dan keramaian kota di sekelilingnya. Dengan berbuat demikian mudah-mudahan ia tidak lagi terlalu memikirkan kebahagiaan hidupnya dulu.
Orang tuanya tidak ada di rumah ketika ia diculik. Karena itu ia berharap agar mereka luput dari serangan para perampok. Betapa sedihnya mereka bila nanti mereka pulang dan mendapati putri kecil mereka tidak ada di situ lagi! Mereka akan merasa sangat kehilangan "si Upik" (begitulah nama julukan yang sering mereka pakai baginya). Mereka hanya dapat berharap agar anak perempuan yang secantik dia akan dijual ke dalam sebuah rumah tangga yang cukup baik.
Ketika si Upik menguasap matanya dan melihat ke sekelilingnya, ia pun mulai tertarik oleh kesibukan di sekitar tempat itu. Ia memperhatikan orang banyak yang lalu lalang; beberapa diantaranya, dengan pakaian yang indah-indah, sedang ditunggui oleh budak-budak belian. Si Upik mulai memikirkan apa yang akan terjadi attas dirinya besok pagi.
Ketika pagi itu tiba, si Upik diberi sehelai jubah baru yang sederhana. Rambutnya pun disisir rapi. Si penjual budak sudah pandai membuat barang dagangannya kelihatan menarik di mata calon pembeli!
Rasanya waktu lewat dengan lamban sekali pada pagi itu. Orang-orang kaya biasanya tidak mau datang ke pasar terlalu pagi. Hanya beberapa orang biasa datang dan membeli budak-budak yang tidak seberapa mahal harganya.
Sekali-sekali ada orang yang menanyakan si Upik, yang duduk di bawah naungan sebuah pohon besar dengan perasaan sedikit takut dan sedikit mengharap-harap. Tetapi mereka selalu terus pergi setelah mendengar harga yang ditawarkan itu, walau ada juga orang yang sempat berkomentar dengan berbisik: "Cantik sekali! Mungkin ia akan laku juga semahal itu."
Sebelum sang surya naik tinggi di atas cakrawala, datanglah sebuah tandu yang indah, diusung oleh empat budak laki-laki. Budak yang kelima memagang menaungi seorang wanita muda yang berbaring di atas usungan itu; pakaiannya sangat mewah.
Wanita yang kaya-raya itu mengamat-amati setiap budak yang dipertontonkan kepadanya. Kekuatiran dan kesedihan budak-budak itu tidak dihiraukannya. Rupa-rupanya ia menganggap seorang budak itu sama seperti seekor anjing kesayangan saja.
Hanya ada satu budak yang tidak kelihatan sedih. Itulah si Upik. Ia begitu tertarik akan penampilan wanita kaya itu sehingga ia memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu. Belum pernah ia melihat seorang wanita dengan pakaian sebagus itu!
"Gadis yang itu!" Sang penumpang tandu menunjuk kepada si Upik. "Kelihatannya cerdik, lagi cantik. Suruh dia berdiri!"
Sebelum si Upik insaf apa yang terjadi, jual beli itu sudah selesai. Sekarang ia telah menjadi milik wanita muda yang kaya-raya itu.
Tidak lama kemudian, usungan itu dibawa dengan cepat, menerobosi orang banyak. Si upik berusaha mengikuti langkah-langkah yang terlalu panjang dari budak-budak dewasa itu. Ia berlari-lari kecil; napasnya mulai terengah-engah. Seorang budak laki-laki yang tinggi besar berjalan di sisinya untuk menjaga agar ia tidak berusaha melarikan diri.
Di tempatnya yang baru, si Upik dengan cepat dan lancar dapat belajar cara-cara melayani majikannya. Majikannya ternyata sangat baik hati. Ia merasa senang, terutama oleh karena gadis cilik itu tidak pernah menangis lagi, dan tidak pernah bermuram durja.
Pada suatu hari sang majikan bertanya dengan sikap tak acuh: "Apa kau lahir sebagai budak, Upik?"
Untuk seketika mata si Upik tergenang air mata. Tetapi segera ia dapat menguasai dirinya. Ia bertindak tegak dan menjawab dengan tenang. "Tidak, nyonya besar. Aku diculik. Kampung halamanku di sebelah selatan. Dari sanalah para perampok menyeretku. Orang tuaku tidak tahu aku diculik."
Wajah majikannya mengerut. "Ah! Sama sekali tidak terpikirkan. Apalagi kau masih kecil! Kau begitu tabah, Upik. Aku sama sekali tidak menyangka kau pernah hidup bebas dengan keluargamu sendiri."
Kemudian dilanjutkannya: "Sebetulnya aku tidak begitu suka mempunyai budak yang asalnya bukan budak. Mencicipi kebebasan, lalu kehilangan kebebasan itu, rasanya lebih pahit daripada kalau kamu belum pernah hidup bebas. Tetapi setidak-tidaknya kau lebih mujur menjadi budak di rumahku daripada menjadi budak di rumah orang lain, ya, Upik?"
Si Upik tersenyum. "Nyonya besar sudah membuatku bahagia dan puas," jawabnya dengan tulus ikhlas
Namun kadang-kadang si Upik merasa kesepian. Pada saat-saat demikian, bila tidak ada tugas, ia suka pergi menyendiri dan duduk di bawah sebuah pohon yang besar di taman. Dari dalam jubahnya ia mengambil sebuah buku yang selalu ia bawa serta. Lama ia duduk sambil membaca buku kecil itu.
Buku kecil itu adalah buku yang kebetulan dibaca pada saat ia diculik. Tanpa disadari ia tetap menggenggam buku itu ketika ia ditangkap dan diseret oleh para perampok. Kini buku kecil itu menjadi harta si Upik yang paling berharga: Isinya tak lain ialah Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Malagasy (yang mirip sedikit dengan bahasa Indonesia).
Di dalam rumah tangga majikannya itu tidak ada seorang Kristen pun kecuali si Upik. Juga tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat membaca, sang majikan juga tidak. Namun budak-budak yang buta huruf itu senang mengintip pada saat-saat si Upik pergi menyendiri. Dan mereka pun senang mendengar si Upik membaca, karena ia selalu membaca dengan bersuara, sesuai dengan kebiasaan pada zaman itu.
Tidak lama kemudian, setiap pelayan di rumah tangga itu mengetahui bahwa si Upik memiliki sebuah Buku kecil, dan bahwa ia pandai membaca isinya. Tetapi tidak seorang pun yang berani memberitahu sang majikan. Meskipun ia baik hati, mungkin ia akan merasa cemburu terhadap seorang budak yang begitu pandai. Mungkin ia akan menghukum si Upik; mungkin ia akan merampas Bukunya.
Pada suatu hari yang panas, sang majikan berjalan-jalan di taman untuk menikmati buaian angin sejuk. Sayup-sayup terdengar olehnya suara orang. Karena ingin tahu, ia menghampiri tempat dari mana suara itu terdengar.
Tampaklah si Upik sedang duduk di bawah pohon, asyik membaca.
"Ha! Sedang apa kau Upik?" tanya majikannya. "Sedang menghafal cerita, ya?"
Dengan hormat si Upik berdiri. Mula-mula ia hendak menyembunyikan Buku kecil itu, tetapi kemudian diperlihatkannya. "Tidak, nyonya besar. Aku sedang membaca Kitab Suci."
"Membaca? Sungguh kau dapat?"
"Sungguh, nyonya besar," jawabnya seraya menganggukkan kepalanya. "Ayah yang mengajarku membaca."
Budak-budak yang lain sedang mengintip peristiwa itu dari jauh, dengan hati yang berdebar-debar. Apakah majikan mereka akan marah? Ataukah merasa geli saja?
Heran, . . . kedua dugaan itu meleset. Apa yang mereka dengar kemudian?
"Dapatkah kau mengajarku membaca, Upik?"
"Dapat, nyonya besar! Dengan senang hati," jawab si Upik.
Pelajaran itu segera dimulai. Karena tidak ada buku lain, Kitab Perjanjian Baru milik si Upik menjadi buku pelajaran.
Si Upik mulai dengan cerita-cerita yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, seperti misalnya cerita domba yang hilang dan cerita orang Samaria yang murah hati. Kata demi kata sang majikan belajar membaca perumpamaan-perumpamaan itu.
"Sangat menarik!" serunya. "Cerita-cerita ini amat indah. Tetapi . . . siapakah Tuhan Yesus itu?"
Maka pelajaran membaca yang berikutnya diambil dari Kitab Injil Lukas, pasal 2. Budak cilik itu menolong majikannya membaca tentang kelahiran Yesus pada malam yang ditaburi bintang-bintang. Mereka membaca tentang para malaikat yang menyanyi dan memuliakan Tuhan, tentang sinar surgawi yang turun menerangi palungan Sang Bayi Kudus.
Tetapi pelajaran membaca terpaksa diperpendek pada hari itu. "Cerita ini terlalu panjang, Upik," majikannya mengomel. "Engkau saja yang membacakannya."
Maka si Upik melanjutkan membaca tentang peristiwa-peristiwa yang indah itu. Pasal demi pasal, pelajaran demi pelajaran, si Upik membacakan cerita Tuhan Yesus, termasuk ajaran-ajaranNya, penyalibanNya, dan kebangkitanNya. Ia pun meneruskan cerita itu dengan membacakan perbuatan-perbuatan para pengikut Tuhan Yesus setelah Hari Pentakosta.
Sang majikan, beserta semua budaknya yang cukup dewasa, terus mendengarkan dengan penuh perhatian. Belum pernah mereka mendengar cerita yang demikian!
Bukan hanya itu saja: Wanita bangsawan itu mulai mengundang teman-temannya untuk berkumpul di rumahnya pada waktu senja. "Aku mempunyai seorang budak baru," katanya, "seorang gadis kecil. Anehnya, ia dapat membaca. Buku miliknya sendiri memuat cerita-cerita yang sangat menarik, serta ajaran-ajaran yang belum pernah kudengar. Ayo datang dan mendengar Upikku membaca!"
Mungkin saja majikan itu pun ingin agar teman-temannya mengetahui bahwa ia sendiri sekarang dapat membaca. Karena setiap kali tetangga-tetangganya datang, ia mengambil Buku kecil dari tangan si Upik dan membuka halaman-halaman tertentu. Walau ia membaca dengan pela-pelan, namun kedengarannya cukup jelas, sehingga teman-temannya menjadi takjub.
Lambat laun Kabar Baik itu mulai meresap ke dalam hatinya. Pada suatu hari wanita yang kaya-raya itu berkata, "Upik, letakkan dulu Bukumu dan jelaskan kepadaku bagaimana caranya aku dapat menjadi pengikut Tuhan Yesus."
Hal ini tidak mengherankan si Upik. Siapa yang tidak mau mengikut Tuhan Yesus, demikianlah pikirannya. Siapa yang tidak mau berbakti kepada Allah Bapa, yang begitu mengasihi kita sehingga Ia mengutus Tuhan Yesus untuk menjadi Juru Selamat kita!
Namun si Upik jadi terheran-heran juga pada suatu hari semua budak dipanggil menghadap majikan mereka. "Kalian sudah tahu," katanya dengan lambat, "bahwa aku telah menjadi pengikut Tuhan Yesus. Oleh karena itu, aku tidak boleh lagi memperbudak sesamaku. Kalian semua merdeka."
Merdeka! Para budak itu hampir-hampir tidak mempercayai apa yang mereka dengar. Sungguh suatu hari yang diliputi kebahagiaan!
Beberapa di antara mereka segera pulang ke kampung. Yang lainnya lebih suka tetap tinggal pada majikan mereka sebagai pegawai bayaran.
Dengan sangat gembira si Upik pulang ke rumah orang tuanya. Ia memasuki rumah itu bagaikan orang yang sudah bangkit dari kubur. Kedatangannya kembali itu membawa kebahagiaan yang tiada taranya bagi orang tuannya.
Tetapi kemudian secara sukarela si Upik kembali lagi kepada sang majikan yang sangat dikasihinya. Mereka berdua, diiringi oleh bebarapa pembantu, pergi jauh ke suatu tempat di mana ada utusan-utusan Injil. Di sana mereka memohon agar penginjil-penginjil dikirim ke kota mereka di pulau Malagasy, untuk mengajar dan membimbing orang-orang Kristen yang baru.
Utusan-utusan Injil yang datang dari negeri jauh itu merupakan jawaban atas permohonan doa mereka. Tetapi iklim di pulau Malagasy itu asing bagi para penginjil. Mereka dijangkiti penyakit, dan satu persatu meninggal. Akhirnya keadaan kembali seperti semula: Tidak ada yang memimpin dan mengajar pengikut-pengikut Tuhan Yesus yang baru itu.
Namun sang majikan tidak putus asa. Dengan Alkitab di tangannya, ia mula membaca dan berdoa serta mengharapkan pimpinan Roh Kudus. Lalu dengan sikap yang tenang dan gigih, ia sendiri mengajar setiap orang yang rela berguru kepadanya.
Lambat laun di kotanya di pulau Malagasy itu tumbuhlah suatu jemaat Kristen yang banyak sekali anggotanya. Dan hingga kini orang-orang Kristen yang tinggal di kota itu masih suka bercerita dengan bangga:
"Semuanya itu terjadi oleh karena seorang budak perempuan kecil yang kesepian membaca Kitab Perjanjian Barunya dengan suara keras, dan oleh karena seorang wanita muda yang kaya-raya terbuka hatinya untuk menerima ajaran Firman Allah serta melaksanakannya dalam hidupnya sendiri!"
TAMAT
Rombongan berkuda itu berhenti pada lereng sebuah bukit kecil. Jalan sempit yang sedang mereka ikuti itu terus menanjak sampai ke puncak, lalu menghilang di lembah sebelah sana.
Seorang pemuda bernama Charles Martin turun dari kudanya. "Tunggu dulu di sini!" perintahnya.
Anggota-anggota lainnya dari rombongan berkuda itu adalah pria-pria dewasa. Namun tanpa menggerutu mereka menuruti perintah pemuda itu. Sudah lebih dari satu kali, nyawa mereka semua terselamatkan berkat kewaspadaan si Charles yang menjadi petunjuk suatu jalan mereka. Ia tidak akan membiarkan mereka terjebak memasuki suatu lembah yang mungkin dikuasai oleh segerombolan perampok atau suku indian Apache yang garang. Sebagai seorang pemuda koboi yang dibesarkan di wilayah sebelah barat Amerika yang luas dan belum beradab itu, Charles Martin merasa bertanggung jawab atas orang-orang dari kota yang telah mempercayakan diri mereka kepadanya.
Saat ini si Charles mendaki bukit sendirian, tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun. Dekat puncak bukit ini, ia bersembunyi sejenak di belakang sebuah pohon yang kerdil. Lalu ia tidak kelihatan lagi. Tetapi tidak lama kemudian, ia muncul kembali, lari ke bawah, dan melompat ke pelananya. "Cukup aman sejauh mataku dapat melihat," katanya cepat. Maka rombongan berkuda itu mulai maju lagi.
Malam itu para penunggang kuda berkemah di sebuah lembah yang terpencil. Si Charles memasak untuk mereka semua; api yang dinyalakannya begitu kecil, sehingga sedikit sekali asap yang mengepul-ngepul ke atas . . . . Siapa tahu, mungkin ada mata jahil yang sedang mengawasi tempat perkemahan mereka.
Bulan bersinar; malam itu cukup hangat. Api unggun pelan-pelan padam sampai tinggal baranya saja. Kebanyakan anggota rombongan berkuda itu meringkuk di bawah selimut mereka masing-masing, siap untuk tidur. Tetapi salah seorang di antara mereka menuntun temannya ke samping untuk bercakap-cakap sebentar. Temannya itu seorang pria yang tinggi besar dan berjenggot panjang.
"Puas, Pak Majors?" tanyanya kepada pria berjenggot itu.
"Ya, lebih dari puas!" jawab Pak Majors seraya mengangguk. "Aku telah mendengar bahwa di seluruh wilayah sebelah barat Amerika ini, tidak ada koboi yang lebih hebat daripada si Charles, dan sekarang aku pun percaya. Coba bayangkan bagaimana ia meloloskan kita dari bahaya kemarin. Ya, Charles Martinlah orangnya, . . . . asal ia mau bekerja pada kami."
Pada waktu perjalanan yang lama dan meletihkan itu sudah berakhir, Pak Majors mengajak Charles Martin berunding.
"Charles," katanya, "tahukah engkau bagaimana sepucuk surat dari kota New York di pantai timur sampai ke kota San Francisco di pantai barat?"
Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kami di wilayah sebelah barat ini jarang sekali berurusan dengan surat, Pak."
Pak Majors tersenyum. "Tetapi sebaliknya, penduduk Amerika Serikat di daerah-daerah lain sering berurusan dengan surat. Soalnya, selalu memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan lamanya, baru sepucuk dari sebelah timur dapat tiba di sebelah barat."
"Lho! Kalau naik kuda, bisa pergi jauh sekali dalam waktu satu bulan, Pak," kata Charles.
"Betul!" Tetapi surat-surat itu tidak diantar dengan naik kuda. Surat-surat itu harus naik kapal sampai ke pelabuhan di pantai Panama, lalu diturunkan dari kapal dan dibawa melintasi tanah genting sampai ke pelabuhan lagi, kemudian kembali naik kapal ke Kalifornia. Nah, aku punya gagasan baru tentang cara yang lebih cepat untuk mengantar surat. Dan aku ingin engkau membantu cara baru itu, Charles."
Dengan penuh perhatian Charles Martin mendengarkan Pak Majors menjelaskan gagasan baru itu.
"Sudah ada kereta api dari pantai timur sampai ke pedalaman Amerika Serikat," kata Pak Majors. "Dari ujung rel kereta api itu, aku ingin menyiapkan para penunggang kuda yang masih muda dan yang sangat berani. Seperti perlombaan estafet, mereka harus bekerja sama, terus berjalan siang dan malam, apakah hari cerah atau hari hujan. Tidak boleh ada apapun juga yang menghalangi mereka! Sepucuk surat yang dikirim dari New York harus dapat sampai ke San Fransisco dalam waktu sepuluh hari saja."
Mata Charles terbelalak "Sepuluh hari naik kuda!"
"Bukan! Jumlah semuanya sepuluh hari, termasuk waktu di kereta api itu.
"Hmmm, . . ." Nampaknya si Charles mencium kemungkinan petualangan yang baru "Pasti sudah ada rencana, ya, Pak?"
"Sudah. Kami akan mendirikan dua ratus pos pergantian kuda, dengan lima ratus kuda yang larinya paling kencang, serta delapan puluh penunggang kuda. "Pria besar yang berjenggot panjang itu berhenti sebentar dan menatap Charles Martin. "Dan belum cukuplah bila para penunggang kuda itu berani. Mengantar surat adalah tanggung jawab yang penting. Pemuda-pemuda itu tidak boleh berkelahi, tidak boleh berjudi, tidak boleh bermabuk-mabukan. Mereka harus jujur dan setia selalu."
Kelihatannya Charles Martin semakin tertarik.
"Berbahaya sekali tugas semacam itu, Charles!" Pak Majors memperingatkan. "Apakah engkau berminat?"
"Barangkali," jawab Charles.
Pak Majors lalu membentangkan sehelai peta yang kasar di atas meja. "Kami hanya ingin pakai orang-orang yang terpilih saja. Bagaimana kalau kau yang mencarikan penunggang kuda bagi kami di seluruh dunia ini? Lalu tugasmu selanjutnya ialah, . . . mengantar surat dari sini . . . ke sini." Ia menunjuk tempat-tempat itu di peta.
"Rasanya tidak begitu jauh perjalanan itu, Pak," si Charles berkomentar.
"Tetapi bagaimana kalau malam hari? Bagaimana kalau musim salju?" Pak Majors melirik lagi ke wajah Charles. "Pokoknya, surat itu harus selalu tiba, tepat pada waktunya! Biar turun hujan atau salju, biar sedang masa kekeringan atau peperangan, biar ada gangguan dari suku Indian yang garang atau gerombolan perampok, surat itu harus selalu tiba, tepat pada waktunya. Penunggang yang mendahuluimu harus tiba di pos pergantian sehingga kantung surat dapat diserahkan sebelum kudanya berhenti. Lalu engkau harus segera berangkat, berpacu-pacu menuju pos pergantian kuda yang berikutnya."
Charles tersenyum. Rupa-rupanya ia memang semakin tertarik.
"Masih ada hal lain lagi," tambah Pak Majors. "Perusahaan kami hanya ingin mempekerjakan orang-orang yang berwatak baik. Tiap penunggang kuda harus rela menandatangani perjanjian ini." Lalu ia meletakkan sehelai kertas di atas meja. Tulisan di atas jelas. "Bacalah baik-baik, Charles!" katanya.
Si Charles membaca dengan suara keras: "Aku berjanji, dengan bersumpah di hadapan Tuhan Yang Mahabesar, bahwa selama aku menjadi pegawai perusahaan ini: Aku tidak akan mengucapkan kata-kata kotor, tidak akan mencicipi minuman keras, dan tidak akan bercekcok atau berkelahi dengan pegawai lain; sebaliknya, aku akan berlaku jujur, menunaikan tugasku dengan rajin, dan mencari nama baik dari majikanku. Semoga Tuhan menolong aku supaya tetap setia kepada janji ini!"
Tegas sekali syarat-syarat perjanjian itu! Kebanyakan koboi di wilayah sebelah barat justru suka melakukan hal-hal yang dilarang olehnya.
"Mengantar surat itu tugas yang penting," kata Pak Majors pelan-pelan. "Kami tidak mau mengambil resiko dengan orang-orang yang lemah wataknya. Kami tidak ingin ada seorang pengantar pos kami yang berkelakuan seolah-olah ia tak bertuhan."
Si Charles merenungkannya sejenak, lalu berkata: "Aku rela bersumpah, Pak. Janji itu tidak terlalu berat."
"Pada saat pemuda yang kurus tetapi kuat itu menandatangani kertas yang dibentangkan di depannya, mata Pak Majors berbinar-binar tanda puas. Lalu majikan itu pun mengeluarkan tiga macam bekal perjalanan yang diperlihatkannya di samping kertas tadi. Yang satu adalah sebuah pistol; yang satunya lagi, sebilah pisau; dan yang ketiga, sebuah Alkitab ukuran saku yang dijilid kuat-kuat dengan kulit binatang.
"Senjata yang berat-berat tidak mungkin dapat kaubawa dengan naik kuda, Charles, Pak Majors menjelaskan. "Mudah-mudahan kedua macam senjata yang kami jatahkan kepadamu ini akan cukup ampuh. Tetapi mungkin yang penting ialah, . . . bekal yang ketiga ini."
Pak Majors mengangkat Alkitab itu sambil melanjutkan: "Kami tidak mengharuskan pengantar pos kami berjanji akan membaca Alkitab, Charles. Tiap orang bebas memilih agama untuk dirinya sendiri. Tetapi bawalah Kitab Suci yang kecil ini besertamu, ya? Dan jikalau engkau membacanya, pasti hal itu akan memudahkan engkau menepati janjimu tadi."
Berkali-kali Pak Majors mengadakan wawancara dengan pemuda-pemuda yang melamar pekerjaan mengantar surat lewat Ekspres Berkuda. Akhirnya ia selesai memilih. Semua pemuda yang terpilih telah menandatangani perjanjian itu. Dan semuanya telah diberi tiga macam bekal perjalanan yang sama.
Tibalah tanggal 3 April 1860, hari permulaan Expres Berkuda. Celaka! Kereta api dari pantai timur itu datangnya terlambat di pedalaman Amerika Serikat. Namun surat-surat segera diturunkan dari gerbong pos serta dimasukkan ke dalam kantung pelana. Lalu pemuda yang sudah ditunjuk untuk jarak pertama itu berangkat seperti joki di lapangan pacuan kuda.
Hari telah sore; . . . lalu malam pun tiba. Empat kali penunggang kuda itu turun dari pelana selama beberapa detik saja, supaya petugas di pos pergantian dapat menolong dia menaiki seekor kuda baru yang masih segar. Setelah ia bepergian sejak 20 kilometer, tahu-tahu pengantar pos kedua muncul di sampingnya dalam kegelapan malam. Kedua kuda itu mencongklang bersama-sama pada jalan berbatu, selama kantung pelana pindah tangan. Dan surat-surat itu pun berjalan terus!
Dalam waktu seminggu saja, surat-surat yang dikirim lewat Expres Berkuda itu dibawa sejauh 3.200 kolometer! Kadang-kadang ada penunggang kuda yang tiba di suatu pos pergantian, lalu ia mendapati pengantar surat yang seharusnya menggantikan dia itu tiba-tiba jatuh sakit, atau terluka berat oleh serangan penjahat, ataupun sudah mati dibunuh. Namun surat-surat itu masih tetap di menuju tempat sialamat: Pengantar yang sudah capai itu terpaksa harus tahan perjalanan yang lebih jauh dan lebih meletihkan lagi, sampai akhirnya ia berhasil mencapai suatu tempat di mana ada kawan sekerjanya yang sanggup menerima dan meneruskan kantung pelana berisi surat itu.
Maka demikianlah kisah Expres Berkuda yang penuh petualangan itu. Walau disengat terik matahari, walau diguyur hujan lebat, melalui segala peredaraan musim, para penunggang kuda yang berani itu tetap menunaikan tugas mereka. Si Charles dan teman-temannya yang masih muda itu tidak pernah gagal menyampaikan surat-surat ke tempat tujuannya.
Pada waktu-waktu senggang yang mereka lewati sebelum dan sesudah perjalanan mereka yang penuh marabahaya, para pemberani muda itu memang terbukti hidup sesuai dengan perjanjian dan sumpah mereka. Dan tidak sedikit di antara mereka mendapat penghiburan dan pertolongan dari Buku kecil ukuran saku yang selalu dibawa serta sepanjang perjalanan Expres Berkuda.
TAMAT
Shosei Kina duduk di depan gubuknya yang beratap ijuk. Tempat tinggalnya sama dengan gubuk-gubuk nelayan lainnya di desa Shimmabuko itu, di pulau Okinawa. Sangat kotor gubuk-gubuk itu . . . setengah reyot, tidak terurus, sangat memerlukan perbaikan.
Hanya pemandangan alam di sekitar desa nelayan itu yang sungguh bagus nampaknya. Lautan pasifik terbentang luas di sekeliling pulau itu. Indah juga pohon-pohon palem yang menjulang tinggi, melebihi atap gubuk-gubuk nelayan yang jelek itu.
Shosei Kina duduk mengobrol dengan adik laki-lakinya, Mojon. Mereka sedang membicarakan suatu keajaiban yang baru terjadi atas mereka ya, keajaiban yang tak terduga. Bukti keajaiban itu sedang dipegang Mojon, yaitu sebuah Kitab yang sangat berharga.
Seorang utusan Injil telah mampir ke pulau Okinawa dalam perjalanannya menuju Jepang. Ia tidak lama tinggal di situ, dan kini ia sudah pergi lagi. Kedua nelayan bersaudara itu sudah melupakan namanya, namun mereka tidak lupa akan ajarannya. Utusan Injil itu telah mengajar mereka tentang Sang Bapa Surgawi yang mengasihi dan memelihara mereka. Dalam waktu singkat ia telah berhasil meyakinkan mereka bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah satu-satunya Juru Selamat, dan bahwa mereka seharusnya berusaha mengikut Dia.
Beberapa saat sebelum utusan Injil itu berangkat, ia memberikan sebuah Alkitab kepada Shosei dan adiknya. "Bacalah isinya, Shosei Kina," kata orang asing itu. "Kamu dan Mojon harus membacanya. Kitab ini dapat memberi hikmat kepada kalian, dapat mengajar kalian lebih banyak lagi tentang Sang Juru Selamat. Peliharalah Kitab ini baik-baik; aturlah cara hidup kalian menurut isinya. Berdoalah, mohon supaya Allah Bapa membimbing usaha kalian untuk hidup sebagai pengikut Tuhan Yesus Kristus."
Untung, Shosei Kina dan Mojon dapat membaca. Mereka mulai menyelidiki Kitab Suci itu. Mereka pun mulai membicarakannya dengan penduduk desa Shimmabuko yang hanya beberapa ratus jiwa itu.
Pada saat kedua nelayan bersaudara itu sedang duduk sambil mengobrol, Majan membuka halaman Kitab Suci yang memuat cerita Tuhan Yesus. Ia membacakan beberapa ajaran Yesus kepada kakaknya.
"Sangat mengherankan!" kata Mojon. "Kata-kata ini dapat menolong kita dalam kehidupan sehari-hari. Guru kita yang tercinta itu telah membimbing kita untuk menjadi pengikut Tuhan Yesus. Sekarang Kitab Suci ini selanjutnya dapat membimbing kita, agar kita hidup sebagai pengikut Tuhan Yesus. Coba lihat ayat ini! Katanya, kita harus saling mengasihi. Kita harus saling melayani."
Kebetulan saat ini seorang nelayan pincang berjalan di depan gubuk Shosei Kina. Kedua bersaudara itu mengenal si Pincang; mereka tahu bahwa kehidupannya serba sulit. Ia dapat pergi menangkap ikan hanya jika ada orang lain yang mengajak dia. Orang lain itulah yang harus mendayung perahu; baru dengan cara demikian si Pincang dapat memancing atau menjala ikan.
"Mari kita ajak si Pincang pergi bersama-sama menangkap ikan," saran Shosei Kina kepada adiknya. "Itu salah satu cara kita dapat mengasihi dan melayani orang lain, sesuai dengan ajaran Kitab Suci tadi."
Mojon setuju. Si Pincang merasa sangat heran atas ajakan mereka. Biasanya dia yang harus membujuk orang lain supaya ia boleh ikut serta menangkap ikan. Tetapi kini ia diperlakukan seperti seorang saudara. Bahkan ia diajak makan bersama bekal yang telah disediakan oleh Istri Mojon.
Pada waktu ketiga orang itu kembali ke darat, ternyata keranjang si Pincang penuh dengan ikan. "Wah, coba lihat!" kata si Pincang. "Ikan ini cukup banyak! Sebagian dapat diasinkan, dan sebagian lagi dapat dijual. Selama berhari-hari perutku kenyang! Mengapa kalian begitu mau menolong diriku?"
Shosei Kina menjelaskan: "Karena ada ajaran baru yang telah kami terima," katanya. "Kami baru mengetahui tentang Sang Bapa Surgawi yang sangat mengasihi kami. Ia ingin supaya kami berbuat baik, dan tidak berbuat jahat. Ia mengutus anak-Nya, Tuhan Yesus, ke dunia ini untuk menyelamatkan kami dari dosa. Ia ingin supaya kami hidup menurut ajaran Anak-Nya. Maukah kamu belajar lebih benyak mengenai hal ini?"
Memang si Pincang mau. Hari demi hari ia dan beberapa orang lain berkumpul di sekitar pintu gubuk tempat tinggal Shosei Kina. Mereka semua mendengarkan pembacaan Alkitab.
Sering ada orang mencetuskan: "Wah, ajaran tadi dapat menjadi peraturan yang baik untuk seluruh penduduk desa kita!" Lalu mereka bermusyawarah, bagaimana cara menerapkan ajaran tadi.
Hari lepas hari penduduk Shimmabuko mulai mengubah cara-cara mereka memperlakukan sesama mereka. Alangkah senangnya, jika setiap orang berbicara dan bertindak atas dasar kasih terhadap sesamanya, menurut ajaran yang mereka perbincangkan itu!
Makin lama makin banyak orang di desa Shimmabuko yang mulai mengikuti ajaran baru itu. Tidak lama kemudian, setiap penduduk desa nelayan itu mengaku diri sebagai pengikut Tuhan Yesus.
Lambat laun terjadilah suatu perubahan yang ajaib di Shimmabuko. Salah satu contoh:
Ada seorang janda muda yang mempunyai beberapa anak. Setiap kali hujan badai, pasti atap gubuknya bocor. Dengan sangat halus Shosei Kina menyarankan, bahwa memperbaiki atap secara sukarela itu adalah suatu perbuatan kasih sesuai dengan ajaran Tuhan Yesus Kristus.
Para penduduk segera mengadakan kerja bakti. Dalam waktu singkat, seluruh atap gubuk janda muda itu diganti. Sementara tugas itu dikerjakan bersama, mereka pun bersukaria sambil bersekutu satu dengan yang lain.
Namun atap yang baru itu terlihat sangat menonjol, jika dibandingkan dengan atap-atap gubuk lainnya. "Kita perlu memperbaiki tempat tinggal kita sendiri-sendiri," penduduk Shimmabuko berkata satu kepada yang lain. Tidak lama kemudian, atap setiap gubuk di desa nelayan itu diperbaiki atu diperbaharui sama sekali.
Penduduk yang paling rajin mempelajari Alkitab adalah Mojon. Orang-orang lain berdatangan minta nasihat kepada dia.
"Pak Mojon, saudaraku telah meminjam perahuku," demikian omelan salah seorang nelayan. "Ia tidak minta izin, dan ia pun sudah lama tidak mengembalikannya. Suadaraku harus dihukum, ya?"
Mojon tersenyum. "Mengenai masalah ini ada ajaran dari Alkitab," kata Mojon. "Kamu tidak boleh menghukum saudaramu. Bahkan kamu harus mengampuni dia."
"Mengampuni dia! Wah! Sudah berkali-kali ia berbuat salah, kasusnya sama seperti ini!"
"Ya, memang," kata Mojon. "Tetapi Tuhan kita menyuruh Rasul Petrus mengampuni saudaranya sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Jika kamu sudah mengampuni saudaramu sebanyak itu, kembalilah ke mari dan kita akan membahas masalahnya lebih lanjut."
Sementara itu, dengan diam-diam Mojon mendekati saudara orang tadi. "Ada ajaran Alkitab yang perlu kaurenungkan," katanya. "Begini bunyinya, dari Efesus 4:32: `Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra.' Apakah kamu bertindak ramah, penuh kasih mesra, jika kamu meminjam perahu saudaramu tanpa izin? Camkanlah ayat tadi, dan minta petunjuk kepada Tuhan. Mohonlah supaya Ia menolongmu untuk hidup ramah dan saling mengasihi, sesuai dengan yang diajarkan-Nya."
Tibalah saatnya penduduk Shimmabuko harus memilih kepala desa yang baru. Dengan suara bulat mereka menunjuk Shosei Kina untuk jabatan yang terhormat itu. Dengan rendah hati Shosei menerima tanggung jawab baru. Ia pun berusaha menyesuaikan setiap tindakannya menurut ajaran Alkitab.
Lambat laun cara hidup lama itu ditinggalkan. Semua orang berlaku jujur. Semua orang membuat rencana dengan memikirkan kepentingan orang lain, dan bukan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri saja. Sebagai akibat, desa itu bertambah makmur. Sering terdengar gelak tawa di jalanan desa Shimmabuko, karena penduduknya hidup berbahagia.
Gubuk-gubuk nelayan itu lambat laun dibersihkan dan diperbaiki. Sampah tidak lagi dibiarkan bertumpuk di mana-mana. Penyakit berkurang. Peraturan-peraturan dibuat untuk menjaga agar cara hidup di desa itu sesuai dengan ajaran Alkitab . . . .
Tiga puluh tahun kemudian desa Shimmabuko itu masih tetap makmur dan berbahagia. Shosei Kina dan Mojon sudah tua; mereka berdua sangat dihormati oleh setiap penduduk desa itu.
Lalu . . . tibalah bencana. Perang berkobar di daerah Lautan Pasifik. Pasukan penggempur Amerika Serikat mengepung pulau Okinawa. Mereka memukul mundur pasukan Jepang yang sedang menduduki pulau itu. Desa Shimmabuko terletak persisi di jalan yang hendak dilewati bala tentara Amerika yang sedang maju dengan jayanya. Beberapa bom meledak di desa yang tadinya damai dan sentosa itu.
Pasukan Amerika semakin mendekat. Mereka membidikkan senjata ke arah desa Shimmabuko. Maka Shosei Kina dan Mojon sadar, telah tiba saatnya mereka harus bertindak.
Kedua nelayan bersaudara yang sudah tua itu keluar dari desa mereka dan menuju ke baris depan pasukan penggempur Amerika. Mereka tersenyum ramah. Merek membungkuk sebagai tanda hormat, sambil mengucapkan "Selamat datang!"
Serdadu-serdadu Amerika itu kebingungan. Mereka berhenti melangkah. Untung, ada seorang pengalih bahasa yang mengikuti mereka. Setelah bercakap-cakap sebentar dengan kedua orang Okinawa itu, wajahnya penuh kehenaran. Ia menjelaskan: "Mereka hendak menyambut kita sebagai sesama orang Kristen! Kata mereka, dulu di sini ada utusan Injil dari Amerika, dan mereka senang sekali bertemu dengan kita!" Ia menggaruk-garuk kepalanya tanda kebingungan.
Dalam pasukan penggempur itu ada juga seorang pendeta tentara. Dengan beberapa opsir tentara, ia menghadap kepada kedua nelayan pulau Okinawa itu. "Biarkanlah kami memeriksa desa kalian," pinta mereka melalui pengalih bahasa tadi.
Kedua nelayan yang sudah tua itu membungkuk lagi. Lalu mereka mengantarkan orang-orang Amerika itu ke desa Shimmabuko. Memang ada beberapa bangunan yang terkena bom, tetapi tidak ada penduduk yang terluka. Mereka semua keluar dari rumah dan berderet-deret di sepanjang jalanan desa. Mereka tersenyum lebar-lebar ke arah teman-teman mereka yang baru itu.
Pendeta tentara dan para opsir itu semakin kagum. Bagaimana sampai terjadi ada desa yang seolah-olah berseri ini? Rumah-rumahnya begitu rapi; jalanannya begitu bersih; para penghuninya begitu ramah, sehat, berbahagia!
"Tolong beritahu kami," pinta mereka kepada kedua nelayan tua itu, "bagaimana sampai terjadi kalian mempunyai desa yang begitu bagus keadaannya?"
Dengan bantuan pengalih bahasa, Mojon memberitahu mereka. Ia bercerita tentang utusan Injil yang pernah mampir di Shimmabuko tiga puluh tahun yang silam. Ia bercerita tentang Alkitab yang ditinggalkan oleh orang Kristen itu. Ia pun menjelaskan bagaimana penduduk desa itu sudah menyelidiki Alkitab serta menemukan di dalamnya corak baru untuk cara hidup mereka.
Pendeta tentara dan para opsir itu diam saja karena keheranan. Tetapi Shosei Kina mengira merreka membisu karena kecewa terhadap dia dan desanya. "Kami sangat menyesal, Tuan-Tuan yang mulia," katanya sambil membungkuk lebih dalam lagi. "Pasti cara hidup kami dipandang masih terbelakang. Namun dengan sebulat hati kami berusaha mengikuti ajaran Tuhan Yesus yang tercantum di dalam Alkitab. Sudilah Tuan-Tuan yang mulia mengajari kami, bagaimana kami dapat mengikuti ajaran-Nya itu dengan cara yang lebih baik."
"Cara yang lebih baik?" Pendeta tentara itu mengulangi kata-kata tadi "Cara hidup mereka ini sudah jauh lebih baik daripada cara hidup kebanyakan orang Kristen!"
Beberapa jam kemudian, ada seorang wartawan Amerika yang ingin menyaksikan "desa yang berseri" itu. Ia dikawal oleh seorang sersan tentara yang adatnya keras.
"Aku tidak mengerti," kata sersan itu kepada sang wartawan. "Kebanyakan desa di pulau ini, penduduknya kotor, bodoh, putus asa. Tapi coba lihat desa ini! Perbedaannya begitu besar. Dan kata mereka semuanya terjadi hanya oleh karena di sini ada sebuah Alkitab dan dua orang kakek yang mau hidup seperti Yesus."
Kedua orang Amerika itu bertemu dengan Shosei Kina dan Mojon. Mereka merasakan hangatnya sambutan kedua nelayan bersaudara itu, walaupun mereka tidak mengerti kata-kata yang diucapkan.
Sang wartawan ingin menyaksikan sendiri Alkitab yang telah menyebabkan perubahan yang sedemikian besarnya di desa Shimmabuko. Shosei Kina dan Mojon mengantar dia ke tempat ibadah. Di sana terdapat sebuah mimbar kasar dengan sebuah Alkitab tua yang diletakkan di atasnya, di tempat yang terhormat.
"Bolehkah kupegang?" tanya wartawan itu dengan bahasa isyarat.
Shosei Kina tersenyum. Ia mengangkat Alkitab tua itu dari atas mimbar. Sampulnya hampir terlepas; halamannya kumal; ternyata Kitab Suci itu pernah kehujanan, lalu dikeringkan. Namun Kitab Suci itu sangat berharga bagi penduduk desa Shimmabuko. Dengan pelan-pelan Shosei Kina meletakkan Alkitab itu di telapak tangan sang wartawan.
Sersan itu amat terkesan. "Mungkin kita sudah bertempur dengan senjata yang keliru," ia berbisik. "Mungkin Kitab Suci inilah yang lebih ampuh mengubah keadaan dunia."
Alkitab itu dikembalikan ke tempatnya. Kedua orang Amerika itu kembali ke tempat perkemahan mereka. Dan kedua orang Okinawa yang sudah tua itu berpamitan dengan sahabat-sahabat baru mereka.
Rasa persahabatan itu hanya dapat timbul oleh karena ajaran Tuhan Yesus saja. Perang yang dahsyat sedang mencekam seluruh dunia. Namun di Shimmabuko, Firman Allah telah menjadi peraturan desa. Dan "desa. Dan "desa yang berseri" itu tetap damai dan sentosa.
TAMAT
Surat kabar Javasche Courant (Koran Java), pada edisi terbitan tertanggal 10 Oktober 1860, memuat sebuah iklan yang lain daripada yang lain. Iklan itu kira-kira sebagai berikut:
DICARI: "Sorang penerjemah Alkitab bahasa Melayu."
Di kota Semarang, ada seorang utusan Injil muda yang sempat membaca iklan itu. Ia sangat tertarik. Dengan teliti ia mencatat semua syarat yang ditentukan untuk penerjemah yang dicari itu.
Bagaimana sampai terjadi bahwa ada pihak tertentu yang hendak mencari seorang penerjemah Alkitab Bahasa Melayu melalui iklan di surat kabar?
Siapakah utusan Injil muda yang berminat terhadap iklan itu?
Untuk menjawab pertanyaan yang kedua ini, kita harus menelusuri kembali sejarah ke masa tiga puluh tahun sebelum tahun 1860, yaitu waktu iklan tadi. Tetapi untuk menjawab pertanyaan yang pertama itu, kita pun harus menelusuri kembali sejarah ke masa hampir tiga abad sebelum tahun 1860.
Mudah-mudahan pembaca sudah membaca buku seri Alkitab di Seluruh Dunia Jilid 1. Buku itu memuat kisah nyata yang menarik, tentang terjemahan-terjemahan Firman Allah yang mula-mula diedarkan di bumi Nusantara. Sejak permulaan tahun 1600an, sudah ada Kitab Injil Matius dalam bahasa Melayu (atau bahasa Indonesia kuno). Dan sejak permulaan tahun 1700an, sudah ada seluruh Alkitab dalam bahasa Melayu.
Kalau demikian halnya, mengapa perlu memuat iklan tadi?
Oleh karena bahasa Indonesia itu bahasa yang hidup, bahasa yang terus berkembang, sesuai dengan zamannya. Susunan kata yang disesuaikan dengan cara berbicara yang lazim di Indonesia pada tahun 1600an atau 1700an itu, pasti tidak sesuai lagi dengan cara berbicara yang lazim di Indonesia pada tahun 1800an.
Apa lagi, orang-orang yang turut mengerjakan terjemahan-terjemahan dahulu kala itu hampir semuanya orang asing, yang sesungguhnya belum menguasai bahasa Melayu secara jitu. Di samping itu, kebanyakan di antara mereka hanya suka bergaul dengan kaum ningrat saja. Jadi, bahasa Melayu yang biasa mereka gunakan itu adalah bahasa yang sangat tinggi, bahasa sastra, bahasa yang hanya dapat dipahami oleh kaum cerdik cendekiawan saja.
Namun terjemahan seluruh Alkitab dalam bahasa Melayu yang mula-mula terbit pada tahun 1729 itu sangat disukai oleh orang banyak, baik putra-putri Nusantara maupun orang-orang Belanda yang sedang menjajah mereka. Walau ada kelemahannya, terjemahan hasil karya Dr. Melchior Leydekker itu Alkitab yang asli. Padahal yang benar ialah, Alkitab yang asli itu ditulis dalam bahasa Ibrani dan bahasa Yunani, bukan dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia.
Pernah ada tuduhan bahwa Alkitab Leydekker itu "dijunjung tinggi oleh orang Kristen, tetapi jarang dipahami merupakan semacam penghormatan mekanik, tanpa jiwa atau roh." Pernah juga ada seorang penerjemah Alkitab yang menjadi terkenal dalam usahanya untuk menyediakan Firman Allah dalam bahasa-bahasa daerah; ia pun menerbitkan kecaman yang cukup kritis mengenai kekurangan-kekurangan yang ada pada terjemahan Leydekker yang amat kuno itu.
Mudah-mudahan pembaca sudah mengetahui bahwa di mana-mana dan di sepanjang abad, umat Baptis selalu menjujung tinggi Firman Allah. Jadi, tidaklah mengherankan kalau salah satu orang yang mula-mula berusaha memperbaiki Alkitab terjemahan Leydekker itu adalah seorang Baptis. Dialah Pdt. William Robinson, yang mulai melayani di Jakarta pada tahun 1813 dan pindah ke Bengkulu pada tahun 1821. Pdt. Robinson menghasilkan terjemahan baru Kitab Injil Matius dan Yohanes dalam bahasa Melayu rendah, yaitu bahasa Indonesia sehari-hari pada masa itu.
Di surabaya ada juga orang-orang Kristen yang bekerja sama, sehingga pada tahun 1835 mereka dapat menerbitkan seluruh Perjanjian Baru dalam terjemahan bahasa Melayu seherhana. Namun usaha itu, dan banyak usaha lain lagi yang serupa, belum berhasil menggeser kedudukan Alkitab Leydekker dari dalam hati kebanyakan orang Kristen Indonesia. "Terjemahan baru ini, terlalu rendah bahasanya. Lebih baik tetap saja kita memakai terjemahan lama."
Namun umat Kristen Indonesia makin lama makin sulit memahami terjemahan lama itu! Mungkin pembaca sendiri dapat membayangkan betapa sulitnya, kalau pernah membaca sebuah buku yang ditulis dua abad yang lalu. Atau mungkin sebaiknya pembaca diberi kesempatan langsung, supaya dapat merasakan sendiri apa yang dialami umat Kristen Indonesia pada abad yang lalu ketika merka berusaha memahami Alkitab terjemahan Leydekker itu. Silakan baca:
"Tetapi' aku 'ini bersabda pada kamu, bahuwa sasaawrang, jang gusar 'akan sudaranja laki 2 samena 2, dendanja dehhukumkan 'awleh mahhkamat: dan barang sijapa, jang kata 2 pada sudaranja laki 2, hej djahil! dendanja dehhukumkan 'awleh madjlis SJerif: tetapi barang sijapa jang kata 2, hej 'ahhmakh! dendanja dehhukumkan dalam 'apij djahanam."
"Djanganlah kamu berbendakan bagi dirimu benda 2 diatas bumi, dimana gigas dan karatan membinasakan, dan di mana 'awrang pentjurij menggarokh turus, lalu mentjurij. Tetapi hendakhlah berbendakan bagi dirimu benda 2 didalam sawrga, dimana bukan gigas, dan bukan karatan membinasakan, dan dimana 'awrang pentjurij tijada menggarokh turus, dan tijada mentjurij. Karena barang dimana 'ada bendamu, di sana lagi 'ada hatimu."
Mungkin pembaca yang pintar dapat memahami kedua alinea tadi, sehingga dapat mengenalinya sebagai kutipan dari Khotbah Tuhan Yesus di Bukit (Matius 5:22; 6:19-21). Namun siapa pun pasti akan merasa dijauhkan dari kebiasaan membaca Firman Allah, jika hanya dapat membaca dalam suatu terjemahan kuno seperti contoh-contoh tadi.
Berpuluh-puluh tahun lamanya terjadi perselisihan pendapat dan penundaan tindakan. Akhirnya pada tahun 1860 Lembaga Alkitab Belanda rela mengakui bahwa terjemahan Leydekker itu tidak lagi memenuhi syarat. Namun masih ada masalah: Lembaga Alkitab itu tidak mengenal seorang sarjana bahasa Melayu yang cocok untuk ditunjuk sebagai pelaksana utama dari suatu proyek terjemahan baru. Itu sebabnya mereka memuat sebuah iklan di surat kabar Javasche Courant:
"DICARI: Seorang penerjemah Alkitab bahasa Melayu."
Iklan itu sangat diminati oleh Hillebrandus Cornelius Klinkert, seorang utusan Injil muda yang sedang melayani di kota Semarang.
Siapa sebenarnya H. C. Klinkert itu? Anehnya, . . . dia itu mula-mula dilatih untuk menjadi, bukan seorang pendeta atau seorang penginjil atau pun seorang ahli bahasa dan penerjemah Firman Allah, melainkan seorang pengukur tanah.
H. C. Klinkert dilahirkan pada tahun 1829 di Amsterdam, kota pelabuhan besar di negeri Belanda. Sebagai anak remaja, ia bekerja bukan hanya sebagai pengukur tanah melainkan juga sebagai karyawan pabrik dan juga masinis kapal uap di Sungai Rhein.
Konon, kapal uap gaya lama itu sering mengalami kecelakaan. Oleh karena suatu kecelakaan, maka seorang masinis muda berkebangsaan Belanda terpaksa diopname di kota Worms, negeri Jerman.
Waktu itu H. C. Klinkert masih berusia belasan tahun, atau paling-paling baru mencapai umur dua puluh. Selama ia terpaksa berbaring saja di ranjang rumah sakit, kiranya apa saja yang terlintas pada pikirannya? Para perawat di sana pasti orang Jerman; mungkin sekali mereka mengalami kesulitan waktu bercakap-cakap dengan pemuda Belanda yang malang dan merasa kesepian itu.
Ketika Klinkert sudah sembuh dan diizinkan pulang kembali ke Belanda, ia pun segera menghubungi seorang pendeta, agar mendapat bimbingan rohani. Dan pada tahun 1851, pemuda yang masih kurang berpendidikan itu mendaftarkan diri sebagai seorang penginjil yang rela diutus ke negeri lain.
Mula-mula Klinkert dikirim ke kota Rotterdam, tempat ada sebuah sekolah untuk mempersiapkan para calon utusan Injil. Tetapi pada tahun 1855 ia dikeluarkan dari sekolah itu. "Pemuda ini agak keras kepala," demikianlah laporan tertulis kepada kepala sekolah. "Ia sulit bekerja sama secara rukun dengan para calon utusan Injil lainnya. Sebaiknya ia dikirim ke suatu tempat ia dapat melayani seorang diri, tanpa perlu menyesuaikan diri dengan rekan sekerjanya."
Pada umur 25 tahun H. C. Klinkert diutus ke pulau Jawa. Kapal layar yang ditumpanginya itu dilanda badai yang dahsyat pada waktu mengitari Tajung Pengharapan, di ujung selatan benua Afrika. Namun ia tiba di ibu kota Jakarta dengan selamat, pada bulan September tahun 1856. Kesannya yang pertama mengenai bangsa Indonesia: Aneh dan luar biasa, hampir semua manusia di sini kelihatan berwarna coklat dan kebanyakan telanjang." Dan kesannya yang pertama mengenai panggilan beribadah dari mereka mesjid: "Raungan yang mengerikan."
Dari Jakarta Klinkert naik kapal uap ke Semarang. Di sana ia dijemput oleh seorang utusan Injil yang sudah berpengalaman di Indonesia. Lalu ia diantar ke rumah orang itu di Japara.
Selama dua tahun Klinkert belajar bahasa Melayu dan bahasa Jawa di Japara. Ia juga belajar menyesuaikan diri dengan orang-orang setempat. Dalam pelajarannya itu rupanya ia berhasil baik : Pada tahun 1857 ia menikah dengan Louise Wilhelmina Kahle, seorang gadis Indo yang hanya dapat berbicara bahasa Melayu dan bahasa Jawa saja!
Di samping belajar bahasa-bahasa setempat, Klinkert juga berusaha mendalami adat-istiadat orang Indonesia. Misalnya, ia suka mengumpulkan rempah-rempah agar menjadi pandai mengobati orang sakit dengan ramuan tradisional. Namun ia sendiri sering kena penyakit perut dan lever.
Selama masa sakitnya itu, istrinya dengan setia menemani dia. Klinkert senang berguru pada istrinya yang tercinta. Pernah ia bergurau dengan menyebutkan "sekolah bahasa di bawah kelambu"!
Ibu Klinkert sering mengeluh kepada suaminya tentang kesulitannya membaca Alkitab terjemahan Leydekker. Itulah sebabnya Klinkert mulai mencoba-coba menerjemahkan Kitab Injil Matius ke dalam bahasa Melayu yang lebih mudah dipahami. Sesudah pindah ke Semarang pada tahun 1858, ia mengerahkan dua orang yang padai berbahasa Melayu untuk menolong di dalam proyek penerjemahannya. Pekerjaan itu pun menolong dia menyiapkan khotbah-khotbah yang disampaikannya minggu demi minggu. Ia suka berkhotbah dalam bahasa Melayu sederhana, yang lazim dipakai oleh orang biasa di jalanan dan di pasar kota Semarang.
Sesudah selesaikan Injil Matius, Klinkert meneruskan terjemahannya dengan Markus, Lukas, dan Yohanes. Bagaimanakah ia dapat mengongkosi pencetakan keempat Kitab Injil terjemahan baru itu? Klinkert mendapat akal: Ia mendirikan sebuah surat kabar bernama Selompret Melajoe (Terompet Melayu). Koran itu laris sekali, sehingga banyak menghasilkan uang. (Bahkan di kemudian hari ternyata masih terbit surat kabar itu lebih panjang daripada masa hidup pendirinya! Koran Terompet Melayu itu masih tetap diterbitkan di kota Semarang sampai tahun 1920.)
Klinkert cukup sibuk dengan perusahaan surat kabarnya dan persiapan terjemahan Kitab Sucinya untuk dicetak. Namun ia tidak membatasi minatnya hanya di kota Semarang dan sekitarnya saja. Ia berniat membeli sebuah kapal, agar ia dapat berlayar dari pulau ke pulau sambil mengedarkan Alkitab dan mengabarkan Injil. Tetapi rencananya itu tidak pernah terwujud.
Pada suatu hari dalam bulan Oktober tahun 1860, utusan Injil muda yang amat giat itu membuka-buka sebuah surat kabar dari percetakan lain. Dan di situlah ia membaca iklan Lembaga Alkitab Belanda, yang sedang mencari seorang penerjemah bahasa Melayu.
Dengan teliti Klinkert mencatat syarat-syarat yang telah ditentukan: Harus ada terjemahan percobaan yang terdiri atas tiga pasal dari Perjanjian Lama dan tiga pasal dari Perjanjian Baru. Naskah itu harus ditulis dengan huruf Latin dan huruf Arab-Melayu.
Setelah ia mengirimkan naskah percobaannya itu ke Belanda, Klinkert tetap rajin mengerjakan terjemahannya ke dalam bahasa yang biasa dipakai di Semarang. Keempat Kitab Injil itu sempat diterbitkan pada tahun 1861; seluruh Kitab Perjanjian Baru menyusul pada tahun 1863. Terjemahan bahasa Melayu rendah itu sangat disukai, lebih-lebih oleh jemaat-jemaat orang Indonesia keturunan Tionghoa. (Bahkan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa sehari-hari itu terus menerus dicetak ulang sampai tahun 1949!)
Sementara itu, walau Klinkert sudah berhasil di bidang penerbitan, di bidang penginjilan ia merasa sangat dikekang. Maka dari itu ia memutuskan akan pindah ke Cianjur, sebuah kota kecil di daerah Jawa Barat. Di sana ia berharap dapat membuka sebuah sekolah, lalu dapat memanfaatkan sekolah itu sebagai pembuka jalan untuk memberitakan Injil.
Jadi, pada tahun 1862 Pak dan Ibu Klinkert beserta kedua anak mereka yang masih kecil pindah dari Semarang. Tetapi di Cianjur pun kesempatan untuk mengabarkan Injil itu mereka rasakan sangat dibatasi. Izin untuk mengusahakan sekolah itu pun tidak keluar-keluar.
Betapa lega hati H. C. Klinkert pada suatu hari dalam bulan Oktober tahun 1863! Genap tiga tahun setelah dimuatnya iklan "DICARI" yang mula-mula menarik perhatiannya itu, ia menerima kabar dari negeri Belanda. Ternyata dialah orang yang terpilih sebagai "penerjemah Alkitab bahasa Melayu"!
Akan tetapi, masih ada syaratnya: Lembaga Alkitab Belanda merasa bahwa bahasa Klinkert itu terlalu rendah, juga terlalu banyak dipengaruhi oleh logat dari satu daerah tertentu. Ia harus diberi kesempatan untuk tinggal selama beberapa tahun di tengah-tengah masyarakat yang berbahasa Melayu tulen.
Di manakah kira-kira sumber bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang paling baik? Bukankah di daerah Riau? Itulah sebabnya pada permulaan tahun 1864, keluarga Klinkert pindah lagi ke Tanjungpinang, ibu kota propinsi Riau.
Entah apa sebabnya, . . . di Tanjungpinang keluarga itu sulit mendapat sebuah tempat tinggal yang pantas. Mungkin yang menyulitkan ialah, Riau itu letaknya dekat kota Singapura, sehingga harga-harga di Tanjungpinang pun agak tinggi. Bagaimana juga, keluarga Klinkert hanya sanggup menyewa sebuah tempat bekas toko pada jalan masuk ke daerah Pecinan.
Toko yang mau tidak mau harus dijadikan tempat tinggal itu sangat sederhana: Tidak ada dapur, sumur, atau kakus. Tidak heran mereka sekeluarga terkena penyakit! Meja tulis Klinkert harus ditempatkan menghadap jendela toko, tanpa kaca atau pelindung lainnya. Sering ada banjir, dan naskahnya yang sangat berharga itu harus dicedok dari dalam air. Lagi pula, Tanjungpinang itu kota pelabuhan. Setiap kali ada kapal perang Belanda berlabuh di sana, para kelasi berkeliaran ke sana ke mari sambil menimbulkan huru-hara.
Walau sangat sulit, masa tinggal di Tanjungpinang itu memang membawa untung bagi H. C. Klinkert. Ia sempat berkenalan dengan banyak orang yang berbahasa Melayu dari seorang putra penghulu suku sampai kepada para pelaut Melayu. Pelaut-pelaut itu sering menginap di rumah Klinkert sambil menunggu pasang surutnya air laut. Di Tanjungpinang Klinkert sungguh sempat mendalami bahasa Melayu tulen, sampai-sampai ia menjadi pandai berpantun.
Namun kesehatan keluarga Klinkert masih tetap mengalami gangguan. Setelah dua setengah tahun tinggal di daerah Riau, mereka terpaksa pindah ke Singapura. Tetapi di situ pun Ibu Klinkert mulai muntah darah. Setelah hanya beberapa bulan saja di Singapura, mereka sekeluarga pindah ke Belanda.
Sementara itu, pada tahun 1868 terbitlah Kitab Injil Matius dalam terjemahan Klinkert yang baru. Pada tahun 1870 menyusullah seluruh Kitab Perjanjian Baru. Tetapi pada tahun yang sama itu, Ibu Louise Wihelmina Klinkert tutup usianya karena sakit tebese. Ia meninggalkan suami dan ketiga anaknya, masing-masing berumur sebelas, delapan, dan lima tahun.
Bagaimana seorang duda dengan tiga anak yang masih kecil itu dapat meneruskan pekerjaannya sebagai penerjemah Alkitab? Apakah mengherankan bila kurang dari satu tahun setelah istrinya meninggal, Klinkert menikah lagi dengan seorang janda yang sudah mempunyai seorang putri?
Jadi, di negeri Belanda masih tetap ada banyak gejolak dalam kehidupan Klinkert. Tambahan pula, mereka sering berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, untuk mencari tempat tinggal yang lebih sehat iklimnya serta lebih murah ongkosnya. Namun di tengah-tengah semua kerepotan rumah tangganya itu, H. C. Klinkert masih berjuang terus dengan tugasnya sebagai penerjemah Firman Allah.
Pada tahun 1876 Klinkert sudah berhasil mengalihbahasakan Perjanjian Lama sampai dengan Kitab Nabi Yesaya. Tetapi Lembaga Alkitab Belanda belum puas dengan gaya bahasanya. Menurut mereka, ia masih perlu bergaul lebih lama lagi dengan orang-orang yang berbahasa Melayu tulen. Ia pun perlu memperoleh kritik yang membina atas naskah terjemahannya. Itulah sebabnya Lembaga Alkitab Belanda memohon supaya Klinkert rela kembali ke Asia Tenggara selama dua tahun.
Bulan Juli 1876, H. C. Klinkert berangkat ke kota kuno Malaka, di semananjung Melayu. Kali ini, sama seperti dua puluh tahun sebelumnya, ia pergi merantau seorang diri; keluarganya ditinggalkan di Belanda.
Tetapi Klinkert tidak jadi menetap lama di Malaka. Kesehatannya mulai terganggu lagi. Ia pindah ke Jakarta, namun di situ pun ia sering sakit.
Setelah hanya enam bulan saja, jelas bahwa Klinkert tidak tahan hidup di daerah tropika. Ia kembali kepada keluarganya, dan selanjutnya Lembaga Alkitab Belanda tidak berani lagi meminta dia pergi ke Nusantara. Walau jauh dari tempat tinggal orang-orang yang berbahasa Melayu, namun Klinkert mengerjakan tugasnya dengan tekun. Akhirnya pada tahun 1879 selesailah seluruh Alkitab terjemahan baru, dalam bahasa Melayu yang sesuai dengan zamannya.
Sesungguhnya H. C. Klinkert tidak pernah sempat mengabarkan Injil lagi di Nusantara. Di tanah airnya sendiri ia malah bekerja sebagai seorang mahaguru bahasa Melayu, sampai wafatnya pada tahun 1913. Namun jasanya besar demi penginjilan di Indonesia: Terjemahan hasil karyanya itu merupakan Alkitab bahasa Melayu yang paling baik pada masanya.
Alkitab Klinkert itu berkali-kali direvisi. Tentu saja setiap versi baru itu, ia sendiri turut menelitinya, walau ia tidak lagi bekerja sepenuh waktu di bidang penerjemahan. Bahkan ketika timbul gagasan untuk mencetak Alkitab Klinkert dengan huruf Arab, ia pun menulis setiap ayat dengan tangannya sendiri, serta menghiasi naskahnya dengan gaya yang khas sama seperti kitab-kitab suci lainnya yang berhuruf Arab.
Namun . . . timbul sebuah pertanyaan: Apakah Alkitab Klinkert itu masih tetap dibaca hingga kini?
Jarang . . . walau bagian Perjanjian Lama hasil karyanya itu kadang-kadang masih didapati dalam bentuk terjemahan gabungan yang dulu biasa disebut "terjemahan lama."
Mengapa terjemahan Alkitab Klinkert yang sudah dikerjakan denan susah payah itu umumnya tidak dibaca lagi oleh orang Kristen pada masa kini?
Oleh karena bahasa Indonesia itu bahasa yang hidup, bahasa yang terus berkembang, sesuai dengan zamannya. Susunan kata yang disesuaikan dengan cara berbicara yang lazim di Indonesia pada tahun 1860an atau 1870an itu, pasti tidak sesuai lagi dengan cara berbicara yang lazim di Indonesia pada tahun 1990an atau 2000an.
Di dalam Firman Allah terdapat pernyataan mengenai Raja Daud sebagai berikut: "Setelah ia melayani generasinya menurut kehendak Allah, ia mati lalu dikuburkan" (Kisah Para Rasul 13:36, Firman Allah yang Hidup).
Hal yang sama juga dapat dikatakan terhadap Hillebrandus Cornelius Klinkert. Terjemahan Alkitab yang dikerjakannya itu sangat menolong orang-orang pada masa hidupnya, bahkan di kemudian hari masih berguna selama berpuluh-puluh tahun. Pasti Allah berkehendak supaya Firman-Nya disusun dengan kata-kata bahasa Melayu yang dulu mudah dipahami itu. Tetapi zaman Klinkert sudah berlalu, dan Klinkert sendiri sudah lama "mati lalu dikuburkan."
Itulah sebabnya tidak mustahil pada masa kini lembaga Alkitab sekali lagi akan memasang iklan seperti ini:
"DICARI: Penerjemah Alkitab"!
TAMAT
Semestinya Ibu Melanie Kitchine senang sekali ketika ia menyaksikan drama Natal di gerejanya. Bukankah dia sendiri yang sudah melatih para pemain cilik itu, sehingga mereka dapat menghafalkan bagiannya masing-masing dengan sempurna? Bukankah para orang tua mereka sedang hadir, dengan tersenyum lebar karena merasa bangga atas drama Natal yang sedang dipentaskan oleh murid-murid Ibu Melanie?
Namun Ibu Melanie justru merasa kurang senang pada waktu ia menyaksikan drama Natal itu. Rasanya kata-kata indah yang diucapkan para pemain cilik itu sesungguhnya kurang berarti, baik bagi murid-muridnya sendiri maupun bagi para ibu dan bapak mereka.
"Allah menyertai kita," demikianlah berita Natal yang disampaikan kepada Yusuf sebelum Yesus dilahirkan. Namun melalui cara hidup mereka, orang-orang Kristen di pulau Kaledonia itu tidak menunjukkan bahwa Allah benar-benar menyertai mereka.
"Lahir bagimu Juru Selamat," demikianlah berita Natal yang didengar oleh para gembala di padang Efrata. Namun para ibu, bapak, dan anak-anak itu kurang memberi bukti bahwa mereka telah mengenal Sang Juru Selamat secara pribadi.
"Damai sejahtera di bumi," demikianlah berita Natal yang diumumkan oleh para malaikat. Namun orang-orang Kristen yang berkerumun di gedung gereja kecil di daerah pegunungan itu kurang menghayati arti damai sejahtera dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Mungkinkah . . . masalahnya itu masalah bahasa? Ibu Melanie mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Setiap anak didiknya yang membawakan peranan drama Natal itu, telah menghafalkan dengan sempurna kata-kata pada bagiannya dalam bahasa Perancis. Bahasa Perancis itulah bahasa nasional mereka, karena pulau Kaledonia Baru sudah lama dijajah bangsa Perancis. Menjelang akhir abad ke-20, kebanyakan penduduk pulau itu secara bebas memilih untuk tetap berpaut pada Republik Perancis. Akan tetapi, kebanyakan penduduk pulau itu pun kurang pandai berbahasa Perancis.
Misalnya, suku Ibu Melanie sendiri, suku Tieta. Daerah tempat tinggal mereka, di bagian barat laut pulau Kaledonia Baru yang luas itu, jauh sekali dari Noumea, ibu kotanya. Di antara mereka itu sedikit sekali yang sungguh mengerti bahasa Perancis; mereka biasa memakai bahasa Tieta saja. Jadi, anak-anak didik Ibu Melanie pada saat mementaskan drama Natal di gereja itu hanya membeo saja. Dan pada orang tua mereka amat bangga . . . padahal mereka tidak dapat memahami apa yang sedang dibawakan oleh anak-anak itu.
Malam itu sesudah Ibu Melanie Kitchine pulang dari gereja, ia berdoa dengan bersungguh-sungguh: "Ya Tuhan, tolonglah sukuku, orang-orang Tieta, supaya mendapat Firman Tuhan dalam bahasa kami sendiri!"
Berbulan-bulan lamanya Ibu Melanie terus-menerus menaikkan doa yang itu-itu juga. Namun ia kurang yakin apakah permohonannya itu akan dikabulkan. "Ya Tuhan, kiranya siapa yang akan diberi tugas untuk mengerjakan terjemahan itu?" tanyanya sambil bergumul dalam doa. "Pasti bukan aku! Aku sudah berkeluarga, dan suamiku kurang setia kepada Tuhan dan gereja. Kami mempunyai dua orang anak perempuan yang harus dipelihara. Aku sendiri bekerja di pabrik kopi sepenuh waktu. Apalagi, aku kurang berpendidikan dan aku seorang perempuan!"
Pada suatu hari, tiba-tiba Ibu Melanie sadar bahwa Tuhan sama sekali tidak menghiraukan dalihnya. Dia sendirilah orang yang dikehendaki Tuhan supaya mulai menyalin Firman Allah ke dalam bahasa Tieta!
"Wah, Tuhan, mana bisa?" keluh Ibu Melanie dalam doanya. "Memang aku sempat belajar bahasa Perancis sampai lancar, tapi . . ."
Tuhan masih tetap tidak menghiraukan dalih Ibu Melanie.
"Oke, Tuhan, baiklah!" Ibu Menie mencetuskan dalam doa. "Aku akan mencoba saja . . . tapi jangan lupa, ya Tuhan, aku sangat memerlukan pertolongan orang lain!"
Mulai hari itu, Ibu Melanie mengkhususkan satu jam setiap hari untuk panggilan barunya. Ia membaca Alkitab dalam bahasa Perancis. Lalu ia memakai sebuah buku tulis biasa untuk mencatat kata-kata bahasa Tieta yang sama artinya.
Cara bekerjanya itu amat lamban! Dalam doanya berkali-kali Ibu Melanie mengeluh: "Ya Tuhan, jangan lupa, aku sangat memerlukan pertolongan orang lain!"
Pada tahun 1985 Tuhan mengabulkan permohonan Ibu Melanie Kitchine. Beberapa utusan Injil datang ke pulau Kaledonia Baru, khusus untuk mencari orang-orang seperti Ibu Melanie, yaitu orang yang merasa terbeban karena sukunya belum mempunyai Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri. Para utusan Injil itu memperkenalkan Ibu Melanie kepada beberapa orang Kristen yang sangat pandai. Orang-orang Kristen itu mulai menolong Ibu Melanie untuk memahami hal-hal berkenaan dengan tugas penerjemahan yang belum pernah ia pelajari sebelumnya.
Pada waktu Ibu Melanie mulai maju dengan pekerjaan, ia pun memerlukan pertolongan dari orang-orang sesukunya yang pandai berbahasa Tieta. Orang-orang itu diperlukan sebagai petugas uji coba, yang harus membaca terjemahan Ibu Melanie dan memberi kritik yang membina.
Sebanyak dua belas orang dikerahkan untuk menolong Ibu Melanie dengan cara itu. Orang-orang yang dipilih itu agak aneh! Di antaranya ada beberapa orang yang belum percaya kepada Tuhan Yesus; ada juga orang-orang Kristen yang kurang setia kepada Tuhan dan gereja-Nya. Rasa-rasanya petugas uji coba yang paling aneh itu ialah . . . suami Ibu Melanie sendiri.
Selama enam tahun Ibu Melanie berjuang terus. Selama enam tahun itu pula, Tuhan bekerja secara ajaib dalam kehidupan kedua belas penolongnya. Di antara mereka itu ada yang sudah lama membaca Alkitab dalam bahasa Perancis. Namun sesungguhnya Sabda Allah baru menjadi berarti bagi mereka, ketika mereka membacanya dalam bahasa suku mereka sendiri. Satu persatu kedua belas orang itu mengaku percaya kepada Tuhan yesus, atau mengambil keputusan untuk kembali setia kepada Dia dan kepada gereja-Nya . . . termasuk suami Ibu Melanie. Alangkah gembiranya!
Pada suatu hari dalam tahun 1991, banyak lagi orang sesuku Ibu Melanie yang bergembira. Pada hari itu, untuk yang pertama kalinya salinan-salinan Kitab Injil Matius dalam bahasa Tieta dibagikan kepada para kepala desa. Dan pada hari itu pula, lebih banyak lagi orang Tieta yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus.
Ibu Melanie Kitchine masih tetap bekerja di pabrik kopi sepenuh waktu. Ia masih memelihara keluarganya, masih menunaikan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Namun sebagai seorang penerjemah Firman Allah, ia pun masih menaati panggilan Tuhan. Kitab Injil Markus dan Lukas sudah selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Tieta; Kisah Para Rasul terus dikerjakan. Tambahan pula, Ibu Melanie telah menjadi ketua persekutuan para penerjemah Alkitab di seluruh pulau Kaledonia Baru.
Semuanya itu bertitik tolak pada saat Ibu Melanie telah menghadiri suatu drama Natal yang sudah lama dipersiapkannya dengan anak-anak didiknya. Lalu ia mulai menyadari bahwa tidak seorang pun di antara murid-muridnya ataupun para orang tua mereka yang sungguh dapat memahami berita Natal yang hendak disampaikan itu.
Dengan diterimanya panggilan Tuhan untuk menjadi seorang penerjemah Firman-Nya, Ibu Melanie Kitchine terus-menerus menyampaikan makna Alkitab kepada orang-orang sesukunya dalam bahasa mereka sendiri bukan hanya pada Hari Natal saja, melainkan sepanjang tahun.
TAMAT
Sam Johnson seorang penjual Alkitab. Penjual Alkitab di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-20 itu kebanyakan orang kulit putih, tetapi Sam orang kulit hitam. Biasanya ia disambut dengan gembira oleh rakyat berkulit hitam di negara bagian North Carolina, yakni daerah perdagangannya itu.
Kebanyakan orang Negro di daerah pertanian itu agak miskin; jarang mereka sanggup membeli sebuah Alkitab. Itu sebabnya Sam Johnson cukup banyak membawa Kitab Perjanjian Baru, serta Injil-Injil dan kitab-kitab lainnya yang dicetak dan dijilid tersendiri. Bagian-bagian Firman Allah yang harganya lebih murah itu cukup banyak yang laku.
Sam mempunyai sebuah mobil tua yang dipergunakan untuk pergi berkeliling sambil menjual Alkitab. Banyak Alkitab lengkap, Kitab Perjanjian Baru, dan Injil disusun dengan rapi di dalam dos-dos, lalu diletakkan di dalam mobilnya. Sam tidak suka kalau harus sering kembali ke agen grosir untuk menambah persediaan barang cetakan berupa Firman Allah itu.
Mobil Sam itu cukup besar, sehingga dapat juga memuat persediaan makanan. Sering ia pergi berjualan Alkitab ke daerah yang jarang terdapat kedai makanan. Jadi, menjelang tengah hari Sam suka mencari tempat yang sepi, lalu di situ ia makan bekal yang dibawanya sendiri.
Pada suatu hari Sam Johnson sedang menyetir mobilnya di jalan pegunungan yang sunyi. Di mana-mana terdapat hutan dan semak belukar. Jika ia terus menelusuri jalan raya sampai menemui sebuah rumah makan, jam makan siang pasti sudah jauh lewat. Lagi pula, Sam sudah bekerja keras sejak pagi. Ia merasa capai, dan ingin sekali beristirahat.
Itu sebabnya Sam membelokkan mobilnya ke sebuah lorong kecil. Walau lorong itu cukup sempit, Sam terus menelusuri sampai kira-kira tiga kilometer dari jalan raya. Di sana, di tengah-tengah hutan belukar, ia menemukan suatu tempat terbuka. Ternyata di situ rumah petani. Tetapi rumah itu sudah lama musnah, hanya tinggal lubang bekas ruang di bawah tanah yang ditumbuhi alang-alang yang tinggi.
Nah, ini dia, kata Sam kepada dirinya sendiri. Tempat terbuka itu cukup luas sehingga dengan mudah ia dapat memutar mobilnya. Lalu ia mematikan mesin, turun, mengeluarkan bekalnya, dan terus menyatap sampai kenyang.
Seusai makan Sam memperhatikan sebuah batu datar besar yang tergeletak di dekat sebatang pohon, seolah-olah tempat duduk alamiah. Sam duduk di atas batu itu dan menyandarkan punggungnya pada pohon. Beberapa saat kemudian, matanya sudah tertutup dan ia pun tertidur.
Ada suara yang membangunkan dia. Ia membuka matanya. Laku ia benar-benar siuman. Dua orang asing berdiri di depannya, dan salah seorang di antaranya menodongkan pistolnya ke arah Sam.
"Hei, cepat, kamu, berdiri!"
Sam melompat berdiri. Kedua orang itu bermuka bengis; Sam sama sekali tidak mau membangkitkan amarah mereka.
"Cepat buka dos-dos di dalam mobil itu! Dan jangan bikin gaduh, nanti kamu kontan mati!"
Walaupun salah satu dos itu diikat dengan simpul tali yang kuat, namun Sam membuka semuanya dengan cepat, seolah-olah mau mencapai rekor baru.
Penodong yang kedua mendekati mobil "Kamu ke sana!" perintahnya.
Sam segera meninggalkan mobilnya. Ia sama sekali tidak mau berbantah-bantah dengan kedua orang itu.
Dengan ketat Sam dijaga oleh penodong yang memegang pistol itu. Penodong yang seorang lagi memeriksa muatan di dalam mobil, dos demi dos.
"Kok . . . aneh," kata penodong kedua itu.
"Apa sih isinya?" tanya penodong pertama, kurang sabar.
"Alkitab! Alkitab melulu! Seumur hidup belum pernah kulihat sekian banyak Alkitab!"
"Alkitab!" Penodong pertama membeo dengan nada jengkel. Lalu ia menegur Sam lagi. "Kamu penjual Alkitab?"
"Betul, Tuan," jawab Sam, sangat sopan.
Penodong pertama itu kelihatan bingung. Ia menurunkan pistolnya. "Siapa namamu? Tadinya kami bermaksud membunuhmu."
"Sam Johnson, Tuan", seolah-olah maksud jahatnya itu sudah berubah? Dan pistolnya itu tidak lagi diarahkan ke kepala Sam.
Penodong pertama itu terus berbicara: "Yah, Sam, tadinya kami akan membunuhmu. Tahu, yah, kami baru lolos sehabis yah, sehabis beraksi dan kami mau melarikan diri ke negara bagian Florida. Kami perlu mobil. Kami melihat kamu duduk-duduk santai dibawah pohon, jadi kami bermaksud membunuhmu, mengambil mobilmu, dan terus amblas."
Penodong kedua itu memandang temannya dengan heran. "Kok . . . kenapa sih ngomong terus? Ayo kita berangkat 'aja!"
"Nanti dulu, nanti dulu," kata pemimpin kedua penodong itu. Ia mendekati mobil Sam dan menggapai sebuah Alkitab. "Yah . . . aneh, kamu penjual Alkitab. Bertahun-tahun aku tidak melihat Alkitab."
Ia membuka-buka Alkitab itu. "Ibuku dulu sangat baik, . . ." katanya, seolah-olah sedang melamun. "Ibuku dulu suka membacakan Alkitab kepadaku. Sejak ibuku meninggal, sedikit sekali kupikirkan tentang hal itu."
Penodong kedua itu duduk pada batang pohon yang sedang roboh. Rupaya ia kurang mengerti apa yang sedang terjadi. Tetapi tidak mengapa, perannya dalam "aksi" yang baru saja mereka laksanakan itu sepele saja; sebenarnya ia tidak begitu pusing, apakah mereka berhasil melarikan diri ke tempat yang jauh atau tidak.
Pemimpin kedua penodong itu menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil. Sekali lagi ia membolak-balikkan halaman Alkitab. "Yah, aku masih ingat . . .," katanya hampir berbisik.
Hening sejenak . . . . Berkas-berkas matahari yang menembus dahan-dahan pohon pines itu menyinari tempat terbuka bekas halaman rumah petani. Cahaya matahari itu menyentuh Sam yang sedang mengawasi keadaan, . . . menyentuh sebuah pistol yang diletakkan di atas kap mobil, . . . menyentuh seorang penodong yang asyik mengenang kembali cerita-cerita yang pernah digemarinya dulu semasa kecil.
Sam memperhatikan tangan penodong itu mengusap matanya. Ternyata kenangan lama itu telah menitikkan air mata.
Sam berlutut di atas rerumputan. Bila berdoa ia sudah biasa berlutut, dan sekarang ia merasa sudah saatnya untuk berdoa. Dalam hati ia mendoakan orang itu, yang sedang mengenang masa ia menjalani kehidupan yang benar. Siapa tahu, mungkin orang ini masih sempat meninggalkan kejahatannya serta kembali ke jalan yang benar.
Tempat terbuka di tengah-tengah hutan belukar itu menjadi sangat tenang. Lalu pemimpin kedua penodong itu memperhatikan bibir Sam yang sedang bergerak-gerak, mata Sam yang sedang tertutup, lutut Sam yang sedang bertekuk.
"Yah, doakan aku Sam," katanya. Suaranya hampir menjadi halus, lain sekali dengan suaranya semula yang sangat bengis itu. "Aku sungguh perlu didoakan. Dan sesudah kamu mendoakan diriku, ayo masuklah ke dalam mobilmu dan pergilah."
Orang yang kedua itu seolah-olah mau menyela, tetapi pemimpin penodong memberi isyarat supaya ia diam. "Gara-gara kami beraksi tadi, mungkin sekali orang yang berhasil menangkap kami berdua akan mendapat hadiah yang cukup besar," katanya. Ia menelan ludah, seakan-akan belum pasti apa yang harus dikatakan selanjutnya. "Tetapi orang yang berhasil mengikuti pesan Alkitab akan mendapat hadiah lebih besar lagi."
Pemimpin kedua penodong itu tersenyum ke arah Sam Johnson. "Jangan khawatir, Sam," katanya. "Kamu tidak akan melihat aku menodong lagi. Lihat!" Ia melemparkan pistolnya ke dalam lubang besar yang dulu bekas ruang di bawah tanah dari rumah petani. "Sebaiknya kamu pergi sekarang, Sam. Dan jangan lupa, terus berdoa untuk kami. Siapa tahu, mungkin kami berdua akan kembali menjadi orang yang berguna!"
Sam segera mendekati mobilnya dan duduk di belakang setir. Ia menghidupkan mesin. Pelan-pelan ia menyetir mobilnya sehingga kembali menghadap ke jalan raya. Tetapi sebelum memasukkan persneling, ia pun menoleh ke belakang, ke arah kedua penodong tadi.
Kini kedua-duanya duduk di atas batang pohon yang sudah roboh. Pemimpin kedua penodong itu sedang membacakan Alkitab kepada teman-temannya. Suaranya jelas terdengar melalui udara siang yang panas itu; ia sedang membaca Kitab Yesaya, pasal 55:
"Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air,
dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! . . .
Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku;
Dengarkanlah, maka kamu akan hidup!"
Sam Johnson menganggukkan kepalanya pada saat mobilnya mulai bergerak meluncur di lorong yang sepi itu. "Mereka akan kembali ke jalan yang benar. Mereka akan menjadi orang-orang yang berguna." Entah mengapa, . . . Sam merasa yakin betul atas firasatnya itu.
Dengan lemah lembut Sam Johnson menyanyikan sebuah lagu rohani kuno pada saat ia kembali ke jalan raya untuk meneruskan perjalanannya.
TAMAT
Di kampung halaman si Bula, jarang ada orang yang mempunyai kelebihan uang. Di daerah Afrika itu, biasanya orang tukar-menukar untuk mendapat apa saja yang diperlukan. Tambahan pula, si Bula hanyalah seorang anak laki-laki; jika kaum dewasa sukunya kekurangan uang, apa lagi anak-anak!
Bula berjalan pelan-pelan menuju padang, tempat kambing-kambing sedang merumput. Ia duduk di bawah pohon kecil sambil terus memeras otak.
"Aku harus mendapat uang," ia bergumam. "Tidak baik meminta ayahku. Kalau memberi persembahan di gereja, seharusnya itu uangku sendiri, bukan uang yang dititipkan oleh orang lain."
Muncullah si Walif; ia mau bermain dengan Bula. Tetapi si Bula tidak mau bermain.
"Hatiku tidak tenang karena kata-kata Pendeta Musa tadi pagi," kata Bula.
"Memang mengejutkan," Walif mengiakan. "Sampai sekarang kata-katanya seolah-olah masih dapat kudengar."
"Baru kutahu!" cetus Bula. "Baru kutahu di dunia ini masih ada orang yang belum punya Alkitab! Rasanya kita di sini adalah suku terakhir yang diberi Alkitab."
Walif mengangguk. "Tetapi tadi pagi Pendeta Musa begitu yakin. Katanya, pasti ada orang lain yang masih sangat memerlukan Alkitab."
"Bukan kata-katanya itu yang mengganjal di hatiku," Bula mengaku dengan terus terang. "Kalau ia berkata masih ada orang lain yang memerlukan Alkitab, pasti itu benar, sebab Pendeta Musa tidak pernah bohong. Tapi ia juga berkata, kita yang sudah punya Alkitab . . ."
". . . harus turut meneruskan Alkitab kepada orang lain," kata Walif, menyempurnakan kalimat temannya. "Yah, kata-kata itulah yan mengganjal di hatiku juga. Apa lagi, persembahan khusus akan dikumpulkan hari Minggu depan. Kalau aku tidak memasukkan apa-apa ke dalam tempurung itu, . . . bagaimana?"
"Wah, malu rasanya!" kata Bula sambil mengeluh.
"Tapi . . . aku tidak punya uang."
"Aku juga tidak punya uang," kata Bula membeo.
"Dan . . ." Walif berhenti sejenak, sambil berpikir. "Nggak ada milikku yang dapat kujual."
"Memang, nggak ada . . ."
Selama beberapa menit kedua anak laki-laki suku Afrika itu duduk termenung; muka mereka masing-masing sangat sedih.
"Nanti dulu," kata Walif dengan tiba-tiba. "Bagaimana dengan ayam?"
"Ya, bagaimana?" Bula membalas.
"Sang kepala suku akan mengadakan pesta akhir bulan ini. Pasti ia mau membeli ayam."
Bula mulai tersenyum lagi. "Aku punya ayam."
"Aku juga."
"Ayam milikku sendiri," Bula menambahkan. "Kalau aku mau menjual ekor, boleh saja."
"Tetapi . . ." Sekonyong-konyong Walif kembali bermuka masam. "Rasanya kurang enak kalau orang lain makan daging ayam, sedangkan kita hanya makan kacang."
"Memang kurang enak," Bula mengiakan.
Lalu Bula bangkit berdiri seperti seorang tentara cilik. "Walif, rasanya lebih kurang enak lagi kalau ada orang lain yang belum punya Alkitab! Kalau kita dapat kirim uang seharga dua ekor ayam kepada orang-orang di negeri yang jauh, pasti kita dapat bertahan walau hanya makan kacang saja."
Walif juga berdiri tegak. Ia sudah siap bertindak. "Yuk, kita tangkap ayam-ayam itu!"
Kedua anak laki-laki itu berlari tunggang langgang ke sebuah kandang yang pagarnya semak berduri. Mereka memilih beberapa ekor ayam yang baik untuk dijual.
Lalu . . . mulailah perburuan! Kedua anak laki-laki itu berlari dan melompat ke sana ke mari. Bula mengira ia sudah mendapat seekor babon gemuk; ternyata ia hanya mendapat dua buluh ekor yang panjang. Walif merasa ia sudah menangkap seekor jago, tetapi jago itu berkeok-keok dan menggelepur sampai lolos lagi.
Ketika kedua anak itu berhasil menangkap masing-masing dua ekor, napas mereka sudah terengah-engah. Kaki ayam-ayam itu diikat dengan tali rumput. Lalu Bula dan Walif bergegas pergi ke sebuah rumah kepala suku.
Tetapi yang mereka terima di sana hanyalah kekecewaan belaka. Juru masak kepala suku itu menawarkan sejumlah uang yang sangat kecil. "Nanti setiap anak laki-laki suku ini pasti akan membawa ayam ke mari untuk dijual," katanya mencibir. "Apakah sang kepala suku itu orang kaya, yang dapat membayar dengan harga kota? Sesen pun tawaranku tadi tak akan kutambah!"
Bula dan Walif mundur dari rumah kepala suku. Mereka duduk di bawah naungan sebuah pohon yang cukup jauh sehingga juru masak itu tidak dapat mendengar percakapan mereka. Di sana mereka mempertimbangkan tawarannya tadi.
Timbullah sebuah pertanyaan: "`Harga kota'? Apa sih maksudnya?"
Bula pergi menanyakan hal itu kepada ayahnya. Lalu ia kembali melaporkan kepada Walif.
"Wah!" cetus si Bula. "Kata Ayah, di kota orang-orang rela membayar hampir dua kali lipat tawaran si juru masak tadi!"
"Tetapi kota itu dari sini delapan puluh kilometer jauhnya," Walif mengingatkan dia.
"Minggu ini sekolah libur," kata Bula. "Kita dapat berjalan ke sana."
"Berjalan!" Si Walif melongo. "Jalan kaki? Itu 'kan pasti makan waktu dua hari!"
"Ya, dua hari." Si Bula mengangguk. "Kita sudah sering berjalan sejauh empat puluh kilometer sehari. Lagi pula, rumah pamanku kira-kira separo perjalanan. Kita dapat bermalam di rumah pamanku!"
Memang Walif tahu bahwa ia dan Bula sudah biasa bepergian jauh. Ia pun tahu bahwa paman Bula pasti akan menerima mereka kalau menginap di rumahnya. Hanya saja . . . apakah hasilnya nanti sepadan dengan susuah payah mereka?
"Kalau kita menjual di sini, kita hanya dapat memberi persembahan seharga empat ekor, demi menolong orang lain mempunyai Alkitab," kata Walif pelan-pelan sambil mengerutkan dahinya. "Tetapi kalau kita menjual di kota, kita dapat memberi persembahan seharga delapan ekor ayam!"
"Yuk, kita pergi!" Bula mengajak. "Persembahan kita menjadi dua kali lipat, dan kita pun bersenang-senang pergi ke kota!"
"Maksudmu, kita bersusah payah pergi ke kota," kata Walif. Ia merintih, seolah-olah ia sudah merasakan sakit kaki. "Tapi . . . uang persembahan kita nanti memang menjadi dua kali lipat, ya?"
Kedua anak laki-laki itu pulang dan meminta izin kepada orang tua mereka masing-masing. Keesokan paginya mereka berangkat. Cukup sulit perjalanan itu! Di samping empat ekor ayam, mereka juga harus membawa bekal makanan.
Namun benar, setiba di kota, dengan mudah mereka berhasil menjual empat ekor ayam itu. Benar juga, "harga kota" itu dua kali lipat dengan harga yang ditawarkan oleh juru masak kepala suku. Uang logam yang banyak itu gemerincing di tangan mereka.
Perjalanan pulang mereka sangat menyenangkan. Bula dan Walif mengikatkan uangnya masing-masing. Dan uang itu walau cukup banyak, terasa ringan. Langkah kedua anak laki-laki itu mantap; wajah mereka berseri-seri.
Pada hari Minggu berikutnya, Pendeta Musa berdiri di depan jemaatnya. Sekali lagi ia menjelaskan mengenai keperluan persembahan khusus, yaitu agar orang-orang di negeri yang jauh dapat memiliki Alkitab.
Tempurung itu diedarkan dari tangan ke tangan. Bula dan Walif tersenyum lebar. Uamg logam yang banyak itu kembali gemerincing dengan keras pada saat menjatuhkannya ke dalam tempurung yang mereka pegang bersama.
Seluruh jemaat turut bergembira; bahkan Pendeta Musa sendiri tersenyum. Mereka semua sudah mengetahui tentang perjalanan si Bula dan si Walif. Mereka pun tahu bahwa kedua anak laki-laki itu rela menempuh perjalanan selama empat hari, agar dapat menjual empat ekor ayam dengan harga dua kali lipat. Dan pada hari itu pula, cukup banyak uang persembahan yang dimasukkan ke dalam tempurung, oleh orang-orang Kristen suku Afrika yang baru menyadari tanggung jawab mereka untuk meneruskan Firman Allah kepada orang-orang lain.
TAMAT
Felipe duduk termenung di bawah naungan sebuah pohon palem. Dahan-dahan yang tinggi di atas kepala pemuda itu gemeresek bunyinya ditiup angin sepoi-sepoi basah yang menghembus melewati pulau Kuba.
"Hola! Felipe!" sapa seorang kawannya yang kebetulan lewat di seberang jalan.
Felipe tidak menyahut. Ia hanya tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Ibunya keluar dari rumah. Pada jam-jam begini, kebanyakan kaum pria sudah pergi ke tempat pekerjaan mereka masing-masing. Tetapi selama beberapa minggu belakangan ini, ibunya melihat Felipe hanya duduk-duduk termenung saja.
"Kenapa tidak pergi ke pasar, Nak?" tanyanya.
Felipe menggelengkan kepalanya. Masih tetap tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
"Tidak sehat, Nak, kalau duduk-duduk saja seorang diri."
Baru Felipe membuka mulutnya. Yang keluar bukanlah bahasa Spanyol yang indah, seperti yang baru diucapkan oleh ibunya. Sebaliknya, yang keluar adalah serentetan bunyi . . . bunyi yang sulit ditangkap artinya, bunyi yang hampir tidak menyerupai kata-kata.
Namun ibunya dapat mengerti maksudnya: Tentu saja ia tidak mau pergi ke mana-mana. Bukankah ia sudah mengalami suatu kecelakaan yang hampir membuatnya bisu? Buat apa ia berusaha bercakap-cakap dengan orang lain? Keluarganya sendiri saja harus bersusah payah untuk mengerti ucapannya yang tak karuan itu!
Rupa-rupanya sudah nasib bahwa bila Felipe ingin menyampaikan sesuatu kepada orang lain, ia harus menulis kertas dan menyodorkannya kepada orang itu.
Ibunya menaruh tangannya pada bahu Felipe sebagai tanda perasaan simpati. Lalu ia pun memasuki rumah lagi.
Felipe menghela napas sambil memikirkan nasibnya yang malang. Tetapi kesdihannya mulai pudar ketika ia merogoh ke dalam sakunya. Yang dikeluarkannya itu sebuah Kitab Perjanjian Baru ukuran saku. Felipe dapat melupakan kesedihannya bila ia mulai membaca Kitab-Kitab Injil, atau Kisah Para Rasul, ataupun Surat-Surat Paulus dan Petrus dan Yohanes.
Semula Felipe bercita-cita akan pergi berkeliling sambil menjual Alkitab. Tetapi cita-cita itu mustahil tercapai, rasanya. Bagaimana mungkin orang yang sudah kehilangan suaranya dapat menjadi penjual?
Dalam benaknya Felipe membayangkan dirinya berjalan keliling di pulau Kuba sebagai penjual Alkitab. Sering kali seolah-olah ia melihat dirinya bepergian di jalan-jalan, sambil membawa serta sebungkus Alkitab dan Kitab Perjanjian Baru dan Kitab-Kitab Injil. Ia akan menarik perhatian banyak orang, sehingga mereka mau membeli barang dagangannya itu.
Hasratnya untuk melakukan pekerjaan yang mulia itu masih tetap menyala-nyala dalam pikiran Felipe. Mungkin itulah sebabnya pada suatu hari seakan-akan Felipe tiba-tiba mendengar suara yang berseru kepadanya: "Hai Felipe, pergilah! Sebarkanlah FirmanKu!"
Felipe kaget dan bingung. Suara Tuhankah itu?
Ia terus termenung. Bagaimana mungkin ia dapat menyebarkan Firman Tuhan? Cara apa yang dapat dipakai oleh seorang penjual Alkitab yang bisu?
Lalu suara itu seolah-olah terdengar sekali lagi: "Pergilah, hai Felipe! Aku akan menolongmu."
Tidak salah lagi, Tuhan sudah memanggil dia. Maka Felipe menundukkan kepalanya. Dalam hatinya ia berbisik: Aku akan pergi, ya Tuhan. Tetapi tanpa pertolongan Tuhan, pasti usahaku akan sia-sia belaka.
Beberapa hari kemudian, Felipe mulai menjalankan pekerjaannya yang baru. Dengan menumpang bis, ia pergi ke luar kota. Beberapa jilid Kitab Injil ukuran kecil dibawanya serta.
Inilah yang biasa dilakukannya: Setibanya di sebuah pasar desa, Felipe turun dari bis dan membuka sebuah Kitab Injil ukuran kecil, tepatnya pada salah satu ayat kesayangannya. Lalu ia menunjukkan ayat itu kepada orang-orang yang berdiri atau duduk di dekatnya. Ia tersenyum ramah kepada orang-orang itu, seolah-olah hendak berkata: "Ambillah! Bacalah!"
Rencana yang sederhana itu sering berhasil. Banyak orang yang tertarik untuk mulai membaca Kitab Injil.
Felipe pun membawa serta beberapa kartu kecil di dalam sakunya. Pada tiap kartu itu tercetak, denga huruf-huruf yang besar dan jelas, kata-kata yang ingin diucapkannya, misalnya: "Aku menjual Buku-Buku kecil ini. Maukah Anda membeli?" Kartu-kartu itu disodorkannya kepada orang-orang yang sudah mulai membaca ayat-ayat tadi.
Selama kurang lebih satu jam Felipe menelusuri jalan-jalan pasar di desa itu, sambil menunjukkan ayat-ayatnya dan kartu-kartunya kepada orang-orang yang dijumpainya. Kemudian ia pun naik bis lagi dan pergi ke desa yang lain.
Kadang-kadang Felipe pergi ke sebuah pabrik. Karena sifatnya yang manis dan ramah, ia sering diperbolehkan masuk. "Itu si penjual `Buku-Buku Kecil' yang bisu," penjaga pintu akan mengumumkan. Segera Felipe akan mulai memamerkan barang dagangannya itu kepada para karyawan. Seseorang yang pandai membaca akan membacakan kartu-kartu yang disodorkannya. Dan biasanya paling sedikit satu di antara "Buku-Buku Kecil" itu akan laku di situ.
Bahkan pimpinan pabrik sering mengajak Felipe masuk ke dalam kantor. Dan di situ pun sering ada calon pembeli.
Tidak ada waktu lagi untuk duduk-duduk di bawah naungan pohon palem sambil merenungkan nasibnya yang buruk. Felipe mulai membekali diri dengan sebuah termos berisi kopi panas, serta sekantong permen. Dengan tersenyum pada ibu seorang anak yang sedang merengek-rengek, Felipe akan menawarkan permen kepada anak itu. Sang ibu, karena melihat bahwa anaknya tidak lagi menangis, dengan senang hati membaca "Buku Kecil" yang diperlihatkan kepadanya. Dan sering juga ada ibu-ibu yang rela membeli.
Supir bis, yang sangat capai sehabis menunaikan tugasnya, dengan gembira menyambut kopi panas yang ditawarkan oleh Felipe. Dan penumpang bis yang harus menunggu lama di stamplat, juga merasa disegarkan oleh permen yang diberikan oleh pemuda yang tidak pernah berbicara namun yang selalu tersenyum itu. Rasanya, membaca "Buku-Buku Kecil" yang disodorkannya itu menolong mereka melewatkan waktu sementara harus menunggu. Dan semakin banyak bagian dari Alkitab yang terjual.
Para pengurus kantor Lembaga Alkitab Kuba menjadi heran. Bagaimana mungkin Felipe dapat kembali begitu sering, sambil memesan persediaan Alkitab lebih banyak lagi?
Pada suatu hari ketika Felipe mampir ke kantor, mereka bertanya: "Kauapakan sekian banyak Alkitab itu, Felipe?"
"Kujual," sahut Felipe dengan suaranya yang parau. Hanya orang yang sudah biasa mendengar suaranyalah yang dapat menangkap kata-kata yang diucapkanya dengan susah payah itu. Namun karena kini ia merasa sibuk dan berguna, peemuda itu lebih berani berusaha melafalkan kata-katanya sehingga orang lain dapat mengerti. "Kujual semuanya!" katanya lagi, dengan tekanan yang berat.
"Mana mungkin?"para pengurus kantor itu bertanya-tanya. "Belum pernah kami dengar orang bisu dapat menjual Alkitab!"
Namun setelah Felipe bekerja selama satu tahun, jumlah Alkitab yang dijualnya itu sungguh mengherankan. Hampir tak dapat dipercaya. Jauh lebih banyak daripada jumlah yang dapat dicapai oleh para penjual Alkitab lainnya!
"Coba jelaskan caranya!" ia ditanyai lagi.
Felipe tidak sanggup memberi penjelasan yang lengkap. Tetapi ia ingat akan suara itu: "Pergilah, hai Felipe! Aku akan menolongmu." Dan tahulah dia bahwa dengan pertolongan Tuhan ia melakukan pekerjaannya itu.
Pada suatu hari Felipe dipanggil lagi ke kantor Lembaga Alkitab Kuba. "Memang kau menyebarkan Firman Tuhan, Felipe, walau kami tidak mengerti bagaimana caranya," kata para pengurus kantor itu. "Maka kami ingin mengangkatmu menjadi seorang agen kami yang resmi."
Felipe tersenyum senang. Memang itulah cita-citanya sebelum ia mendapat kecelakaan yang menyebabkan kehilangan suara. Rasa-rasanya cita-cita itu mustahil, tetapi malah telah menjadi kenyataan!
Masih tetap Felipe sering bepergian dengan naik bis. Kadang-kadang ia membeli karcis; tetapi lebih sering pak supir mengizinkan dia naik bis tanpa harus membayar. Ke mana saja bis itu pergi di pulau Kuba yang indah permai, Felipe pun ikut pergi ke situ. Sering ia turun pada sebuah desa. Kemudian ia naik bis yang berikutnya dan meneruskan perjalanannya ke desa lain.
Namun sambil naik bis, Felipe sering memperhatikan orang-orang yang sedang bekerja di ladang, jauh dari desa manapun juga. Mereka itu para buruh tani, pemilik kebun kecil, penduduk di tempat yang terpencil. Mestinya aku melayani mereka pula, kata Felipe pada dirinya sendiri. Tetapi bagaimana caranya? Memang aku akan diizinkan turun dari bis di mana saja, karena kebanyakan supir bis itu kawanku. Tetapi belum tentu bis yang berikutnya mau berhenti supaya aku dapat naik lagi.
Lalu timbul gagasan baru: Seekor kuda! Nah, betul. Aku perlu memiliki seekor kuda!
Maka demi memperlancar pekerjaannya, Felipe membeli seekor kuda. Sambil menunggang kuda ia dapat membawa serta lebih banyak lagi Kitab. Kitab Injil ukuran kecil, Kitab Perjanjian Baru, dan bahkan beberapa Alkitab yang lengkap.
Kuda itu dilatihnya menjadi pembantunya. Tiap kali si kuda melihat orang bekerja di ladang, walau jauh sekali dari jalan, ia akan berpaling dari jalan raya dan menuju ke sana. Sesampainya di tempat orang itu bekerja, si kuda akan berhenti sendiri.
Biasanya Felipe suka menawarkan kopi panas atau permen. Paling sedikit bibirnya akan menyungging senyuman yang ramah. Ia akan mengeluarkan "Buku-Buku Kecil" dan kartu-kartunya. Tidak lama kemudian, Felipe akan mendorong petani itu untuk membaca satu dua ayat. Dan sering juga si petani akan mengeluarkan satu dua mata uang kecil, agar "Buku Kecil" itu dapat menjadi miliknya.
Rupa-rupanya kuda Felipe tahu kapan waktunya untuk pergi lagi. Felip menggerakkan tali-temali sedikit saja, dan si kuda akan mulai berjalan pelan-pelan. Kadang-kadang ia akan menuju ke jalan raya lagi; kadang-kadang ia akan menuju kepada petani lain yang sedang bekerja di ladang.
"Tahukah engkau berapa banyak Kitab Injil yang telah kaujual dalam tahun ini, Felipe? tanya para pengurus kantor Lembaga Alkitab.
Felipe tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia tidak pernah menghitung jumlah Alkitab yang dijualnya. Baginya yang penting bukan angka-angka melainkan orang-orang. Ia mengenang kembali wajah-wajah banyak orang yang sudah mengenal Allah Bapa Yang Mahakasih, dan yang sudah percaya kepada Tuhan Yesus Sang Juru Selamat, sebagai hasil membeli dan membaca "Buku-Buku Kecil" yang diperdagangkan oleh Felipe.
"Kami sudah menghitungnya, Felipe," kata para pengurus itu. "Dalam satu tahun ini, kau sudah menjual 80 ribu Kitab Injil. Suatu rekor baru!"
Dengan rendah hati Felipe berusaha mengatakan: "Bukan aku, tetapi Tuhan yang bekerja melalui aku." Dan para pengurus kantor Lembaga Alkitab itu menganggukkan kepala tanda setuju.
Sama seperti semua orang yang kenal Felipe mengasihi dia, para pengurus kantor Lembaga Alkitab itu juga mengasihi Felipe. Mereka tersenyum kepadanya ketika ia berangkat lagi dengan membawa serta pesanannya yang baru.
Namun Felipe sendiri belum merasa puas dengan hasil yang telah dicapainya. Bila sedang naik bis, ia ingin bis itu melaju lebih kencang dan tidak terlalu sering berhenti ditempat-tempat yang sudah di singgahi. Bila sedang naik kuda, ia ingin pembantunya yang setia (namun yang lamban jalannya) itu cepat-cepat membawanya ke tempat-tempat yang belum pernah ia kunjungi.
Lalu ada ide baru. Senyuman lebar menghiasi wajah Felipe. Aku akan membeli sebuah sepeda motor! katanya pada dirinya sendiri. Dengan demikian aku akan dapat membawa serta dua bungkusan besar berisi Alkitab dengan mengikatnya di sebelah belakang motorku.
Maka pada suatu hari Felipe pulang dengan menuntun sepeda motor yang baru dibelinya itu. Mukanya berseri-seri pada saat ia memperlihatkannya kepada ibunya.
Ibunya kaget. "Sepeda motor kan amat berbahaya, Nak! Bagaimana nanti kalau kau menabrak pohon dan mati konyol?"
Felipe mengelus-elus bahu ibunya. Pelan-pelan ia berbicara; masih tetap ibunya lebih pandai menangkap kata-katanya daripada siapun juga. "Tuhan akan melindungi aku," kata Felipe, dengan suaranya yang menguak. "Dengan sepeda motor aku dapat melayani Tuhan secara lebih baik. Aku dapat menyebarkan FirmanNya dengan kecepatan seratus kilometer per jam!"
Mula-mula ibunya mengerutkan dahi. Tetapi lambat laun ia mulai tersenyum, bersama-sama dengan putranya. "Memang Tuhan sudah menolongmu secara ajaib, anakku. Hanya hati-hati, ya?"
Felipe mengangguk. Tentu saja ia akan hati-hati. Namun ia yakin bahwa dengan bantuan kendaraannya yang baru itu, ia akan dapat menyebarkan Firman Tuhan secara lebih luas lagi.
TAMAT
Dahulu kala di negeri Selandia Baru, suku-suku Maori yang galak itu menguasai daerah yang luas. Sering mereka menyerbu desa orang lain. Dengan tombak dan pedang mereka suka membunuh para penduduknya. Lalu mereka pulang ke desanya lagi dengan membawa serta barang-barang rampasan mereka.
Pada abad yang lalu, Katu adalah putra dari seorang kepala suku yang paling galak di kalangan orang Maori itu. Namun Katu tidak bersifat tinggi hati. Ia rela saja bersahabat dengan si Ripahia, budak milik ayahnya. Bersama-sama kedua anak laki-laki itu suka pergi berburu di daerah pegunungan. Malam-malam mereka suka berbaring di depan api unggun, dan sebelum tidur mereka menatapi langit indah yang bertaburan bintang.
Lalu persahabatan yang sangat menyenangkan itu untuk sementara waktu terputus. Si Ripahia dipinjamkan kepada paman Katu. Pamannya itu harus berjalan kaki sejauh seribu kilometer, karena ada urusan penting di Paihia, sebuah desa besar. Ia memerlukan seorang budak muda untuk melayani dia selama dalam perjalanan itu.
Malam-malam si Katu sering merindukan sahabatnya. Sambil memandang jauh lewat pintu gubuknya yang dibiarkan terbuka agar ia dapat menatap bintang-bintang di langit, ia pun bertanya-tanya dalam hati: Kira-kira si Ripahia sedang apa sekarang? . . .
Sementara itu, si Ripahia sedang mengalami sesuatu yang tidak terduga oleh temannya Katu. Bahkan si Ripahia sendiri pun tidak menduga hal itu akan terjadi.
Ternyata urusan di desa Paihia itu memakan waktu yang cukup lama. Sambil menunggu, paman Katu tidak mempunyai banyak tugas yang harus dikerjakan oleh Ripahia. Maka seseorang mengusulkan: "Mengapa tidak membiarkan budak muda itu bersekolah di sekolah misi? Pasti kepala suku akan senang jika ia menerima kembali seorang budak yang sudah pandai membaca dan menulis!"
Paman Katu setuju. Jadi, berbulan-bulan lamanya si Ripahia belajar di sekolah misi. Hampir tak terbayangkan oleh anak laki-laki itu, keuntungan apa yang akan didapatinya: Ia akan menjadi satu-satunya orang dalam sukunya yang dapat menulis kata-kata di atas kertas. Ia pun akan menjadi satu-satunya orang dalam sukunya yang dapat membuka sebuah buku serta mengetahui pikiran orang lain yang tertulis di dalamnya.
Akhirnya urusan di desa Paihia itu selesai. Baik Ripahia maupun orang-orang lain dalam rombongan pendatang itu tidak sabar lagi pulang ke kampung halaman mereka. Mereka berjalan kaki secepat mungkin. Beratus-ratus kilometer jauhnya mereka terus menelusuri jalan setapak, sampai pada suatu malam, saat matahari baru terbenam, tibalah mereka di desa tempat asal mereka.
Penduduk setempat mengerumuni mereka. Semua orang bersalam-salaman sambil saling bertanya, "Apa kabar?"
Setelah suara orang banyak itu agak mereda, paman Katu menoleh ke arah kepala suku. "Hai saudaraku, . . . aku ini mengembalikan kepadamu budak milikmu, si Ripahia. Ia telah melayani diriku dengan baik. Namun aku menyerahkannya kembali dalam keadaan yang lebih berharga daripada waktu ia berangkat dari sini. Selama kami tinggal berbulan-bulan lamanya di Paihia, kami menyekolahkan dia. Sekarang ia kami pulangkan kepadamu, hai saudaraku, dengan kepala yang dibekali ilmu baru!"
Untuk sejenak semua orang diam sambil memandang Ripahia. Coba bayangkan, seorang budak muda telah mendapat ilmu! Mereka mengamat-amati dia, seolah-olah bertanya dalam hati apakah ilmu itu telah mengubah rupanya atau telah menyebabkan kulitnya menjadi berbelang-belang.
Si Ripahia sendiri hanya berdiri dengan tenang, sambil tersenyum dengan caranya yang khas. Ia tahu bahwa seorang budak hendaknya tidak memulai pembicaraan dengan para tuannya.
Seketika itu ia mulai dihujani dengan pertanyaan:
"Ilmu apa yang telah kaudapat itu?" tanya Katu, putra kepala suku, "Ilmu menulis, misalnya?"
"Ya, aku telah belajar menulis," jawab Ripahia sambil mengangkat dagunya sedikit lebih tinggi.
"Bagaimana dengan ilmu membaca?" tanya saudara sepupu Katu yang sebaya dengannya. "Dapatkah kau mengerti arti dari tanda-tanda kecil yang dibuat di atas kertas itu?"
"Tentu," ujar Ripahia.
Banyak pertanyaan yang diajukan kepada anak muda itu! Bahkan sang kepala suku sendiri menuntut agar budaknya menjawab beberapa pertanyaan dengan jelas. Si Ripahia menarik napas panjang tanda lega pada saat panglima perang tua yang bermuka masam itu akhirnya pergi, puas dengan jawaban-jawaban yang diberikannya.
Kemudian, barulah ketiga anak muda itu sempat mengobrol dengan leluasa. "Ajari kami menulis dan membaca!" Katu dan saudara sepupunya menuntut.
"Boleh saja," jawab Ripahia. "Tetapi" Lalu ia sendiri bermuka masam. "Bagaimana caranya? Tidak ada buku di sini, satu halaman pun tidak ada. Bagaimana kalian dapat belajar membaca kalau tidak ada bahan bacaan?"
Kini giliran Katu dan saudara sepupunya untuk bermuka masam. "Kamu sajalah yang membuat tulisan. Dari tulisan itu kami dapat belajar membaca."
Tetapi Ripahia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tahu! Aku tahu!" serunya. Lalu dalam sekejap mata saja ia menghilang.
"Lho . . . ke mana dia?" tanya Ripahia.
Suadara sepupu Katu hanya dapat bergeleng saja.
Tidak lama setelah itu, Katu kembali lagi sambil melambai-lambaikan suatu benda kecil di atas kepalanya. Kelihatannya benda itu sudah usang betul; . . . kulit sampulnya kotor dan halaman-halaman luarnya sobek-sobek.
"Ini dia!" seru Katu. "Nih, lihat ada buku. Dari buku ini kami dapat belajar membaca. Nah ajari kami, Ripahia!"
"Nanti dulu, nanti dulu!" Dari sampulnya yang sobek-sobek ia membaca dengan pelan: ```Kitab Injil Lukas.''' Lalu ia melongo ke arah kedua temannya. "Sama dengan buku yang ada di sekolah misi! Dari mana kau mendapat buku ini, Katu?"
Lalu Katu menceritakan suatu kejadian yang aneh. Ayahnya, sang kepala suku itu, sudah berkali-kali memimpin pasukannya untuk menyerbu desa orang lain. Sambil mengeluarkan teriakan perang yang membuat bulu roma berdiri, mereka suka merampas, menyembelih, dan memperkosa. Lalu mereka pulang, meninggalkan desa itu dalam keadaan terbakar dan sepi, tak berpenghuni lagi.
"Suatu kali ketika mereka menyerbu," demikianlah Katu melanjutkan ceritanya, "mereka membunuh banyak orang. Ayah menemukan buku ini di tangan seorang gadis kecil yang sudah menjadi mayat. Ayah membawa pulang buku ini, walau ia tidak mengerti gunanya. Menurut dugaannya, benda ini mengandung kuasa kramat yang amat besar."
Ripahia membolakbalikkan buku kecil itu dalam kedua belah tangannya. Untuk sejenak ia merasa kasihan terhadap gadis cilik itu yang didengarnya tewas dalam keadaan tak berdosa. Namun peperangan kesukuan sudah biasa di kalangan orang Maori, maka Ripahia tidak lama melamun mengenai nasib buruk gadis itu.
Tetapi bukunya, . . . nah, ini sungguh menarik. Buku itu memang dicetak dalam bahasa Maori, bahasa mereka sendiri.
"Memang boleh dipakai." kata Ripahia dengan nada puas. "Kalian boleh menggunakan buku bacaan ini secara bergiliran."
Tetapi Katu dan saudara sepupunya sama sekali tidak mau menunggu giliran. "Tidak, lebih baik kita membagikannya saja!" kata mereka.
Maka Kitab Injil Lukas yang kecil, kotor, dan sudah sobek itu menjadi lebih sobek lagi. Separuhnya jatuh ke dalam tangan Katu, dan separuhnya lagi jatuh ke dalam tangan saudara sepupunya. Dan selanjutnya Ripahia si budak berubah menjadi Ripahia sang guru.
Hari demi hari, minggu demi minggu, ketiga anak laki-laki itu belajar bersama-sama. Sedikit demi sedikit Katu dan saudara sepupunya dapat membaca kata-kata, kemudian kalimat-kalimat. Betapa senangnya Katu ketika ia mula-mula dapat membaca sendiri sesuatu yang sungguh dipahami olehnya!
Maka ketiga anak muda itu mulai berbincang-bincang tentang hal-hal yang diutarakan dalam buku bacaan mereka. Mereka banyak memikirkan Tuhan Yesus, yang pada masa silam berjalan-jalan di Galilea dan di Yudea sambil mengajar dan menyembuhkan serta menolong banyak orang.
"Apa arti ajaran ini, Ripahia?" Katu suka bertanya.
Sering terjadi bahwa Ripahia sama bingungnya dengan kedua muridnya itu. "Maaf, aku kurang tahu. Kata-kata itu memang sangat aneh." Dan ketiga-tiganya berunding terus sambil bertukar pikiran dan berbantah-bantah.
Ya, banyak yang tidak sanggup mereka mengerti. Namun ada satu hal yang sangat jelas. Ketiga-tiganya mulai mengasihi Tuhan Yesus. Bahkan mereka rindu menjadi pengikut-Nya.
"Ah! Seandainya kita hidup dahulu kala, ketika ia masih tinggal di bumi ini," Katu suka berkata sambil mendesah. "Coba bayangkan, Ripahia! Kita dapat mengikuti Dia dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Kita dapat mengenali wajah-Nya, dapat mendengar suara-Nya. Kepada-Nya kita dapat menanyakan kata-kata itu yang kurang jelas."
Ripahia sedang berpikir. "Di sana, di Paihia, ada utusan-utusan Injil," katanya. "Mereka punya pengertian. Kadang-kadang mereka mengirim guru-guru untuk menjelaskan kata-kata yang sulit itu."
"Mari kita pergi minta seorang guru," demikian Katu memutuskan dengan segera.
Sang kepaka suku merestui rencana perjalanan putranya itu. Maka katu dan saudara sepupunya berangkat, menelusuri jalan setapak sejauh seribu kilometer yang dulu telah ditempuh oleh Ripahia.
Setiba mereka di Paihia, mereka menghadap seorang utusan Injil. "Kami telah datang untuk minta seorang guru," kata mereka dengan polos. Lalu mereka mulai bercerita tentang si Ripahia yang telah pulang dengan ilmu tetapi tanpa buku, tentang Kitab Injil Lukas yang kecil itu yang telah menjadi buku bacaan mereka, tentang hati mereka masing-masing yang telah tertambat oleh keindahan Firman Tuhan.
"Sudilah Bapak mengirim seorang guru kepada kami," mereka mendesak.
Utusan Injil itu sungguh tertarik. Namun Ia menjawab: "Pulanglah dulu, anak-anak. Aku akan menyusul ke sana, walau itu tidak dapat segera aku lakukan. Namun aku berjanji: Aku sendiri pasti akan mengunjungi kalian, atau aku akan mengirim orang lain."
Katu dan saudara sepupunya lalu pulang lagi. Mereka memberitahu Ripahia tentang semua yang telah mereka lihat, dengar, dan lakukan.
"Nah, sebaiknya kita mendirikan sebuah tempat ibadah yang kecil," kata Katu lebih lanjut. "Mirip dengan gedung gereja yang ada di Paihia. Jadi, pada waktu utusan Injil itu datang kelak, ia sudah akan mempunyai suatu tempat yang cocok sebagai pusat pengajaran."
Kepala suku setuju dengan gagasan putranya. Tidak lama kemudian, sebuah tempat ibadah yang kecil dan sederhana berdiri di desa itu. Di dalamnya Katu dan saudara sepupunya dan Ripahia suka mengumpulkan anak-anak desa dan bahkan kadang-kadang kaum dewasa juga agar mereka dapat mendengar pembacaan Berita Baik tentang kasih Tuhan. Dengan sekuat tenaga dan pikiran mereka, ketiga anak muda itu berusaha menjelaskan isi Firman Allah.
Pada suatu hari yang indah, utusan Injil itu memang memenuhi janjinya. Ia datang, ditemani oleh beberapa pembantunya. Sang kepala suku menyonsong mereka dengan penuh kehormatan, serta memberi mereka tempat penginapan yang pantas.
Lama sekali utusan Injil itu berbicara dari hati ke hati dengan Ripahia, Katu, dan saudara sepupunya. Akhirnya yakinlah dia bahwa ketiga anak muda itu sudah bertekad untuk menjadi pengikut Tuhan Yesus. Maka ia membaptiskan mereka di tempat ibadah kecil yang telah mereka sediakan.
Ia pun memberi mereka beberapa salinan dari seluruh Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Maori, dengan penjelasan tentang bagaimana mengajarkan isinya. Lalu dengan tantangan agar mereka terus berlaku setia kepada Tuhan Yesus, utusan Injil beserta rombongannya itu berangkat lagi.
Kemudian muncullah dalam benak Katu dan saudaranya serta kawannya itu suatu pikiran baru: "Hal-hal yang begitu indah bagi kita, haruslah kita sampaikan kepada orang-orang lain pula!" Maka mereka berusaha mendapatkan lebih banyak lagi Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Maori. Dengan membawa serta sebanyak mungkin salinan Firman Tuhan itu, mereka bertiga mulai pergi mengunjungi desa-desa lain.
Ternyata ada penduduk desa-desa itu yang kurang senang atas ke datangan mereka. "Tidakkah kau takut datang ke mari?" tanya mereka dengan muka yang masam. "Lihat ke sana! Dulu ada desa yang makmur di sana. Tetapi yang tinggal sekarang, hanya abunya saja. ayahmulah yang mengerjakan kejahatan itu, hai Katu!"
Tetapi Katu hanya tersenyum saja. "Masa kejahatan itu sudah lewat." katanya. "Lihat padaku! Apakah aku membawa tombak? Adakah sepasukan laskar di belakangku? Adakah pedang dalam tanganku?"
Mendengar perkataan itu, para penduduk desa menjadi sedikit lebih ramah. "Memang, kau tidak menyadang pedang. Mengapa kau berani bepergian tanpa senjata?"
Katu membuka bungkusannya. Diraihnya sebuah Kitab Perjanjian Baru. Diangkatnya tinggi-tinggi, agar semua orang dapat melihatnya.
"Lihatlah!" seru Katu. "Inilah Firman Tuhan. Aku datang untuk mengajarkan isinya kepadamu. Firman Tuhan itu pedangku yang satu-satunya! Ya, pedang yang dapat mengalahkan kebenciaan dan ketidakpercayaan. Firman Tuhan itu akan membawa sukacita dan damai sejahtera dalam kehidupanmu!"
Lalu duduklah dia bersama-sama dengan musuh-musuh kawakan ayahnya, sang kepala suku yag galak itu. Sebagai sahabat-sahabat karib, ia dan para penduduk desa itu memperbincangkan keajaiban kasih Tuhan. Sebagai saudara-saudara seiman, mereka saling menatap muka. Dan damai sejahtera mulai meliputi daerah suku-suku Maori itu di negeri Selandia Baru.
TAMAT
Hampir dua abad yang lalu, Kerajaan Inggris Raya mulai melebarkan sayapnya ke benua Asia. Masa itu kita kenal dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia masa Gubernur Raffles yang tersohor.
Pada masa itu juga, yakni pada tahun 1806, ada seorang pendeta tentara Inggris Raya yang baru tiba di negeri India bagian barat. Namanya, Pdt. Claudius Buchanan.
Di negeri India bagian barat itu, ada pohon-pohon palem yang menjulang tinggi, seolah-olah hendak mencakar langit biru. Tetapi di sana ada pula angin bohorok yang amat panas, sehingga semua penduduk suka berlindung di dalam rumah.
"Wah, panas sekali negeri India ini!" gumam Pdt. Claudius Buchanan. "Memang aku sudah diberitahu sebelumnya. Namun sama sekali belum terlintas pada pikiranku bahwa betul-betul ada benua yang cuacanya sepanas ini."
Ada rekan-rekan Pdt. Buchanan yang sudah lama tinggal di negeri India bagian barat. "Nanti musim kemarau ini akan menjadi lebih panas lagi, Pak, baru kemudian akan tiba musim hujan," demikianlah mereka menjelaskan. "Maukah Bapak pulang lagi ke negeri Inggris? Ada kapal yang akan berangkat minggu depan."
Claudia Buchanan mendesah. Tidak mungkin ia dapat segera pulang ke tanah airnya yang hijau dan sejuk itu. Ada tugasnya di negeri India yang belum selesai; ia bertekad menunaikan tugasnya itu sebagai seorang pendeta tentara.
Bulan-bulan terus berlalu. Pendeta dari negeri Inggris itu menjadi lebih betah tinggal di tempat yang cuacanya demikian panasnya. Ia pun mulai belajar bahasa setempat, serta mulai menyelidiki cara hidup para penduduk negeri India bagian barat.
Lalu Claudius Buchanan menemukan salah satu fakta yang paling menarik yang pernah diketahuinya: Ia menemukan bahwa di Travancore, daerah pantai barat itu, ada gereja-gereja yang amat tua, milik orang-orang India sendiri.
Sebelumnya, Pdt. Buchanan mengira bahwa tidak ada gereja sama sekali di negeri India kecuali gereja-gereja yang didirikan oleh para utusan Injil yang datang dari negara lain. Misalnya, di Calcutta dan sekitarnya ada jemaat-jemaat Baptis yang baru ditanam oleh Dr. William Carey dan rekan-rekannya.
Namun ternyata di India sudah ada sekelompok anggota gereja-gereja kuno yang biasanya diberi nama julukan: kaum Kristen Santo Tomas. Cara berbakti mereka itu agak mirip dengan cara berbakti Gereja Katolik Roma. Ada pastor-pastor yang memimpin kebaktian mereka serta mengajar para anggota jemaat mereka.
"Tetapi benua India ini tidak biasa dikenal sebagai negeri Kristen," kata Pdt. Buchanan, masih bingung. "Benua India biasa dikenal sebagai negeri kafir, bukan?"
"Memang betul, Tuan Pendeta," kata para orang Kristen Santo Tomas itu. "Namun demikian, di pantai barat ini ada juga gereja-gereja yang sudah ada sejak waktu Santo Tomas sendiri datang dan mengabarkan Injil kepada nenek moyang kami." Dengan bangga mereka pun menambahkan: "Mungkin aliran gereja kami merupakan aliran Kristen yang paling tua di seluruh dunia."
Mereka memperlihatkan gedung-gedung ibadah mereka kepada pendatang baru dari negeri Inggris itu. Pada dinding-dindingnya terukir tulisan-tulisan. Para ahli sastra memberitahu Pdt. Buchanan bahwa tulisan-tulisan itu memang sudah lebih dari seribu tahun umurnya. Ada juga tanda-tanda salib di menara-menara gereja yang sama tuanya.
Kalau gedung gerejanya begitu tua, demikianlah Claudius Buchanan berpikir, pasti sejarah jemaat yang mula-mula terbentuk di sini jauh lebih tua lagi. Boleh jadi aliran gereja ini sudah dimulai beratus-ratus tahun sebelum ada pembangunan gedung ibadah. Mungkinkah . . . mungkinkah Rasul Tomas, yang dua ribu tahun yang lalu pernah mengikuti Tuhan Yesus berjalan pada lorong-lorong berdebu di Galilea dan Yudea itu, . . . mungkinkah kemudian ia benar-benar bepergian sejauh India ini? Mungkinkah ia pun berjalan menelusuri lorong-lorong berdebu di negeri India bagian barat untuk memberitakan Kabar Baik tentang kasih Tuhan?
Claudius Buchanan mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam benaknya itu. Tetapi jawaban orang-orang Kristen di India bagian barat itu hanyalah sejauh ini saja: "Kami kurang tahu, Tuan Pendeta. Namun sejak dahulu kala kami selalu disebut dengan nama julukan `kaum Kristen Santo Tomas'. Dan kami sendiri memang percaya bahwa Santo Tomas pernah datang kemari. Aliran kami lebih tua lagi daripada semua catatan yang tertulis dalam sejarah gereja."
Pdt. Buchanan terus menyelidiki gereja-gereja kuno itu. Ternyata keadaannya kurang baik. Tidak ada petobat-petobat baru yang menjadi anggota-anggota gereja. Tidak ada bukti bahwa anggota-anggota gereja yang sudah lama itu suka menjalani hidup menurut ajaran-ajaran Firman Tuhan.
Pada suatu hari Pdt. Buchanan sedang bercakap-cakap dengan para pastor. "Ada Alkitab di gereja Bapak-Bapak?" tanyanya.
"O ya, ada, Tuan Pendeta," demikianlah mereka menjawab sambil tersenyum. "Kami memang punya beberapa salinan seluruh Alkitab. Tetapi semuanya ditulis dalam bahasa Siria kuno. Tidak ada seorang pun di sini yang biasa berbicara dalam bahasa itu lagi. Kadang-kadang kami membacakan ayat-ayat dari Alkitab bahasa Siria itu dalam kebaktian . Tetapi hanya kami sendiri yang dapat mengerti maknanya, jadi kurang berguna membacakannya kepada jemaat."
Memang kurang berguna! kata Claudius Buchanan pada dirinya sendiri. Bagaimanakah sebuah gereja dapat maju, tanpa adanya Firman Tuhan dalam hati para anggotanya?
Dengan suara keras ia pun bertanya: "Mengapa Bapak-Bapak tidak menerjemahkan Alkitab, sehingga para anggota jemaat dapat memahami isinya?"
"Menerjemahkan Alkitab!" Kelihatannya para pastor itu kaget, bahkan sedikit tersinggung. "Maksud Tuan Pendeta, memindahkan isi Kitab Suci dari bahasa kuno ke dalam bahasa lain? Wah, belum pernah kami dengar kalau ada Alkitab yang dapat dipahami oleh rakyat biasa!"
Claudia Buchanan mengeluarkan Alkitabnya sendiri. "Ini, Bapak-Bapak, lihat saja ini." Para pastor melihatnya dengan terheran-heran. "Inilah Alkitab yang telah diterjemahkan ke dalam bahasaku, yaitu bahasa rakyat biasa di negeri Inggris, tanah airku. Seharusnya anggota-anggota gereja di sini juga diperbolehkan mempunyai Alkitab dalam bahasa mereka sendiri."
"Bahasa mereka sendiri!" para pastor membeo lagi. "Maksud Tuan Pendeta, bahasa Malayalam? bahasa orang Travancore?
Tentu saja," jawab Pdt. Buchanan. "Bukankah bahasa Malayalam itu bahasa sehari-hari orang Travancore yang tinggal di sini?"
Sulit sekali membuat para pastor itu terbujuk olehnya! Sampai saat itu, mereka menganggap Alkitab sebagai semacam kitab kramat, yang hanya boleh dibuka dengan penuh khidmat dalam upacara ibadah agung, dan hanya boleh diucapkan dalam bahasa kuno oleh kaum rohaniawan uamg samggup membacakannya. Belum pernah mereka dengar bahwa isi Alkitab itu seharusnya masuk ke dalam pikiran dan hati manusia, dan bukan hanya masuk ke dalam telingannya saja.
Claudius Buchanan terus mendesak. Akhirnya kaum pastor itu mengalah. "Baiklah! Kami akan melakukannya," mereka mengiakan. "dan kami akan mulai dengan keempat Kitab Injil, yang menceritakan masa pelayanan Tuhan Yesus di dunia ini."
Maka para pastor duduk menghadap terjemahan Alkitab dalam bahasa Siria kuno itu, yakni Alkitab yang hanya dapat dipahami oleh mereka sendiri. Dengan susah payah mereka mulai menerjemahkan Kitab Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Kalimat demi kalimat, pasal demi pasal, Kitab Injil demi Kitab Injil, tugas itu mereka laksanakan.
Seluruh isi keempat Kitab Injil itu ditulis dalam bahasa sehari-hari penduduk Travancore, yaitu penduduk daerah pantai di India bagian barat. Lalu para pastor membawa naskah tulisan tangan itu ke kota Bombay, karena di sana ada percetakan. Claudius Buchanan pun ada di kota Bombay, dan dialah yang mengawasi proyek penerbitan itu.
Pada tahun 1811, hanya lima tahun setelah Pdt. Buchanan mula-mula menemukan gereja yang tidak mempunyai Alkitab itu, terbitlah sudah keempat Kitab Injil dalam bahasa Malayalam.
Alangkah gemparnya semua orang Kristen di negeri India bagian barat, ketika salinan-salinan keempat Kitab Injil itu tiba di Travancore! Pada hari yang indah dan tak terlupakan itu, para pastor berdiri di gereja dan membacakan kepada jemaat dalam bahasa mereka sendiri, tentang Tuhan Yesus dan ajaran-ajaran-Nya.
"Wah, ini sesuatu yang baru!" seru para anggota gereja. "Ini benar-benar Kabar Baik!"
Kemudian mereka dan pemimpin mereka mulai membandingkan ajaran dan cara hidup gereja mereka dengan isi Kitab Perjanjian Baru.
"Sudah jelas, kita harus berubah," mereka memutuskan. "Kita harus mengikuti ajaran-ajaran Tuhan Yesus, dan bukan hanya mengikuti adat-istiadat bangsa kita saja."
Maka mulailah terjadi suatu perubahan besar dalam aliran gereja yang amat kuno itu. Begitu menyeluruh perubahan itu sehingga mereka mengangkat suatu nama baru, berdasarkan nama julukan yang sudah lama diberikan kepada mereka.
Pada masa kini aliran gereja yang kuno itu dengan resmi disebut: Gereja Mar Thoma sebagai peringatan bagi Rasul Tomas yang diperkirakan sebagai orang yang mula-mula membawa ajaran-ajran Tuhan Yesus ke negeri India bagian barat. Gereja itu masih tetap dibimbing oleh ajaran-ajaran yang sama, karena Alkitab dalam bahasa mereka sendiri dibacakan setiap kali ada kebaktian umum. Lagi pula, pada masa kini aliran gereja yang kuno itu telah menjadi giat menyampaikan Kabar Baik kepada orang-orang lain.
Salinan-salinan Alkitab bahasa Malayalam itu terdapat bukan hanya di dalam gedung-gedung Gereja Mar Thoma, melainkan juga di dalam rumah-rumah para anggota. "Kami senang mempunyai Alkitab sendiri-sendiri," kata mereka. "Bagaimana kami dapat tahu kehendak Tuhan tentang cara hidup kami, kecuali jika kami dapat membaca ajaran-ajaran Alkitab?"
Dulu, ketika gerakan pembaharuan baru dilancarkan dalam aliran gereja yang kuno itu, Pdt. Claudius Buchanan juga merasa tergugah oleh pengalamannya yang luar biasa. Ia menyampaikan sebuah khotbah yang berjudul: "Bintang di Timur." Sambil berkhotbah ia menyamakan orang-orang India yang mencari Tuhan itu, dengan para orang Majus yang datang dahulu kala dari benua sebelah Timur ke Betlehem dengan dipimpin oleh sebuah bintang. Dan sesungguhnya para orang Majus itu pun dipimpin oleh penjelasan kata-kata nubuat dari Firman Tuhan.
Khotbah Pdt. Buchanan itu kemudian diterbitkan dan diedarkan ke mana-mana. Banyak orang Kristn yang menyambut himbauan Pdt. Buchanan, termasuk Adoiram Judson, utusan Injil perintis ke negeri tetangga kit, Myanmar (Birma).
Jadi, "Gereja yang Tidak Mempunyai Alkitab" itu telah menjadi sebuah gereja yang hidup menurut Alkitab. Aliran gereja di negeri India bagian barat itu tidak lagi seolah-olah tertidur atau hanya sekedar memelihara adatnya yang kuno. Gereja Mar Thoma telah menjadi suatu berkat bagi anggota-anggotanya, juga bagi orang-orang lain di dunia ini yang belum sempat mendengar Kabar Baik tentang Tuhan Yesus.
TAMAT
Setiap orang di seluruh dunia memerlukan Alkitab, dalam bentuk dan bahasa yang dapat diterimanya. Akan tetapi, . . . bagaimana jika hanya ada beberapa halaman Alkitab yang jatuh ke dalam tangan seseorang? Apakah cukup saya hanya beberapa halaman saja, untuk membimbing seseorang kepada Tuhan Yesus Kristus?
Cukup. Bahkan kadang-kadang cukup hanya dengan beberapa perkataan saja, . . . asal orang yang mendapatkannya itu sungguh rindu mencari sisa dari Firman Allah, serta rindu mencari orang yang sanggup menjelaskan maknanya. Misalnya:
Di India seorang penumpang kereta api pernah diberi sebuah buku kecil. Sesudah membacanya sana-sini, sadarlah dia bahwa buku kecil itu adalah Kitab Injil Yohanes. Orang India itu sangat membenci agama Kristen serta Kitab Suci kaum Kristen. Jadi, ia menyobek-nyobek Kitab Injil kecil itu dan melemparkan sisanya keluar jendela gerbong kereta api.
Beberapa kuli sedang memperbaiki rel kereta api. Salah seorang di antara mereka itu membungkuk dan memungut secarik kertas di pinggir rel. Kertas itu sangat kecil, hanya memuat dua kata saja. Namun kata itu dicetak dalam bahasa yang dapat dibaca oleh kuli tadi: "Roti Hidup."
Ia amat terkesan. Berkali-kali ia mengucapkan kedua kata itu dengan keras: "Roti Hidup. Roti Hidup. Roti Hidup." Lalu dalam hati ia pun meneruskan: Persis itulah yang kuperlukan. Dari manakah aku dapat memperolehnya?
Pada waktu kuli itu masih bertanya-tanya, ada orang lain yang memperingatkan dia: "Istilah `Roti Hidup' itu kedengarannya dari Kitab Suci kaum Kristen. Awas, nanti kamu tersesat olehnya!"
Tetapi kuli itu tidak berhenti mencari tahu, apa arti "Roti Hidup." Akhirnya ia menemui sekelompok kecil orang Kristen. Dan ia pun sempat bertemu dengan Tuhan Yesus Kristus, "Roti Hidup" itu . . .
Di Jepang pernah ada seorang remaja berumur 14 tahun yang melarikan diri dari kampung halamannya ke ibu kota, Tokyo. Perbuatannya yang nekat itu, tujuannya bukan untuk petualangan melainkan untuk pendidikan. Untung, seorang kepala sekolah menampung dan mengarahkan anak remaja itu. Ia diberi pekerjaan pada sebuah bengkel percetakan, dan diizinkan masuk kelas-kelas khusus pada malam hari.
Sebagian karyawan itu wataknya tidak baik. Mereka mendorong anak laki-laki itu untuk merokok dan mencicipi minuman keras. Bahkan mereka mengajak dia ikut ke rumah pelacuran, pada hari setelah pembayaran upah yang akan datang.
Untung, sebelum hari pembayaran upah tiba, ada kejadian yang tak terduga. Di dekat pintu gerbang bengkel percetakan itu beralir sebuah sungai. Pada suatu hari, di seberang sungai itu berkumpul serombongan kaum muda yang mulai bernyanyi dan berbicara kepada orang-orang yang lewat di jalan.
Anak remaja tadi merasa tertarik. Ia menyeberang jembatan dan mendekati kelompok kaum muda tadi. Belum pernah ia mendengar hal-hal yang mereka ceritakan; ia sama sekali tidak dapat memahaminya.
Pada waktu rombongan kaum muda itu hendak pergi lagi, setiap pendengar mereka diberikan sehelai surat selebaran. Di sampul depan kertas kecil yang dilipat itu ada sebuah gambar. Bulan purnama yang sedang bersinar di waktu malam, dan dua ekor singa sedang mengaum. Dibawah gambar itu tertera dua kalimat ini:
"Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya."
Anak remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ia sedang membaca 1Petrus 5:8. Ia tidak tahu menahu tentang Alkitab. Bahkan sebelumnya ia belum pernah mendengar tentang adanya orang Kristen. Namun kutipan ayat itu tidak terlepas dari ingatannya. Berkali-kali ia membacanya, sambil melihat-lihat gambar singa itu.
Anak remaja itu mulai berkenalan dengan kelompok kaum muda yang telah mengadakan kebaktian di luar dekat jembatan sungai. Ia memperoleh sebuah Kitab Perjanjian Baru dan mulai membacanya. Pada Kitab yang pertama, pasal yang kedua, ayat yang kedua, ia menemukan anak kalimat ini: "Raja orang Yahudi." Remaja itu tahunya hanya seorang raja saja, yaitu sang kaisar Jepang. Ketika ia bertanya tentang "Raja orang Yahudi" itu, ia diberitahu bahwa maksudnya, Raja secara rohani, bukan raja duniawi.
Baru pertama kali remaja itu menyadari bahwa ada kawasan rohani, di samping kawasan duniawi. Makin lama makin rindu dia untuk mengetahui lebih banyak tentang kawasan rohani itu. . . .
Ternyata anak remaja Jepang yang kisah nyatanya diceritakan di sini, kemudian menjadi salah seorang pemimpin Bala Keselamatan bukan hanya di tanah airnya saja, melainkan di seluruh benua Asia!
Dulu pernah ada sebuah negara di mana umat beragama diajar supaya menjauhi Alkitab, karena Alkitab itu dianggap buku yang tidak baik untuk dibaca orang biasa. Di negara itu ada seorang rakyat miskin bernama Turribio yang sedang mengorek-ngorek di tempat sampah. Ia menemukan beberapa halaman dari sebuah buku. Ia membawa pulang halaman-halaman yang kotor itu, dan mulai membacanya. Ternyata ada banyak cerita yang sangat menarik tentang Tuhan Yesus Kristus, yang sebelumnya belum pernah didengarnya.
Pada suatu hari, ketika Turribio sedang naik kereta api, ia bertemu dengan seorang kawan lama. Kawannya itu dengan semangat berkata, "Biarlah saya bercerita tentang apa yang sudah terjadi atas diri saya! Dulu saya ini seorang pemabuk, Saudara tahu sendiri. Tetapi sekarang saya telah bertemu dengan Tuhan Yesus Kristus, dan segala sesuatu berubahlah."
"Dari manakah Saudara mendengar tentang Tuhan Yesus Kristus itu?" tanya Turribio.
"O, dari membaca Alkitab," jawab temannya. "Di dalam Alkitab itu saya menemukan kebenaran yang sudah lama dicari."
Turribio mengerutkan dahinya. "Bukankah Alkitab itu sebuah buku yang terlarang?" ia mengingatkan temannya. "Nanti Saudara tersesat bila membacanya."
Sebagai jawabannya, teman itu membuka kopernya, mengeluarkan sebuah Alkitab, dan mulai membacakannya. "Coba dengarkan, Turribio, adakah di sini sesuatu yang tidak benar?" tanyanya.
"O, itu bukan Alkitab," kata Turribio, kaget. "Kedengarannya itu sama seperti beberapa halaman dari sebuah buku yang baru-baru ini saya baca." Lalu ia pun membuka keranjangnya dan mengeluarkan beberapa halaman yang dipeliharanya baik-baik.
Mereka membandingkan halaman-halaman milik Turribio dengan Alkitab milik temannya itu. Ternyata isinya sama, bahkan susunan pasal dan ayatnya pun sama.
"Wah, memang sama!" Turribio mengaku. "Coba bayangkan, . . . selama ini saya membaca Alkitab, padahal saya belum menyadarinya."
Temannya itu terus menjelaskan makna Firman Tuhan. Dan sebelum kereta api tiba di tempat tujuan mereka, Turribio juga sudah percaya kepada Tuhan Yesus Kristus . . . .
Sayang sekali jika Firman Tuhan memang ada, namun tidak ada orang yang dapat menjelaskan maknanya! Pada permulaan abad ke-19, beberapa utusan Injil memasuki sebuah daerah pedesaan dekat kota Dhaka (kini ibu kota negara Bangladesh). Mereka merasa agak heran, karena di desa-desa orang Benggala itu tidak ada patung-patung para dewa, seperti lazimnya di tempat-tempat lain.
"Betul, Tuan-Tuan, kami sudah meninggalkan agama nenek moyang kami," penduduk desa itu menjelaskan. "Kami mempunyai sebuah Buku yang memberi petunjuk tentang agama yang lebih baik. Namun sayang, kami tidak begitu mengerti makna Buku itu."
Lalu mereka membuka sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Di dalamnya tersimpan baik-baik sebuah Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Bangla, hasil terjemahan William Carey. (Lihat pasal 4 dalam buku ini.) Entah bagaimana, Kitab Suci itu sampai ke daerah pedesaan yang terpencil. Dan selama 17 tahun, penduduk desa-desa itu menunggu dengan sabar sampai datang orang-orang yang dapat menjelaskan maknanya. . . .
Sekali lagi di Negeri Sakura, ada seorang gadis kecil di desa pegunungan. Waktu pulang sekolah, gadis Jepang itu hampir menginjak sebuah buku kecil. Buku itu kotor, sobek; namun sesudah dipungut, ternyata isinya sangat bagus.
Malam itu, ketika gadis tadi sedang membaca buku kecilnya di rumah, ia mendengar bapak dan ibunya membicarakan tetangga mereka, Ibu Ayako.
"Sayang, sejak suaminya meninggal, Ibu Ayako sedih sekali," kata sang ayah.
"Ya, betul," jawab sang ibu. "Ia mencari penghiburan ke mana-mana ke kelenteng, ke kuil, ke candi. Namun ia tetap sedih."
Si gadis mendapat akal. Keesokan harinya ia menghadiahkan buku kecil yang telah ditemukannya di jalanan desa itu kepada tetangganya, Ibu Ayako. "Mungkin ibu suka membacanya," kata gadis itu. "isinya bagus. Ada cerita-cerita yang sangat menarik, tentang seorang Guru yang suka menolong orang-orang yang bersedih hati."
Ibu Ayako mengucapkan terima kasih seraya menerima buku kecil itu. Mulailah dia membacanya. memang benar, bagus sekali! Ia rindu agar dapat lebih banyak mengerti tentang Guru yang baik hati itu. Namun tidak seorang pun di desa pegunungan itu yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibu Ayako tentang lesu Kirisuto.
Pada suatu hari Ibu Ayako pergi ke sebuah desa lain dengan mengikuti jalan setapak, untuk menjual beberapa butir telur di pasar. Di tengah-tengah keramaian pasar itu, berdirilah seorang bapak yang sedang berbicara kepada orang banyak. Dan yang sangat mengherankan, ia pun menyebutkan nama Guru yang baik hati itu: "lesu Kirisuto."
Bila bapak itu selesai berbicara, Ibu Ayako mendekati dia. Bertubi-tubi ia mengajukan pertanyaan. Lalu ia pun mengajak: "Maukah Bapak datang ke desa saya, di daerah pegunungan? Di sana tidak ada seorang pun yang tahu tentang lesu Kirisuto kecuali saya dan seorang gadis kecil!"
Ternyata bapak itu seorang penjual Alkitab. Tentu saja ia senang datang ke desa pegunungan itu. Beberapa bulan kemudian, di sana cukup banyak orang yang sudah percaya kepada lesu Kirisuto, sehingga mereka dapat mengorganisasikan sebuah gereja kecil. Dan semuanya itu terjadi, karena ada suatu salinan Kitab Injil Lukas yang pernah terinjak-injak di jalanan!
TAMAT
"Berapa harga Alkitab bahasa Inggris?"
Mungkin pembaca sendiri pernah bertanya seperti itu, jika sedang berbelanja di toko buku yang menjual Alkitab dalam berbagai bahasa asing. Mungkin Alkitab bahasa Inggris agak lebih tinggi harganya daripada Alkitab bahasa Indonesia; pada umumnya barang cetakan berbahasa asing itu lebih mahal daripada barang cetakan berbahasa nasional.
Namun pembaca mungkin sekali belum pernah membayangkan, berapa mahal harga yang sebenarnya dari Alkitab bahasa Inggris itu. Untuk dapat mengerti kemahalannya, mari kita kembali menelusuri sejarahnya samapi ke suatu masa lebih dari empat setengah abad yang lalu . . . .
Pada tahun 1522 William Tyndale merasa beruntung sekali. Ia sudah menyelesaikan kuliahnya di dua universitas yang terkenal, baik di Oxford maupun di Cambridge. Dan ia pun sudah mendapat pekerjaan yang cukup baik. Ia menjadi guru pribadi dua anak laki-laki dalam keluarga Sir John Walsh, seorang bangsawan negeri Inggris.
Di samping mengajar membaca dan menulis dua bocah kecil, sarjana yang masih muda itu menjadi pendeta pribadi seluruh keluarga Walsh. Di samping imbalan yang diterimanya, ia juga ditampung di rumah keluarga Walsh yang mewah. Hari demi hari ia memimpin kebaktian untuk seisi rumah tangganya.
Pada masa lebih dari empat setengah abad yang lalu itu, banyak orang Inggris suka berbicang-bincang tentang soal agama. Di negeri Jerman, Martin Luther baru menantang sri paus serta memulai suatu gerakan pembaruan gereja yang kemudian terkenal sebagai Reformasi Protestan. Percakapan mengenai peristiwa itu selalu menimbulkan perdebatan hangat.
Bahasa Inggris masih berpaut pada cara-cara gereja lama. Namun William Tyndale lebih memperhatikan kata-kata yang terdapat di dalam Alkitab, daripada kata-kata yang diamanatkan oleh para pembesar gereja. Hal itu pun sering menghangatkan diskusi di sekitar meja makan besar di rumah Sir John Walsh.
Sir John adalah seorang tuan rumah yang sangat ramah; sering ia mengundang makan para pendeta dan pembesar gereja yang tinggal di sekitar rumahnya. Pada salah satu perjamuan malam, William Tyndale berdebat panjang lebar dengan para rohaniawan yang lebih tua dari pada dia. Ternyata pendeta-pendeta senior itu amat pintar tentang seluk-beluk doktrin gereja, namun sangat bodoh tentang isi Alkitab. Tidak seorang pun di antara mereka itu yang sanggup mengutip Doa Bapa Kami. Tidak seorang pun di antara mereka tahu di mana letaknya contoh doa itu di dalam Alkitab. Dan yang lebih payah lagi tidak seorang pun di antara mereka menganggap penting kebodohan itu . . . kecuali William Tyndale saja.
Meja makan sudah dibersihkan oleh para pelayan; lilin-lilin sudah dinyalakan; namun perdebatan itu masih terus berlangsung. Akhirnya salah seorang ahli doktrin gereja itu berteriak, sambil membanting tinjunya ke meja: "Wah! Lebih baik kita kehilangan hukum Tuhan, daripada kehilangan hukum para pembesar gereja!"
William Tyndale membalas dengan berseru: "Aku menantang para pembesar gereja dan segala hukumnya! Kalau Tuhan memperpanjang umurku, pada tahun-tahun mendatang aku akan menjadikan setiap anak laki-laki yang membajak di ladang lebih mengetahui isi Alkitab daripada engkau sendiri!"
Setelah para tamu pulang istri Sir John Walsh berkata dengan cemasnya, "Aduh, Pendeta tyndale, bukankah perkataanmu tadi agak keterlaluan? Namun pendeta sudah banyak dipercakapkan di kedai-kedai minuman keras. Para rohaniawan yang bodoh-bodoh itu suka menceritakan kembali setiap perkataanmu, dibumbui dengan perkataan lain lagi yang sebenarnya belum pernah kaucapkan. Dan . . . mereka suka menuduh bahwa Pendeta Tyndale sudah menganut ajaran bidat."
William Tyndale merasa menyesal. Ia mengusulkan agar ia meninggalkan rumah keluarga Walsh. Namun Sir John dan istrinya adalah orang Kristen yang berani. Mereka sudah diyakinkan Pdt. Tyndale, bahwa iman yang sejati harus dinyatakan melalui mendalami Alkitab serta menjalani hidup secara layak sebagai orang Kristen. Maka mereka tidak mau melepaskan pelayanan William Tyndale dari keluarga mereka. Tetapi supaya mereka tidak lagi dipermalukan, mereka berhenti mengundang para pendeta senior dan para pembesar gereja ke rumah mereka.
Pdt. Tyndale merasa tindakan itu cukup bijaksana. Ia sendiri lebih senang mengkhotbahkan isi Alkitab kepada orang biasa di gereja-gereja desa, daripada memperdebatkan soal-soal agama dengan para rohaniawan. Jika diberitakan bahwa William Tyndale akan mengisi mimbar di gereja tertentu, selalu orang berbondong-bondong menghadiri kebaktian di sana. Pdt. Tyndale suka membacakan Alkitab berbahasa Latin kepada rakyat jelata, lalu menjelaskan maknanya ke dalam bahasa Inggris yang sederhana.
Namun tindakan Sir John Walsh tadi tidak menyelesaikan masalahnya, malah menjadikannya lebih sengit. Para rohaniawan yang tinggal di sekitarnya itu telah kehilangan kesempatan untuk menikmati makanan yang lezat serta penginapan yang nyaman di rumah keluarga Walsh. Tentu saja mereka mempersalahkan William Tybdale atas kerugian itu.
Perkataan Tyndale dilaporkan kepada atasan para petugas gereja di daerah itu. Segera ia menyuruh Pdt. Tyndale menghadap, dan mengundang beberapa penuduhnya untuk hadir pula. Rupanya hanya para penuduh saja yang diizinkan berbicara, sehingga Tyndale tidak sempat membela diri. Mengenai pemeriksaan di hadapan pengawasannya itu, Tyndale mencatat: "Ia mengancam segala macam, serta mencaci maki diriku seolah-olah aku ini seekor anjing saja."
Setelah dilakukan pemeriksaan yang kurang adil itu, William Tyndale memang pindah dari rumah Sir John Walsh. Ia tidak mau mencelakakan keluarga yang baik hati itu. Di samping perkataannya yang dianggap ajaran bidat, ia pun sudah memberanikan diri mulai menyusun ayat-ayat Alkitab dalam bahasa Inggris. Pembuatan terjemahan baru itu sudah jelas berarti melanggar hukum.
Satu setengah abad sebelum masa hidup William Tyndale, pernah ada orang-orang Kristen yang berani menerjemahkan seluruh Alkitab dari bahasa Latin ke dalam bahasa Inggris. Tetapi perbuatan mereka itu dikutuk, baik oleh gereja maupun oleh negara. Undang-undang Kerajaan Inggris masih melarang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa nasional itu masih tetap berlaku.
Namun Tyndale mulai berani menyalin Firman Allah ke dalam kata-kata yang dapat dipahami oleh orang biasa. Ia bukan hanya menerjemahkan berdasarkan Alkitab berbahasa Latin saja: Sebagai seorang sarjana lulusan universitas, ia sudah pandai berbahasa Ibrani dan Yunani, yaitu bahasa-bahasa asli Alkitab. Maka ia sanggup mengerjakan terjemahan Alkitab bahasa Inggris yang jauh lebih tepat daripada yang pernah dihasilkan satu setengah abad sebelumnya itu.
Hanya ada satu orang saja yang berhak memberi izin pengecualian, sehingga terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris boleh diterbitkan tanpa melanggar hukum. Orang itu adalah Uskup Tunstall di London. William Tyndale memutuskan untuk pindah ke ibu kota itu, agar ia dapat menghadap sang uskup.
"Aku tidak udah digaji," kata Pdt. Tyndale sambil berusaha membujuk Uskup Tunstall. "Aku hanya minta disediakan sebuah kamar yang sepi, agar aku dapat bekerja dengan tenang sampai terjemahan baru itu selesai."
Rupanya Uskup Tunstall sudah mendengar desas-desus tentang pendeta muda ini. Namun ia tidak terang-terangan menolak permintaan Tyndale. "Sudah terlalu banyak orang yang harus diberi makan dari anggaran belanjaku," kata sang uskup dengan sangat halus. "Maaf, aku tidak sanggup menambah lagi seorang karyawan."
William Tyndale kecewa, tetapi tidak putus asa. Ia mencari sampai mendapat sebuah gereja kecil di ibu kota London yang rela menerima dia sebagai gembala sidangnya. Dengan sungguh-sungguh ia melayani jemaat itu, sehingga hanya tinggal sisa waktunya untuk meneruskan pekerjaan menerjemahkan Alkitab.
Khotbahnya yang berapi-api di gereja kecil itu menarik perhatian seorang bangsawan dan saudagar kain bernama Sir Humphrey Monmouth. Beberapa kali Sir Humprhrey melintasi seluruh kota London yang luas itu, hanya agar ia dapat mendengar khotbah Pdt. Tyndale.
"Datanglah ke rumahku," Sir Huphrey mengundang. "Tinggallah bersamaku. Aku rela meminjamkan uang kepadamu, sehingga engkau dapat meneruskan terjemahanmu dengan lebih leluasa."
William Tyndale menerima undangan yang bersifat murah hati itu. Selama enam bulan ia menginap di rumah Sir Humphrey Monmouth. Sepanjang hari, bahkan sampai larut malam ia bekerja keras, mengalihkan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Inggris.
Makin lama Tyndale tinggal di ibu kota, maka jelaslah bahwa Alkitab bahasa Inggris itu tak mungkin diterbitkan di negeri Inggris. Tanpa seizin uskup Tunstall, semua tukang cetak merasa takut mengerjakan terjemahan baru yang terlarang itu. Tetapi di negeri Jerman dan di negeri-negeri lain di benua Eropa, ada banyak orang Kristen yang sudah menyokong gerakan pembaharuan gereja yang sudah dimulai oleh Martin Luther. Mungkin di sana ada kesempatan yang lebih luas untuk menerbitkan terjemahanku, demikianlah pikiran Tyndale.
Pada bulan Mei tahun 1524, William Tyndale meninggalkan negeri Inggris. Ia telah meminjam sejumlah uang dari Sir Humphrey Monmouth untuk menutupi ongkos perjalanannya. Lalu ia naik sebuah kapal layar dari pulau Inggris dan menyeberangi lautan ke benua Eropa. Sama sekali tidak terlintas di dalam pikirannya bahwa seumur hidup ia tidak akan sempat melihat tanah airnya lagi.
Pdt. Tyndale mendarat di pelabuhan Hamburg. Selama satu tahun ia menetap di negeri Jerman sambil menyelesaikan terjemahannya. Mungkin ia sempat bertemu serta berunding dengan Dr. Martin Luther, pendekar Reformasi Protestan itu. (Cerita penerjemah Alkitab agung tersebut dimuat dalam Jilid 2 dari seri buku ini.)
Kota Koln adalah pusat kegiatan para tukang cetak Jerman yang terkenal. Salah seorang di antara mereka itu bernama Peter Quentel. Kepada dialah William Tyndale bertanya, "Relakah engkau mencetak tiga ribu eksemplar Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Inggris?"
Dengan senang hati," Jawab Peter Quentel. Maka pekerjaan itu segera dimulai.
Tyndale tidak tahu bahwa pada saat yang sama itu Quentel juga sedang mencetak sebuah buku untuk Johann Dobneck, seorang pemimpin gereja yang sangat membenci Martin Luther. Bahkan Dobneck membenci setiap gerakan pembaharuan di kalangan orang Kristen.
Pada suatu hari Dobneck mendengar percakapan beberapa tukang cetak yang sedang memperbincangkan Martin Luther. "Banyak yang dapat kuceritakan, kalau aku mau," kata salah seorang tukang cetak itu dengan berbual-bual. Di sini juga sedang dikerjakan sesuatu yang akan membuat semua orang Inggris menganut gerakan Luther!"
Untuk mendapat keterangan yang lebih jitu, Dobneck mengundang para tukang cetak itu ke rumahnya. Ia pun menyuguhkan banyak air anggur, sehingga mereka mulai mabuk dan rela menceritakan rahasia itu: "Ada beberapa saudagar bangsa Inggris yang mengongkosi proyek di dalam bungkusan kain biasa. Dengan cara itu Alkitab akan dibawa dari negeri Jerman, lalu diselundupkan ke negeri Inggris untuk dijual."
Johann Dobneck bertindak dengan cepat. Ia mempengaruhi para pembesar di kota Koln untuk menghentikan proyek penerbitan rahasia itu. Ia pun menulis surat kepada raja Inggris dan Uskup Tunstall, supaya semua kapal perniagaan digeledah, kalau-kalau di dalam muatannya ada barang selundupan berupa Alkitab bahasa Inggris yang terlarang itu.
Tetapi William Tyndale juga bertindak dengan cepat. Salah seorang tukang cetak tadi, setelah siuman kembali dari mabuknya, merasa sangat menyesal karena sudah membocorkan rahasia itu. Ia memberitahukan apa yang telah terjadi. Dengan sangat tergesa-gesa Tyndale sempat pergi ke bengkel percetakan Peter Quentel. Serta merta ia mengambil dan membungkus halaman-halaman yang sudah selesai, karena 22 pasal pertama dari Kitab Injil Matius itu sudah jadi dicetak.
Dengan tiga ribu salinan dari Matius 1-22 serta naskah terjemahannya yang sangat berharga itu, William Tyndale berhasil mengungsi dari kota Koln ke kota Worms. Di sana ia mencari seorang tukang cetak baru, dan proyek penerbitan itu pun masih diteruskan. Kali ini semuanya berjalan lancar. Enam ribu Kitab Perjanjian Baru berbahasa Inggris dicetak, yakni dua kali lipat jumlah yang mula-mula dipesan itu.
Sesungguhnya penundaan proses penerbitan itu sangat menguntungkan. Selama minggu-minggu pertama sesudah usaha William Tyndale diketahui oleh musuh-musuhnya, semua kapal yang berlabuh di negeri Inggris itu digeledah. Tetapi setelah lewat beberapa bulan, keadaan waspada itu agak mereda. Maka pada musim semi tahun 1526, keenam ribu Perjanjian Baru yang disembunyikan di dalam bungkusan kain itu tiba dengan selamat, serta disebarluaskan di antara bangsa Inggris.
Bukan main murka raja Inggris dan Uskup Tunstall pada waktu mereka mengetahui hal itu! Mereka bukan hanya menyuruh menyita semua Kitab Perjanjian Baru itu, tetapi juga menahan semua pemiliknya. Sebanyak 158 keranjang besar berisi Firman Allah berbahasa Inggris itu ditumpuk di depan sebuah gereja agung di ibu kota. Lalu para tahanan tadi dipaksa membuang bara api ke atas keranjang-keranjang besar itu sampai seluruh isinya terbakar.
Anehnya, . . . tindakan kekerasan itu pun ternyata sangat menguntungkan bagi usaha William Tyndale dan kawan-kawannya. Banyak orang yang menyaksikan kebakaran besar itu mulai bertanya-tanya: "Mengapa buku-buku itu dianggap begitu jahat? Siapa yang tahu, dimana kita dapat membelinya?
Para saudagar Inggris yang mengongkosi proyek penerbitan itu sangat cerdik; mereka tahu bahwa pertanyaan spontan semacam itu merupakan iklan gratis yang paling unggul. Maka mereka memesan lebih banyak lagi Kitab Perjanjian Baru terjemahan William Tyndale. Alkitab-Alkitab itu dicetak di beberapa tempat di negeri Belanda. Ribuan eksemplar diselundupkan ke negeri Inggris dari negeri Skotlandia, dengan menyembunyikannya ke dalam karung gandum dan bungkusan rami. Sedemikian besar rasa ingin tahu khalayak ramai tentang terjemahan baru itu, sehingga ada orang-orang yang rela membayar dengan harga yang mahal, asal saja mereka dapat mempunyai sebuah Alkitab bahasa Inggris.
Sang raja dan sang uskup di ibu kota itu lebih murka lagi! Semua orang yang diketahui pernah menemani William Tyndale, segera ditahan dan diperiksa. Bahkan yang berpangkat bangsawan sekalipun tidak luput, seperti misalnya Sir Humphrey Monmouth. Ratusan orang dikucilkan dari gereja; puluhan orang dipenjarakan; dan tidak sedikit orang dibakar hidup-hidup.
Agen-agen rahasia Inggris disuruh ke negeri Jerman, dengan maskud untuk menangkap Tyndale. Tetapi ia meloloskan diri ke kota Antwerpen, di negeri Belgia. Uskup Tunstall sendiri menyeberang ke Antwerpen, namun tidak berhasil menemukan orang yang dilacaknya itu.
Sambil merantau, sang uskup sempat bertemu dengan seorang saudagar Inggris bernama Augustine Packington.
"Tuanku," kata saudagar itu, "jikalau Tuanku menghendaki, dan rela membayar, aku dapat mengumpulkan buku yang terlarang itu sebanyak-banyaknya.
"Baiklah!" kata Uskup Tunstall. "Dengan hati yang bulat aku akan membayar seluruh ongkosmu, karena buku itu sangat jahat, dan aku bertekad akan memusnahkan semuanya."
Tidak lama kemudian, Augustine Packington pergi ke suatu tempat persembunyian di kota Antwerpen. "William," katanya kepada Pdt. Tyndale, "aku telah mendapatkan seorang langganan yang mau membeli banyak sekali Kitab Perjanjian Barumu."
"Siapa dia?" tanya William Tyndale.
"Sang uskup dari London," jawab Packington.
"Ah! Dia hanya mau membakarnya saja!" cetus Tyndale.
"Ya, betul," temannya itu mengiakan.
Lalu William Tyndale mulai berpikir: Kalau Uskup Tunstall rela membayar sisa cetakan ini, dengan hasil uang itu aku dapat mencetak edisi baru yang sudah diperbaiki. Apa lagi, seluruh dunia akan memprotes pembakaran Firman Allah, sehingga akan muncul lagi iklan gratis!
Tidak lama kemudian, Augustine Packington memenuhi janjinya. Ia datang ke rumah besar di ibu kota tempat tinggal Uskup Tunstall, dengan menuntun seekor bagal. Binatang itu sarat dengan Kitab-Kitab Perjanjian Baru hasil terjemahan Tyndale. Sang uskup membayar harganya. Lalu uang itu dibawa ke seberang, demi melancarkan usaha penyediaan Alkitab bahasa Inggris dalam edisi yang baru.
Sementara itu Pdt. Tyndale bukan hanya menyempurnakan terjemahan Kitab Perjanjian Baru saja; ia pun mulai mengusahakan terjemahan Kitab Perjanjian Lama. Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan . . . kitab demi kitab dialihkan dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Inggris. Dan ia bukan hanya menerjemahkan Alkitab saja: Ia pun berusaha menyampaikan maknanya kepada orang-orang lain.
Pada suatu hari di kota Antwerpen ia mengumpulkan beberapa saudagar Inggris yang rela menolong dia menyelundupkan Alkitab ke tanah air mereka. Salah seorang yang sempat mendengarkan Tyndale membacakan terjemahannya pada hari itu, kemudian bercerita sebagai berikut:
"Kata-katanya begitu halus terdengar, begitu sedap dan manis, sehingga mirip dengan kata-kata Rasul Yohanes sendiri. Kami merasa terhibur, bahkan bergembira, pada saat kami sempat mendengar dia membacakan Firman Allah dalam bahasa kami sendiri."
Tetapi pada suatu hari yang lain di kota Antwerpen, ada seorang kawan yang mengajak William Tyndale meninggalkan rumah tempat pengungsiannya dan pergi berjalan-jalan. Tyndale rela saja pergi . . . karena ia tidak tahu bahwa orang itu sesungguhnya bukan kawan melainkan lawan. Orang itu memimpin Pdt. Tyndale langsung ke arah suatu pasukan tentara, yang dengan segera menyeret dia ke penjara negara di Benteng Vilvoorde.
Proses pengendalian William Tyndale berlangsung selama hampir satu setengah tahun. Sementara itu ia tidak tinggal diam. Mula-mula ia tidak diizinkan membawa apa-apa ke dalam selnya. Tetapi dengan setia ia bersaksi kepada kepala penjara, sehingga orang itu maupun seluruh keluarganya menjadi percaya kepada Tuhan Yesus. Lalu dengan bantuan teman-temannya yang baru itu, Pdt. Tyndale mendapat kembali buku-buku miliknya yang sangat berharga: Alkitab bahasa Ibrani, pedoman tata bahasa Ibrani, dan kamus bahasa Ibrani. Ia pun mendapat persediaan kertas dan pena, juga lilin agar dalam kegelapan malam ia dapat bekerja terus.
Selama proses pengadilan yang berkepanjangan itu, William Tyndale berhasil menerjemahkan Perjanjian Lama sampai dengan Kitab 2 Tawarikh. Lalu pada suatu hari dalam musim rontok ia dituntun ke luar dari selnya. Pada tanggal 6 Oktober tahun 1536, di depan orang banyak, lehernya dicekik dengan rantai sampai ia melepaskan nyawanya. Lalu mayatnya dibakar.
Beberapa saat sebelum ia meninggal, William Tyndale sempat mencetuskan suatu doa penghabisan:
"Ya Tuhan, celikkanlah mata raja negeri Inggris!"
Anehnya, . . . pada tahun itu juga sang raja memberi izin supaya sebuah versi Alkitab dalam bahasa Inggris boleh diterbitkan.
Dan bukan hanya itu saja: Dari tahun 1536 hingga kini, Alkitab bahasa Inggris berkali-kali diterjemahkan kembali dan berkali-kali diterbitkan kembali. Juga dari tahun 1536 hingga kini, tiap-tiap versi Alkitab dalam bahasa Internasional itu sangat dipengaruhi oleh terjemahan yang mula-mula dikerjakan William Tyndale, seorang sarjana yang rela mengorbankan nyawanya sebagai harga Alkitab bahasa Inggris.
TAMAT
Di daerah Palestina dua ribu tahun yang lalu, orang membuatkitab bukan dengan kertas, melainkan dengan kulit kambing yang sudahdisamak. Jadi, pada waktu seorang juru tulis Palestina yang kenamaanhendak menyalin sebuah kitab, ia pun terlebih dahulu memesan gulungankulit. Kulit itu disiapkan secara istimewa oleh seorang penyamakkulit yang ahli.
Juru tulis kenamaan itu sangat memperhatikan gulungan yangdipesannya, karena ia sedang menghadapi suatu tugas yang sangatpenting: Ia akan menyalin seluruh Kitab Nabi Yesaya denngan tulisantangannya sendiri!
Di atas meja tulisnya sudah tersedia berbagai alat tulisnya:beberapa buluh rawa yang diruncingkan dan semacam dawat khusus yangdipakainya sebagai tinta. Dengan memakai dawat itu, tulisan padakulit kambing dapat tahan tanpa menjadi luntur untuk bertahun-tahunlamanya.
Setelah segala alat tulisnya siap, juru tulis kenamaan itumulai bekerja. Dengan teliti ia menyalin kata demi kata padalajur-lajur sempit yang membujur di gulungan panjang itu. Jam demijam, hari demi hari, minggu demi minggu ia bekerja dengan tekun.
Akhirnya selesailah salinan seluruh Kitab Nabi Yesaya. Keduaujung naskah yang tertulis pada gulungan kulit itu masing-masingdilekatkan pada dua batang kayu, supaya mudah dibuka untuk dibaca.Bila tidak dipakai, naskah itu digulung dari kedua ujungnya sampaitertutup dengan rapat, lalu diikat dan disimpan dalam perpustakaan.
Penyamak kulit ahli sudah menyediakan sebuah gulungan kulitkambing lagi, maka juru tulis kenamaan itu bekerja terus. Segera iamulai menyalin sebuah kitab lain lagi dari Perjanjian Lama. Sedikitsekali orang yang semahir dia; sedikit sekali orang yang setelitidia bila sedang membuat salinan baru dari naskah kuno. Semua gulungannaskah dari kulit hasil karyanya itu dipakai berkali-kali dalamkebaktian serta penyelidikan Alkitab, dan selalu dipeliharabaik-baik.
Bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun sudah lewat.Bangsa Romawi sudah mulai menjajah daerah Palestina.
Sekelompok ahli Taurat mengungsi ke suatu daerah yangterpencil di dekat Laut Mati. Di situ bukit-bukitnya gersang dan adabanyak gua, tempat binatang buas membuat liangnya dan lebah hutanmenyimpan madunya. Di situ pula ahli-ahli Taurat itu membangunsemacam benteng, dengan memakai batu-batu pegunungan yang adadisekitar mereka.
Di dalam benteng itu mereka membentuk suatu mazhab agamaYahudi tersendiri, yang hidup terasing di pegunungan. Merekamendirikan semacam persekutuan persaudaraan, dan hidup sebagaibiarawan. Walau ada kerusuhan di dunia luar, namun mereka terusmenyelidiki Kitab Perjanjian Lama dari gulungan-gulungan kulit.
Di antara orang-orang itu ada seorang ahli perpustakaan.Dialah yang bertugas memelihara gulungan-gulungan kitab yang banyaksekali itu. Di samping itu ia pun mencatat hikayat tentang cara hiduppara anggota persekutuan persaudaraan.
Masa itu memang suatu masa yang penuh kerusuhan. Ahliperpustakaan itu makin lama makin cemas. Ia mulai berpikir:Bagaimanakah kalau orang-orang Romawi atau musuh-musuh lain datangmenyerbu benteng kita? Lalu timbul kecemasan lain lagi dalambenaknya: Bagaimanakah aku dapat menyelamatkan gulungan-gulungankulit yang sangat berharga ini? Di manakah tempat yang paling aman?
Sesudah ia menjelajahi seluruh daerah pegunungan yang gersangitu, akhirnya ia menemukan suatu tempat yang aman. Di sebuah bukityang terpencil ada beberapa gua. Gua-gua itu kelihatan kecil, tetapisetelah ia menyelinap masuk melalui celah gunung yang sempit,ternyata ruang di dalamnya cukup luas, lagi bersih dan kering.
Sesudah ia menjelajahi seluruh daerah pegunungan yang gersangitu, akhirnya ia menemukan suatu tempat yang aman. Di sebuah bukityang terpencil ada beberapa gua. Gua-gua itu kelihatannya kecil,tetapi setelah ia menyelinap masuk melalui celah gunung yang sempit,ternyata ruang di dalamnya cukup luas, lagi bersih dan kering.
Ahli perpustakaan itu pulang dan melaporkan hasilpenjelajahannya. Lalu para anggota persekutuan itu setuju bahwagulungan-gulungan kulit milik mereka sebaiknya disembunyikan digua-gua. Nanti sesudah bahaya peperangan lewat, mereka dapatmegambilnya kembali.
Maka gulungan Kitab Nabi Yesaya itu diambil dari tempatpenyimpannya di perpustakaan, bersama dengan ratusan naskah lainnya,besar dan kecil. Tiap kitab gulungan diikat baik-baik, sertadimasukkan ke dalam sebuah tempayan dari tanah liat. Ada yangdisembunyikan dalam gua yang satu, dan ada yang disembunyikan dalamgua yang lain. Selain para anggota persekutan persaudaraan itu, tidakseorang pun yang tahu di manakah mereka menyimpan harta mereka.
Akhirnya bahaya itu betul-betul datang. Biara berupa bentengitu dihancurkan, dan para anggota persekutuan persaudaraan dibunuh.Jadi, tidak ada seorang pun yang masih hidup, yang tahu adanyanaskah-naskah yang tersembunyi itu.
Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, bahkan beratus-ratustahun sudah lewat. Di dalam gua-gua yang gelap, tempayan-tempayantanah liat itu masih tetap melindungi harta yang tersembunyi.Kadang-kadang ada yang pecah karena ada batu yang jatuh darilangit-langit gua, dan naskah yang sudah lapuk itu pun hancur.Tetapi gulungan Kitab Nabi Yesaya masih tetap utuh. Hanya saja, . . .mungkinkah mata manusia akan sempat membacanya lagi?
Sementara itu, di dunia luar ada juga salinan-salinan KitabNabi Yesaya, tetapi kurang lengkap. Tidak semua juru tulis setelitijuru tulis kenamaan yang pernah membuat salinan kitab gulungan ituribuan tahun yang lampau! Di sana sini ada bagian-bagian kecil yangrupa-rupanya salah tulis atau dilompati, sehingga orang yangmenyelidiki kitab itu sulit mengerti ayat-ayat tertentu. Kata-katanabi itu seakan-akan tidak ada artinya lagi.
Pada tahun 1947, dua tahun setelah Proklamasi KemerdekaanRepublik Indonesia, dan hampir dua ribu tahun setelah naskah-naskahgulungan kulit itu disembunyikan, daerah Palestina dikuasai olehKerajaan Yordania.
Pada suatu hari seorang anak laki-laki yang menjadi gembalapergi mencari madu hutan di gua-gua dekat Laut Mati. Alangkahherannya ia melihat tempayan-tempayan yang berderet-deret di salahsatu gua itu! Melalui celah-celah tempayan yang sudah retak, anakgembala itu dapat melihat gulungan-gulungan kulit yang sudah hampirdua puluh abad umurnya. Ia berlari pulang dan memberitahu keluarganyatentang hal luar biasa yang baru ditemukannya itu.
Tidak lama kemudian, sampailah salah satu gulungan kulit itudi kota Yerusalem. Para sarjana memandangnya dengan kagum. Merekaberusaha membukanya, tetapi tidak dapat. Kulitnya sudah terlalu tuadan terlalu lapuk. Sentuhan sedikit saja akan menghancurkannya.
Gulungan kulit itu harus diselamatkan, agar tulisan didalamnya dapat dibaca! Dengan segala pengetahuan ilmiah modern, paraahli mencari daya untuk dapat membukanya. Mereka menggunakan uap airpanas, zat-zat kimia, mikroskop, lampu-lampu khusus, dan kamera.Sedikit demi sedikit pekerjaan yang amat sulit itu terlaksana.
Betapa sukacitanya hati mereka: Gulungan kulit itu adalahsalinan seluruh Kitab Nabi Yesaya! Belum pernah manusia melihatsebuah kitab yang setua atau sebagus itu.
Mungkinkah kitab itu lebih tua daripada salinan-salinan KitabNabi Yesaya yang sudah biasa dipakai sebagai dasar terjemahanAlkitab? Mungkinkah kata-kata yang kurang masuk akal itu ternyatadisebabkan oleh kekhilafan seorang juru tulis dahulu kala?
Para sarjana Alkitab mulai mencocokkan bagian-bagian yangbelum mereka pahami dalam salinan-salinan Kitab Nabi Yesaya yangsudah ada di dalam tangan mereka, dengan bagian-bagian yang sama dalamnaskah pada gulungan kulit itu.
"Nah, inilah dia! Di sini!" demikianlah seru salah seorangsarjana Alkitab dengan girang. "Lihat! Di sini ada sebagian kecilyang kurang pada salinan kita. Ada beberapa kata yang terlewat!"
Sekarang mereka mengerti mengapa beberapa ayat dari Kitab NabiYesaya itu tadinya kurang masuk akal, sebab ada beberapa kata yangtidak tertulis. Rupa-rupanya pernah ada seorang penyalin yang memangkurang teliti.
Tahulah para sarjana Alkitab bahwa gulungan naskah daribukit-bukit di dekat Laut Mati itu merupakan harta yang tak ternilaiharganya. Dengan bantuan gulungan itu, ada sebanyak tiga belas tempatdi dalam Kitab Nabi Yesaya di mana terjemahan-terjemahan yang kurangtepat dapat diperbaiki.
Orang-orang terus berdatangan ke daerah pegunungan di dekatLaut Mati itu, dan terus mencari. Betul, sebagaimana mereka sangka, didalam gua-gua di bukit-bukit yang gersang itu masih terdapatberatus-ratus gulungan kulit lainnya.
Semuanya diamankan. Oleh karena naskah-naskah itu sudahsangat tua dan sangat lapuk, maka semuanya harus disimpan denganhati-hati. Ada yang diberi tanda: "Jangan dipegang!" Bahkan ada yangdiberi tanda: "Dilarang bernapas di atas gulungan ini!"
Gulungan-gulungan yang disalin pada masa lampau oleh seorangjuru tulis kenamaan serta disembunyikan oleh para anggota persekutuanpersaudaraan itu telah menjadi harta yang sangat berharga. Pada masalampau mereka sendiri tidak menyangka bahwa benda-benda itu akan tetaptersembunyi selama dua ribu tahun. Tetapi pada masa sekarangnaskah-naskah yang tertulis di atas kulit itu dapat digunakan untukmemperkaya pengertian Alkitab di seluruh dunia.
TAMAT
Semua orang di daerah pedesaan di Amerika Tengah itu mengaku dirinya orang Kristen. Namun bila ada orang yang jatuh sakit, rakyat itu sering melupakan Tuhan Allah. Dalam kegelapan malam yang kelam, mereka mengenang kembali masa lampau, waktu nenek moyang mereka menyembah dewa-dewa dahsyat. Dengan rasa takut mereka berbisik-bisik seorang kepada yang lain: "Mungkin nenek moyang kita benar juga. Mungkin dewa-dewa dahsyat itu marah kepada kita. Mungkin itulah sebabnya ada orang yang sakit keras."
Lalu rakyat yang diliputi takhyul itu akan mulai memikirkan Don Cornelio dan istrinya. Dona Inez. Mereka akan mengirim pesan: "Ada penyakit yang sangat parah. Rupa-rupanya dewa-dewa lama sedang marah. Ayo datang, tolonglah kami."
Kemudian Don Cornelio dengan istrinya akan datang ke desa itu yang dihinggapi penyakit. Mereka akan menyelenggarakan upacara kegelapan dan mengucapkan mantera ilmu hitam. Lalu mereka akan pulang lagi dengan membawa serta uang balas jasa mereka.
Dalam desa tadi, kadang-kadang penyakit itu memang akan mereda dan lenyap. Maka rakyat kecil, yang tidak tahu-menahu tentang kuman penyakit atau ilmu kesehatan, akan memuji-muji kekuatan ilmu hitam Don Cornelio. Tetapi kadang-kadang juga infeksi itu terlalu kuat. Si sakit akan menderita terus dan akhirnya akan meninggal. Pada waktu-waktu seperti itu, rakyat akan mulai kurang percaya pada Don Cornelio, serta akan lebih rajin lagi mengikuti kebaktian di gereja.
Pada suatu malam yang gelap, don Cornelio mendengar ketukan di pintu rumahnya, walau jam dinding menunjukkan bahwa saat itu kebanyakan orang sudah tidur. Don Cornelio tersenyum sendiri pada saat mendengarkan suara yang masuk dari luar:
"Don Cornelio! Don Cornelio!" Samar-samar saja bisikan itu.
"Ya, ada siapa?"
"Miguel, Pak Miguel, dengan pesan dari Desa Ular."
Segera Don Cornelio tahu bahwa pesan itu berhubungan dengan ilmu hitam. Semua desa di daerah itu, sama seperti semuanya penduduknya, telah diberi nama Kristen; bukankah dia sendiri diberi nama menurut nama Kornelius, sang perwira tentara yang mendengar Kabar Injil dari Rasul Petrus? Tetapi nama-nama lama untuk desa-desa itu pun tidak sampai dilupakan. Jadi, jika ada pesuruh yang datang dalam kekelaman malam dengan menyebutkan nama lama yang terlarang itu, "Desa Ular", pasti ini berarti ada orang-orang yang sedang mengenang dewa-dewa dahsyat.
Don Cornelio membuka palang pintu yang berat. Ia mempersilakan pesuruh itu masuk.
"Cepat datanglah, Pak," pria itu membujuk. "Wabah penyakit menjangkiti desa kami. Kami membawa persembahan ke gereja, namun makin lama makin banyak orang yang jatuh sakit. Apa mungkin dewa-dewa dahsyat jadi marah pada kami?"
"Ya, mungkin saja," Don Cornelio membalas dingin. "Sejak kapan rakyat yang bodoh di desamu tidak lagi mencabik jantung dari seekor ayam jantan hitam? Sejak kapan kalian tidak lagi mempersembahkan jantung itu sewaktu darahnya masih menetes ke atas mezbah yang rahasia?"
"Memang sudah lama tidak, Pak," pesuruh itu mengaku dengan menggigil. "Sudah lama sekali tidak."
Don Cornelio pura-pura segan dulu, kemudian setuju. "Baiklah!" katanya. "Besok kami akan datang ke Desa Ular. Semuanya harus siap sedia, tahu!"
Pesuruh itu pulang dalam kegelapan malam yang pekat. Keesokan harinya, Don Cornelio dan istrinya, Dona Inez, bersiap-siap.
Sudah hampir dua puluh tahun mereka berdua mencari nafkah dengan menjalankan ilmu hitam. Don Cornelio pandai main sulap, dan pandai juga memakai suara perut, seolah-olah ada roh halus yang berbicara. Rakyat kecil berbondong-bondong membeli manterinya dan jampinya dan guna-gunanya untuk menambat hati kekasih, untuk mengutuk musuh, untuk menyembuhkan penyakit.
Pada esok harinya, Don Cornelio dan Dona Inez menelusuri lorong-lorong di daerah pegunungan itu hingga tiba di "Desa Ular." Mereka menginap di losmen, sama seperti orang biasa yang sedang bepergian, hanya saja, mereka tidak diharuskan membayar apa-apa.
Tengah malam mereka menyelinap keluar dari losmen itu dengan membawa serta alat-alat ilmu hitam. Setibanya di pinggir desa, mereka bertemu dengan beberapa penduduk setempat.
Hanya sedikit orang yang tahu lorong yang mereka telusuri. Lebih sedikit lagi yang pernah menelusuri lorong itu sampai ke ujungnya. Lorong rahasia itu menuju suatu gua yang tersembunyi di belakang batu-batu yang jatuh karena tanah longsor.
Rombongan kecil itu berjalan berjingkat-jingkat hingga mereka sampai di sebelah belakang beberapa batu yang besar; lalu mereka memasuki gua. Melalui sebuah celah di dinding belakang gua itu, mereka pun memasuki sebuah gua yang lain. Orang biasa tidak akan menyangka bahwa di sana ada gua yang kedua; pengetahuan tentang adanya tempat itu telah diwariskan turun-temurun selama ratusan tahun.
Kepala desa dengan susah payah melewati celah itu. Dengan lebih susah lagi Don Cornelio membuntutinya, sambil membisikkan sumpah serapah. Kemudian menyusul Dona Inez dan orang-orang lain. Sebuah lantera memberi penerangan yang remang-remang saja untuk mereka yang di muka, tetapi mereka yang dibelakang harus meraba-raba dalam kegelapan yang rasanya hendak menerkam mereka dari setiap pojok.
Sesungguhnya tidak banyak yang dapat dilihat di dalam gua yang kedua itu: Hanya sebuah batu, dengan lengkungan yang diukir di tengah-tengah sebelah atasnya yang datar, serta sebuah saluran kecil tempat darah korban dapat mengalir ke bawah. Begitu gelap di sana sehingga itu ada bunyi desis seekor ular.
Dona Inez menggigil. Dengan setia ia membantu suaminya, namun ia sendiri merasa takut, takut akan dewa-dewa dahsyat, takut akan ular dan bahaya lain yang mungkin menghadangnya dalam kegelapan yang pekat.
Lantera itu dipadamkan. Dalam kegelapan total Don Cornelio mulai bertalu-talu mengucapkan kata-kata mantera. Riuh rendah suaranya meggema di dalam gua itu! Dengan segala kekuatan ilmu hitam, ia menyembah dewa-dewa dahsyat; ia mempersembahkan korban kepada mereka.
Orang-orang desa yang berdiri sekelilingnya itu diliputi rasa cemas. Mereka tahu bahwa dewa-dewa dahsyat itu lain sekali dari Allah Yang Mahakasih, yang diberitakan di gereja. Alangkah baiknya jika Dia yang penuh kasih itulah yang benar-benar berkuasa, dan dewa-dewa dahsyat sesungguhnya tidak ada! Soalnya, . . . . siapa yang tahu?
Akhirnya upacara kegelapan itu selesai. Lantera disulut lagi. Para penyembah keluar dari gua, bagaikan orang yang terjaga dari mimpi buruk. Dan Don Cornelio dengan istrinya pulang lagi, puas dengan uang dan barang yang telah diberikan kepada mereka.
Setiap kali ada pengalaman dalam malam yang pekat seperti itu, selanjutnya Don Cornelio suka membuka-buka buku-buku ilmu hitamnya dan mempelajari ulang isinya. Ia ingin menemukan mantera-mantera baru. Ia bahkan ingin menemukan suatu mantera yang begitu kuat sehingga dewa-dewa dahsyat harus berbuat apa saja yang disuruhnya. Kalau ia dapat menemukan mantera yang maha kuat itu, pasti ilmu hitamnya selalu akan berhasil.
Selama musim dingin, lorong-lorong di daerah pegunungan itu menjadi seperti rawa saja. Jarang ada kesempatan pergi ke desa-desa untuk mengerjakan ilmu hitam. Maka Don Cornelio dan Dona Inez merasa lebih santai. Kadang-kadang mereka pergi berjalan-jalan ke kota-kota kecil.
Pada suatu hari mereka menemukan suatu taman bacaan rakyat yang diselenggarakan oleh umat Kristen. Penjaganya menyambut mereka dengan ramah, sama seperti ia menyambut siapa saja yang ingin mampir dan membaca buku-buku Kristen.
Di taman bacaan itu, Don Cornelio dan Dona Inez menemukan sebuah Alkitab dalam bahasanya sendiri. Heran sekali dia! Orang Kristen biasa di daerah pedesaan itu tidak diharapkan untuk membaca Alkitab. Tetapi Don Cornelio pandai membaca, dan ia suka buku yang aneh-aneh. Jadi, mulailah dia membaca Firman Tuhan.
Setia kali Don Cornelio dan Dona Inez memasuki sebuah kota kecil, ternyata di sana pula ada taman bacaan rakyat. Dan di sana pula Don Cornelio asyik membaca Alkitab. Penjaga taman bacaan mengira ia sungguh berminat mengetahui kepercayaan Kristen, tetapi pada hakikatnya ia masih tetap mencari mantera yang maha kuat itu.
Lambat laun pesan Alkitab mulai menggores pada hati dan pikiran Don Cornelio. Ia amat tertarik akan proses pengadilan Tuhan Yesus di hadapan raja dan gubernur; berkali-kali ia dan Dona Inez memperbincangkan peristiwa itu sampai jauh malam. Ia pun tertarik akan tokoh-tokoh besar seperti Raja Daud dan Rasul Paulus, yang dapat tergoda sampai mereka berbuat dosa sama seperti orang biasa. Begitu tertarik Don Cornelio sehingga ia sendiri membeli sebuah Alkitab, agar ia dapat terus membaca isinya.
Pada saat ia sedikit gugup dalam mengucapkan mantera di depan oang banyak, barulah ia menyadari bahwa pembacaan Alkitab itu telah mulai mempengaruhinya. Ia memandang wajah orang-orang yang sedang berkumpul di depannya itu: Di sini ada seorang pria yang sakit jasmani, seperti Ayub. Di sana ada seorang wanita yang kerasukan setan, seperti Maria Magdalena. Ada juga pria muda seperti Yusuf dan wanita muda seperti Rut, yang merasa diri jauh dari keluarga mereka yang asli. Dan Don Cornelio makin lama makin jelas memandang dirinya sendiri seperti imam dan orang Lewi itu, yang begitu saya meninggalkan seorang korban perampokan di pinggir jalan yang turun dari Yerusalem ke Yerikho.
Masih ada orang yang datang kepada Don Cornelio untuk membeli guna-guna bagi musuhnya. Tetapi sering juga Don Cornelio menolak menjualnya. "Pulang saja," nasihatnya. "Berusahalah berdamai kembali dengan musuhmu itu."
Penghasilannya berkurang. Dona Inez mulai khawatir. "Ini gara-gara Buku itu yang kaubaca siang malam," katanya kepada suaminya.
"Memang benar," Don Cornelio mengaku. "Namun aku tidak akan berhenti sampai semua isinya telah kubaca."
Dona Inez mulai sadar bahwa suaminya sudah lama tidak lagi menyebutkan minatnya untuk menemukan mantera yang maha kuat itu. Bahkan ia jarang membuka-buka buku-buku ilmu hitamnya.
Pada suatu hari Don Cornelio menyingkapkan persoalannya. "Istriku," katanya, "hatiku sangat berat."
"Kenapa?" tanya Dona Inez.
Orang-orang Kristen itu benar. Dewa-dewa dahsyat tidak ada. Yang ada, hanyalah Tuhan Yang Maha Esa saja."
Dona Inez menarik napas panjang, seolah-olah ia baru dilepaskan dari kecemasan yang menahun. "Kau pasti?"
"Pasti!" jawab Don Cornelio dengan mantap. "Tak mungkin ada Tuhan Allah, dan ada juga dewa-dewa dahsyat. Pikirkanku melekat pada adanya Tuhan Allah. Hatiku mulai terbuka kepada-Nya, bagaikan kuntum bunga yang merekah ke arah sinar matahari. Kalau aku memikirkan Dia, rasa bahagia meliputi seluruh diriku bagaikan langit biru yang cerah, dan pikiran yang gelap dan jahat itu buyar."
Wajah Dona Inez menyatakan perasaan lapang dada. "Sudah lama aku takut kalau percaya akan dewa-dewa dahsyat. Namun aku lebih takut lagi kalau aku tidak percaya akan mereka. Alangkah gembiranya mengetahui bahwa mereka itu sesungguhnya tidak ada!"
Namun Don Cornelio masih kelihatan gelisah. "Tetapi...bagaimana kita berdua akan mencari nafkah, istriku? Kalau kita tidak mengerjakan ilmu hitam, dari mana kita mendapat uang pembeli tepung jagung dan kacang merah? Dari mana kita mendapat uang untuk membeli pakaian? untuk membayar sewa rumah?"
Dona Inez kembali menjadi cemas. "Wah, rumit, ya?" desahnya.
Untuk sementara waktu Don Cornelio masih tetap menjalankan praktiknya yang gelap. Tetapi makin lama ia makin kurang senang mempersembahkan korban di mezbah-mezbah rahasia atau mengulangi mantera yang memanggil dewa-dewa dahsyat. Makin lama ia makin kurang senang menerima uang dari rakyat kecil yang minta tolong kepadanya dengan penuh harapan.
Dengan rasa cemas Don Cornelio membolakbalikkan halaman-halaman Alkitab. Hatinya serasa tidak tahan lagi membaca-baca tentang Tuhan Allah. Allah itu baik, sedangkan ia sendiri menghabiskan masa hidupnya dalam kejahatan. Haruskah ia berhenti membaca Firman Tuhan?
Sementara itu, matanya tertumbuk pada Surat 1 Petrus; ia membaca ayat-ayatnya yang terletak pada akhir pasal 1 dan permulaan pasal 2:
```Kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal.''' Maka Don Cornelio membatalkan rencananya untuk pergi ke sebuah desa; ia tidak jadi mempraktikkan ilmu hitam di sana.
```Semua yang hidup adalah seperti rumput,''' dibacanya lebih lanjut, ```dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput. Rumput menjadi kering, dan bunga gugur, tetapi firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya. Inilah firman yang disampaikan Injil kepada kamu.'''
"Benar! Benar sekali!" Don Cornelio terus bergumam, "Tidak ada hal lain yang tetap untuk selamanya; tidak ada hal lain yang sungguh berarti. Tidak ada sama sekali!"
```Karena itu'," Don Cornelio terus membaca, ```buanglah segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah.''' Maka ia memutuskan akan membuang segala hal yang semacam itu.
Kepada Dona Inez ia menjelaskan keputusannya: "Hanya Tuhan Allah saja yang sungguh berarti. Kalau kita dalam hati percaya kepada Dia, kita tidak boleh terus mempraktikkan ilmu hitam. Kita tidak boleh terus menyembah dewa-dewa lama yang sesungguhnya tidak ada. Mari kita membakar buku-buku mantera itu sampai habis. Aku akan mencari cara lain untuk menghasilkan uang."
"Aku siap," jawab Dona Inez. "Aku sungguh bersedia."
Kepada pengabar Injil di sebuah cabang gereja, penjelasan yang diberikan oleh Don Cornelio itu lebih sederhana: "Aku sudah menemukan Juru Selamatku," katanya pendek.
Pada suatu hari ketika hujan turun dan semua jalan-jalan becek, banyak orang mengerumuni gedung ibadah kecil milik cabang gereja itu. Ada kabar lisan bahwa Don Cornelio, yang sudah lama dicurigai itu, akan menyampaikan suatu pengumuman khusus. Orang banyak berbondong-bondong ke gereja, walaupun harinya hujan.
Tidak mudah bagi Don Cornelio untuk menghadapi sekian banyak orang Kristen! Banyak di antara mereka yang tidak tahu-menahu tentang latar belakangnya. Sulit sekali menjelaskan masa lampaunya yang gelap! Namun dengan berani ia mulai memberi kesaksiannya.
Anggota-anggota gereja itu mulai heran dan ngeri. Tetapi Don Cornelio sudah bertekad hati. Ia bercerita tentang bagaimana ia membaca Firman Allah, tentang bagaimana ia merasakan kasih Allah yang meliputi jiwanya.
Akhirnya Don Cornelio dan Dona Inez mengeluarkan buku-buku ilmu hitam milik mereka. Kitab-kitab itu ada yang sudah diwariskan turun-temurun, berabad-abad lamanya. Mereka juga mengeluarkan setiap benda yang bertalian dengan kuasa gelap, bahkan setiap carik kertas yang bertuliskan jampi.
"Mari kita membakar semuanya!" kata Don Cornelio dan Dona Inez. "Dan kami pun akan berusaha menghapus dari ingatan kami semua mantera yang sudah kami hafal."
Hujan sudah mereda. Orang-orang Kristen itu keluar dan menyalakan api. Satu persatu semua buku ilmu hitam dan alat-alat kuasa gelap itu ditaruh di atasnya. Akhirnya yang tinggal, hanya abunya saja.
"Musnah!" seru Don Cornelio sambil menengadah. "Lenyap! Tetapi `Firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya'! Mari kita membangun sisa hidup kita pada Firman Tuhan!"
"Amin! Amin!" orang-orang Kristen itu berseru dengan penuh khidmat. Don Cornelio masih tetap suka berkeliling ke desa-desa dan di daerah pegunungan itu. Mula-mula ia mencari dan membeli setiap buku ilmu hitam dan setiap benda kuasa gelap yang masih disimpan pada tempat-tempat yang tersembunyi. Dan di setiap desa itu ia pun mengulangi kesaksiannya serta membakar habis semua benda-benda kekafiran miliknya.
Kemudian Don Cornelio diangkat menjadi salah seorang agen resmi yang pergi berkeliling menjual Alkitab. Kepandaian yang dulu membuatnya berhasil sebagai seorang yang mempraktikkan ilmu hitam, kemudiam membuatnya sebagai seorang yang mengedarkan Firman Tuhan ke mana-mana.
TAMAT
Pernahkan pembaca mendengar tentang jembatan sepanjang dua puluh kilometer, yang hendak dibuat sebagai penghubung antara pulau Jawa dan pulau Madura?
Mungkin pembaca pun sudah mendengar tentang adanya berbagai-bagai hambatan berkenaan dengan proyek raksasa tersebut, sehingga bertahun-tahun lamanya jembatan ke Madura itu belum jadi di buat.
Pasal ini memang memuat kisah nyata tentang sebuah "Jembatan ke Madura", tetapi bukan jembatan sepanjang dua puluh kilometer tadi. Namun jembatan yang diceritakan di sini, juga cukup lama mengalami berbagai-bagai hambatan, sehingga baru dapat dibuat setelah 130 tahun.
Jembatan itu tidak dilewati oleh truk, bis, dan mobil, tetapi oleh kasih Allah yang dicurahkan-Nya melalui Yesus Kristus. "Jembatan ke Madura" yang dimaksud di sini, tak lain ialah Alkitab dalam bahasa Madura, yang selama satu abad lebih penting penerbitannya berkali-kali tertunda.
Mengapa begitu sulit menyediakan Firman Allah dalam bahasa Madura? Suku Madura itu bukanlah sekelompok kecil orang-orang yang tinggal di pedalaman, jauh dari orang lain. Di wilayah Indonesia, mereka itu malah menempati posisi ketiga dalam daftar suku yang terbanyak penduduknya. Letak pulau Madura itu sangat dekat dengan pulau Jawa, sedangkan suku Jawa sudah memiliki Firman Allah dalam bahasa ibu mereka sejak satu setengah abad yang lalu. Lagi pula, banyak orang Madura yang tinggal di pulau Jawa; banyak juga yang kawin dengan orang Jawa.
Namun kenyataannya, penerjemahan dan penerbitan Alkitab bahasa Madura itu berkali-kali mengalami hambatan besar. Seolah-olah ada kuasa kegelapan yang tidak memperkenankan Firman Tuhan beredar di antara orang-orang Madura dalam bahasa ibu mereka . . . .
Kisah panjang yang menyedihkan itu mulai satu setengah abad yang lalu. Pada pertengahan abad ke-19, ada seorang penduduk pulau Jawa keturunan Madura yang bernama Tosari. Setelah ia menjadi orang Kristen pada tahun 1843, Bapak Tosari berusaha membawa Kabar Baik ke pulau nenek moyangnya. Tetapi orang-orang Madura tidak mau menerima dia. Lalu ia kembali ke Jawa Timur, dan atas kesaksiannya banyak sekali orang Jawa menjadi percaya. Pada tahun-tahun terkemudian, ia dijunjung tinggi sebagai salah seorang pendekar gereja Jawa, dengan nama kehormatan: Kiayi Paulus Tosari.
Salah seorang utusan Injil dari negeri asing yang melayani di Jawa Timur pada masa hidup Kiayi Paulus Tosari itu adalah Samuel Harthoorn. Karena selisih pendapat dengan rekan-rekannya, Pdt. Harthoorn pulang ke Belanda setelah beberapa tahun di pulau Jawa. Di tanah airnya ia menikah, lalu kembali lagi ke Nusantara sebagai seorang penginjil mandiri.
Pada tahun 1864 suami-istri itu mulai menetap di Pamekasan, sebuah ibu kota kabupaten di Madura. Selama empat tahun mereka berusaha menjajaki persahabatan dengan penduduk setempat. Mereka berharap bahwa keakraban itu dapat menjadi suatu jembatan penginjilan.
Lalu . . . tragedi belaka. Pada tahun 1868, ketika Pdt. Harthoorn sedang keluar kota, segerombolan orang Madura di Pamekasan mengepung rumahnya dan membunuh istrinya. Setelah terjadi peristiwa yang begitu mengerikan, duda yang berdukacita itu meninggalkan pulau Madura selama-lamanya.
Sementara itu, di negeri Belanda ada seorang pendeta muda yang pandai; namanya, J. P. Esser. Ia belajar teologia dan juga belajar bahasa Madura, sampai ia mencapai gelar doktor. Pada tahun 1880 ia berusaha memasuki pulau Madura, tetapi tidak berhasil. Lalu ia menetap di Bondowoso, dan kemudian, di Sumberpakem; konon, kedua kota kecil di Jawa Timur itu penduduknya banyak yang keturunan suku Madura.
Berkat usaha Dr. Esser dan kawan-kawannya, seorang Madura bernama Ebing dibaptiskan pada tahun 1882. Berkali-kali Bapak Ebing mengelilingi pulau Madura, sambil menyampaikan cerita-cerita Alkitab yang telah diterjemahkan oleh Dr. Esser.
Pada tahun 1886, Dr. Esser sudah menyelesaikan terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Madura. Lalu ia mengambil cuti dinas ke Belanda, agar terjemahannya itu dapat diterbitkan. Tetapi proyek "Jembatan ke Madura" itu mengalami berbagai-bagai hambatan. Hambatan yang terbesar: Dr. Esser sendiri meninggal dunia pada umur yang masih muda, baru 37 tahun. Bahkan sebagian hasil karyanya berupa naskah terjemahan itu rupa-rupanya hilang.
Pada tahun 1889, yaitu tahun meninggalnya Dr. Esser, Tuhan telah menyediakan seorang penggantinya. Dia itu seorang pendeta muda bernama H. van der Spiegel, yang merasa terharu ketika mendengar tentang gugurnya Dr. Esser. Pada tahun 1889 itu juga ia berangkat ke Jawa Timur, untuk meneruskan pelayanan almarhum Dr. Esser di Bondowoso dan di Sumberpakem. Ia pun mengerahkan tiga orang Madura untuk menolong memperbaiki dan menyempurnakan naskah Kitab Perjanjian Baru peninggalan Esser itu.
Ketika naskah buram terjemahan itu sudah selesai, Pdt. Van der Spiegel sempat mengunjungi pulau Madura. Atas dasar perkenalannya dengan orang-orang Madura di sana, ia pun meredaksikan kembali hasil karyanya. Lalu pada tahun 1903 ia pulang ke Belanda, dengan tujuan menerbitkan seluruh Perjanjian Baru dalam bahasa Madura sama seperti Dr. Esser 17 tahun sebelumnya.
Tetapi selama Pdt. Van der Spiegel memperjuangkan proyek penerbitannya di Belanda, kembali tragedi menimpa di antara umat Kristen Madura. Gereja tempat pelayanan Bapak Ebing di Slateng itu dibakar. Seorang penginjil Madura lainnya bersama istrinya nyaris mati, pada saat rumah mereka di Sumberpakem dikepung dan dibakar.
Mungkin hambatan itu membawa pengaruhnya pula di Belanda, sehingga hasil karya Van der Spiegel yang jadi diterbitkan, hanyalah dua Kitab Injil saja, ditambah sebuah buku yang memuat 104 cerita Alkitab dalam bahasa Madura. Bahkan ketika Pdt. Van der Spiegel meninggal pada tahun 1919, masih belum keluar Kitab Perjanjian Baru bahasa Madura yang lengkap.
Salah seorang rekan sekerja Pendeta Van der Spiegel ialah Pendeta F. Shelfhorst, yang telah melayani di Bondowoso dan di Sumberpakem sejak tahun 1904. Seorang penginjil suku Madura memberitahu Pendeta Shelfhorst bahwa orang-orang Madura di kepulauan Kangean, di sebelah timur pulau Madura, rupa-rupanya lebih terbuka terhadap Kabar Injil daripada orang-orang Madura di pulau induknya.
Berita yang membesarkan hati itu tidak disia-siakan oleh Pendeta Shelfhorst. Dari tahun 1912, ia tinggal dengan keluarganya di Pandeman, Kangean. Pendeta Shelfhorst memberi banyak bantuan pengobatan kepada para penghuni setempat. Ibu Shelfhorst membuka kelas-kelas kepandaian putri. Sebagai jembatan Injil mereka juga menggunakan lagu-lagu, gambar-gambar, cerita-cerita Alkitab, dan kelompok diskusi. Namun hampir tidak ada seorang pun yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus.
Setelah berpuluh-puluh tahun tanpa hasil nyata, Pendeta Shelfhorst mulai mengkhususkan proyek penerjemahan Firman Tuhan. Pada tahun 1933 Kitab Mazmur bahasa Madura diterbitkan, berbentuk sebuah buku yang indah, sangat mirip dengan kitab-kitab suci yang sudah biasa beredar di kalangan suku Madura.
Pada tahun 1935 Pendeta Shelfhorst pensiun atas permohonannya sendiri. Tetapi ia tidak pulang ke Belanda! Malahan ia menetap di pegunungan Jawa Timur sambil menerjemahkan Firman Tuhan dengan giat serta mengutus keluar para penjual bahan cetakan Kristen. Hasil karyanya berupa Surat-Surat Perjanjian Baru dalam bahasa Madura itu ada banyak yang distensil dan dibawa para pembantunya ke mana-mana.
Ketika Pendeta Shelfhorst masih di tengah-tengah pelayanannya di daerah pegunungan itu, bala tentara Jepang mengepung Jawa Timur pada tahun 1942. Tiga tahun kemudian, ia meninggal dalam sebuah kamp tahanan Jepang di Jawa Tengah, setelah selama 41 tahun berusaha untuk menginjili suku Madura. Dan terjemahannya berupa stensilan itu tidak pernah diterbitkan.
Salah seorang kawan senasib Pendeta Shelfhorst di kamp tahanan itu adalah A. J. Swanborn, seorang Belanda keturunan Swedia. Sudah berpuluh-puluh tahun ia pun berusaha menginjili suku Madura, namun kisah karirnya sangat berbeda dengan riwayat Pendeta Shelfhorst.
Sejak masa mudanya di Belanda, A.J. Swanborn merasakan panggilan Tuhan untuk pergi ke pulau Madura dan menyampaikan kisah kasih Tuhan Yesus. Namun rupanya untuk ke pulau Madura itu tidak ada jembatan yang dapat dilewatinya. Pada tahun 1899, memang ia ditunjuk menjadi utusan Injil, tetapi ia ditugasi ke pulau-pulau Sangir-Talaud, lalu ke Jakarta, kemudian ke Yogyakarta, dan akhirnya ke Kalimantan Selatan.
Namun A. J. Swanborn masih tetap merasakan panggilan Tuhan untuk menaati Amanat Agung-Nya di pulau Madura. Karena badan Zeding tidak setuju mengutus dia ke sana, ia mengundurkan diri sebagai utusan Injil. Kemudian ia menjadi seorang pegawai sipil pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1914 ia dikirim ke kota Pamekasan sebagai kepala sekolah rakyat. Di sekolah itu ia memang tidak boleh mengabarkan Injil. Tetapi pada sore hari ia membuka sebuah sekolah swasta atas biayanya sendiri. Melalui usaha itulah ia mulai menginjili anak-anak Madura.
Bapak Swanborn juga berusaha menerjemahkan Firman Allah ke dalam bahasa Madura. Ia pun masih di tengah-tengah pelayanannya pada saat bala tentara Jepang menduduki kepulauan Indonesia. Sama seperti Pdt. F. Shelfhorst, ia juga ditahan, dan kebetulan kedua kakek yang sangat setia ini ditampung di Jawa Tengah, di kamp yang sama.
Di situ kedua-duanya dengan gigih memperjuangkan proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Madura. Rupanya pendeta Shelfhorst mengukhususkan Surat-Surat Perjanjian Baru, sedangkan spesialisasi Bapak Swanborn adalah keempat Kitab Injil dan Kisah Para Rasul. Sama seperti Pendeta Shelfhorst, Bapak Swanborn juga meninggal dalam tahanan pada bulan Mei 1945, hanya beberapa minggu saja sebelum Perang Dunia Kedua mereda.
Naskah terjemahan Bapak Swanborn itu diwariskannya kepada putri-putrinya. Mereka mengirim naskah yang sangat berharga itu kepada perwakilan Lembaga Alkitab Belanda di kota Bandung. Namun . . . celaka lagi. Konon, masa itu masa perjuangan fisik kemerdekaan Indonesia. Dalam kerusuhan peperangan, naskah tadi rupa-rupanya tidak pernah sampai ke tangan orang-orang yang dapat mengusahakan penerbitannya . . .
Nah, bagaimana pendapat pembaca, setelah menelusuri kisah tragedi yang berulang-ulang? Bukankah seolah-olah ada kuasa kegelapan yang tidak memperkenankan Firman Tuhan beredar di antara orang-orang Madura dalam bahasa ibu mereka?
Syukurlah, ceritanya tidak berakhir sampai di situ saja!
Pada bulan September 1994, yaitu genap 130 tahun sejak Pdt. Samuel Harthoorn beserta istrinya mula-mula pindah ke Pamekasan, Lembaga Alkitab Indonesia berhasil menerbitkan Alkitab lengkap dalam bahasa Madura.
Kini "Jembatan ke Madura" itu sudah menjadi kenyataan. Maukah Saudara turut mendoakan, semoga kasih Allah yang dicurahkan-Nya melalui Yesus Kristus akan melewati jembatan itu sehingga masuk ke dalam hati dan jiwa banyak orang Madura?
TAMAT
Si Richard dan si Peggy bergembira sekali. Kedua kakak beradik itu sedang berdiri dengan orang tua mereka di atas geladak kapal Surat. Memang bagaikan sepucuk surat yang diposkan ke negeri asing, kapal Surat itu akan berlayar jauh dari pelabuhan di Inggris Raya. Dan mereka sekeluarga akan ikut serta dalam pelayaran itu!
Layar-layar mulai mengembung terisi angin. Pada saat kapal itu melaju keluar dari pelabuhan, ayah kedua anak itu berkata kepada mereka, "Richard dan Peggy, sebaiknya kalian selalu mengingat baik-baik tahun 1874 ini. Inilah tahun kalian berangkat dari kehidupan lama di negeri Inggris, menuju kehidupan baru di negeri Selandia Baru."
Pesisir negeri Inggris nampak makin lama makin jauh. Makin banyak layar yang dinaikkan ke atas tiang agar dapat diisi angin. Makin cepat pula kapal Surat itu berlayar di atas ombak lautan nan biru.
Setelah daratan tidak kelihatan sama sekali, nahkoda mengundang seluruh penumpang agar berkumpul di atas geladak. Kepada mereka ia perlu mengumumkan beberapa peraturan yang harus dipenuhi demi keamanan kapal. Memang mereka semua senasib, sampai saatnya kapal itu berubah lagi.
Rupanya seluruh peraturan itu sudah selesai diumumkan. Namun sang nahkoda masih hendak berbicara lagi. "Nah, ada hal lain," katanya. "Hai kelasi, bawa kemari peti besar itu?
Sang nahkoda menjelaskan: Seorang dermawan telah menyumbangkan Kitab Perjanjian Baru berukuran kecil, sebanyak tiga ratus eksemplar. Ia minta supaya setiap penumpang kapal ini masing-masing diberi sebuah. Mari, terimalah hadiah untuk kalian!"
Ada penumpang yang mengejek. Ada yang seolah-olah tak acuh. Namun tidak ada seorang pun yang menolak Perjanjian Baru itu. Malahan kebanyakan di antara mereka menerima pemberian Kitab Suci berukuran kecil itu dengan senang hati.
Si Richard dan si Peggy bangga sekali atas hadiah mereka. pada halaman muka sebelah dalam Kitab Perjanjian Baru milik mereka masing-masing, ayah mereka menulis sebagai berikut:
"Diberikan pada waktu sedang menumpang kapal Surat, menuju Selandia Baru, tahun 1874 Masehi."
Hari lepas hari, minggu lepas minggu, . . . lama sekali kapal itu menjelajahi Lautan Atlantik! Pada pagi yang mendung, langit dan lautan nampak kelabu, sangat kurang menarik. Tetapi pada pagi yang cerah, langit dan lautan yang biru kelihatan amat indah.
Tiba saatnya kapal Surat mencapai ujung benua Amerika Selatan. Selat di ujung selatan benua itu sangat berbahaya; hawa di sana amat dingin. Pernah angin mereda sama sekali, dan berhari-hari kapal itu tidak dapat maju. Kelasi yang bertugas menjaga di atas menara tiang layar itu terus-menerus menyapu ufuk dengan matanya, kalau-kalau timbul awan atau angin. Bila topan muncul tiba-tiba dalam keadaan seperti itu, tidak mustahil kapal akan menghadapi mara bahaya.
Sementara itu, si Richard dan si Peggy tidak tinggal diam. Ibu mereka, bersama dengan beberapa penumpang wanita lainnya, telah membuat rencana untuk mengadakan sekolah ala kadarnya. Anak-anak itu rela saja diajar, daripada menyaksikan pemandangan di sekitar kapal Surat yang sangat membosankan karena tidak berubah-ubah.
Salah satu buku pelajaran mereka adalah Kitab Perjanjian Baru yang telah dihadiahkan kepada mereka masing-masing. Cukup banyak ayat yang mereka hafalkan. Bahkan ada beberapa pasal yang dapat mereka ucapkan seluruhnya di luar kepala.
Minggu lepas minggu, bulan lepas bulan, . . . lama sekali waktu pelayaran dari Inggris Raya ke Selandia Baru itu!
Pada suatu hari si Peggy berseru dengan girangnya, "Hai Richard, besok nggak sekolah! Besok kan Tahun Baru, ya? Dan Ibu berkata kita boleh istirahat."
Malam itu si Richard dan si Peggy merasa sangat gembira pada waktu mau tidur. Bukan hanya karena esok hari mereka akan libur: Juga karena nahkoda telah mengumumkan bahwa mungkin sekali sekali besok kapal Surat akan tiba di daratan yang sudah sekian lama mereka tuju. Anak-anak itu saling bertanya, kira-kira siapa akan lebih dulu nampak pantai Selandia Baru untuk yang pertama kalinya.
Sayang sekali, ada juga beberapa orang lain yang sangat megharapkan datangnya Hari Raya Tahun Baru itu, . . . tetapi dengan maksud yang tidak baik. Mereka itu para kelasi kapal Surat. Menurut adat pada masa itu, setiap hari mereka masing-masing diberi jatah minuman keras sedikit. Minuman itu dianggap sebagai penguat badan. Tetapi kelasi-kelasi yang curang itu hari demi hari menyimpan sebagian jatah mereka, sehingga menjelang Tahun Baru banyak minuman keras yang dapat mereka reguk.
"Hai kawan-kawan, Malam Tahun Baru itu waktu yang cocok sekali untuk berpesta pora dan bermabuk-mabuk!" bisik mereka satu kepada yang lain. Lalu mereka berkumpul di bawah geladak dan minum-minum sampai mereka benar-benar mabuk. Sebagian besar di antara mereka tertidur saja, tak berdaya lagi.
Sementara itu, kapal Surat sedang menuju ke darat. Nahkoda dengan para petugas atasan lainnya berusaha menjaga dan mengemudikan kapal. Namun mereka itu selalu sedikit untuk dapat mengerjakan semuanya. Mereka sangat memerlukan bantuan para kelasi . . . dan para kelasi itu tak mungkin dapat membantu mereka.
Seorang demi seorang penumpang kapal itu menyadari bahaya yang sedang menghadang mereka, akibat ulah para kelasi. Dalam kegelapan malam mereka meninggalkan tempat tidur masing-masing dan berkumpul di atas geladak. Demi keamanan, anak-anak kecil seperti Richard dan Peggy diikatkan pada tong-tong kosong sebagai pelampung penyelamat darurat.
"Awas, ada batu karang!" teriak nahkoda. Namun kapal Surat itu masih terus melaju.
KRAAAK! Lunas kapal terdampar di batu karang itu. Ombak berikutnya mengangkatnya lagi.
KRAAAK! Untuk yang kedua kalinya kapal itu dapat melepaskan diri. Tetapi . . . di lambung kapal sudah ada lubang besar.
KRAAAK! Yang ketiga kalinya, kapal itu terbanting lebih keras lagi di batu karang, dan tersangkut di sana. Gelombang besar terus-menerus menghantam sisinya.
Jika dikenang kembali di kemudian hari, para penumpang kapal Surat sesungguhnya tidak mengetahui, bagaimana mereka berhasil melepaskan diri dari bencana karam kapal pada Hari Tahun Baru itu. Namun keesokan paginya, ternyata mereka semua muncul dalam keadaan selamat di daratan. Semua barang kepunyaan mereka lenyap, kecuali beberapa benda kecil yang terbawa oleh ombak dan tersangkut pada batu-batu runcing di pantai. Namun mereka semua masih hidup, dan itulah yang paling penting.
Si Richard dan si Peggy merasa sedih. Kedua Kitab Perjanjian Baru milik mereka itu tenggelam di dasar laut. Kitab-Kitab Suci berukuran kecil itu adalah buku-buku pertama yang pernah mereka anggap sebagai milik pribadi. Dan kata orang mungkin sekali barang berharga seperti buku itu agak sulit mendapat gantinya di tempat tinggal mereka yang baru.
Ibu kedua anak itu menghibur mereka. Sesuai dengan mode pakaian wanita pada zaman itu, ia mengenakan rok panjang setengah klok. Ia merogoh saku roknya sambil berkata, "Tadi malam, waktu bahaya mulai mengancam, Ibu memasukkan Kitab Perjanjian Baru milikku di sini."
Lalu ia mengeluarkan tangannya lagi, dan . . . benar, ada Kitab Suci kecil di telapak tangannya! Buku kecil itu basah kuyup, sama seperti saku tempat penyimpanannya, namun isinya masih utuh.
Ayah Richard dan Peggy mengulurkan tangannya dan mengangkat Kitab Perjanjian Baru yang sangat berharga itu. "Barang berharga lainnya yang hilang itu mungkin dapat diganti," katanya. "Tetapi tidak ada buku lain yang dapat menggantikan Buku ini."
Si Richard dan si Peggy menggigil; pakaian mereka basah kuyup. "Syukur, m--m--masih ada s--s--satu Perjanjian Baru milik kita," kata Richard, dengan gigi gemeletak. "K--k--kita masih dapat membaca bergiliran." . . .
Bertahun-tahun kemudian, seorang pria berdiri di depan sekumpulan orang Kristen di negeri Selandia Baru. Pada tanggal 1 Januari 1875, hari terdamparnya kapal Surat di atas batu karang, pria itu belum dilahirkan. Namun sekarang, di tangannya pria itu memegang sebuah Kitab Perjanjian Baru kecil yang pernah ternoda oleh air laut.
Kepada para hadirin ia bercerita tentang peristiwa karam kapal pada Hari Tahun Baru itu. Lalu ia membacakan beberapa ayat dari Kitab Perjanjian Baru yang dulu pernah dibawa serta oleh neneknya, waktu para penumpang diselamatkan dari bencana itu. Ternyata pria itu adalah putra seorang wanita yang dulu dikenal sebagai si Peggy kecil!
"Semuanya yang lain, hilang lenyap," kata pria itu. "Tetapi pada saat nenekku sempat menyelamatkan Buku kecil ini, ia pun menyelamatkan benda yang paling penting dari muatan kapal Surat itu."
TAMAT
Kim menggigil sambil meringkuk di atas tikarnya. Ibu Ahn mengerutkan dahinya. Mereka berdua, seorang anak laki-laki dengan ibunya di dalam gubuk petani khas gaya orang Korea itu, sedang memasang telinga mereka dengan rasa cemas. Jam sudah menunjukkan larut malam.
Ya, betul, suara itu makin lama makin mendekat. Pak Ahn sedang pulang ke rumah, dan seperti biasanya ia benar-benar mabuk.
Air mata meleleh pada pipi Ibu Ahn. Sepanjang minggu Pak Ahn telah bekerja keras. Lalu tadi pagi, pada hari Sabtu, ia telah berangkat membawa hasil kebun sayurannya ke pasar. Kali ini, katanya, ia bertekad akan menjual semuanya secepat mungkin dan akan segera pulang dengan membawa serta upah jerih payahnya.
"Wah, ia begitu lagi, Bu," bisik si Kim dengan sedih. "Ia sudah mabuk lagi. Pasti semua uang itu sudah pindah tangan kepada tukang judi."
Pak Ahn memang benar-benar dalam keadaan mabuk ketika ia memasuki gubuk petani itu. Tadi pagi waktu berangkat, pakaiannya rapi dan bersih, berkat kerja keras Ibu Ahn; kini pakaiannya itu kotor dan compang camping. Matanya yang sebelah sudah membiru, bengkak sampai hampir tertutup. Dan pasti sakunya kosong melompong.
Keesokan harinya, Pak Ahn bangun dari tidur dengan rasa putus asa. ia duduk termenung sambil menutup mukanya dengan kedua belah tangannya.
Kim dan ibunya berusaha membesarkan hati Pak Ahn. "Kau sudah tergoda lagi," kata Ibu Ahn. "Tidak apa-apa. Sepanjang minggu ini kami dapat makan nasi dengan lauk sayuran saja. Bajumu dapat kujahit. Kim dapat terus memakai sandalnya yang lama; toh belum sama sekali rusak. Dan minggu depan, kalau kau pergi ke pasar lagi, kau pasti akan pulang tanpa jatuh ke dalam tangan tukang judi, dan tanpa berkelahi lagi."
Namun Pak Ahn benar-benar merasa putus asa, bahkan sampai ke lubuk hatinya. "Ai-yoh!" ia meratap dengan nyaring. "Untuk inikah kita pindah dari kampung halaman? Untuk inikah kita menetap di sini, di kebun sayur milik kaum pertapa? Apakah cerita lama itu akan bertalu-talu diulangi lagi? Apakah aku akan bekerja keras dari pagi sampai sore di kebun, lalu ... begitu kakiku menginjak jalanan di kota, saat itu juga aku akan jatuh ke dalam godaan?"
Hampir-hampir Pak Ahn menangis. Kalau ia sedang sadar, kemauannya untuk berkelakuan baik itu benar-benar kuat. Namun ia mudah dikalahkan oleh godaan-godaan untuk minum minuman keras, godaan untuk berjudi, godaan untuk berkelahi.
Dengan tersipu-sipu Ibu Ahn menyarankan: "Mungkin sebaiknya kita membawa sajian yang lebih besar ke kelenteng."
Pak Ahn memandang istrinya dengan mata sayu. "Buat apa?" tantangnya. "Agama kaum pertapa itu terus menuntut: `Kau harus berkelakuan baik! Harus!' Namun agama itu tidak memberiku kekuatan untuk berkelakuan baik. Buat apa aku berkali-kali meletakkan sajian di kelenteng? Apakah persembahanku itu mencegah aku meletakkan uangku di kedai minuman keras? atau di tempat perjudian? Apakah aku tertolong sehingga menjauhi tukang berkelahi?" Pak Ahn menghela napas panjang, lalu berbicara dengan lebih keras: "Tidak! Aku tidak mau memberi sajian lagi!"
Pada hari Sabtu berikutnya, Kim menemani ayahnya ke pasar. Harapannya ialah bahwa ia datang untuk menolong Pak Ahn menghindari godaan.
Tetapi pada waktu mereka memasuki kota, si Kim menjadi sangat kecewa. Sebagian dari hasil kebun sayur mereka cepat terjual. Lalu Pak Ahn menyuruh Kim menjaga sisanya, sedangkan ia sendiri hendak pergi ke tempat lain.
Kim mendesah. Ia kurang bersemangat menawarkan sisa sayuran itu. Apa gunanya? Pasti beberapa saat kemudian ayahnya akan kembali lagi, menuntut untung dari segala penjualannya, lalu pergi berjudi.
Namun pada saat pandangan mata Kim mengikuti langkah ayahnya menuju kedai minuman keras, ia pun menjadi heran. Sosok tubuh yang tinggi itu tidak terus menghilang di kejauhan. Ternyata Pak Ahn berdiri mematung, mendengarkan sesuatu. Apa sih yang sedang didengarkannya? tanya si Kim kepada dirinya sendiri.
Sudah lewat lima menit. Lalu sepuluh menit. Lalu seperempat jam. Masih tetap Pak Ahn kelihatan di sana. Masih tetap ia berdiri. Apa gerangan yang begitu menarik hatinya sehingga ia tidak segera pergi membeli minuman keras?
Dengan semangat yang berkobar kembali, Kim cepat-cepat menjual sisa sayuran di bakulnya. Lalu ia berlari-lari kecil ke sisi ayahnya.
Amboi, . . . ada seorang pria yang tersenyum sambil membaca sebuah buku kecil dengan suara nyaring. Persis pada saat si Kim muncul di sisi ayahnya, orang itu menutup bukunya. "Belilah, Pak!" ia mendesak. "Di dalam buku kecil ini Bapak akan menemukan Kabar Baik, Kabar Keselamatan. Ajaran-ajarannya sanggup menyelamatkan manusia dari kejahatan."
Pak Ahn bergumam: "Menyelamatkan manusia dari kejahatan ah! Mustahil! Tidak ada yang sekuat itu." Ia baru memperhatikan si Kim di sisinya. "Kan Ayah katakan, kau harus terus jaga di sana?"
"Sudah kujual semuanya, pak."
"Mana uangnya?" Pak Ahn mengulurkan tangannya.
"Biarlah aku simpan dulu, Pak," si Kim membujuk ayahnya. "Sampai di rumah saja. Biarlah aku nanti beri kepada ibuku."
Muka Pak Ahn mulai memerah. "Anakku sendiri yang masih kecil sudah tahu aku tidak boleh dipercaya menyimpan hasil jerih payahku," katanya dengan sedih. "Baiklah, Kim, kau saja yang pegang, hanya kali ini saja. Tapi awas kau! Lebih baik kau cepat lari jauh-jauh. Kalau kau terus dekat, awas, nanti Ayah akan merampas uangmu itu dan menghabiskannya dengan berjudi!"
Ternyata pria yang tadi membaca itu masih memperhatikan percakapan mereka." "Mengapa mau menghabiskan uang dengan berjudi?" tanyanya dengan sopan. "Rasanya Bapak sebenarnya tidak suka berjudi." Pandangannya jatuh ke tangan Pak Ahn tangan yang sudah mengeras karena sudah betahun-tahun dipakai untuk bercocok tanam. "Kalau dilihat dari bukti di kedua belah tangan ini, Bapak seorang tukang kebun, bukan seorang tukang judi," katanya pula.
"Benar!" cetus Pak Ahn. Ia senang diajak mengobrol, senang dibuat sibuk supaya tidak sempat lari ke kedai minuman keras. "Aku seorang tukang kebun yang pandai. Tanamanku banyak hasilnya. Tetapi . . . yah, sayang, tidak ada untungnya."
Pria yang memegang buku kecil itu rupanya ingin tahu. "Bagaimana mungkin tidak ada untungnya, Pak?" ia bertanya lagi.
Pak Ahn merasa tertarik kepada orang ini yang berbudi bahasa baik. Mungkin juga orang ini dapat menolong dia. "Yah, . . . begini, Pak: Aku bekerja keras," katanya menjelaskan. "Aku membawa hasil kebunku ke mari kepasar ini. Lantas lantas"
Ia membentangkan kedua belah tangannya; raut mukanya menandakan keputusasaannya. "Para desa saja yang tahu apa yang mempesonakan diriku. Dengan uang hasil jerih payah dalam tanganku, aku pergi ke kedai minuman keras. Kalau masih ada sisanya setelah itu, aku menghabiskannya dengan tukang judi. Dan kalau ada yang menantang pada waktu aku sedang mabuk biar soalnya sepele saja aku pun suka berkelahi."
Kim memotong pengakuan ayahnya. "Tetapi ia sungguh seorang ayah yang baik, pak. Sunguh rajin kerjanya! Sepanjang minggu, dari pagi sampai sore ia bekerja, tanpa istirahat, agar ada makanan untuk aku dan ibuku. Hanya saja, . . . seperti ia katakan, ia tidak sanggup membawa pulang uang hasil jerih payahnya."
Pak Ahn menggelengkan kepalanya. "Tidak ada harapan bagiku," bisiknya.
"Ah jangan katakan begitu, Pak!" ujar pria itu. Ia pun mengeluarkan lagi empat buku kecil. "Ini obatnya, pak. Inilah jalan keselamatan, jalan menghindari kejahatan. Di sini Bapak dapat belajar tentang Dia yang memang sanggup memberi kekuatan untuk berkelakuan baik. Bapak mau beli buku-buku kecil ini? Lebih baik menyerahkan uang Bapak di sini, ya, daripada di sana, di kedai minuman keras, kan?"
Pak Ahn rupanya bingung. Hampir saja si Kim mengeluarkan uang dari sakunya. Tetapi penjual buku tadi memperhatikan gerakan tangannya. "Jangan, Nak," katanya mencegah. "Ayahmulah yang harus memilih sendiri: Jalan keselamatan, ataukah jalan kemusnahan. Satu kali saja mencicipi minuman keras, dan sudah terlambat. Ia akan ketagihan lagi dengan minuman keras dan perjudian."
Pak Ahn masih bingung rupanya. Betapa rindunya dia merasakan minuman keras itu meleleh lewat kerongkongannya yang kering! Betapa rindunya merasakan, bukan lagi kebingunangan, melainkan kejantanan, kesombongan, kerelaan mengadu kekuatan dengan siapa saja!
Pikiran Pak Ahn melayang jauh ke kampung halamannya dulu. Di sana pula ia sering tergoda. Itulah sebabnya ia sudah mengambil keputusan untuk pindah ke kebun sayuran milik para pertapa: agar ia dapat menjauhkan diri dari godaan.
Baiklah! Kata Pak Ahn dalam hati. Dulu aku telah mengambil ketputusan: sekarang pun aku masih dapat mengambil keputusan. Lalu ia mengeluarkan uang di dalam sakunya sendiri "Aku akan membeli," katanya dengan jelas.
"Baiklah!" Penjual itu tersenyum lebar pada saat ia menyodorkan keempat buku kecil. "Bapak tidak akan menyesal setelah membeli. Nah, sekarang . . ."
Pak Ahn tidak menunggu penjual itu selesai bicara. "Sekarang aku akan pulang saja," katanya, "Kali ini saja, aku akan pulang tanpa menghabiskan sisa uangku."
Namun mereka tidak jadi segera pulang. Mereka mampir dulu di sebuah kios tempat penjual pakaian. Mata si Kim berbinar-binar pada saat ia menyaksikan jubah baru yang dibeli untuk ibunya. Ia merasa sangat senang karena mereka pulang dengan penuh hasil jerih payah ayahnya. Ia juga senang karena ibunya pasti gembira sekali dibelikan jubah baru yang bagus.
Wah, terasa amat pendek jalannya ketika mereka berdua pulang! Pak Ahn seperti orang baru. Kegersangan hatinya telah hilang. Mengapa tidak? Ia sudah pergi ke pasar, sudah menjual hasilnya, dengan bantuan seorang penjual buku, ia sekarang pulang dengan uang masih di dalam sakunya.
Banyak lelucon yang diceritakannya kepada si Kim selama mereka berjalan kaki. Dan kasih sayang si Kim terhadap ayahnya itu menjadi lebih besar lagi karena diwarnai rasa banggga: Bukankah ayahnya telah mengalahkan godaan?
Sudah sore pada saat mereka tiba di tempat kaum pertapa. Tercium bau kemenyan dan hio yang sedang dipersembahkan di dalam kelenteng yang letaknya di situ.
"Ah!" kata Pak Ahn sambil mengerutkan dahinya. "Aku kurang pasti, Nak, tapi rasanya ajaran keempat buku kecil ini lebih cocok bagiku daripada agama kaum pertapa. Agama mereka itu belum sanggup memberiku kekuatan untuk berkelakuan baik. Mari kita lihat, kalau-kalau ajaran dalam buku-buku kecil ini dapat menolong diriku." . . .
Sementara itu, di dalam gubuk mereka, Ibu Ahn sedang menyelesaikan tugas tetek-bengeknya. Lalu ia berdiri tegak. Terdengar suara-suara . . . masih samar-samar, seolah-olah dari jauh. Ia melirik ke cakrawala: Langit masih berwarna-warni karena matahari sedang terbenam, dan belum kelihatan bintang sebuah pun. Masakan Pak Ahn dan si Kim sudah pulang dari pasar seawal ini! masakan . . .
Namun . . . memang betul! Kim menari-nari kegirangan, walau kakinya yang kecil itu sudah capai. Dan Pak Ahn: matanya bersinar nakal seperti pada waktu mereka baru menikah!
Ibu Ahn bertambah heran ketika jubah baru itu dikeluarkan dari bungkusannya, dan ketika uang sisa diletakkan pada telapak tangannya. "Wah, kok begini?" tanyanya.
Pak Ahn mulai menjelaskan. Diceritakannya tentang penjual buku itu, dan tentang kata-kata yang dibacakannya dengan nyaring dari buku-buku kecil. Diceritakannya pula tentang nasihat bahwa ajaran dalam keempat buku kecil itu dapat menyelamatkan seseorang dari jalan kejahatan, sehingga Pak Ahn membeli keempatnya, lalu segera pulang.
Kemudian mereka makan bersama-sama. Setelah itu, selama masih ada seberkas cahaya, Pak Ahn membcakan bagi istrinya yang masih keheranan, dan bagi anak mereka si Kim. Dibacakannya kisah indah yang termuat di dalam Keempat Kitab Injil.
Sore dmei sore, setelah pekerjaan di kebun usai, pak Ahn suka membacakan. Istrinya mendengarkan dengan diam, sambil menyiapkan makanan mereka. Kim juga memasang telinga. Kemudian mereka bertiga suka berbincang-bincang tentang isi Keempat Kitab itu. Alangkah baiknya kalau mereka dapat mengetahui lebih banyak tentang ajaran-ajaran yang indah itu!
Sekali lagi Pak Ahn pergi ke pasar. Sekali lagi ia ditemani oleh si Kim. Sekali lagi penjual buku itu ada di sana, maka Pak Ahn membujuk dia agar mampir ke kebun milik kaum pertapa serta mengajar keluarga Ahn di sana.
Pada hari itu pula, untuk kedua kalinya Pak Ahn dan putranya pulang awal, dengan wajah yang tengadah dan dengan uang di dalam saku mereka. pada hari itu pula, si Kim dengan bangga berjalan kaki sambil memakai sandal yang baru, dan ayahnya membawa serta sebuah pacul yang bagus. Sekali lagi dengan penuh sukacita mereka pulang kepada Ibu Ahn dan menceritakan kepadanya segala sesuatu yang telah dikatakan oleh penjual buku itu.
Beberapa minggu kemudian, penjual itu sendiri datang berkunjung. Setelah itu, menyusul juga seorang pengabar Injil. Ternyata Pak Ahn, ibu Ahn, dan si Kim benar-benar sudah menempuh jalan hidup baru yang ditunjukkan di dalam "Keempat Buku Kecil" itu. Mereka benar-benar telah menjadi pengikut Tuhan Yesus.
"Kekuatan untuk berkelakuan baik!" kata Pak Ahn dengan rasa puas. "Yah, . . . aku sudah menemukannya. Tidak usah lagi aku bekerja keras namun putus asa karena semua hasil jerih payahku itu akan menjadi sia-sia kalau aku menghadapi godaan."
Bahkan Pak Ahn berani tertawa saja kalau kawan-kawannya yang lama itu mengajak dia berjudi lagi. Dengan mudah saja ia dapat menggelengkan kepala, lalu meninggalkan kedai minuman keras. Tidak lagi ia merasa tergoda untuk berbual-bual, bertengkar mulut, kemudian berkelahi.
Putranya sering menemani dia pergi ke kota. Memang kehidupan mereka masih menuntut kerja keras. Tetapi bercampur dengan pekerjaan yang berat itu ada juga sukacita yang sejati; dan apa gerangan yang dapat diharapkan di dunia ini yang melebihi sukacita seperti itu?
Pada suatu hari Sabtu, hasil sayuran milik Pak Ahn terjual habis agak siang. Maka ia mulai membantu penjual "Keempat Buku Kecil."
Penjual itu mengamat-amati pembantunya yang baru. Dalam jangka waktu yang sama, ternyata Pak Ahn dapat menjual sepuluh buku, sedangkan ia sendiri hanya sanggup menjual satu buku saja.
Orang ini seharusnya bergabung dengan kami! kata penjual Alkitab itu dalam hatinya. Bapak ini seharusnya memanfaatkan sisa umurnya untuk menyampaikan Kabar Keselamatan kepada orang-orang lain. Karena tidak setiap orang yang berbakat seperti dia untuk bercakap-cakap dengan orang lain, serta menolong mereka menemukan sendiri kekuatan agar berkelakuan baik.
Jadilah Pak Ahn seorang penjual Alkitab. Ia Berkelana jauh di jalan-jalan pedesaan negeri Korea walau hari hujan, walau matahari sedang bersinar terik. Di mana saja ia menceritakan Kabar Keselamatan. Dan di mana saja ia pun menjual Alkitab lengkap, Kitab Perjanjian Baru, dan "Keempat Buku Kecil."
"Nah, ini dia!" ia suka berseru di alun-alun, di pasar, di mana-mana. "Keempat Buku Kecil ini dapat memberi kekuatan agar berkelakuan baik. Aku tahu, karena melalui ajaran-ajaran yang ada di dalamnya, aku sendiri telah mendapat kekuatan itu aku, sebelumnya tidak berdaya. Yah, . . . Pak Ahn si pemabuk, Pak Ahn si penjudi, Pak Ahn si tukang berkelahi itulah aku sendiri, yang sedang berdiri di sini, dan yang sedang menawarkan Keempat Buku Kecil ini pada kalian. Maukan kalian beli?"
TAMAT
Pada tahun-tahun 1940-an, Amerika Serikat dan Kekaisaran Jepang sedang berperang di seluruh kawasan Lautan Pasifika yang luas.
Dalam masa peperangan di sekitar perairan besar itu, berkali-kali ada tentara Amerika yang pesawat terbangnya jatuh atau kapal perangnya terkandas di dekat salah satu pulau kecil. Sering tentara-tentara yang malang itu merasa sangat khawatir dan was-was, karena mereka tahu bahwa di kawasan Lautan Pasifika masih ada suku yang belum beradab bahkan masih ada pemakan daging manusia.
Namun berkali-kali pula tentara-tentara Amerika yang terdampar itu mendapati bahwa orang-orang pribumi di pulau-pulau Lautan Pasifika menerima mereka dengan baik. Luka-luka mereka diobati; mereka diberi makanan dan pemondokan.
Yang sering menjadi alasan, mengapa kaum pribumi di pulau-pulau itu berbelas kasihan terhadap orang-orang Amerika yang mendapat kecelakaan ialah karena kaum pribumi itu adalah orang-orang Kristen. Bahkan kadang-kadang tersingkap bahwa seluruh penduduk di salah satu pulau kecil yang terpencil itu sudah percaya kepada Tuhan Yesus.
Bagaimana Firman Allah sampai tersebar di sekian banyak pulau di Lautan Pasifika, serta sangat mempengaruhi sejarah yang berikutnya dari suku-suku pribumi yang tinggal di sana?
Jawaban atas pertanyaan itu merupakan suatu cerita yang panjang. Sebagian dari ceritanya telah dibawakan dalam pasal 5 dari buku ini, dengan judul "Bahasa yang Belum Pernah Ditulis." Sebagian lagi diceritakan di bawah judul "Kisah Tukang Cetak yang Terdampar", yang dimuat dalam pasal 6 ini.
Hiram Bingham, Jr., lahir di kepulauan Hawaii pada tahun 1831, sebelas tahun setelah orang tuanya tiba di sana sebagai utusan Injil. Sebagai seorang anak kecil ia sudah tahu bahwa ayahnya sibuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Hawaii: Bukankah ia sendiri yang kadang-kadang menolong dengan mengantarkan kertas ke bengkel percetakan
Ketika ia sudah besar, Hiram Binghan, Jr. pergi ke tanah air orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya. Di sana ia tamat dari Universitas Yale yang terkenal. Di sana ia menikah dengan seorang pemudi Kristen. Dan di sana pula mereka berdua merasa dipanggil Tuhan untuk pergi sebagai utusan Injil ke kepulauan Kiribati di Lautan Pasifika.
Anak-anak gereja di Amerika mempunyai andil khusus dalam usaha mengabarkan Firman Tuhan di antara pulau-pulau yang jauh itu: Bukankah mereka telah mengumpulkan persembahan khusus demi membeli sebuah kapal? Kapal itu yang bernama Morning Star (Bintang Kejora), berlayar dari pelabuhan Boston pada tahun 1856. Dan dua orang di antara penumpangnya adalam Hiram Bingham, Jr. dengan istrinya.
Setelah berlayar selama berbulan-bulan, kapal Morning Star itu berlabuh di kepulauan Hawaii. Di sana Hiram Bingham sempat memperkenalkan pengantinnya yang baru itu kepada orang tuanya. Tetapi perjalanan mereka belum selesai: Mereka harus berlayar terus sejauh seribu lima ratus kilometer lagi ke arah barat daya, baru mereka akan tiba di kepulauan Kiribati.
Orang-orang pribumi di kepulauan Kiribati itu cukup ramah, asal orang-orang asing yang datang ke sana tidak mengganggu atau menyakiti mereka. Tetapi ada juga penduduk yang sangat galak di pulau-pulau lain dekat kepulauan itu. Maka dengan agak khawatir juga Pdt. dan Ny. Bingham melihat kapal Morning Star berangkat lagi, meneruskan tugasnya berkeliling di atara pulau-pulau yang sudah dihuni utusan Injil. Mungkin baru satu tahun kemudian kapal itu akan sempat mampir lagi ke kepulauan Kiribati.
Pdt. Bingham mulai mengerjakan tugas berat yang sudah dilakukan lebih dahulu oleh ayahnya di kepulauan Hawaii, yaitu: mempelajari suatu bahasa yang belum pernah ditulis. Ia harus menunjuk sesuatu, mendengar namanya yang diucapkan oleh seorang penduduk setempat, lalu harus berusaha menulis sesuatu yang mirip dengan bunyi lafalnya.
Sering juga tugas itu membuatnya merasa bingung. Misalnya, ada seorang ibu yang memanggil anaknya, dan anaknya itu berlari kepadanya. Tetapi soalnya, . . . apa arti ssungguhnya dari kata-kata yang diserukan sang ibu itu? Mungkin "Ayo, waktu makan!" Mungkin "Tolong Ibu kerjakan ini!" Mungkin juga, "Anak yang nakal, cepat kau ke mari!" Bagaimanakah seorang asing dapat membedakan, manakah maknanya yang tepat?
Namun Pdt. Bingham dan istrinya belajar dan bekerja terus. Sedikit demi sedikit mereka dapat mengerti bahasa orang Kiribiti. Dan sedikit demi mereka dapat mulai menyusun sendiri kalimat-kalimat dalam bahasa itu.
Dengan segera mereka mulai mencari kata-kata yang tepat untuk menerjemahkan Firman Tuhan. Kitab yang pertama-tama mereka kerjakan ialah, mengirim naskah terjemahan itu ke kepulauan Hawaii. Berbulan-bulan kemudian, barulah hasil cetakannya itu dikirim kembali dari sana.
Sementara itu, Pdt. dan Ny. Bingham sudah mulai bersaksi kepada orang-orang setempat. Sebagai hasilnya, ada saudara-saudara seiman yang dapat menolong mereka dengan tugas-tugas mereka. Pdt. Bingham bahkan sempat pergi ke pulau-pulau terdekat yang penduduknya kurang ramah itu; ia berani menceritakan kasih Tuhan Yesus kepada mereka juga.
Karena banyaknya macam pekerjaan yang harus dilakukan, tugas terjemahan itu tidak selalu berjalan dengan lancar. Namun lambat laun seluruh Kitab Injil Matius berhasil disiapkan untuk proses pencetakan. Dengan rasa syukur Pdt. Bingham mengirim naskahnya ke kepulauan Hawaii. Dengan harapan besar ia dan semua orang Kristen di kepulauan Kiribati menunggu kedatangan kembali sebuah kapal yang akan melintasi jarak seribu lima ratus kilometer itu.
Setelah tiga belas bulan menunggu-nunggu, datanglah juga sebuah kapal dari kepulauan Hawaii. Pdt. dan Ny. Bingham, dengan diiringi banyak penduduk Kiribati, menyongsongnya di pesisir. Namun mereka sangat kecewa: yang dimuat kapal itu, bukan Kitab-Kitab Injil Matius dalam bahasa mereka sendiri, melainkan sebuah mesin cetak kecil, lengkap dengan tinta dan kertas. Terlampir juga berita ini: "Lebih baik kalian mencetaknya sendiri di sana. Dengan demikian tidak usah menunggu-nunggu hasilnya."
Alangkah sedihnya Hiram Bingham, Jr.! Ia tidak tahu apa-apa tentang seni cetak. Bagaimanakah ia dapat merakiti dan menjalankan mesin cetak itu?
Memang ia dan istrinya mencoba. Tetapi tugas itu terlalu rumit bagi mereka. Rupa-rupanya mereka harus menunggu-nunggu lagi, sambil mengirim naskah terjemahan Kitab Injil Matius ke kepulauan Hawaii.
Pdt. Bingham merasa begitu kecewa sampai-sampai ia sulit tidur. Sepanjang malam ia berdoa saja.
Pagi-pagi ada seorang anak laki-laki kecil yang berseru di luar rumahnya: "Pak! Pak! Ada perahu kecil yang datang"? Datangnya dari mana? Siapa pendayungnya?
Pdt. dan Ny. Bingham bergegas pergi ke pesisir. Betul juga berita tadi: Ada perahu kecil yang di dayung oleh empat orang, makin lama makin mendekati pantai. Ternyata mereka itu orang-orang Barat, sama seperti keluarga Bingham sendiri.
"Kalian siapa?" Pdt. Bingham berseru.
"Awak kapal laut," jawab keempat pria itu.
"Kalau begitu, di mana kapal kalian?" Pdt. Bingham bertanya lagi.
"Terkandas di tengah laut," mereka menjelaskan. "Hanya kami berempat yang masih hidup. Kami sudah berdayung kemari sejauh seratus lima puluh kilometer."
Para pelaut yang terdampar itu senang sekali bertemu dengan seseorang yang dapat berbicara bahasa Inggris. Keluarga Bingham langsung menampung mereka di rumah serta memberi mereka makan.
Setelah kekuatan mereka sedikit pulih kembali, mereka mulai jalan-jalan di pulau itu. Ada kemungkinan besar mereka harus menunggu lama sekali, baru ada kapal yang akan mampir lagi yang dapat membawa mereka pulang. Sementara itu, jika ada tugas yang dapat mereka kerjakan, mereka ingin melakukannya sebagai jalan untuk membalas budi kepada keluarga Bingham yang baik hati.
Salah seorang pelaut yang terdampar itu bernama Pak Hotchkiss. Ia menemukan mesin cetak kecik yang telah dikirim dari Hawaii itu, yang masih tersimpan dalam dosnya.
"Wah, apa ini? tanyanya. "Kalian suka mencetak di pulau yang terpencil ini?"
Dengan sedih Pdt. Bingham menggelengkan kepalanya dan menjelaskan apa yang terjadi.
Senyuman Pak Hotchkiss itu lebar sekali. "Aku tukang cetak, Pak," katanya. "Dalam sekejap saja aku dapat menjalankan mesin yang kecil mungil ini. Berikan aku apa saja yang Bapak mau cetak, dan aku akan mengerjakannya. Gampang. Aku juga dapat mengajar Bapak dan orang-orang lain, bagaimana caranya menjalankan mesin ini."
Hiram Bingham, Jr. gembira sekali. "Pasti Hotchkiss memang berhasil merakiti mesin cetak itu. Ketika sebuah kapal mampir dan ketiga temannya itu hendak menaikinya dan pulang, ia sendiri memutuskan untuk tinggal lebih lama di kepulauan Kiribati. Dan ia memang menetap di sana sampai Kitab Injil Matius selesai dicetak, dan sampai Pdt. Bingham serta kawan-kawanya di antara penduduk setempat itu sudah dilatih dengan baik, bagaimana menjalankan mesin cetak.
Kemudian menyusul Kitab Injil Yohanes dalam bahasa Kiribati, lalu Surat Efesus. Tidak mungkin terus mencetak kitab-kitab lainnya, karena persediaan kertas sudah habis. Namun Pdt. Bingham dan istrinya berbesar hati, oleh karena Firman Tuhan sudah mulai meresap ke dalam hati penduduk kepulauan karibiti.
Ternyata Hiram Bingham, Jr. tidak dikaruniai Tuhan dengan kesehatan yang sempurna. Musatahil ia dapat bekerja sekeras ayahnya dulu. Berkali-kali ia jatuh sakit, dan terjemahannya itu terpaksa dilanjutkannya sambil berbaring di tempat tidur. Pembantunya dalam pekerjaan yang mulia itu hanya ada dua orang saja, yakni: istrinya yang setia, dan seorang mantan muridnya yang bernama Musa Kaure.
Walau demikian, Pdt. Bingham berani berjuang terus. Hampir empat puluh tahun dari masa hidupnya dihabiskannya untuk melaksanakan karya terjemahan itu. Akhirnya pada tahun 1893 seluruh Alkitab diterbitkan dalam bahasa Kiribati. Dan isiya makin lama makin mempengaruhi cara hidup para penduduk pulau-pulau di Lautan Pasifika itu.
Itulah sebabnya ketika ada seorang tentara Amerika serikat yang datang ke kepulauan Kiribati pada tahun 1944 semasa Perang Dunia II, ia dan salah seorang penduduk setempat saling menukar Alkitab. Alkitab bahasa Inggris ditinggalkan sebagai kenang-kenangan di kepulauan Kiribati, dan Alkitab bahasa Kiribati dikirim kepada ibu tentara di tanah airnya.
Ibu tentara itu kemudian menulis sepucuk surat yang berisi pertanyaan, yang dialamatkannya kepada Lembaga Alkitab Amerika. Sebagai jawaban, ibu itu mendapat keterangan seperti yang dimuat dalam pasal ini, tentang bagaimana Firman Tuhan mula-mula sampai di kepulauan Kribati, . . . berpuluh-puluh tahun sebelumnya.
TAMAT
Mengapa Mama gelisah?" tanya Consuela.
Ibu Teresa tidak menjawab pertanyaan anaknya yang perempuan. Ia tetap duduk termenung, menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan-pelan sambil kelihatan gelisah.
Consuela merangkak ke sisi ibunyanya. Ia mulai merasa takut. Jarang sekali ibunya kelihatan cemas dan sedih seperti ini! Biasanya dialah yang paling gembira di antara semua penduduk daerah pedesaan di Meksiko itu. Tetapi hari ini, ia bahkan tidak mau diajak bicara.
Consuela melirik ke arah ayahnya. "Pak, kenapa Mama gelisah?" tanyanya lagi dengan berbisik.
Papa mengerutkan dahinya. "Wah, itu gara-gara sang pendeta," jawabnya. "Ia menyuruh kami membeli sebuah Kitab Kramat Ukuran Besar."
Consuela heran. "Kitab seperti itu tempatnya di gereja, kan? Bukan di rumah orang miskin seperti kita ini."
Barulah Mama turut berbicara. "Katanya, karena Kitab itu memang mengandung kuasa kramat, kami semua akan selamat kalau mau membelinya.
Suara papa menggeram. "Yah, `katanya' begitu! Menurut hematku, ia hanya menjualnya untuk mendapat uang. Sang pendeta selalu kekurangan uang. Ia bukan gembala sidang yang baik. Ia tidak memelihara jemaatnya. Kenapa kita mesti beli Kitab itu?"
Tetapi Mama nampaknya menjadi lebih cemas lagi. "Dengarlah, Pak Chico: Sebaiknya kita nurut sama sang pendeta. Kalau tidak, nanti kita akan celaka. Aku takut menolaknya!"
Raut muka Papa sangat murung. "Aku juga takut, Teresa. Tetapi . . . kita tidak punya uang sebanyak itu. Untuk membeli Kitab Kramat Ukuran Besar itu, kita harus menjual sebagian dari tanah kita. Dan bagaimana hidup kita kelak kalau tanah kita sudah dijual?"
Maka mereka tidak jadi membeli. Mama takut-takut terus. Sering juga ia menangis. Dan si Consuela merasakan ketidakbahagiaan yang telah memcengkeram seisi rumah tangganya. Bahkan pada waktu ada pesta di desa mereka, tidak seorang pun di rumah mereka yang turut bergembira.
Setiap minggu Mama dan Consuela pergi ke gereja. Dan setiap minggu pula, sang pendeta mendesak agar mereka membeli Kitab Kramat Ukuran Besar. Ia tidak mau menerima penjelasan mereka bahwa Pak Chico, ayah Consuela, segan menjual tanah untuk dapat membeli Kitab itu.
Memang betul perkataan Papa: Sang pendeta itu bukan gembala sidang yang baik. Ia tidak mengasihi anggota-anggota gereja. Ia tidak menghiraukan kepentingan mereka, hanya kepentingan dirinya sendiri saja. Alangkah baiknya jika pendeta di desa Paman Pedro yang menjadi gembala sidang di desa Consuela! Pendeta desa yang baik hati itu pasti tidak akan mengharapkan seseorang menjual tanah untuk membeli buku yang tak dapat dibacanya.
Beberapa bulan kemudian, ada wabah penyakit yang menjangkiti desa Consuela. Banyak orang yang meninggal, . . . di antaranya Pak Chico. Ibu Teresa dan Consuela meratapi dia, bersama-sama dengan para tetangga mereka. Tetapi sang pendeta, bukannya menghibur mereka; ia malah berkata dingin: "kalau kalian sudah membeli Kitab Kramat Ukuran Besar, itu, mungkin ini tidak akan terjadi."
Mama masih gelisah. Jangan-jangan ia juga akan mati, sehingga si Consuela akan ditinggalkan tanpa orang tua! Maka Ibu Teresa menjual sebagian tanah warisannya serta membeli Kitab itu yang sudah lama ditawarkan oleh sang pendeta. ia tidak tahu bahwa hal membeli atau tidak membeli suatu benda walau benda itu dianggap mengandung kuasa kramat tidak ada hubungannya dengan soal penyakit dan kematian.
Sang pendeta membawa Kitab Kramat Ukuran Besar itu ke rumah kecil tempat tingggal Consuela dan ibunya. Ia menaruh Kitab itu di suatu tempat yang terhormat, dan pura-pura mengucapkan suatu doa berkat untuk seisi rumah tangga. Karena tadinya Mama dan Consuela merasa takut, kejadian itu agaknya menghibur hati mereka berdua. Kemudian sang pendeta memanfaatkan uang yang diperolehnya itu; ia segera bepergian, meninggalkan tugas penggembalaannya.
Pada suatu hari Paman Perdro datang ke rumah Consuela dengan naik seekor kuda besar. Ia meminjam kuda itu dari pemilik perkebunan tempat ia bekerja. "Sudah waktunya aku menengok kalian," kata Paman Pedro sambil merangkum Ibu Teresa dan si Consuela. "Aku ingin tahu bagaimana keadaan adikku dan kemenakanku. Kalau keadaannya kurang baik di sini, kalian boleh saja pindah ke rumah kami!"
Tetapi Mama menolak tawarannya yang baik hati itu. "Aku dan Consuela akan menetap di sini, Kak," katanya. Masih ada cukup banyak tanah di sini sehingga kami berdua dapat mencari nafkah."
Lalu ia bercerita kepada Paman Pedro tentang Kitab Kramat Ukuran Besar yang telah dibelinya dari sang pendeta. Ia memperlihatkan Kitab itu yang berbaring di tempatnya yang terhormat . . . ya, tetap saja berbaring di situ; tidak ada seorang pun yang sanggup membacanya atau pun menjelaskan isinya.
"Huh!" cetus Paman Pedro. "Cara murahan untuk mencari uang ," katanya sambil mencibir. "Menakut-nakuti seorang janda sampai ia melepaskan sebagian tanah warisannya. Tapi . . . apa boleh buat, sudah terlanjur. Nah, . . . mari kita lihat, ada apa sih di dalam Kitab ini sehingga dianggap begitu kramat."
Paman Pedro lalu membuka halaman pertama dari Kitab Kramat Ukuran Besar itu dan mulai membacakan isinya. Kata-kata itu kedengarannya asing, namun sangat indah. Paman Pedro kurang pandai membaca, tetapi ia berusaha terus: ```Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.''' Ayat demi ayat dibacakannya, dengan suara yang kurang jelas itu . . . .
Sayang, ketiga orang Meksiko itu tidak sadar bahwa mereka sedang mendengarkan isi Alkitab! Mereka tidak tahu bahwa yang dibacakan itu adalah Kitab Kejadian, pasal satu. Belum pernah ada orang yang membacakan isi Alkitab bagi mereka. Sang pendeta yang dulu itu terlalu malas untuk menceritakan isi Alkitab dengan cara yang dapat dipahami oleh Mama dan si Consuela. Di desa tempat tinggal Paman Pedro, memang ada gembala sidang yang lebih baik, namun Paman Pedro sendiri tidak pernah pergi ke gereja.
"Sangat menarik," kata Paman Pedro sesudah ia capai membacakan. "Nah, aku harus pulang sekarang. Tetapi lain kali aku akan datang lagi, dan kita akan membaca lebih lanjut."
Setiap kali Paman Pedro datang menengok adiknya dan kemenakannya ia pun meluangkan waktu untuk membacakan Kitab Kramat Ukuran Besar itu. Pembacaannya pelan-pelan, dengan susah payah. Kadang-kadang kata-kata itu dapat dipahami oleh ketiga pendengarnya; tetapi kadang-kadang kata-kata itu seolah-olah masuk telinga yang satu dan keluar telinga yang lain, sama sekali tidak memberi pengertian.
"Namun demikian, sebaiknya kita baca terus," kata Ibu Teresa dengan rasa senang. "pasti kita akan diberkati kalau membaca Kitab Kramat Ukuran Besar ini."
Si Consuela turut senang, karena kini ada rasa kebahagiaan di rumahnya. Cuaca pun baik, dan hasil kebun mereka banyak. Consuela dan ibunya tidak akan kekurangan sebelum datangnya musim dingin.
Pada suatu hari Consuela berlari-lari kecil ke arah rumah temannya, si Trini. Tiba-tiba ia berhenti di jalanan desa itu. Ia mendengar sesuatu: Ada seorang pria yang sedang menyanyi, dan nyanyiannya itu lagu yang baru bagi Consuela.
Consuela paling gemar menyanyi. Kebetulan ia kenal dekat dengan tetangganya, dari mana lagu itu mengalun. Maka ia masuk dan melihat seluruh keluarga itu sedang berkumpul dengan seorang pria yang belum ia kenal. Pria itulah yang tadi menyanyi. Rupa-rupanya bapak itu datang dari tempat lain; ada sepeda dengan bungkusan terikat padanya yang disandarkan pada dinding rumah.
Setelah saat menyanyi selesai, pria itu mengambil sebuah buku kecil dari bungkusan di sepedanya. Ia membukanya dan mulai memmbacakan isinya.
Tiba-tiba si Consuela menarik napas: kata-kata itu persis sama seperti kata-kata yang telah dibacakan oleh Paman Pedro dari Kitab Kramat Ukuran Besar, pada waktu kunjungannya minggu yang lalu!
Consuela lari tunggang langgang ke rumahnya dan memberitahu ibunya apa yang didengarnya. Lalu ibu Teresa juga ikut Consuela kembali ke rumah tetangga mereka. Untung, pria dari tempat lain itu masih berbicara. Ternyata ia sanggup menjelaskan arti kata-kata yang dibacakannya tadi. Ia memakai bahasa sederhana, seolah-olah ia mengerti cara hidup sehari-hari orang desa itu. Kata-kata indah itu yang tadinya melayang tanpa arti, kini mulai bersarang dalam hati Consuela dan ibunya.
Kemudian menyusul saat menyanyi yang kedua. Bapak itu memperhatikan bahwa ada beberapa anak yang hadir, maka ia menyediakan waktu untuk mengajar mereka sebuah lagu khusus. Consuela senang menyanyikannya bersama-sama dengan kawan-kawannya. Menurut lagu itu, Yesus mengasihi setiap anak, karena Alkitab memberitahu mereka hal itu. Belum pernah si Consuela merasa bahwa Yesus mengasihinya, atau bahwa ada tulisan di dalam Alkitab yang membuktikan hal itu.
Bapak itu lalu membacakan tentang saat-saat Tuhan Yesus menyambut anak-anak.
"Inilah Alkitab," katanya menjelaskan. "Inilah Firman Allah. Isinya bercerita tentang Tuhan Yesus. Isinya memberitahu kita bagaimana kita harus hidup sebagai anak-anak Allah."
Pada waktu ia hendak pulang, bapak itu bertanya: "Bolehkah aku datang lagi minggu depan? Bolehkah aku mengajak kalian menyanyi tentang kasih Tuhan, serta mengajar kalian Firman Allah?"
Nyonya rumah itu membalas, "Pak, kata-kata itu sangat baik, juga lagu-lagu tadi. Bapak akan disambut dengan gembira tiap kali Bapak mau datang ke rumah kami."
Bapak itu mengambil sepedanya dan menuntunnya ke luar. "Tuhan memberkati kalian!" serunya pada saat ia berangkat.
Ketika Paman Pedro datang lagi pada minggu yang berikutnya, banyak sekali yang diceritakan kepadanya oleh ibu Teresa dan si Consuela! Mereka mengulangi apa yang dikatakan oleh bapak itu tentang kata-kata yang telah dibacakannya. Lalu Paman Pedro mencari kata-kata yang sama juga dalam Kitab Kramat Ukuran Besar, serta membacakannya sekali lagi.
Kemudian si Consuela membujuk pamannya agar ia membacakan sebuah cerita tentang Tuhan Yesus. Lama sekali Paman Pedro membolakbalikkan halaman dalam Kitab Kramat itu! Namun ia tidak berhasil menemukan apa yang diminta oleh Consuela. "Suruh bapak itu mampir ke mari dan memberi tanda pada halamannya yang tepat," demikian nasihatnya.
Minggu demi minggu bapak penginjil itu datang ke desa Consuela, dengan maenaiki sepedanya. Memang ada penduduk yang tidak menyukai kedatangannya. Sang pendeta yang lama masih bepergian, namun ada anggota-anggota gereja lama yang khawatir bahwa ia akan kurang senang kalau sepulangnya nanti ia mendapati adanya penginjil lain di desa itu.
Tetapi Ibu Teresa tersenyum saja pada waktu ia mendengar omelan tetangganya. "Bagaimana sang pendeta akan merasa kurang senang?" tanyanya. "Kan kami hanya belajar mengerti isi Kitab Kramat Ukuran Besar yang telah dijualnya sendiri kepada kami?"
Minggu demi minggu bapak penginjil kaum awam itu datang dengan setia dari desa lain yang dekat. Minggu demi minggu Consuela dan ibunya mendengar penjelasan Firman Allah yang disampaikannya. Mereka mulai menerima ajarannya. Mereka sudah menghafal lagu-lagunya. Dan yang lebih penting mereka sudah mulai mengasihi Tuhan Yesus.
Pada suatu hari Consuela dan Ibu Teresa dibaptiskan, bersama-sama dengan beberapa tetangga mereka. Lahirlah sebuah jemaat kecil yang baru di desa mereka.
Sang pendeta yang lama tidak pernah kembali ke desa itu. Memang ada petugas-petugas lain dari gereja lama itu yang sewaktu-waktu datang dan mengancam penduduk desa yang sudah berani menganut suatu aliran baru. Tetapi Ibu Teresa selalu menjawab mereka dengan manisnya: "Kenapa kami dianggap berbuat salah? Kami hanya mengikuti Kitab Kramat Ukuran Besar, yang kami beli dulu dengan harga yang mahal dari sang pendeta di gereja kami yang lama."
Pada masa itu si Consuela sudah belajar membaca di sekolah desa. "Mama haru belajar juga," katanya suatu hari kepada Ibu Teresa. "Tidak sulit, Mama! Aku sendiri dapat mengajar Mama membaca."
Ibunya tertawa saja. "Cukup banyak kesibukanku, tidak usah aku belajar membaca. Itu tidak perlu; apalagi kamu dan setiap anak di desa ini dapat membacakannya bagiku."
Beberapa hari kemudian, ketika si Consuela terus membujuk, Mama menambahkan: "Consuela, ibumu adalah seorang desa yang buta huruf. Tetapi kamu sudah mulai belajar, dan kamu harus belajar terus. Sesudah tamat sekolah di desa kita, kamu harus pergi ke sekolah di kota. Siapa tahu, mungkin pada suatu saat kamu akan kembali ke mari sebagai seorang guru Alkitab. Mungkin kamulah yang akan mengajarkan isi Kitab Kramat Ukuran Besar!"
Consuela melongo. Belum pernah terlintas pada pikirannya bahwa hal seperti itu dapat menjadi kenyataan. Namun kalau Mama mengharapkan yang demikian, Consuela siap sedia rajin belajar terus.
"Yah," kata Ibu Teresa, "untung sekali kita telah membeli Kitab Kramat Ukuran Besar itu. Yang menjualnya dulu tidak mengindahkan ajarannya, dan yang membelinya dulu tidak mengerti isinya, namun Firman Allah yang tertulis di dalam Kitab itu membawa kebahagiaan bagi kita."
Consuela tersenyum. "Tahukah Mama, Trini dan anak-anak yang lain sedang melatih sebuah sandiwara pendek? Dan ceritanya diambil dari Kitab itu juga," katanya. "Nanti bapak penginjil akan heran melihat sandiwara kami."
"Bagus!" kata Ibu Teresa. "kalau begitu, sebaiknya kau lari ke rumah Trini sekarang dan bermain di sana. Kan kita dengar dari Firman Allah minggu lalu, bahwa kita perlu tubuh yang sehat supaya kita dapat melayani Tuhan Yesus?"
TAMAT
Mungkin judul di ats itu agak membingungkan. Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa ada "Kitab Suci yang Terlalu Diagungkan"?
Hieronymus, penerjemah Alkitab Vulgata dalam bahasa Latin (lihat pasal 1 dalam buku ini), mungkin sekali cukup mengerti maksud judul di atas. Pada masa hidup Hieronymus, sudah ada berbagai-bagai terjemahan Alkitab bahasa Latin; ada yang baik, ada pula yang jelek. Namun setiap terjemahan itu, apakah baik atau jelek, di antara pembacanya ada yang merasa: "Pasti inilah Kitab Suci yang paling bagus!"
Karena umat Kristen pada zaman kuno itu terlalu mengagungkan terjemahan-terjemahan Alkitab yang sudah ada, maka semula mereka tidak mau menerima terjemahan baru yang dikerjakan oleh Hieronymus. Sejak tahun 383, ketika ia mengerjakan terjemahan baru keempat Kitab Injil atas imbauan Paus Damasus, Hieronymus sudah menyadari bahwa ada umat Kristen yang terlalu mengagungkan terjemahan lama. Sang penerjemah itu menyurati sri paus sebagai berikut:
"Setiap pembaca Alkitab, apakah dia pandai atau bodoh, ketika ia memegang terjemahanku dan menemukan susunan kata-kata yang berbeda dengan yang sudah biasa baginya, pasti ia akan mengangkat suaranya dan menuduh bahwa aku adalah seorang pemalsu, penghujat, seorang yang berani mengubah, meralat, mengutik-ngutik Kitab Suci yang sudah lama ada!"
Reaksi seperti itu sesungguhnya sudah sering muncul sepanjang abad, dan di seluruh dunia. Pada tahun 1971-1974, ketika Lembaga Alkitab Indonesia mula-mula menerbitkan terjemahan yang sekarang ini paling lazim dipakai, ada orang-orang Kristen yang tidak mau menerimanya. Ada seorang sarjana teologi yang mau mengkritiknya dengan tajam. Bahkan ada suatu organisasi Kristen yang mengongkosi pencetakan ulang terjemahan lama, oleh karena mereka sama sekali tidak mau bersangkutan dengan "terjemahan baru yang jelek" itu!
Hieronymus merasa kurang sabar terhadap orang-orang Kristen yang bersikap kolot seperti itu. Ia pernah menyambut mereka sebagai "keledai berkaki dua", dan menyatakan sebagai berikut: "Percuma aku memainkan kecapiku bagi keledai! Jika mereka tidak mau minum dari sumber air yang jernih, biarlah mereka minum air sungai yang keruh!"
Dalam salah satu tulisannya, Hieronymus pun menggambarkan dirinya sebagai seorang penerjemah Alkitab yang terbentur pada dua masalah:
"Seandainya aku bekerja sampai mengeluarkan keringat dengan menganyam keranjang untuk mendapat nafkah, maka tidak ada seorang pun yang akan mengiri kepadaku. Tetapi justru karena aku menaati Amanat Sang Juru Selamat, dan demi kebaikan jiwa-jiwa manusia aku memilih untuk menyediakan Roti Hidup yang tak kunjung binasa, yaitu membersihkan jalan kebenaran dengan mencabut alang-alang yang oleh kebodohan pernah ditanam di situ maka aku dituduh telah berbuat dua macam kejahatan: Jika aku meralat yang kurang tepat dalam Alkitab, aku dikutuk sebagai pemalsu. Tetapi jika aku tidak meralatnya, aku didamprat sebagai penyebar kebohongan."
Lambat laun terjemahan Hieronymus itu diterima secara umum. Bahkan julukannya cukup mencerminkan hal itu: Vulgata, atau Alkitab "Untuk Semua Orang." Bahkan Vulgata itu pun pernah diberi nama kehormatan yang lebih luhur lagi: "Ratu di Antara Semua Versi Alkitab" . . . .
Sayang, . . . ada perkembangan sejarah selama abad-abad terkemudian yang pasti akan sangat membingungkan Hieronymus, seandainya ia masih hidup pada abad-abad tersebut. Alkitab Vulgata itu disalin dengan tulisan tangan selama seribu tahun lebih, karena di dunia Barat belum ada mesin cetak. Dan sama seperti yang selalu terjadi dengan salinan apa saja yang dibuat oleh manusia yang kurang sempurna di sana sini terdapat salinan yang salah tulis. Lagi pula, terjemahan asli Hieronymus itu sendiri tidak seratus persen sempurna, karena yang mengerjakannya pun adalah manusia yang kurang sempurna.
Pada masa Reformasi Protestan, para pemimpin Gereja Katolik Roma diberitahu bahwa telah ditemukan banyak naskah Alkitab kuno dalam bahasa-bahasa aslinya, yang sangat berfaedah guna memperbaiki Alkitab Vulgata. Namun, semuanya itu mereka tolak. Sebaliknya, mereka bersikeras hanya Vulgata sajalah yang harus dipakai dalam ibadah umat Katolik di seluruh dunia, yang lain tidak. Padahal semula Hieronymus sendiri justru mengerjakan Vulgata untuk mengganti terjemahan-terjemahan Alkitab lama yang kurang tepat!
Apakah akibat perkembangan sejarah yang tak diharapkan itu, yakni Alkitab Vulgata terlalu diagungkan?
+ Selama berabad-abad, setiap kali ada rapat gerejawi agung di kalangan umat Katolik Roma, ada salinan Alkitab Vulgata yang dimasukkan ke dalam sebuah peti keemasan yang indah, lalu dibawa dalam arak-arakan suci, seolah-olah menjadi patung berhala.
+ Selama berabad-abad, bila para utusan Injil Katolik Roma pergi kepada bangsa-bangsa asing, mereka membawa serta Alkitab Vulgata saja, dan mengharapkan agar orang yang bahasanya lain daripada bahasa Latin itu akan merasa puas dengan Alkitab dalam bahasa yang sudah kuno.
+ Selama berabad-abad, bahkan sampai beberapa puluh tahun yang lalu, acara kebaktian dalam setiap gereja Katolik Roma di Indonesia dan di seluruh dunia selalu diselenggarakan dalam bahasa Latin saja . . . pada hal bahasa itu sudah mati, tidak lagi dibicarakan oleh siapa pun, di tempat mana pun juga.
Syukurlah, pada pertengahan abad ke-20 para pemimpin umat Katolik Roma mulai menyadari kejanggalan ini. Pada masa sekarang, di mana-mana orang-orang Katolik didorong untuk mempunyai dan membaca Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri. Bahkan umat Kristen golongan Katolik itu suka bekerja sama dengan umat Kristen golongan non-Katolik demi terjemahan Alkitab dalam bahasa yang mudah dipahami pada masa kini, seperti misalnya Alkitab Kabar Baik Dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari . . . .
Bagaimana dengan umat Kristen non-Katolik? Apakah mereka juga pernah terjebak karena "terlalu mengagungkan Kitab Suci"? Apakah mereka juga pernah memperlakukan satu terjemahan Alkitab tertentu seolah-olah menjadi patung berhala?
Sayang sekali, bukan hanya umat Katolik Roma saja yang pernah keliru dengan cara demikian. Umat Kristen Nestorian juga ikut terjebak.
Mungkin orang-orang Nestorianlah yang mula-mula membawa Kabar Baik tentang Tuhan Yesus ke kepulauan Nusantara. Ada tradisi kuno yang menyatakan bahwa beberapa gereja Nestorian sudah didirikan di daerah Barus, Sumatera Utara, pada abad ke-12.
Mengapa aliran Nestorian itu tidak tahan lama di Indonesia? Mungkin alasannya (antara lain) ialah, karena orang-orang Kristen Nestorian kurang antusias menerjemahkan Firman Tuhan ke dalam bahasa setempat. Menurut mereka, sudah cukupkah bila ada Alkitab bahasa Siria Kuno yang telah mereka miliki sejak abad ke-5. Jadi, bila para utusan Injil Nestorian pergi ke mana-mana (dan mereka itu memang cukup banyak dan cukup rajin), mereka hanya membawa serta sebuah terjemahan Alkitab yang sangat kuno dan sulit dipahami. (Salah satu akibat dari kelalaian mereka dalam hal menerjemahkan Alkitab itu dapat dibaca berupa kisah nyata yang berjudul "Gereja yang Tidak Mempunyai Alkitab", pada Jilid 2 dalam buku seri ini.)
Alkitab bahasa Siria Kuno itu pun satu-satunya Alkitab yang dikenal di jazirah Arab pada abad ke-6 dan ke-7. Bagaimana seandainya orang-orang Kristen dahulu kala di daerah Arab itu lebih rajin menerjemahkan Alkitab? Bagaimana seandainya orang-orang Arab pada zaman itu sudah dapat membaca dalam bahasa ibu mereka, tentang Isa Almasih, Sang Juru Selamat yang diutus oleh Tuhan Yang Maha Esa?
Pengandaian itu sungguh menarik. Namun kenyataannya, baru ada Alkitab bahasa Arab sesudah ada Alquran bahasa Arab, dan bukan sebelumnya. Lagi pula, kebanyakan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Arab yang dikerjakan kemudian, bahkan sampai abad ke-19, seakan-akan timbul sebuah reaksi terhadap munculnya agama Islam, dan bukan sebagai usaha untuk menyediakan Alkitab bahasa Arab yang sungguh komunikatif.
Misalnya: Apakah kaum Muslimin suka memakai istilah "Isa Almasih"? Baiklah! Kaum Kristen akan memakai istilah "Yesu Kristo." Apakah kaum Muslimin suka menyebutkan Ibrahim, Solaiman, Yahya? Baiklah! Kaum Kristen akan menyebutkan Abraham, Salomo, Yohanes. Sampai sekarang pun penyisihan istilah-istilah khas Arab itu masih disengaja, dan masih kuat pengaruhnya terhadap terjemahan-terjemahan Alkitab dalam banyak bahasa modern.
Mungkinkah pembaca mulai berpendapat, bahwa apa yang diceritakan dalam pasal 2 ini tidak ada sangkut pautnya dengan diri pembaca sendiri? Memang, semuanya itu berkisar pada kekeliruan orang Kristen yang berbeda alirannya daripada mayoritas orang Kristen di dunia sekarang. Orang Kristen non-Katolik seperti kaum Protestan, misalnya pasti belum pernah terjebak sehingga mereka terlalu mengagungkan satu terjemahan Alkitab tertentu, ya? . . .
Kenyataannya, kaum Kristen non-Katolik terlibat juga. Contohnya, mereka yang suka membaca Alkitab dalam bahasa Inggris, bahasa Internasional di seluruh dunia: Pada tahun 1611 telah terbit suatu terjemahan Alkitab baru yang sangat bagus, atas titah Raja James I di Inggris. Baginda menitahkan agar versi baru itu diadakan, justru sebagai pengganti banyak terjemahan lama yang dianggap tidak lagi memadai.
Dalam prakata Alkitab Versi Raja James yang terkenal itu, panitia penerjemah mengajukan dua pertanyaan retoris: "Apakah Kerajaan Allah itu telah menjadi kata dan kalimat? Mengapa kita membiarkan diri dibelenggu olehnya, jikalau kita boleh merdeka?"
Sayang sekali, justru itulah yang kemudian menjadi kenyataan: "Kata dan kalimat" Alkitab Versi Raja James itu menjadi semacam rantai, sehingga sebagian besar umat Kristen non-Katolik di seluruh dunia Barat memang "dibelenggu olehnya." Selama dua setengah abad lebih, tidak ada usaha sedikit pun untuk menghasilkan terjemahan baru, padahal selama jangka waktu itu bahasa Inggris terus berkembang dengan pesatnya.
Menjelang akhir abad ke-19, barulah ada permulaan proyek-proyek penerjemahan baru. Namun banyak orang yang berbahasa Inggris menentang dengan keras setiap usaha itu untuk memperbaiki terjemahan Sabda Allah. "Alkitab baru ini mengadung racun rohani!" demikianlah ucapan banyak orang Kristen. Menjelang akhir abad ke-20, barulah untuk pertama kalinya ada terjemahan-terjemahan modern yang berhasil menggeser Alkitab Versi Raja James sebagai Kitab Suci berbahasa Inggris yang paling laris.
Nah, . . . kebanyakan kisah nyata yang diceritakan dalam pasal 2 ini terjadi di negeri-negeri lain, bukan? Pernahkah umat Kristen Indonesia juga mengagungkan satu terjemahan Alkitab tertentu, sehingga mereka tidak mau menerima Alkitab baru yang sesungguhnya lebih mudah dipahami? . . .
Pernah. Cerita lama yang menyedihkan itu terulang lagi di Bumi Nusantara. Jilid 1 dalam buku seri ini memuat kisah nyata tentang "Alkitab yang Bungkam di Bahasa Nusantara." Terjemahan Alkitab bahasa Melayu (bahasa Indonesia Kuno) yang paling pertama dan paling terkenal itu adalah terjemahan Leydekker, yang mula-mula diterbitkan dengan lengkap pada tahun 1733. Lama sekali setelah itu, umat Kristen Indonesia di daerah-daerah tertentu tidak mau tahu tentang Alkitab lain. Bahkan sampai abad ke-20 masih ada cetakan ulang Alkitab Leydekker, atas desakan jemaat-jemaat di Ambon.
Padahal Alkitab Leydekker itu sudah lama menjadi suatu Kitab Suci yang amat sulit dibaca. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup, bahasa yang terus berkembang. Istilah-istilah yang gampang ditangkap artinya pada tahun 1733 itu, satu abad kemudian tidak lagi dapat dimengerti dengan mudah apa lagi dua atau tiga abad kemudian!
Pada tahun 1823, seorang penduduk asing di Singapura meminjamkan sebuah Kitab Perjanjian Baru terjemahan Leydekker kepada seorang guru bahasa Melayu bernama Abdullah bin Abdul Kadir. Pada waktu sang guru itu berusaha membacanya, ia pun menjadi sangat heran. Menurut kesaksian Abdullah sendiri: "Buku itu memang ditulis dengan huruf-huruf Melayu, dan mengandung kata-kata Melayu pula. Namun itu bukan bahasa Melayu. Sebab itu aku tidak mengerti maknanya."
Ketika Abdullah mengembalikan Perjanjian Baru itu kepada orang asing yang telah meminjamkannya, orang tersebut bertanya kepadanya melalui seorang pengalih bahasa: "Sudahkah kaubaca buku ini?"
"Ja Meneer," jawab Abdullah.
"Apakah bahasa Melayu memang begitu?" tanyanya.
"Nee, Meneer," jawab Abdullah.
"Jika memang bahasa Melayu tidak begitu," tanyanya lagi, "bagaimana bahasanya yang betul?"
"Aku tidak tahu, Meneer," jawab Abdullah. "Hanya si penulis saja yang tahu bahasa apa itu."
Tidaklah mengherankan bila pernah ada tuduhan bahwa Alkitab Leydekker itu "dijunjung tinggi oleh orang Kristen, tetapi jarang dipahami merupakan semacam penghormatan mekanik, tanpa jiwa atau roh"! . . .
Kitab Suci itu memang sebaiknya selalu dijunjung tinggi. Namun jangan sampai umat Kristen terlalu mengagungkan satu terjemahan Alkitab tertentu! Jangan sampai mereka tidak mau menerjemahkan kembali Sabda Allah ke dalam bahasa yang mereka pakai sehari-hari. Jangan sampai mereka tidak mau menggantikan terjemahan lama dengan terjemahan baru yang lebih tepat dan lebih mudah dipahami.
TAMAT
Berita Alkitab itu diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia, bukankah begitu?
Akan tetapi, . . . bagaimana dengan manusia yang tidak dapat melihat? Bagaimana dengan manusia yang tidak dapat mendengar? Bagaimana dengan manusia yang memang dapat melihat dan mendengar, namun tidak dapat membaca? Bukankah mereka itu juga berhak memperoleh berita Alkitab?
Ada bermacam-macam cara menyampaikan Firman Allah kepada orang-orang yang buta, yang tuli, atau yang buta huruf. Pasal 3 dan pasal 11 dalam buku ini, serta beberapa pasal dalam jilid-jilid lain dari buku seri ini, memuat kisah nyata tentang hamba-hamba Tuhan yang pernah menyusun abjad untuk bahasa yang belum pernah ditulis, lalu mengajarkannya kepada orang-orang buta huruf sehingga mereka dapat membaca Alkitab dalam bahasa ibu mereka.
Akan tetapi, . . . bagaimana kalau ada orang-orang tertentu yang tidak begitu berminat belajar membaca? Bagaimana kalau ada suku terasing yang sama sekali tidak peduli akan hal tulisan atau bahan cetakan? Bagaimana kalau menurut adat kebiasaan suku itu, segala sesuatu sebaiknya disampaikan secara lisan saja?
Untuk orang-orang seperti itu, ada banyak pengabar Injil di seluruh dunia yang suka menyampaikan inti Alkitab berupa serangkaian cerita. Mereka bercerita mulai dengan penciptaan alam, dan mencapai puncaknya dengan menceritakan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Kadang-kadang ada cerita-cerita Alkitab yang direkam; lalu rekaman itu diputar di daerah pemukiman yang terpencil. Kadang-kadang ada juga gambar-gambar sederhana yang dapat turut menjelaskan "Alkitab lisan" itu.
Lain lagi masalahnya di negeri Jepang. Konon, bangsa Jepang pada umumnya sangat maju dan berpendidikan tinggi. Namun bagi orang Jepang yang tuli, besar halanggannya jika ia hendak membaca Alkitab. Sama seperti kaum tuna rungu di negeri-negeri lain, orang-orang tuli di Jepang itu dapat berkomunikasi melalui isyarat tangan. Akan tetapi, bahasa Jepang yang disampaikan melalui isyarat itu, agak berbeda dengan bahasa Jepang yang ditulis. Banyak seluk beluk yang harus diperagakan dengan raut muka dan sikap badan. Oleh karena itu, orang tuli di Jepang amat sulit membaca Alkitab dengan penuh pengertian, walau dalam bahasanya sendiri sekalipun.
Pada tahun 1993, sekelompok umat Kristen di Jepang mulai menyediakan Firman Allah dalam bentuk yang sungguh lain daripada yang lain. Seorang Jepang yang pandai memperagakan bahasa isyarat itu berturut-turut "membacakan" seluruh isi Kitab Injil Markus. Semua gerak-geriknya itu diabadikan dengan bantuan sebuah kamera video. Lalu rekaman video itu diperbanyak dan diedarkan kepada orang-orang tuli di seluruh Jepang. Barulah mereka benar-benar dapat menangkap seluruh arti Berita Baik tentang Tuhan Yesus. Boleh dikatakan, orang-orang Jepang itu memperoleh Firman Tuhan melalui mata yang mendengar.
Mungkin kisah nyata yang paling menarik tentang berbagai macam usaha sepanjang abad untuk menyediakan Alkitab bagi orang-orang yang ada kelainannya itu, ialah cerita tentang jari yang melihat. Cerita itu dimulai hampir dua abad yang lalu, dengan seorang bocah Perancis bernama Louis Braile . . . .
Louis Braile dilahirkan pada tahun 1809, di sebuah desa yang letaknya tiga puluh kilometer di sebelah timur ibu kota Paris. Ayahnya seorang tukang pembuat tali-temali. Si Louis suka bermain dengan sisa-sisa kulit binatang yang dipakai di bengkel ayahnya. Pada suatu hari, ketika ia berusaha membuat lubang dengan penggerek, alat itu selip dan mengenai pada bola matanya.
Sebagai akibat kecelakaan itu, Louis Braille menjadi buta sama sekali. Namun ia masih tetap ingin belajar tentang segala sesuatu, masih tetap ingin menikmati hidupnya sepenuhnya. Dengan bantuan orang tua dan kakak-kakaknya, bocah tuna netra itu menemukan berbagai-bagai cara untuk memanfaatkan setiap kecakapan yang masih ada padanya. Misalnya: Bila ia mencium bau daging ayam, bawang, dan kentang, ia tahu bahwa ibunya sedang memasak sup. Bila ia mendengar bunyi gerabak-gerubuk roda besar di jalan, ia tahu bahwa tetanggannya sedang membawa hasil tani ke pasar.
Tetapi anggota tubuh yang paling menolong si Louis untuk mengalami keanekaragaman dunia di sekitarnya itu ialah, kesepuluh jarinya. Dengan jari-jarinya itu ia dapat menjamah sehingga dapat membedakan buah apel dengan buah jeruk, alat penggerek dengan alat pengikis, kotak kecil dengan buku besar.
Nah, buku-uku itu! Khususnya buku-buku yang menarik perhatian si Louis. Ia senang mendengar cerita yang disampaikan oleh orang lain. Namun dalam hatinya ia bertanya: Kapan aku dapat membaca sendiri buku-buku yang memuat cerita-cerita itu?
Pada umur sepuluh tahun, Louis Braille meninggalkan rumah orang tuanya dan pergi ke Paris, karena ia telah diterima di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak buta. Ia sangat merindukan keluarganya. Namun ia senang dapat pergi ke sekolah, karena ia telah mendengar, di sekolah itu anak-anak tuna netra pun dapat belajar membaca buku.
Memang di sekolah itu ada buku-buku khusus untuk orang buta. Setiap buku itu besar sekali, karena di dalamnya setiap huruf harus dicetak menonjol. Dengan menjamah huruf-huruf yang besar itu satu persatu, si Louis dapat mengenali bentuk tonjolannya. Lalu dengan susah payah ia dapat mengingat deretan huruf-huruf yang digabung itu sehingga menjadi kalimat.
Perlahan-lahan saja cara Louis Braille dapat membaca! Namun dalam waktu yang singkat, ia telah berhasil membaca semua buku yang ada di perpustakaan sekolah khusus itu.
"Mahal sekali mencetak sebuah buku gede dengan huruf-huruf yang menonjol begini!" para guru menjelaskan kepadanya. "Kau tidak usah mengharapkan orang akan mencetak banyak buku semacam itu."
Louis Braille sungguh merasa kecewa pada saat ia menyadari bahwa jumlah buku dalam perpustakaan khusus di sekolah anak-anak buta di ibu kota itu kurang dari dua puluh jilid. Tetapi ia berbesar hati bila para guru mulai mengajar ketrampilan-ketrampilan lain, di samping membaca. Ia menjadi pandai memainkan piano, organ, dan selo (semacam alat musik gesek yang mirip biola tetapi ukurannya lebih besar). Ada juga bengkel pembuat sepatu di sekolah itu, dan si Louis begitu rajin bekerja sehingga ia ditunjuk menjadi mandornya.
Pada umur dua belas tahun, Louis Braille sempat bertemu dengan mantan guru kepala sekolah khusus itu, yakni orang yang mula-mula medapat gagasan mencetak buku-buku besar dengan huruf-huruf menonjol. Si Louis sangat menghargai jasa guru pensiunan yang sudah tua itu. Namun ia pun rindu menemukan suatu cara untuk menghasilkan banyak buku bagi orang buta, dan bukan hanya sedikit saja.
Rasanya harus ada semacam abjad khusus, kata Louis Braille pada diri sendiri. Setiap huruf dalam abjad baru itu harus cukup sederhana, dan harus juga cukup kecil sehingga dapat dirasakan oleh ujung jari manusia.
Pada waktu liburan sekolah, si Louis pulang ke desa. Sepanjang masa libur itu, ia tekun mengadakan percobaan dengan bermacam-macam bahan baku dan alat pertukangan. Ia berusaha menyusun suatu abjad baru dengan memakai berbagai-bagai bentuk: bulat, segitiga, dan persegi empat. Bahkan ia berusaha menggunakan tanda-tanda zodiak sebagai pengganti huruf-huruf biasa. Namun semua usahanya itu sia-sia belaka.
Bila Louis Braille dan teman-temannya kembali ke sekolah di ibu kota, kepada mereka guru kepala menyerahkan beberapa helai kertas tebal dengan bintik-bintik kecil yang terasa menonjol. "Seorang perwira tentara telah menyesuaikan semacam kode Morse sehingga dapat dipakai pada waktu malam," kata guru kepala itu. "Di tempat yang sedang terjadi peperangan, berbahaya sekali pada malam hari jika menyalakan lilin atau lampu. Jadi, melalui sistem ini, para tentara dapat menjamah berbagai tonjolan, dan dengan demikian mereka dapat mengerti perintah yang hendak disampaikan oleh atasan mereka."
Nah, ini dia! kata Louis Braille dalam hati. Ia sudah menemukan prinsip abjad baru yang sangat dirindukannya itu. Aku dapat membuat tonjolan-tonjolan kecil seperti ini, dengan menggunakan alat penggerek dari bengkel ayahku. Tetapi . . . sistem sang perwira ini masih kurang praktis, karena tidak cocok dengan ukuran ujung jari manusia.
Jika manusia menudingkan jari, ujungnya itu berbentuk lebih meninggi daripada melebar. Jadi, pada kertas tebal si Louis membuat susunan enam bintik tonjolan; susunan itu tingginya tiga bintik dan lebarnya dua bintik. Sedikit demi sedikit ia menyusun berbagai-bagai kombinasi antara keenam bintik tonjolan itu, sehingga dengan demikian ia dapat membuat sebuah abjad baru. Dan abjad itu dapat dijamah dengan cepat oleh jari-jari manusia, sehingga dengan demikian orang buta dapat membaca banyak buku! . . .
Ya, sungguh menakjubkan: Tulisan Braille itu ditemukan oleh seorang bocah Perancis yang baru berumur 15 tahun. Memang sistemnya itu masih perlu diperkembangkan dan disempurnakan. Namun tulisan Braille, yang pada masa kini dikenal di seluruh dunia, semuanya berasal dari penemuan si Louis pada tahun 1824 itu.
Sebagai seorang dewasa, Louis Braille menjadi guru anak-anak tuna netra dan pemain organ di gereja. Lama sekali ia harus memperjuangkan sistem tulisannya itu. Ia pun meninggal tahun 1852 pada umur relatif muda, sebelum tulisan Braille itu menjadi lazim di mana-mana. Namun lambat laun sistemnya itu terbukti secara tuntas sebagai cara yang paling praktis untuk menyediakan banyak buku bagi kaum tuna netra.
Kitab lengkap yang pertama-tama dicetak dalam tulisan Braille itu adalah Kitab Mazmur. Contoh singkat yang dipakai untuk memperkenalkan tulisan Braille dalam bahasa Italia, bahasa Spanyol, bahasa Jerman, dan bahasa Inggris ialah, Doa Bapa Kami. Pada masa sekarang, sudah ada Alkitab tulisan Braille dalam berpuluh-puluh bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Satu Alkitab lengkap dengan tulisan abjad khusus pada kertas tebal itu terdiri dua puluh jilid; beratnya 41 kilogram.
Banyak orang buta di seluruh dunia yang dapat menerima Berita Baik, oleh karena penemuan Louis Braille itu ketika ia baru berumur 15 tahun. Dengan jari yang melihat, kaum tuna netra di mana-mana dapat memperoleh Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri.
TAMAT
Senor Anuncio melangkah dengan mantap di jalanan desa. Ia tidak berjalan cepat, juga tidak berjalan pelan. Ia berjalan sesuai dengan cara berjalan seorang pria Paraguay yang pada hari itu harus menempuh perjalanan cukup jauh, dan tidak menghendaki capai.
Jas dan celana Senor Anuncio yang berwarna abu-abu itu rapi sekali. Tangan yang satu memegang tongkat, sedangkan tangannya yang satunya lagi menjinjing sebuah koper kecil. Sebuah ransel kecil tergantung di bahunya. Tadi pagi waktu berangkat sepatunya mengkilap, tetapi menjelang siang sepatunya itu sudah berdebu.
Ketika Senor Anuncio melewati para petani di ladang, mereka memandang dia dengan perasaan heran. Dari cara berpakaian, mereka dapat melihat bahwa dia itu orang kota, bukan orang desa.
"Kok . . . kenapa ada senor dari kota di sini?" mereka bergumam seorang kepada yang lain. "Jarang sekali ada orang seperti itu yang berjalan kaki ke desa kita! Biasanya orang-orang kaya dari kota seperti dia suka naik kuda dengan cepat, sehingga ayam-ayam kita tergiring ke pinggir jalan."
Jadi, Senor Anuncio sudah menjadi sasaran mata orang sewaktu ia melangkah di jalanan desa itu. Tetapi ia tidak menghiraukan tatapan mereka. Ia memegang kopernya dengan lebih ketat, sambil memperhatikan burung dan binatang kecil yang berlari-lari di pinggir jalan.
Sudah beberapa hari Senor Anuncio berjalan. Ia telah meninggalkan rumahnya di kota besar dengan membawa ransel yang memuat banyak Kitab Injil berukuran kecil. Menurut rencana, ia akan berjalan sejauh desa Nogales, yang telah dicarinya di peta. Dari Nogales ia akan berjalan kembali melalui setiap desa yang sudah dilaluinya, dan ia akan membacakan Kitab Injil kepada penduduk setiap desa itu. Harapan Senor Anuncio ialah, ia akan dapat menjual Kitab-Kitab Injil berukuran kecil kepada orang-orang desa itu sebanyak mungkin.
Ya, Senor Anuncio adalah seorang penjual Alkitab. Pekerjaannya sehari-hari ialah, berusaha menolong orang sebanyak mungkin agar mempunyai firman Allah. Bagi mereka yang uangnya tidak mencukupi untuk membeli seluruh Alkitab, ia pun menyediakan Kitab Injil berukuran kecil dengan harga murah.
Senor Anuncio mendekati sebuah desa. Rasanya inilah tempat yang dituju, namun ia belum yakin. Ia bertanya kepada sekelompok anak-anak yang sedang bermain di bawah naungan pohon yang rindang.
"Betul, Senor, inilah desa Nogales," jawab anak-anak itu. "Alun-alun sudah kelihatan' tuh, di sana. Desa kami sangat kecil," mereka menambahkan.
Senor Anuncio tersenyum. "Maukah kalian mendengar sebuah cerita?" tanyanya.
"Mau, mau!" mereka berseru serentak. Anak-anak itu mengerumuni Senor Anuncio. Sebenarnya tidak usah bertanya kepada mereka; bukankah mereka selalu mau mendengar cerita? Anak-anak itu tidak mempunyai buku, sebuah pun tidak; jadi, cerita-cerita yang mereka ketahui, hanyalah kisah dan dongeng yang dituturkan oleh orang-orang dewasa.
Senor Anuncio pindah tempat, lalu duduk lagi di atas sebuah balok kayu. Anak-anak berkumpul mengelilingi dia, sambil duduk di atas rumput.
"Sekali peristiwa . . .," demikianlah cara memulainya. Dan ia pun mulai menyampaikan salah satu cerita yang sangat digemari anak-anak sejak isi Alkitab mula-mula dituturkan oleh para ibu, bapak, nenek, dan kakek.
Hanya satu cerita sajakah? Wah, dua cerita, tiga, empat . . . sampai tujuh cerita Alkitab disampaikan oleh Senor Anuncio. Namun anak-anak itu masih merengek-rengek, "Satu lagi, hai Senor! Ayo, satu lagi!"
"Hanya satu lagi," ia mengiakan.
Kali ini Senor Anuncio membawakan sebuah cerita yang terkenal, tentang seorang anak laki-laki yang bodoh. Anak itu mengambil uang bagiannya milik ayahnya. Lalu ia pergi ke suatu negeri yang jauh dan memboroskan seluruh uangnya dengan hidup berfoya-foya.
Senor Anuncio tidak memperhatikan bahwa seorang pria dewasa ikut mendengarkan. Orang desa itu sudah tua. Dengan tertatih-tatih ia mendekat dan berdiri dengan tenang di belakang tempat duduk anak-anak itu. Setelah semua cerita selesai, setelah semua anak pulang, barulah pria itu mulai berbicara kepada Senor Anuncio.
"Coba ceritakan, Pak," ajak Senor Anuncio.
Ayah yang sudah tua itu terus bercerita. Sangat besar kasihnya terhadap anak laki-laki itu! "Sepanjang hari ibunya dan aku sedih," katanya. "Kami terus merindukannya agar ia pulang lagi. Ia pergi dari sini sehabis panen tebu, dan itu 'kan sudah lama. Jika ada niat hati akan pulang, pasti ia sudah tiba. Ah!" Bapak itu mengeluh.
Di benak Senor Anuncio muncul sebuah pikiran: Aku akan pergi ke kota yang jauh itu! "Sepanjang hari ibunya dan aku sedih," katanya. "Kami terus merindukannya agar ia pulang lagi. Ia pergi dari sini sehabis panen tebu, dan itu 'kan sudah lama. Jika ada niat hati akan pulang, pasti ia sudah tiba. Ah!" Bapak itu mengeluh.
Maka Senor Anuncio merubah rencana perjalanannya. Ia memperpendek waktu yang tadinya akan digunakan untuk melewati desa-desa sambil memperdagangkan Kitab-Kitab Injil. Dengan segera ia pergi ke kota besar yang telah disebutkan oleh bapak tua itu. Ia mulai mencari beberapa orang yang namanya disebut-sebut juga. "Rupanya mereka itu kawan-kawan anakku," kata sang ayah yang bersedih hati.
Waktu Senor Anuncio menemui beberapa orang itu, ia pun mulai bertanya: "Apakah kalian mengenal seorang pemuda desa bernama Jorge? Ia berasal dari desa Nogales."
"Yah, . . . dulu kami mengenal dia," jawab mereka dengan was-was. Agaknya mereka curiga terhadap maksud tujuan Senor Anuncio.
"Dulu mengenal? Maksudnya, sekarang tidak lagi mengenal?"
"Sudah beberapa bulan belakangan ini, kita tidak bertemu lagi dengan dia," jawab orang-orang itu.
Senor Anuncio mengerutkan dahi dan menggelengkan kepalanya. Sudah jelas, ia merasa sangat prihatin terhadap pemuda desa itu.
Maka mantan kawan-kawannya itu memberanikan diri untuk memberitahukan tambahan berita lagi: "Kayaknya . . . si Jorge ikut sama `kelompok topi jahat'."
"Ah!" Senor Anuncio mengeluh. Mukanya kelihatan tambah sedih. "Itu berita buruk." Ia tahu benar siapa "kelompok topi jahat" itu: Mereka tak lain adalah para penyamun. Mereka mencari nafkah melalui pencurian dan perampokan.
Senor Anuncio pulang ke penginapan. Dalam hati ia bertanya-tanya, bagaimana ia harus bertindak selanjutnya.
Akhirnya ia mendapat akal. Di kota besar itu ia pergi ke suatu daerah di mana para pencuri suka bergerombol. Di sana ia berdiri di persimpangan jalan. Dengan suara mantap dan tenang ia mulai menceritakan perumpamaan anak yang hilang. Bila selesai menyampaikan ceritanya di tempat itu, ia pindah ke persimpangan lain yang berdekatan, dan mulai bercerita lagi. Kadang-kadang ia pun menyandarkan punggungnya pada tembok sebuah rumah yang letaknya tidak di persimpangan jalan, sambil sekali lagi menuturkan cerita yang sama.
Setiap kali Senor Anuncio membawakan cerita yang indah itu, ia selalu terkenang kembali kepada seorang ayah tua di desa, yang sangat mengharapkan agar anaknya pulang. Mungkin karena kenangannya, Senor Anuncio membaca kalimat pendek berikut ini: "Tolong naik tangga, ke tempatku."
Nah, itulah berita yang sudah lama diharapkan dan didoakan oleh Senor Anuncio. Ia segera memasuki rumah itu. Tanpa bertanya lebih dulu apakah di situ ada gerombolan pencuri, apakah tempatnya kurang aman untuk orang jujur, ia langsung saja menaiki tangga. Lalu ia mengetuk pintu kamar yang berjendela di tingkat atas, persis di atas tempat ia tadi menyandarkan punggungnya pada tembok.
Kamar itu sangat sempit. Di atas sebuah tempat tidur yang kumal duduklah seorang pemuda; mukanya sangat kebingungan.
"Aku mendengarkan Senor bercerita tadi," katanya. "Cerita itu tentang seseorang yang mirip dengan diriku. Aku sangat mengharapkan Senor rela datang kemari untuk bertukar pikiran dengan aku."
"Coba ceritakan pengalamanmu, Nak," ajak Senor Anuncio. Ia duduk di samping pemuda itu, di atas tempat tidurnya yang kumal.
"Dulu aku tinggal di sebuah desa yang bernama Nogales," begitu ia mulai. Mata Senor Anuncio berbinar-binar, tetapi ia tidak menyela. "Aku mengumpulkan uang hasil panen tebu, ditambah sejumlah uang yang dapat kupinjam dari ayahku. Rasanya di kota ini aku akan menjadi kaya. Tetapi aku memboroskan uang itu dengan cara-cara yang bodoh. Memang ada beberapa kawan yang menolongku, tetapi bila uangku sudah ludes, mereka meninggalkan aku begitu saja."
Pemuda itu menopang dahinya pada kedua belah tangannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bodoh, aku bodoh!" cetusnya. "Mestinya aku pulang, tapi aku malu. Mungkin ayahku sangat marah. Lebih baik ia menganggap aku sudah mati, daripada pulang dengan saku yang terkuras habis."
Senor Anuncio menganggukkan kepala sebagai tanda bersimpati. Tetapi sepatah kata pun ia tidak mengucapkan.
"Malam ini aku mendengar cerita yang disampaikan Senor di jalanan, kata pemuda itu selanjutnya. "Ayah dalam cerita itu justru tidak marah. Ia masih mengasihi anaknya. Apakah . . . apakah Senor berpendapat . . . seandainya aku pulang kembali sama seperti anak laki-laki dalam cerita itu, masih ada kemungkinan aku akan disambut ayahku?"
"Kemungkinannya memang ada, " kata Senor Anuncio. "Malah sangat besar kemungkinannya." Lalu ia pun bercerita tentang perjalanannya ke desa Nogales, . . . tentang seorang ayah tua, yang dengan diam-diam datang mendekat agar ia dapat ikut mendengarkan, . . . tentang kisah nyata yang pahit, yang kemudian disampaikan oleh ayah tua itu.
"Mungkinkah?" tanya Senor Anuincio. "Mungkin . . . engkaukah anaknya itu?"
Pemuda itu berdiri tegak. Ia Memandang langsung ke muka Senor Anuncio. "Akulah dia. Namaku Jorge. Malam ini juga aku akan meninggalkan kota ini. Aku akan pulang, akan mencari pekerjaan di desa, akan bekerja kers. Biar kubuktikan kepada ayahku bahwa aku sangat menyesal atas kebodohanku yang dulu."
"Bagus!" kata Senor Anuncio. "Dan aku menghadiahkan sesuatu kepadamu untuk menolongmu ingat akan janjimu tadi." Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah Kitab Perjanjian Baru. "'Nih, bukalah!"
Kitab Suci kecil itu terbuka sendiri pada Injil Lukas pasal 15, karena sudah sekian kali Senor Anuncio membuka perumpamaan anak yang hilang yang terdapat di situ.
"Bacalah cerita ini," Senor Anuncio menasihatkan. "Bacalah juga cerita lainnya dalam Buku kecil ini. Bacalah ajaran-ajaran Tuhan Yesus. Engkau akan mulai mengasihi Dia. Pasti engkau ingin mengikut Dia."
Jorge menerima Kitab Perjanjian Baru itu. "Aku pasti akan membacakanya," janjinya dengan polos.
"Nah, tinggalkan segera tempat ini. Aku akan mengantarmu ke tempat penginapanku, sebab terlalu malam untuk berangkat malam ini," Senor Anuncio menawarkan.
Keesokan harinya Senor Anuncio berpamitan dengan pemuda itu. "Jangan lama-lama di jalan," ia mendesak. "Jangan mengulur waktu biar satu jam pun; ayah dan ibu yang mengaisihimu itu terus menunggumu."
Ketika pemuda itu dengan mantap memulai perjalanannya, Senor Anuncio terus memandang dia sampai menghilang di kejauhan. Ah, nanti di desa Nogales akan terjadi sukacita luar biasa! Demikianlah Senor Anuncio berkata kepada dirinya sendiri.
TAMAT
Antonio tinggal di suatu tempat penampungan orang yang sakit kusta. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tinggal di sana, karena Antonio juga sakit kusta. Pada masa itu belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya yang mengerikan itu. Tidak ada jalan lain: Antonio dan para penderita penyakit kusta lainnya itu harus diasingkan dari masyarakat.
Namun demikian, Antonio adalah seorang penderita penyakit kusta yang bahagia. Pertama-tama, ia bahagia karena ia percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Hal yang kedua, ia bahagia karena dialah satu-satunya orang di tempat penampungan itu yang dapat membaca. Hal yang ketiga, ia bahagia karena ia mempunyai Alkitab.
Semua orang kusta itu buta huruf, kecuali Antonio. Tetapi banyak di antara mereka sekarang sudah percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Mengapa? Oleh karena Antonio suka membacakan cerita-cerita Alkitab bagi teman-teman senasibnya. Itulah kesenangannya yang terbesar.
Pada suatu hari Antonio mulai merasa agak susah membaca. Matanya terasa agak sakit. Ia semakin terganggu dalam pembacaannya, dan semakin ingin tahu apa sebabnya.
Kemudian seorang dokter datang ke tempat penampungan orang yang sakit kusta itu. Ia memeriksa mata Antonio. Lalu dengan pelan-pelan dokter itu mengucapkan dua kalimat, . . . seolah-olah ia segan sekali mengatakannya: "Kamu akan menjadi buta, Antonio. tidak ada obat yang dapat mencegah hal itu."
Antonio duduk terpaku. Buta! Ia akan menjadi orang kusta yang buta! Ia takkan lagi dapat pergi dari pondok ke pondok sambil membawa Alkitabnya. Ia takkan lagi dapat membacakan cerita-cerita yang indah itu bagi teman-temannya.
Berhari-hari lamanya Antonio duduk terdiam. Bagaimana ia dapat tahan menanggung penderitaan yang bertambah berat itu?
Lalu pada suatu hari Antonio mendapat akal. Matanya makin lama makin kabur, namun ia belum buta. Dan pikirannya masih tetap tajam. Aku akan menghafal beerapa bagian dari Alkitab! kata Antonio pada dirinya sendiri. Nanti kalau aku betul-betul menjadi buta, aku masih dapat pergi dari pondok ke pondok sambil menyampaikan isi Firman Allah kepada teman-temanku!
Segera Antonio mengambil Alkitabnya. Bagian manakah yang hendak dipilihnya untuk dihafal terlebih dahulu? Antonio terus membuka-buka halaman demi halaman.
Ah, penting sekali Sepuluh Hukum Tuhan ini! kata Antonio pada dirinya sendiri. Ah, bagus amat Mazmur 23 ini! Betapa megahnya kata-kata Nabi Yesaya ini! Betapa indahnya ajaran-ajaran Tuhan Yesus dalam pasal ini! Betapa senangnya nanti teman-temanku mendengar cerita mengenai Rasul Paulus ini!
Manakah yang harus dihafalkannya terlebih dahulu? Ayat-ayat manakah yang patut disimpan dalam hatinya selama-lamanya?
Antonio memilih tiga pasal dulu. Mulailah dia menghafal ayat-ayat dari pasal pertama pilihannya itu. Ia bekerja keras. Setelah beberapa waktu, ia dapat menghafalkannya tanpa kesalahan apa pun. Memang tidak sulit untuk mengingat apa yang benar-benar kita senangi, bukan? Lalu ia memulai pasal yang kedua. Tidak lama kemudian ia pun sudah siap mulai menghafalkannya pasal yang ketiga.
Teman-teman Antonio mendengar tentang apa yang sedang dikerjakannya itu. Dengan berjalan pincang mereka satu persatu mulai mampir ke pondoknya.
"Antonio," kata seorang kakek, apakah kamu sudah hafal Mazmur 8? Rasanya aku harus tetap mendengar pasal itu."
"Belum, Kek," jawab Antonio. "Nanti aku akan menghafal pasal itu."
Kakek itu lalu pergi dengan hati yang puas. Kemudian sekelompok anak-anak datang ke pondok Antonio dengan berlari-lari. "Hai, Antonio, tolong hafalkan cerita tentang Tuhan Yesus dan anak-anak!" mereka memohon dengan sangat. "Dan jangan lupa hafalkan juga tentang para gembala dan orang Majus."
"Baiklah!" jawab Antonio. "Tetapi kalian harus turut menghafalkannya bersama-sama dengan aku, ya?"
Seorang bapak bertanya, "Apakah kamu akan menghafal Sepuluh Hukum Tuhan?"
"Memang itu sudah masuk daftarku, Pak," jawab Antonio.
Seorang ibu mendesak, "Kita masih perlu mendengarkan Mazmur Sang Gembala, Mazmur pasal 23 itu."
"O ya, Bu, itu sudah kuhafal," ujar Antonio sambil tersenyum.
"Antonio," sapa seorang nenek dengan suara yang gemetar, "sudahkah kauhafal kata-kata Tuhan Yesus tentang rumah kita di surga?" Nenek itu begitu menderita di dunia ini, dan ia begitu senang mendengar janji Tuhan Yesus tentang rumah di surga, tentang cukup banyak tempat yang telah tersedia bagi semua orang percaya.
"Antonio pun berjanji: Pasti aku akan menghafal bagian itu nanti, Nek."
Demikian Antonio bekerja keras hari demi hari. Demikianlah ia berusaha mengingat baik-baik tiap bagian Alkitab yang sangat dicintai oleh teman-temannya, para penderita penyakit kusta itu.
Matanya makin kabur. Ia makin jarang membaca, dan makin sering mengucapkan ayat-ayat di luar kepala.
Akhirnya saat yang telah lama ditakutinya itu tiba. Pada suatu pagi Antonio membuka Alkitabnya, tetapi tidak ada satu huruf pun yang dapat dibacanya.
Namun ternyata Antonio tidak menjadi sebegitu cemas dan sedih seperti yang disangkanya semula. Waktu untuk belajar sudah selesai, kata Antonio pada dirinya sendiri. Waktu untuk menyampaikan isi Firman Allah kepada teman-temanku sudah tiba.
Dengan samar-samar Antonio masih dapat melihat lorong yang menuju ke pondok-pondok tempat tinggal teman-temannya. Sementara matahari pagi menyinari wajahnya yang tersenyum itu, ia terus berjalan dengan pelan-pelan.
Sewaktu ia sampai di pondok temannya yang terdekat, masih terdengar sambutan ria seperti pada waktu-waktu dulu:
"Antonio datang!" anak-anak berseru.
"Antonio datang!" berkumandanglah suara orang-orang dewasa.
"Antonio ada di sini!" ayo berkumpullah semua! Antonio akan menyampaikan isi Firman Allah kepada kita! Selamat datang, Antonio! Selamat datang!"
Lalu Antonio duduk. Matanya yang tidak berguna lagi itu tak dapat dipakainya untuk membaca. Namun suaranya mantap, dan dengan tepat sekali ia mulai mengucapkan ayat-ayat kesayangannya yang dihafalkannya dari Kitab yang paling dicintainya.
Orang kusta yang buta itu tersenyum. "Kalau Firman Allah ada di dalam hati kita, senang rasanya," kata Antonio.
Para penderita penyakit kusta yang telah berkumpul di sekeliling Antonio itu pun setuju dengan pendapatnya.
"Firman Allah ada di dalam hati kita," kata mereka. "Sungguh senang rasanya!"
TAMAT
Siapa yang tidak tahu tentang Sungai Gangga yang dianggap suci itu?
Siapa yang tidak tahu tentang kota besar Calcutta, yang terletak di India, di tepi salah satu muara Sungai Gangga?
Kota besar itu diberi nama menurut nama dewi Kali, dewi maut dalam bahasa aslinya, Kalikata, atau Kota Kali. Setahun sekali penduduk Calcutta merayakan Kali Puja; di mana-mana terlihat patung dewi itu, dengan muka hitam, lidah merah, dan berlengan sepuluh. Patung-patung itu didirikan di bawah naungan pondok-pondok khusus, tempat persembahan sajian. Menjelang akhir masa Kali Puja, setiap patung sang dewi dihiasi bunga dan dibuang ke dalam "air suci" Sungai Gangga.
Dua ratus tahun yang lalu, ada yang lain lagi yang juga dibuang ke dalam Sungai Gangga: Ada anak-anak kecil, yang dipersembahkan kepada dewa "air suci", dengan membiarkan mereka mati lemas atau dimakan buaya. Dan di sepanjang tepi Sungai Gangga, ada banyak tempat untuk membakar hidup-hidup para janda, bersama-sama dengan jenazah almarhum suami mereka.
Jika dengan perahu dayung kita mengadakan perjalanan dari kota besar Calcutta ke sebelah utara hanya satu setangah jam, kita akan tiba di sebuah kota kecil; namanya, Serampore. Di sana pernah ada sebuah "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga." Hasil produksinya meluas ke seluruh India, bahkan ke negeri-negeri lain (termasuk pulau Jawa). Dan ke mana-mana produk "pabrik" itu membawa berita hidup, bukan berita maut.
Walau persentase orang India yang percaya sepenuhnya akan berita Firman Hidup itu agak kecil, namun beritanya membawa pengaruh besar terhadap cara hidup rakyat di seluruh India. Lambat laun setiap adat dan kebiasaan yang membawa maut itu terkikis habis. Sekarang anak-anak kecil tidak lagi dibuang ke dalam Sungai Gangga. Janda-janda juga tidak lagi dibakar hidup-hidup di sepanjang tepinya.
Istilah "Pabrik Firman Hidup" itu sengaja dipakai di sini. Ada banyak orang Kristen yang pernah menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa yang baru. Juga ada banyak orang Kristen yang rajin menerbitkan terjemahan Alkitab yang baru, serta rajin mengedarkannya ke mana-mana. Namun sepanjang sejarah kekristenan, hanya satu kali saja ada usaha yang disengaja untuk menghasilkan terjemahan Alkitab secara borongan.
Selama tahun-tahun 1800-1832, "pabrik" di Serampore itu memproduksikan:
Bukankah pusat penerbitan Kristen di Serampore itu pantas disebut: "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga"?
Bagaimanakah hal itu dapat terjadi? Siapakah orang-orang yang mendirikan dan menjalankan "pabrik" itu?
Kisahnya dimulai di suatu tempat yang amat jauh dari tepi Sungai Gangga, . . . di sebuah desa kecil di negeri Inggris.
Di sebuah bengkel tukang sepatu duduklah seorang rakyat biasa bernama William Carey. Sepanjang minggu orang Inggris yang sederhana itu bekerja keras, membuat dan menambal sepatu. Lalu pada setiap hari Minggu, ia mengkhotbahkan Firman Hidup di gereja desa. Jemaat Baptis kecil yang digembalakannya itu tidak sanggup mengongkosi dia dan keluarganya; jadi, ia harus bekerja sambilan.
Pendidikan William Carey mula-mula sangat kurang. Tetapi atas usahanya sendiri dengan gigih ia mencari ilmu. Sering ia bekerja di bengkel tukang sepatu dengan sebuah buku di sampingnya. Tanpa guru, tanpa kuliah, ia belajar bahasa-bahasa asli Alkitab, juga beberapa bahasa modern. Bahkan ia membuat sebuah peta dunia dari kulit binatang yang biasa dipakainya untuk membuat sepatu. Di atas petanya itu, ia menunjukkan bangsa-bangsa yang belum mendengar Firman Hidup tentang Tuhan Yesus.
Lambat laun Pendeta Carey berhasil membujuk saudara-saudara seimannya bahwa Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Matius 28:19-20 itu masih berlaku sepanjang abad, dan di seluruh dunia. Akhirnya pada tahun 1792 umat Baptis di Inggris mengumpulkan dana secukupnya sehingga mereka dapat mengutus William Carey dan keluarganya ke negeri India. Mereka berjanji akan terus menyokong usaha penginjilan itu, dengan mempersembahkan uang dan mencari calon utusan Injil.
Menjelang akhir tahun 1793, William Carey dan keluarganya tiba dengan selamat di kota besar Calcutta. Maka mulailah karirnya yang gemilang, yang kemudian memberikan julukan kepada Carey: "Bapak Gerakan Pengutusan Injil pada Zaman Modern."
Namun pada mulanya, kehidupan keluarga Carey di India itu sulit sekali. Ibu Carey sakit-sakitan, baik jasmani maupun jiwanya. Uang yang mereka bawa dari Inggris itu ternyata tidak mencukupi. Dan salah seorang anak laki-laki mereka yang tercinta meninggal ketika masih muda, akibat demam yang tak terobati lagi.
Tambahan pula, kehadiran mereka di India jelas tidak diingini. Bukan hanya orang-orang India sendiri yang tidak mau tahu tentang berita Firman Hidup: Kaum penjajah Inggris juga tidak menyetujui adanya utusan Injil di daerah yang mereka kuasai.
Selama beberapa tahun Pendeta Carey dan keluarganya dapat menghindarkan diri dari tindakan pengusiran. Mereka sering berpindah-pindah tempat makin lama makin jauh ke pedalaman, menelusuri sungai Gangga. Tetapi akhirnya William Carey terpojokkan oleh pihak yang berwajib, dan diberi dua pilihan: Pulang saja, atau mulai bekerja di bawah naungan pemerintah penjajahan sebagai pengurus pabrik nila.
William Carey rela saja menjadi pengurus pabrik nila: Bukankah sejak semula keluarganya kekurangan uang? Di samping itu, ia dapat berkenalan dengan para kuli yang bekerja di bawah pengawasannya, serta berusaha agar dapat menyampaikan Firman Hidup tentang kasih Kristus kepada mereka.
Di tengah-tengah segala kesibukan dan kesulitan yang dihadapi William Carey di negeri India itu, ada satu tugas utama yang tekun dikerjakannya, yakni: Ia sedang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bangla, bahasa sehari-hari penduduk daerah Benggala di India Timur itu.
Pada tahun 1797, Pendeta Carey sudah hampir menyelesaikan terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Bangla. Seorang dermawan memberi sumbangan berupa uang untuk membeli sebuah mesin cetak bekas. Mesin tua yang terbuat dari kayu itu sudah dibongkar. Dengan susah payah Carey merakitkan kembali. Ia menghabiskan sekian banyak waktu untuk mengurus mesin cetak itu sehingga kuli-kuli pabrik nila mulai berkata, "Nah, inilah dia, patung berhala orang kulit putih!"
Pemerintah penjajah mendengar berita bahwa Pendeta Carey sudah mempunyai sebuah mesin cetak. Mereka melarang dia menggunakannya untuk menerbitkan terjemahan Alkitab: Jangan-jangan orang-orang India menjadi sadar bahwa berita Firman Hidup itu diperuntukkan bagi mereka juga, mungkin akan timbul kerusuhan!
William Carey merasa sangat bingung. Haruskan dia menghentikan proyek penerjemahannya itu? Haruskah dia meninggalkan pekerjaannya sebagai pengurus pabrik nila? Bila ia meninggalkan pekerjaannya itu, bagaimana ia dapat membiayai keluarganya?
Pada hari-hari yang amat membingungkan itu, Carey menerima sepucuk surat dari tanah airnya. Bunyinya kira-kira sebagai berikut:
"Pendeta Carey yang baik,
Mungkin Bapak sudah tidak ingat lagi: Pada suatu hari Minggu, beberapa waktu sebelum Bapak sekeluarga berangkat dari negeri Inggris, Bapak sempat berjalan kaki dari gereja ke rumah sambil bercakap-cakap dengan seorang pemuda tentang rencana Bapak untuk perrgi ke negeri India.
Akulah pemuda itu! Waktu itu aku menjelaskan, `Aku bukan seorang pendeta atau penginjil atau pun guru, cuma seorang tukang cetak saja.'
Lalu Bapak berkata, `Nanti di India kami pasti memerlukan seorang yang seperti kamu , untuk mencetak terjemahan Alkitab yang akan dikerjakan di sana.
Sekarang, apa yang Bapak harapkan itu telah menjadi kenyataan. Aku dengan beberapa rekan sepanggilanku sedang mengikuti jejak Bapak. Sebentar lagi kapal layar kami akan mendarat di kota Calcutta. Niat hatiku ialah, untuk hidup dan mati bersama-sama dengan Bapak."
William Carey sungguh berbesar hati sewaktu membaca surat itu! Dan hanya beberapa hari kemudian, ia pun sempat bertemu kembali dengan penulis suratnya: Seorang pemuda Inggris bernama William Ward. Setelah turun dari kapal laut di Calcutta, pemuda itu langsung naik ke kapal sungai. Lalu ia menelusuri Sungai Gangga jauh ke pedalaman, ke tempat pabrik nila yang sedang diurus oleh William Carey.
William Ward membawa berita tentang suatu undangan yang tak terduga. Hanya 25 kilometer di sebelah utara kota Calcutta terletak daerah penjajahan Denmark, kota kecil Serampore. Rupa-rupanya sikap pemerintah Denmark terhadap penginjilan itu jauh lebih terbuka daripada sikap pemerintah Inggris. Buktinya, gubernur daerah penjajahan Denmark itu telah mengundang semua utusan Injil Baptis dari Inggris agar menetap di bawah naungannya di Serampore.
Persis pada waktu pergantian tahun dan juga pergantian abad, William Carey dan keluarganya naik kapal sungai. Mereka menelusuri Sungai Gangga jauh ke hilir, dengan membawa serta "patung berhala orang kulit putih" (mesin cetak itu yang sudah dibongkar lagi). Mendaratlah mereka di Serampore pada tanggal 10 Januari 1800.
Di sana mereka segera bergabung dengan rekan-rekan sepanggilan mereka yang baru tiba dari Inggris. Mula-mula mereka semua tinggal serumah. Mereka makan bersama, bekerja bersama, dan berdoa bersama. Dan dengan segera berdirilah "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga" itu.
Tentu saja ada banyak orang, baik bangsa India maupun bangsa asing, yang bekerja di "pabrik" itu. Namun ada tiga orang khusus yang menjalankan usaha penyediaan terjemahan Alkitab secara besar-besaran itu. Selain William Carey dan William Ward, ada juga seorang penginjil dan guru bernama Joshua Marshman. Selama berpuluh-puluh tahun, mereka bertiga bekerjasama dengan cara yang begitu luar biasa sehingga mereka diberi julukan: "Trio Serampore."
Pendeta Marshman beserta istrinya, Ibu Hannah, segera membuka dua sekolah swasta untuk anak-anak keturunan Eropa. Pemasukan uang dari kedua sekolah itu dapat menutup biaya hidup mereka semua. William Carey meneruskan pekerjaannya sebagai penerjemah utama. William Ward mulai mendirikan bengkel percetakan. Mereka semua rajin memberitakan Firman Hidup kepada orang-orang India yang tinggal di sekitar Serampore. Dan hasil nyata dari pelayanan mereka itu segera mulai terwujud.
Pada bulan Desember tahun 1800, untuk pertama kalinya ada seorang India yang rela masuk ke dalam "air suci" Sungai Gangga untuk dibaptiskan dalam nama Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Dan pada bulan Februari tahun 1801, sudah ada Kitab Perjanjian Baru yang dicetak dalam bahasa Bangla. William Ward menaruh eksemplar pertamanya dari Kitab Suci itu di atas meja Perjamuan Tuhan di ruang kebaktian. Di situ semua orang Kristen baik orang Timur maupun orang Barat berkumpul mengadakan kebaktian pengucapan syukur.
Sudah bertahun-tahun lamanya William Carey bekerja keras, baru ada satu Kitab Perjanjian Baru saja di antara sekian banyak bahasa orang India. Ia telah menghabiskan banyak waktu dalam mempersoalkan seluk-beluk bahasa dengan para pandit, atau sarjana bahasa Bangla. Namun tidak jarang ia menemukan istilah-istilah yang paling tepat dari obrolan kuli-kuli yang bekerja di pabrik, atau dari anak laki-lakinya sendiri, yang dibesarkan dengan menyeloteh dalam dua bahasa sekaligus.
Sukses William Carey dalam menguasai bahasa Bangla itu dapat dinilai berdasarkan suatu kejadian yang tak tersangka sama sekali. Pemerintah penjajahan Inggris, yang semula hendak memojokkan dan mengusir Carey, mulai menyadari bahwa di daerah penguasaan mereka ada seorang sebangsa mereka yang sangat pandai dalam bahasa setempat. Maka mereka mengundang William Carey untuk menjadi dosen luar biasa di sebuah perguruan tinggi yang mereka dirikan di kota Calcutta. Di situ mereka hendak mendidik para pemuda yang kelak akan mengisi jabatan tinggi untuk seluruh India.
Selama tiga puluh tahun, setiap minggu William Carey turun ke tepi Sungai Gangga di Serampore dan duduk di sebuah perahu kecil, yang kemudian didayungkan sampai ke Calcutta. Di kota itu ia menyampaikan kuliah bahasa Bangla (dan kemudian, kuliah bahasa-bahasa lain pula) kepada para calon pegawai negeri, baik sipil maupun militer.
Honorarium yang diterimanya, langsung diserahkan kepada rekan-rekan sekerjanya, untuk menutup biaya hidup serta biaya menjalankan "Pabrik Firman Hidup" itu. Tetapi kedudukannya sebagai dosen perguruan tinggi negeri itu juga membawa efek sampingan yang lebih berharga daripada uang: Selama tiga puluh tahun, William Carey sempat turut membentuk alam pikiran para pemuda yang kelak keputusannya akan mempengaruhi cara hidup seluruh rakyat India. Itulah sebabnya ia dapat memperjuangkan larangan membuang anak-anak kecil ke dalam Sungai Gangga. Itu pulalah sebabnya ia dapat memberantas kebiasaan membakar hidup-hidup para janda.
Namun Pendeta Carey belum merasa puas. Perjanjian Baru bahasa Bangla hasil karyanya itu memang banyak dibaca orang-orang India, tetapi hanya dari kasta menengah ke bawah. Orang-orang India yang berstatus tinggi tidak mau tahu tentang terbitan apa pun dalam bahasa rakyat, bahasa sehari-hari. "Jika sungguh penting," demikianlah pendapat mereka, "pasti Shostro [sastra] yang baru itu akan disajikan dalam bahasa Sansekerta, bahasa kesarjanaan."
Baiklah! William Carey mulai lagi bekerja keras dengan para pandit. Dalam tempo sepuluh tahun ia dapat menghasilkan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Sansekerta pula. Sepuluh tahun lagi, dan akhirnya menyusul seluruh Alkitab yang diterbitkan dalam bahasa tinggi itu. Baru kemudian kaum atasan dan kaum cendekiawan rela membaca Shostro itu. Dan ada juga efek sampingan yang tak terduga:
Pada suatu hari William Carey sedang melihat-lihat tulisan dalam beberapa bahasa India yang masih asing baginya bahasa Oriya dari sebelah Selatan, bahasa Marathi dari daerah di sekitar kota Bombay, bahasa Gujarati dari sebelah Barat. Tiba-tiba ia berseru: "Wah! Aku dapat membaca semua bahasa ini!"
Joshua Marshman dan William Ward kaget mendengar seruan rekan sekerja mereka. Dengan cepat mereka datang untuk mendengarkan penjelasan William Carey: "Begini, kawan-kawan: Akar kata dari kebanyakan istilah dalam setiap bahasa daerah ini adalah kata-kata dalam bahasa Sansekerta! Kita sudah punya kunci untuk dapat menerjemahkan Alkitab ke dalam setiap bahasa daerah di seluruh India!"
Malam itu juga, William Carey menulis sepucuk surat ke negeri Inggris. Ia belum pernah membujuk teman-temannya yang di sana untuk menyumbangkan lebih banyak uang demi keperluan dirinya sendiri. Tetapi ia rela saja meminta sumbangan khusus demi proyek produksi Sabda Allah secara besar-besaran. "Berilah kami uang secukupnya," begitulah ia menghimbau dalam suratnya malam itu, "dan dalam waktu kira-kira lima belas tahun saja, kami dapat menghasilkan Firman Hidup dalam semua bahasa di seluruh belahan Timur!"
Hebat sekali tanggapan terhadap imbauan William Carey itu! Bukan hanya dari Inggris Raya, tetapi juga dari Amerika Serikat, banyak yang yang masuk dari umat Kristen yang berjiwa penginjilan. Dan hasil produksi "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga" itu makin lama makin meluas.
Sungguh luar biasa jumlah bahasa yang dapat dipakai oleh William Carey dan rekan-rekan sekerjanya itu! Silakan membaca satu halaman saja dari buku harian Pendeta Carey bulan Juni, tahun 1806:
5.45 -- Saat Teduh; membaca satu pasal dari Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa aslinya, bahasa Ibrani.
7.00 -- Doa pagi dalam bahasa Bangla dengan para pembantu rumah tangga.
8.00 -- Belajar bahasa Marathi dengan seorang guru bahasa.
9.00 -- Bekerja sama dengan Pendeta Marshman, membuat terjemahan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Inggris.
10.00 -- Pergi ke Calcutta untuk menyampaikan kuliah di perguruan tinggi negeri dalam jurusan bahasa (bahasa Bangla, bahasa Sansekerta, bahasa Marathi)
14.00 -- Pulang kembali ke Serampore.
15.00 -- Mengoreksi halaman-halaman uji coba dari hasil cetakan terjemahan Kitab Nabi Yeremia dalam bahasa Bangla.
17.00 -- Bekerja sama dengan seorang pandit untuk menerjemahkan Kitab Injil Matius pasal 8 ke dalam bahasa Sansekerta.
18.00 -- Belajar bahasa Telugu dengan seorang guru bahasa.
19.30 -- Menyampaikan Firman Tuhan dalam bahasa Inggris, pada kebaktian tengah minggu untuk para petugas pemerintah setempat dengan keluarganya masing-masing.
21.00 -- Menerjemahkan Kitab Nabi Yehezkiel pasal 9 ke dalam bahasa Bangla.
22.00 -- Menulis surat kepada seorang teman di negeri Inggris.
23.00 -- Saat Teduh; membaca satu pasal dari Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa aslinya, bahasa Yunani.
Pada bulan Maret tahun 1813, William Carey dapat melaporkan kepada para penyokongnya di negeri Inggris bahwa sebagian dari Alkitab, atau bahkan keseluruhannya, telah diterjemahkan ke dalam sebanyak sepuluh bahasa. Lagi pula, semua terjemahan itu sedang dalam proses penerbitan. Sungguh, "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga" itu sedang berjalan dengan baik!
Hanya beberapa hari kemudian, pada malam 11 Maret 1813, William Ward sedang duduk menghadap meja tulisnya di "pabrik" itu. Para karyawan sudah pulang untuk beristirahat. Tiba-tiba Ward mencium bau yang aneh. Cepat-cepat ia berdiri dan membuka pintu yang menuju ke gudang kertas. Asap mengepul keluar!"
Ward membanting pintu itu dan berteriak: "Kebakaran! Kebakaran! Ayo tolong, ada kebakaran!"
Yang mula-mula memperhatikan teriakannya itu adalah beberapa pembantu rumah tangga. Mereka membangunkan Joshua Marshman, yang tempat tinggalnya dekat pabrik.
"Cepat! Semua pintu dan jendela harus ditutup rapat!" perintah William Ward. Ia tahu bahwa jika api itu tidak diberi udara, ia akan mati sendiri.
Dengan cepat Ward dan Marshman menutup semua pintu dan jendela pusat penerbitan itu. Mereka menyuruh para penbantu berlari ke tepi Sungai Gangga dan mengisi tempayan dengan air sebanyak mungkin. Ward memanjat ke atap gudang kertas. Ia membongkar atapnya, agar dapat menuangkan berturut-turut isi setiap tempayan air itu ke atas tumpukan kertas yang sudah gosong namun belum menyala.
Selama empat jam mereka semua membanting tulang. Rupa-rupanya masih ada harapan mengalahkan si jago merah. Tetapi ada seorang pembantu rumah tangga yang tidak begitu mengerti hukum ilmu fisika. Ia membuka lagi jendela tingkat bawah, agar dapat memasukkan air dari situ.
Sekonyong-konyong api itu membumbung tinggi! Bukan hanya tumpukan kertas saja yang terbakar: Kaleng-kaleng berisi lemak yang dipakai untuk melumas mesin-mesin cetak ikut berkobar juga.
William Ward baru sadar. "Wah, mesin-mesin cetak itu!" teriaknya. Dengan susah payah ia dan Marshman menyeret ke luar lima mesin cetak. Tetapi ruang zeting terkunci. Sebelum pintu dapat dibuka, semua naskah berharga yang bertumpuk-tumpuk di sana telah ikut hangus menjadi abu.
Keesokan paginya William Carey pulang ke Serampore dari kota Calcutta. Apa yang dilihatnya? Hanya reruntuhan hitam belaka, sisa "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga" itu. Leburan logam seberat tiga ton, naskah-naskah terjemahan Alkitab, dua naskah buku kaidah bahasa, sebuah naskah kamus antar bahasa semuanya itu tertimbun dalam puing-puing yang digenangi air. Kerja keras banyak orang selama tiga tahun itu telah hilang musnah dalam waktu semalam saja.
Apa yang dilakukan kemudian oleh "Trio Serampore" itu? Apa yang mereka katakan?
Ini: "Sesuai dengan Sabda Allah dalam 2Korintus 4:9, `kami dihempaskan, namun tidak binasa.' Jika kita menempuh jalan kedua kalinya, perjalanan kita itu lebih mudah dan lebih mantap. Terjemahan-terjemahan yang sudah hilang itu akan diganti dengan terjemahan-terjemahan baru yang lebih baik."
Koran-koran di kota Calcutta memuat berita musibah itu dengan memuji-muji segala usaha Carey, Marshman, dan Ward. Dalam tempo tujuh minggu saja, umat Kristen di Inggris menyumbangkan uang secukupnya untuk membangun kembali pusat penerbitan itu dengan segala perlengkapannya. Menjelang akhir tahun 1813, "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga" itu sudah kembali berjalan, bahkan dengan cara dua kali lebih efisien daripada sebelumnya.
Anehnya, . . . yang paling awal dipanggil Tuhan adalah yang paling muda di antara "Trio Serampore" itu. Pada tahun 1823, William Carey dan Joshua Marshman menangis di sisi tempat tidur William Ward, yang meninggal secara mendadak sebagai korban wabah penyakit kolera.
Namun Ward sempat lebih dahulu melatih beberapa tukang cetak lainnya. Jadi, ketika seorang bapak dengan kedua putranya tiba dari pulau Jawa pada tahun 1828, di Serampore masih ada kawan-kawan sekerja yang dapat menolong dia. Ia datang justru karena pemerintah penjajahan Belanda di Nusantara, sama seperti pemerintahan penjajahan Inggris di India, tidak begitu setuju dengan peredaran Alkitab dalam bahasa setempat. Maka Kitab Perjanjian Baru yang pertama-tama dalam bahasa Jawa dicetak sebanyak tiga ribu eksemplarnya oleh "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga."
(Sisa cerita yang mengharukan itu dapat dibaca dalam Jilid 2 buku seri ini, dengan judul "Penerjemah Perjanjian Baru yang Paling Gigih.")
William Carey meninggal pada tahun 1834; Joshua Marshman menyusul pada tahun 1837. Memang ada orang-orang lain yang masih dapat meneruskan pelayanan mereka. Namun usaha mereka untuk menyediakan Alkitab dalam berbagai-bagai bahasa itu praktisnya sudah selesai pada tahun 1832, ketika Carey menerbitkan revisinya yang kedelapan dari Kitab Perjanjian Baru bahasa Bangla.
Ternyata tugas itu memakan waktu jauh lebih lama daripada "kurang lebih lima belas tahun" yang pernah mereka taksir. Ternyata pula jumlah bahasa yang berbeda-beda "di seluruh belahan Timur" itu jauh melebihi dugaan mereka semula. Namun prestasi yang dicapai selama 32 tahun di Serampore itu tidak ada tandingannya sepanjang sejarah kekristenan.
Pada saat William Carey meninggal, semua bendera berkibar setengah tiang di seluruh daerah Benggala. Pemerintah penjajahan, yang semula menghina dan melawan Carey, akhirnya menghormati saat pemakamannya, seolah-olah ada jenazah seorang raja yang sedang dikebumikan.
Jadi, "Trio Serampore" itu sudah tidak ada. "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga" yang mereka usahakan itu pun tidak ada lagi. Tetapi Firman Hidup itu sendiri masih ada! Beritanya masih dibawa ke mana-mana oleh putra-putri bangsa India yang setia mengikuti Tuhan Yesus. Dan pengaruhnya terhadap cara hidup umat manusia itu masih kuat di seluruh India, dan di seluruh dunia.
TAMAT
Tukang bantai serta pembantunya yang masih muda itu saling melirik pada saat pintu toko daging dibuka oleh seorang pria setengah umur yang berbadan agak gemuk.
"Nah, ini dia, sang mahaguru sinting yang memesan seekor domba untuk dijagal hari ini," tukang bantai itu berbisik.
"Guten Morgen!" Suara mahaguru itu keras dan ramah. "Domba pesananku sudah ada, Pak?"
"Sudah, Tuanku!" Tukang bantai itu mengangguk, lalu melambaikan tangannya tanda mengajak ke tempat pejagalan di belakang toko.
Pada saat sang mahaguru sinting menepuk bahu anak laki-laki yang menjadi pembantu jagal itu, ia mematung karena takut. Lalu mahaguru itu terus lewat dan mengikuti jagal keluar dari toko.
Setelah pintu belakang ditutup, barulah anak laki-laki itu bergerak lagi. Dengan berjingkat-jingkat ia mendekati pintu tadi dan menguakkannya sedikit. Dari tempat yang tersembunyi itu ia dapat mengintip apa yang hendak dilakukan di pejagalan.
Ternyata mahaguru sinting itu membawa serta sebuah kantung kain. Ia mengeluarkan sebuah buku notes, sebatang pena panjang yang terbuat dari bulu angsa, sebuah botol tinta, dan sebuah kotak berisi pasir. Ini semua diletakkannya di atas meja; lalu ia duduk di belakangnya.
Pekerjaan menyembelh itu dimulai. Dari tempat persembunyiannya, anak laki-laki itu dapat melihat muka sang mahaguru sinting mengernyit pada saat si domba mengembik denagan suara keras, lalu mati berlumuran darah. Terus jagal yang cekatan itu menguliti bangkainya dan memotong-motongnya.
Mahaguru sinting itu mengamat-amati semuanya. Lalu tiba-tiba ia bertanya, sehingga anak laki-laki itu terkejut: "Itu apa namanya Pak?"
Tentu saja mahaguru ini sinting! Demikianlah jalan pikiran pembantu cilik yang bersembunyi di belakang pintu itu. Anak laki-laki siapakah di jalanan kota Wittenberg yang tidak tahu apa namanya benda itu? Tentu saja itu namanya ginjal domba!
Tukang bantai itu terus bekerja, walau sering diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang dungu. Sudah jelas, mahaguru itu tidak tahu bedanya antara hati dan jantung, antara paru-paru dan empedu . . . walau jika dilihat dari pakaiannya, dia itu seorng sarjana dari universitas!
Sewaktu-waktu terdengar dering giring-giring. Lonceng kecil itu tergantung pada pintu muka, untuk memberitahukan kedatangan calon pembeli. Maka setiap kali giring-giring mendering, secara ogah-ogahan anak laki-laki itu meninggalkan posnya di belakang pintu dan pergi melayani langganan toko daging. Ia tidak sabar untuk kembali lagi menyaksikan apa yang sedang terjadi di pejagalan.
Ternyata tukang bantai tidak lagi bersikap takut-takut terhadap sang mahaguru sinting. Seolah-olah mahguru itu adalah seorang pembantunya yang masih baru, ia menjelaskan bagaimana meja jagal harus dibersihkan, bagaimana pisau harus diasah, bagaimana tombak kecil harus dipakai untuk menikam tubuh seekor binatang sembelihan.
Sang mahaguru mencatat semuanya itu pada buku notesnya. Tangannya bergerak bolak balik dengan cekatan di atas halaman putih itu. Setiap kata ditulis dengan penanya, kemudian ditaburi sedikit pasir agar tinta hitamnya cepat kering.
Rupa-rupanya semua catatan itu sudah selesai. Sang mahaguru menyimpan kembali barang-barang miliknya ke dalam kantong kainnya. Ia membayar tukang bantai, lalu melangkah menuju jalan keluar. "Berilah daging domba itu kepada orang-orang miskin," katanya seraya membuka pintu depan. Giring-giring mendering pada saat pintu dibanting, dan derap kaki yang berat itu makin lama makin redam.
Anak laki-laki itu memandang pada tukang bantai. "Pak, kenapa dia banyak bertanya seperti itu? Apa dia betul-betul sinting?"
"O, memang dia orang sinting," jawab jagal itu. "Tetapi bukan seperti orang gila yang matanya liar dan tangannya usil. Bukan, kegilaannya itu di dalam hati. Ia sedang mengerjakan sesuatu yang sangat jahat: Ia mau menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahas Jerman! Maksudnya datang kemari ialah, agar istilah-istilah untuk pengorbanan binatang pada zaman Perjanjian Lama itu tepat semua."
Lalu suara jagal itu menggeledek: "Hujat! Itu namanya untuk pekerjaan yang begitu jahat! Semua orang tahu bahwa Alkitab itu tertulis dalam bahasa Latin yang suci. Kalau menyalinnya ke dalam bahasa lain, itu hujat namanya!"
Anak laki-laki itu menggigil. "Apakah sang mahaguru sinting itu orang sini?"
"Aku kurang tahu," jawab tukang bantai. "Tempo hari pada waktu ia memesan domba, rasanya ia memakai nama yang biasa saja. Rasanya pernah kudengar orang mempercakapkan nama itu di kedai minuman keras." Ia mengusap kumisnya sambil berpikir sejenak. "Nak, pernahkah kaudengar nama Dr. Martin Luther? . . ."
Adegan yang aneh di pejagalan tadi, sesungguhnya hanya merupakan satu dari sekian banyak adegan luar biasa yang benar-benar terjadi selama Martin Luther, sang pendekar gerakan pembaharuan gereja itu, sedang mengerjakan terjemahannya.
Pernah penerjemah yang sangat hati-hati itu meminjam beberapa batu permata dari kaum bangsawan. Ia ingin supaya nama-nama batu permata yang dijelaskan dalam Kitab Wahyu itu disebut dengan tepat dalam bahasa Jerman.
Pernah ia pun mendatangi para sarjana bangsa Yahudi dan bertanya-tanya tentang mata uang dan satuan ukuran yang berlaku dahulu kala pada zaman Perjanjian Lama. Lalu ia pergi juga ke pasar dan mencari istilah-istilah yang sepadan dalam bahasa Jerman sehari-hari.
Dulu Martin Luther menjadi seorang pastor Gereja Katolik, yang sudah biasa mendengar pengakuan dosa rakyat kecil. Ia masih ingat kata-kata kasar yang pernah dicetuskan oleh mereka kata-kata tentang pencobaan, kata-kata tentang rasa sepi dan rasa bersalah.
Mahaguru itu pun suka pergi bermain dengan anak-anak di jalanan kota, suka mengobrol pula dengan para petani yang membajak di ladang. Tahulah dia bahwa pikiran-pikiran umat Tuhan dahulu kala itu tidak akan mengena dalam hati rakyat biasa di negeri Jerman, jika hal itu dibahasakan dalam istilah-istilah tinggi dari dunia universitas.
Semua adegan aneh ini terjadi beberapa tahun setelah Martin Luther dikeluarkan dari Gereja Katolik, dan setelah ia diancam akan dibunuh oleh karena kepercayaannya. Luther hidup pada masa peralihan dari Abad Pertengahan beranjak ke dunia modern. Di seluruh Eropa, orang-orang sedang menggarap hasil kesarjanaan. Di negeri Jerman, Yohanes Gutenberg telah melancarkan perkembangan ilmu pengetahuan itu, melalui mesin cetaknya dengan huruf yang dapat dipindah-pindahkan. Kitab yang mula-mula dicetaknya ialah, Alkitab dalam bahasa Latin.
Ada juga gerakan pembaharuan di bidang keagamaan, yakni: Reformasi Protestan. Dr. Martin Lutherlah yang memimpin gerakan itu. Ia menekankan bahwa: "Orang biasa berhak mengetahui sendiri isi Alkitab. Orang biasa berhak diselamatkan oleh kasih karunia Tuhan Allah, dengan jalan percaya kepada Yesus Kristus.
Para pemimpin gereja menuduh: "Hujat! Hujat!" Maka Martin Luther diadili di hadapan sang kaisar. Kata-kata pembelaannya yang terkenal itu ialah: "Aku terikat oleh Kitab Suci. Suara hatiku terlambat oleh Firman Allah. Kecuali aku diyakinkan oleh isi Alkitab serta penjelasannya yang terang, aku tidak akan, aku tidak dapat mengingkari kepercayaanku!"
Tidak ada seorang pun yang sanggup memberi penjelasan Alkitab yang terang, sehingga tidak seorang pun berhasil meyakinkan Martin Luther bahwa kepercayaannya itu salah. Maka ia tidak pernah ingkar; ia tetap menekankan bahwa setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus akan diselamatkan oleh kasih karunia Tuhan Allah.
Walau Martin Luther tidak pernah ingkar, ia menyembunyikan diri dalam Benteng Wartburg karena nyawanya terancam. Di situ, pada tahun 1521, mulailah ia menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Jerman. Di dalam benteng yang sepi itu, dengan lampu yang berkedip-kedip dan dengan pena bulu angsa yang sering rusak, tanpa bantuan seorang penulis, Martin Luther mengerjakan semuanya sendirian. Edisi pertama dari Perjanjian Baru hasil terjemahannya itu diterbitkan pada bulan September tahun 1522.
Hebat sekali reaksinya! Banyak orang Jerman menjadi sangat gempar ketika untuk pertama kalinya mereka dapat membaca Alkitab dalam bahasa ibu mereka. Bahkan ada yang tidak lagi dapat menguasai luapan perasaannya sehingga mereka mulai merusak gedung-gedung ibadat milik aliran gereja yang sudah lama mencegah mereka mempunyai Firman Tuhan.
Walau nyawanya terancam, Luther kembali ke kota Wittenberg, tempat kerusuhan itu. Ia berkhotbah bahwa gerakan pembaharuan itu dimaksudkan untuk membangun, bukan untuk merusak. Ia mengingatkan para pengikutnya bahwa ia memang berani melawan ajaran-ajaran palsu, namun ia tidak memakai kekerasan. Dan ia pun memulai suatu sistem ibadah yang baru. Dalam kebaktian umum itu, yang dibacakan bukan lagi Alkitab bahasa Latin, melainkan Alkitab bahasa Jerman.
Selama beberapa hari saja Luther berkhotbah dan mengajar di kota Wittenberg. Lalu ia mengungsi lagi ke Benteng Wartburg. Tetapi tidak lama kemudian berkobarlah perang di negeri Jerman. Luther merasa bahwa ia seharusnya melayani di tengah-tengah masyarakat yang sedang menderita.
Dengan tekad hati yang baru, Dr. Martin Luther kembali lagi ke kota Witthenberg. Ia mulai lagi membawakan kuliah keagamaan di universitas. Ia menikah dan membina rumah tangganya. Dan ia pun mulai menerjemahkan Kitab Perjanjian Lama.
Pekerjaan terjemahan itulah yang menimbulkan adegan-adegan aneh yang digambarkan tadi: di pejagalan, di perbendaharaan batu permata, di pasar, di ladang. Selama sebelas tahun Martin Luther membanting tulang, mencari kata-kata bahasa Jerman yang paling tepat. Baru pada tahun 1534 terjemahan Alkitabnya yang lengkap itu diedarkan.
Dr. Martin Luther mengajak beberapa mahasiswanya dan rekan-rekan sekerjanya untuk mendirikan suatu Perkumpulan Alkitab: Minggu demi minggu mereka bertemu, dan sering "sang mahaguru sinting" membuat mereka semua tertawa mendengar penjelasannya tentang masalah-masalah yang sedang dihadapinya dalam tugasnya yang mulia itu.
"Wah, sulit sekali memaksakan para nabi berbicara dalam bahasa Jerman!" kata Dr. Luther. "Mereka melawan terus segala usahaku. Mereka tidak mau meninggalkan bahasa Ibrani mereka yang indah, sama seperti seekor burung bulbul tidak mau meninggalkan kicauannya yang merdu dan mulai mengaok seperti seekor burung gagak!"
Pada kesempatan yang lain, ketika ia sedang menerjemahkan Kitab Ayub, Martin Luther menyatakan: "Aduh, si Ayub bersikeras mau duduk terus dalam debu dan abu."
Para anggota Perkumpulan Alkitab itu sering mengadakan penyelidikan dan surat-menyurat, agar dapat menolong rekan mereka dalam usahanya mencari kata-kata bahasa Jerman yang paling tepat. Istilah-istilah terjemahan itu dibahas panjang lebar dalam pertemuan-pertemuan mingguan; setiap orang memperbincangkannya dari sudut keahliannya masing-masing. Begitu teliti penyelidikan mereka sehingga Dr. Luther mengomel: "Kadang-kadang dengan susah payah kami hanya dapat menerjemahkan tiga baris dalam empat hari."
Alkitab itu yang disusun berdasarkan bahasa sehari-hari yang dipakai oleh jagal dan petani, oleh anak di sekolah dan pedagang di pasar ternyata menjadi buku pegangan untuk bahasa Jerman modern. Banyak sekali orang Jerman yang belajar membaca dengan berpedomankan Alkitab terjemahan Martin Luther. Kitab Suci dalam bahasa Jerman itu pun menjadi titik tolak untuk suatu gerakan persatuan bangsa dan bahasa.
Mula-mula Alkitab terjemahan Luther itu dijual dengan harga setengah juta rupiah sebuah. Namun begitu banyak eksemplarnya yang laku sehingga para tukang cetak dengan cepat harus mengeluarkan edisi-edisinya lebih banyak lagi. Lambat laun harganya ditekan, sampai rakyat miskin pun dapat membelinya. Maka terjemahan Alkitab hasil karya "sang mahaguru sinting" itu menjadi batu penjuru untuk suatu pola kehidupan dan kepercayaan yang baru di negeri Jerman.
TAMAT
Di antara ratusan suku bangsa dalam negara kesatuan Indonesia, suku manakah yang terbanyak orangnya?
Di antara ratusan suku bangsa itu, suku manakah yang orang-orangnya terpilih menjadi baik Presiden pertama maupun Presiden kedua Republik Indonesia?
Tentu saja, hanya ada satu jawaban yang benar bagi kdua pertanyaan tadi, yaitu: suku Jawa.
Nah, perhatikanlah pertanyaan yang ketiga ini:
Siapakah yang mula-mula memberi hadiah terbesar kepada suku Jawa, yaitu: Kitab Perjanjian Baru yang tertulis dalam bahasa mereka sendiri?
Jawaban atas pertanyaan itu, sama juga dengan judul pasal ini: "Penerjemah Perjanjian Baru yang Paling Gigih."
Siapakah dia itu? Dan mengapa banyak seseorang yang bersifat "paling gigih" itu yang sanggup memberi hadiah kepada orang-orang Jawa berupa Firman Tuhan yang tertulis dalam bahasa Jawa?
Namanya, Gottlob Bruckner. Ia lahir pada tahun 1783 sebagai salah seorang di antara enam putra dalam keluarga seorang petani di desa Linda, daerah Saksen, di negeri Jerman.
Pembaca yang tahu bahasa Jerman, akan tahu pula bahwa keluarga Bruckner adalah orang-orang Kristen yang amat saleh. Buktinya? Nama yang diberikan kepada seorang anak laki-laki dalam keluarga itu: "Gottlob" berarti "Puji Allah!" Sering ayah si Gottlob menyanyikan lagu-lagu rohani dengan keenam putranya. Malam-malam ia suka membacakan buku-buku Kristen kepada mereka.
Sesudah Gottlob Brucner mencapai umur dua puluh tahun, ia meninggalkan rumah orang tuanya di desa untuk mengadu nasib ke di kota. Ayahnya menangis pada saat mereka berpisah. "Ingatlah ini: Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati!" seru sang ayah pada waktu pemuda itu hendak menempuh perjalanan. Gottlob Bruckner mengenali perkataan ayahnya itu sebagai kutipan ayat dari Kitab Perjanjian Baru. Ia pun menyadari bahwa isi Firman Allah itu sangat penting bagi ayahnya.
Si Gottlob tidak mempunyai uang untuk naik kendaraan umum. Delapan hari lamanya ia berjalan kaki, baru ia tiba di ibu kota Berlin.
Selama mencari pekerjaan tetap di kota, Gottlob Bruckner mulai berkenalan dengan beberapa pemuda lainnya. Dan melalui perkenalan itu ia pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran isi Alkitab. Sungguh pentingkah kitab kuno itu, untuk kaum muda yang hidup berabad-abad terkemudian?
Syukurlah, si Gottlob juga berkenalan dengan seorang gembala sidang di kota Berlin. Khotbah-khotbah pendeta itu menyebabkan dia banyak berpikir dan banyak berdoa. Untuk pertama kalinya ia sengaja memihak Tuhan Yesus Kristus atas keputusannya sendiri, dan bukan karena ia ikut-ikutan kepercayaan orang tuanya.
Pendeta di Berlin itu sering menerjemahkan dan membacakan surat-surat dari Dr. William Carey. William Carey berasal dari rakyat biasa di negeri Inggris, sama seperti Gottlob Bruckner berasal dari rakyat biasa di negeri Jerman. Pada waktu si Gottlob masih sibuk membajak ladang milik ayahnya, William Carey telah meninggalkan tanah airnya dan pergi ke India sebagai utusan Injil. Setelah tujuh tahun lamanya ia memberitakan Kabar Baik di sana, baru ada orang-orang India yang rela percaya kepada Tuhan Yesus. Namun surat-surat yang masuk dari Dr. Carey pada tahun-tahun 1800-an itu melaporkan adanya banyak orang Kristen baru di negeri India.
Suara hati Gottlob Bruckner seolah-olah berbisik: Engkau pun harus menjadi utusan Injil!
Gembala sidang di ibu kota yang telah menemaninya itu juga menyelenggarakan semacam kursus ketrampilan untuk calon penginjil. Hal itu amat menguntungkan bagi si Gottlob. Pendidikannya sangat kurang, sehingga pasti ia tidak memenuhi syarat masuk ke sekolah kependetaan biasa.
Selama satu setengah tahun Gotllob: Pendidikannya sangat kurang, sehingga pasti ia tidak memenuhi syarat masuk ke sekolah kependetaan biasa.
Selama satu setengah tahun Gottlob Bruckner berguru kepada pendeta di Berlin itu. Kemudian ia dikirim ke negeri Belanda untuk meneruskan pendidikan teologinya.
Tidak mudah bagi pemuda keluarga petani dari daerah Saksen itu untuk pergi merantau dan mempelajari bahasa asing! Bahasa Belanda agak mirip dengan bahasa Jerman, namun mengikuti kuliah dalam bahasa Belanda itu merupakan suatu tantangan besar. Tetapi Gottlob Bruckner bersifat paling gigih. Ia tekun belajar, dan ia tetap berkuliah selama tiga tahun.
Pada tahun 1811, suatu badan zending umat Kristen di Belanda sudah siap mengirim Gottlob Brukner dan dua kawan seangkatannya sebagai utusan Injil. Tetapi rupanya mustahil mereka dapat melaksanakan rencana itu. Kaisar Napoleon dari Perancis telah mengobarkan perang di mana-mana di benua Eropa, sehingga semua kapal batas antarnegara itu tertutup. Negeri Belanda sendiri sedang dijajah oleh orang Perancis. Kapal-kapal laut tidak boleh berlayar: Pelayaran itu dikhawatirkan akan membawa untung untuk negeri Inggris, musuh kawakan Kaisar Napoleon.
Mula-mula badan zending di Belanda mengirim Gottlob Bruckner dan kedua kawannya itu ke Jerman lagi selama satu tahun, untuk berkuliah lebih lanjut. Lalu mereka mendapat akal: Ketiga calon utusan Injil itu dapat menyamar menjadi rakyat biasa. (Memang mereka itu rakyat biasa, walau sudah dipersiapkan untuk tugas khusus.) Dengan diam-diam mereka dapat melintasi tapal batas dari Jerman ke Denmark, lalu dari Denmark ke Swedia, kemudian dari Swedia ke Inggris. Akhirnya dari Inggris mereka dapat dikirim sebagai utusan Injil.
Gottlob Bruckner tidak tahu kapan ada kemungkinan ia harus dapat melarikan diri dari pihak yang berwajib. Jadi, tak mungkin ia membawa serta koper-kopernya yang besar hanya satu jinjingan yang kecil saja. Ia pun tidak tahu kapan kemungkinan ia akan digeledah oleh para pengawal tapal batas negeri. Jadi, tak mungkin ia membawa serta surat perkenalan dari badan zending di Belanda itu kepada badan zending di Inggris: Boleh jadi ia ditembak mati atas tuduhan menjadi mata-mata orang Inggris!
Sesuai dengan dugaan sebelumnya, polisi Jerman di kota Hamburg hendak menghambat rencana perjalanan ketiga calon utusan Injil itu. Akhirnya mereka berhasil meloloskan diri ke negeri Denmark. Dari sana mereka naik sebuah kapal layar nelayan ke Swedia, lalu naik kapal laut lain lagi dari Swedia ke Inggris. Perjalanan yang berputar-putar jauh itu memakan waktu dua bulan.
Umat Kristen di negeri Inggris menyambut mereka dengan gembira. Namun sebelum ketiga calon itu dapat diangkat menjadi utusan Injil, mereka harus diuji dulu. Tentu saja ujian itu diberikan dalam bahasa Inggris, . . .dan tentu saja tidak ada seorang pun yang lulus. "Kalian harus belajar lebih banyak lagi," demikianlah keputusan badan zending di negeri Inggris itu.
Seseorang yang bersifat kurang gigih mungkin akan pulang saja ke daerah Saksen. Tetapi Gottlob Bruckner adalah seorang yang paling gigih. Ia rajin belajar bahasa Inggris seperti ia dulu rajin belajar bahasa Belanda. Setelah satu tahun berkuliah di sebuah seminari teologia di negeri Inggris, ia ditahbiskan serta dilantik menjadi utusan Injil.
Nah, masih ada persoalan: Ke mana ia akan diutus? Ada orang Kristen yang mengusulkan Guyana, di benua Amerika Selatan. Ada yang menyarankan pulau Malagasy yang besar, yang letaknya dekat pantai timur benua Afrika. Ada pula yang mengutarakan Jawa, sebuah pulau besar yang penduduknya lebih banyak lagi daripada penduduk pulau Malagasy. Dalam peperangan melawan Kaisar Napoleon, negeri Inggris telah merebut pulau Jawa itu dari negeri Belanda. Jadi, hubungan laut antara Inggris Raya dengan pulau Jawa sedang terbuka.
Sementara itu, Kaisar Napoleon terlihat bakal kalah secara tuntas. Dengan menjelangnya masa perdamaian lagi, koper-koper besar yang memuat seluruh harta milik Gottlob Bruckner itu dapat dikirim lewat Terusan Inggris ke Ibu kota London. Tetapi kemudian gudang tempat penampungan barang-barang miliknya itu kebakaran, dan seluruh isinya musnah jadi abu.
Namun Gottlob Bruckner masih tetap bersifat gigih. Ia melupakan kerugiannya serta kekecewaannya. Tepat pada tanggal 1 Januari 1814, ia berangkat menuju tempat pelayanannya sebagai utusan Injil. Kapal yang ditumpanginya itu nyaris tenggelam dalam topan dekat khatulistiwa, namun akhirnya sanggup membuang sauhnya di Afrika Selatan. Di sana Pdt. Bruckner dan kedua kawannya itu giat berkhotbah kepada orang berkulit putih dan orang berkulit hitam, sampai ada kapal lain yang siap mengantar mereka ke kepulauan Indonesia.
Ketiga orang itu mendarat di Ibu kota Jakarta. Di situ mereka disambut dengan hangat oleh Gubernur Raffles yang tersohor. Lalu Pdt. Bruckner berpamitan, dan seorang diri ia naik kapal lagi menuju Semarang. Dua kali kapalnya diserang oleh bajak laut. Setelah mendarat lagi, ia harus berjalan kaki melalui hutan tempat harimau masih berkeliaran.
Di kota Semarang ia menjadi gembala sidang di sebuah gedung gereja besar, yang telah didirikan oleh orang Belanda jauh sebelum Pdt. Bruckner lahir. (Gedung yang terbuat dari batu itu hingga kini masih dapat dilihat: Letaknya di Jalan Raden Saleh, tidak jauh dari pelabuhan lama di Semarang.) Kebanyakan anggota gereja itu orang Belanda atau orang Indo.
Hanya empat bulan setelah ia tiba di Semarang, Gottlob Bruckner menikah dengan putri seorang pendeta Belanda yang sudah tua. Kemudian suami istri itu dikarunia anak satu demi satu, sampai ada delapan bayi lahir dalam keluarga mereka. Tetapi pada masa itu belum ada obat yang mujarab untuk berbagai macam penyakit yang menyerang anak kecil di daerah tropika; empat orang di antara kedelapan anak dalam keluarga Bruckner itu meninggal pada waktu masih kecil.
Pada suatu hari ketika Pdt. Bruckner sedang bepergian ke Surakarta dan Yogyakarta, tibalah dua utusan Injil baru di Semarang. Mereka itu Pdt. dan Ibu Thomas Trowt, orang-orang Baptis dari Inggris. Ternyata Gottlob Bruckner dan Tom Trowt seumur; tidak lama kemudian mereka juga menjadi sahabat karib. Pdt. Bruckner kagum akan kepintaran Pdt. Trowt, dan juga kagum akan ketekunannya mempelajari bahasa Jawa.
Gottlob Bruckner sendiri telah pandai berbahasa Melayu, bahasa Indonesia kuno. Dengan cepat ia menyadari bahwa kebanyakan anggota gereja sesungguhnya tidak mengerti khotbah-khotbah dalam bahasa Belanda. Yang lebih penting lagi: Kebanyakan di antara mereka itu tidak mengerti sama sekali apa artinya menjadi orang Kristen. Pdt. Bruckner makin lama makin sedih melihat orang-orang yang hidupya jahat sepanjang minggu, namun mereka rajin ke gereja pada hari ibadah. Dan sebagai gembala sidang ia wajib menyambut mereka di gedung batu yang besar itu, seakan-akan merekalah orang-orang Kristen yang tulen.
Gottlob Bruckner banyak berbincang-bincang dengan Tom Trowt mengenai masalah itu. Ia banyak berpikir tentang arti pembabtisan. Ia pun banyak belajar Kitab Perjanjian Baru.
Akhirnya ia mengambil suatu keputusan. Pada hari Minggu, tanggal 31 Maret 1816, ia menaiki tangga ke mimbar tinggi dalam gedung gereja yang terbuat dari batu itu. Dari Alkitab bahasa Belanda ukuran besar yang terletak di atas mimbar itu, ia pun membacakan nas khotbahnya dari Kitab Injil Yohanes 5:39-40.
"Kamu menyelidiki Kitab-Kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa olehnya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-Kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup itu."
Lalu Pdt. Bruckner sungguh mengagetkan jemaatnya: "Aku akan dibaptiskan," ia mengumumkan. "Sekarang aku mengerti bahwa Alkitab mengajar agar kita dibaptiskan dengan diselamkan setelah kita sendiri percaya kepada Tuhan Yesus secara pribadi, dan bukan sebelumnya."
Hari Minggu yang berikutnya, Tom Trowt membaptiskan Gottlob Bruckner dalam Kali Banjir Kanal, yang mengalir melalui kota Semarang sampai ke muaranya di Laut Jawa. Banyak anggota gereja Belanda yang datang menyaksikan upacara itu. Tetapi tidak lama kemudian, mereka memecat Pdt. Bruckner dari jabatannya sebagai gembala sidang.
Untung, ia masih mempunyai sebuah rumah (mungkin warisan dari ayah mertuanya). Ia mengajak Pdt. Trowt sekeluarga untuk tinggal bersama-sama dengan dia. Tetapi hanya enam bulan kemudian, Tom Trowt meninggal. Badan zending di Inggris itu tak mungkin mengirim seseorang sebagai penggantinya. Peperangan sudah mereda, dan pulau Jawa sudah dikembalikan kepada bangsa Belanda.
Pdt. Bruckner menyambut perkembangan sejarah itu dengan menulis surat kepada Dr. William Carey di India, dan kepada orang-orang Baptis di Inggris yang mendukung pelayanan Dr. Carey. Sebagai akibatnya, ia sendiri ditunjuk sebagai pengganti Thomas Trowt, dengan sokongan tetap dari umat Baptis di negeri Inggris.
Gubernur baru yang ditunjuk oleh Negeri Belanda itu bertitah: "Semua utusan Injil dari Inggris harus meninggalkan pulau Jawa." Tetapi Pdt. Bruckner dapat membuktikan bahwa ia seorang Jerman, yang pandai juga berbicara bahasa Belanda. Maka ia diizinkan terus menetap di Jawa Tengah.
Sebelum ia meninggal, Tom Trowt telah mulai menyiapkan suatu kamus bahasa Jawa. Ia juga telah mulai menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa. Hasilnya tidak seberapa, dan karyanya yang sedikit itu pun sudah hilang. Namun Gottlob Bruckner, orang yang paling gigih itu, bersedia meneruskan tugasnya.
Bahasa Jawa ternyata jauh lebih sulit daripada bahasa Jerman, bahasa Belanda, bahasa Inggris, atau pun bahasa Melayu. Setiap pagi Pdt. Bruckner bergumul dengan buku-buku dan guru-guru. Setiap sore ia berjalan kaki melalui desa dan kampung, sambil berusaha mengucapkan kata-kata yang dapat dipahami oleh penduduk setempat.
Ternyata orang-orang Jawa tidak mau mendengar Kabar Baik mengenai Tuhan Yesus. Rupanya pulau Jawa adalah ladang penginjilan yang lebih sulit lagi daripada negeri India pada saat William Carey mula-mula pergi ke sana.
Lambat laun Gottlob Bruckner menyadari betapa pentingnya isi Alkitab dalam bentuk tertulis disampaikan kepada suku Jawa. Jadi, dengan gigih ia melanjutkan tugas terjemahannya. Pada tahun 1819 ia sudah menyelesaikan keempat Kitab Injil. Pada tahun 1820 ia sudah mengerjakan seluruh Perjanjian Baru. Pada tahun 1823 ia sudah memperbaiki naskah-naskahnya dan merasa bahwa semuanya itu sudah rampung, siap untuk dicetak.
Tetapi soalnya, bagaimanakah Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa itu dapat dicetak?
Umat Kristen di negeri Inggris mengirimkan sebuah mesin cetak kepada Gottlob Bruckner. Namun sayang, tidak ada seorang pun di seluruh pulau Jawa yang tahu bagaimana menjalankannya. Lagi pula, aksara-aksara Jawa itu berbeda daripada huruf-huruf semua bahasa lainnya di seluruh permukaan bumi.
Di samping itu, masih ada juga soal lain. pada tahun-tahun 1820-an, Pangeran Diponegoro tengah mengobarkan pemberontakan melawan kuasa penjajah. Gubernur Belanda tidak mau mengizinkan apa-apa yang mungkin akan menghasut rakyat, . . .atau pun yang mungkin akan mengurangi laba dari perkebunan-perkebunan besar yang diusahakan di pulau Jawa.
Gottlob Bruckner memang seorang penerjemah Perjanjian Baru yang paling gigih. Namun ia hampir putus asa . . . ketika pada suatu hari ia menerima sepucuk surat dari India. Selama 35 tahun William Carey setia melayani Tuhan Yesus di sana. Dalam suratnya tadi Dr. Carey mengajak Pdt. Bruckner untuk datang mengunjunginya, dengan membawa serta naskah-naskah yang berharga, yaitu Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa.
Pada tahun 1828 Pdt. Bruckner berpamitan dengan istrinya dan kedua putrinya yang masih kecil. Dengan disertai kedua putranya, ia pun berlayar menuju benua India. Tak terlintas dalam pikirannya bahwa ia akan tetap terpisah dari keluarganya itu selama tiga tahun.
Setibanya di India, mula-mula ia harus mengajar para tukang cetak yang bekerja di bawah pengawasan William Carey, tentang bagaimana caranya mengukir bentuk-bentuk yang menyerupai huruf-huruf bahasa Jawa. Lalu ia sendiri harus uji coba setiap halaman yang mereka cetak: Selain dia, tidak ada seorang pun di seluruh India yang mengerti apa arti aksara-aksara yang sangat khas kelihatannya itu.
Putra sulung Gottlob Bruckner, seorang bocah berumur tiga belas tahun, jatuh sakit dan meninggal, jauh dari rumah dan ibunya. Pdt. Bruckner sendiri jatuh sakit parah, sehingga ia harus mengungsi untuk sementara ke kota Malaka dan beristirahat di sana.
Namun tugas besar itu akhirnya juga selesai. Dengan ditemani oleh putra satu-satunya yang masih hidup, Pdt. Bruckner berlayar lagi menuju Indonesia. Ruang di bawah geladak kapal laut itu memuat barang yang sangat berharga: Dua ribu Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa, dua puluh ribu surat selebaran dalam bahasa Jawa, bungkusan-bungkusan kertas, dan seperangkat aksara bahasa Jawa untuk dicocokkan pada mesin cetak guna membuat cetakan-cetakan ulang.
Di dekat pulau Kalimantan, kapal itu dilanda topan. Pdt. Bruckner dan putranya harus memegang tiang layar; kalau tidak, mereka akan terbawa hanyut oleh ombak besar. Bahkan nahkoda kapal berteriak, "Tidak ada harapan lagi!"
Namun Tuhan mengindahkan doa-doa yang tulus pada hari itu. Sebuah kapal yang setengah reyot dapat dengan susah payah mencapai tempat berlabuh di pulau Jawa.
Setelah ia pulamg ke Semarang, Gottlob Bruckner hampir tidak mempynyai waktu untuk bersalaman dengan istrinya dan kedua putrinya. Lima hari pertama setelah ia tiba itu adalah hari-hari yang penuh dengan kegemparan. Sebanyak tujuh ribu surat selebaran dalam bahasa Jawa dibagi-bagikan kepada rakyat yang berdesakan memperolehnya.
Tetapi pemerintah penjajah masih kurang menyetujui apa pun yang diperkirakan akan membangkitkan semua suku Jawa. Sepasukan tentara datang dan menyita sisa surat-surat selebaran itu, serta hampir semua Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa. Hanya karya Gottlob Bruckner seumur hidupnya itu dikunci dalam sebuah almari besi di ibu kota Jakarta.
Namun Pdt. Bruckner tetap gigih, dan tetap mencari akal. Ia masih mempunyai bungkusan-bungkusan kertas itu, serta aksara-aksara bahasa Jawa yang dapat dicocokkan pada mesin cetak. Dengan diam-diam ia mencetak lagi surat-surat selebaran. Sedikit demi sedikit ia mengedarkannya di antara orang-orang Jawa. Maka Kabar Baik dalam bahasa Jawa itu tetap tersebar luas.
Pdt. Bruckner juga mengambil tindakan khusus dengan dua di antara Kitab-Kitab Perjanjian Baru Bahasa Jawa yang masih ada pada dia: Salah satunya diposkan kepada raja Belanda, dan yang satunya lagi diposkan kepada raja Prusia (yaitu sebagian dari negeri Jerman). Raja Prusia mengirimi dia sebuah medali emas sebagai tanda kehormatan atas prestasi kesarjanaannya yang besar. Tetapi raja Belanda melakukan sesuatu yang sesungguhnya lebih berguna: Ia mempengaruhi para pemerintah Belanda sehingga mereka mengubah kebijaksanaan mereka tentang soal kebebasan beragama di pulau Jawa.
Sedikit demi sedikit isi lemari besi di Jakarta itu dikirim kmbali ke Semarang. Dan tentu saja Gottlob Bruckner membagikan Kitab-Kitab Perjanjian Baru dan surat-surat selebaran itu kepada orang-orang Jawa.
Namun sedikit sekali di antara orang-orrang Jawa itu yang percaya kepada Tuhan Yesus! Badan zending umat Baptis di negeri Inggris sering mendesak Pdt. Bruckner supaya ia mundur saja, lalu pindah ke benua India. Tetapi Gottlob Bruckner adalah seorang yang paling gigih. Ia masih tetap percaya bahwa benih Injil yang ditaburkannya itu akhirnya juga akan berbuah.
Memang betul, ada panen rohani yang sudah mulai bertunas semasa hidup Gottlob Bruckner. Anehnya, . . . hasil pertama itu dituai bukan di Semarang atau pun di daerah sekitarnya, melainkan di tempat yang jauh, di Jawa Timur.
Ketika umur Pdt. Bruckner sudah mendekati enampuluh tahun, ia sempat berlayar menelusuri pantai utara pulau Jawa sampai ke Surabaya. Di kota pelabuhan yang besar itu, ia berkenalan dengan bebeapa orang Jawa yang telah percaya kepada Tuhan Yesus. Ketika ia masuk ke pedalaman, ia pun menemukan lebih banyak lagi petobat baru.
Ada seorang sepuh yang mengetuai jemaat kecil di seluruh desa."Bagaimana Bapak sampai mendengar tentang Tuhan Yesus?" tanya Pdt. Bruckner kepada orang yang sudah tua itu.
"Selama dua puluh empat tahun, akulah yang memanggil umat beragama di desa ini, agar mereka bersembahyang," jawab bapak itu." Lalu pada suatu hari, seseorang memberi aku lembaran kecil ini." Dan ia menyodorkan kepada tamunya itu sehelai surat selebaran yang telah diterbitkan oleh Gottlob Bruckner sendiri.
Betapa bahagianya hari-hari yang dihabiskan oleh Pdt. Bruckner dalam bersekutu dengan umat Kristen di desa itu! Betapa senangnya dia oleh karena dengan gigihnya ia telah pantang mundur menaburkan benih Injil berbentuk Firman Tuhan yang tertulis dalam bahasa Jawa!
Sampai akhir hayatnya, tanpa mengenal lelah Gottlob Bruckner memberi kesaksiannya tentang Tuhan Yesus. Namun selama masa hidupnya itu hanya ada sedikit orang Jawa yang menjadi percaya. Lagi pula, selama hampir satu abad sejak Pdt. Bruckner meninggal pada tahun 1875, tidak ada utusan Injil Baptis lainnya yang datang dari negeri mana pun juga untuk meneruskan pelayanannya.
Namun ada juga pengganti-pengganti Pdt. Bruckner dari aliran gereja lain. Menjelang akhir hidupnya yang panjang itu, pemerintah penjajah mulai mengizinkan kedatangan utusan-utusan Injil baru dari negeri Belanda ke pulau Jawa.
Mereka itu menemukan suatu ladang penginjilan yang sudah dibajak, siap untuk usaha penaburan mereka. Mereka menemukan Kitab perjanjian Baru yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Mereka menemukan surat-surat selebaran, dan lagu-lagu rohani, dan kamus serta daftar kosa kata yang sangat berfaedah, agar dengan lebih mudah mereka dapat mulai menyampaikan Kabar Injil di antara suku Jawa.
Pada abad yang kedua puluh ini, sudah ada ribuan, bahkan ratusan ribu orang Jawa yang telah menjadi pengikut Tuhan Yesus. Namun gerakan Kristen yang besar itu mungkin sekali tidak pernah akan terjadi, seandainya hampir dua abad yang lalu tidak ada seorang penerjemah Perjanjian Baru yang paling gigih.
TAMAT
Di kota Roma, semua orang Kristen sedang membicarakan seorang pendatang baru dari sebelah Timur. Namanya, Hironymus. Perawakannya tinggi dan kurus; matanya berbinar-binar; kulitnya agak hitam, karena ia sudah lama tinggal di padang gurun, di bawah panas terik matahari.
"Kata orang, ia sudah bepergian ke tempat yang jauh-jauh, baik di sebelah Timur maupun di negeri Perancis," begitulah laporan salah seorang penduduk Roma tentang pendatang baru itu.
"Bukan hanya itu saja: Ia sudah menjelajahi seluruh daerah Yunani, Asia Depan, dan Siria," kata yang lainnya.
"Dan ia sudah berguru kepada para sarjana Kristen yang paling ternama di seluruh Timur Tengah," tambah yang lainnya lagi.
Dengan cepat Paus Damasus mendengar tentang kedatangan Hieronymus itu. Sebagai uskup agung kota Roma serta pemimin utama seluruh umat Katolik di dunia Barat, Paus Damasus merasa harus menyelidiki pendatang baru yang berpendidikan ini. Maka Hieronymus disuruh menghadap sri paus.
Mula-mula sri paus merasa kaget. Orang yang dikatakan sangat cerdik itu kelihatannya masih agak muda. Tambahan pula, ia tidak berpakaian semestinya sebagai tamu yang hendak diterima oleh seorang pemimpin gereja: Jubah panjangnya dibuat dari kain yang paling kasar, dan diikat dengan tali tambang saja. Tetapi perasaan Paus Damasus berubah pada saat ia mula membicarakan soal-soal Alkitabiah dengan tamunya itu.
"Dulu, justru tidak suka aku membaca Alkitab bahasa Latin, karena terjemahannya begitu jelek," Hieronymus dengan terus terang mengaku kepada Paus Damasus. "Aku lebih suka membaca kitab-kitab kesusastraan klasik, dalam bahasa Yunani."
"Bagaimana sampai terjadi bahwa kemudian engkau berubah pendapat, sehingga kini engkau gemar menyelidiki Alkitab?" tanya sri paus.
"O, itu terjadi di kota Antiokhia di Siria, waktu ada wabah penyakit di sana," jawab Hieronymus. "Aku juga jatuh sakit demam. Lalu pada suatu malam aku seolah-olah melihat Tuhan Yesus berdiri, di samping tempat tidurku. Dengan nada sedih Ia berkata, `Hieronymus, engkau lebih senang menjadi pengikut para sastrawan daripada menjadi pengikut-Ku'''
Makin lama mereka berdua mengobrol, sri paus semakin suka akan sarjana Alkitab yang relatif muda itu. Berkali-kali ia mengundang Hieronymus, agar mereka dapat berbincang-bincang tentang berbagai hal. Walau pakaiannya begitu sederhana, sesungguhnya Hieronymus berasal dari sebuah keluarga Kristen kaya di Italia Utara. Jadi, ia sudah tahu bagaimana caranya membawa diri di kalangan para bangsawan dan pembesar gereja.
Pada hari-hari Paus Damasus dan Hieronymus menjadi semakin akrab, umat Katolik di kota Roma sedang sibuk membuat persiapan untuk menyelenggarakan suatu rapat besar. Para pemimpin gereja dari setiap penjuru alam mulai berdatangan ke kota Roma. Dan heran, kebanyakan di antara para pemimpin Kristen itu bersalaman dengan Hieronymus seperti seorang kawan lama.
Paus Damasus belum menunjuk seorang penulis resmi untuk rapat gerejawi yang penting itu. Ia mulai menyadari bahwa Hieronymus merupakan pilihan yang tepat.
Sesuai dengan dugaan sri paus, Hieronymus menunaikan tugasnya dengan cekatan selama rapat gerejawi yang penting itu. Kemudian ia tetap menjadi penulis pribadi Paus Damasus, di samping menjadi penasihatnya di bidang penafsiran Alkitab.
Memang Alkitab bahasa Latin itu sangat perlu ditafsirkan. Umat Kristen Romawi yang memakai bahasa resmi kekaisaran itu telah membuat banyak sekali terjemahan yang berbeda-beda ada yang baik, ada juga yang jelek. Agustinus, seorang ahli teologia di Arika Utara pada abad ke-4, pernah berkata:
"Pada masa permulaan iman Kristen, setiap orang yang kebetulan memperoleh sebuah naskah Alkitab dalam bahasa Yunani dan mengaku dirinya sebagai pengalih bahasa yang cakap (walau kecakapannya itu sebenarnya sangat minim), langsung memberanikan diri membuat terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Latin."
Alhasil, terdapat sebanyak 27 versi yang berbeda-beda dari ayat Alkitab yang sama juga! Tidaklah mengherankan bila Paus Damasus berpendapat, keadaan seperti itu cukup membingungkan orang Kristen biasa. Maka sri paus memberi tugas baru kepada penulisnya yang pandai itu: Hieronymus ditugasi memeriksa setiap edisi Alkitab bahasa latin yang sudah ada, membandingkannya dengan Alkitab bahasa Yunani, dan kemudian menyediakan suatu terjemahan baru yang lebih baik.
Dengan senang hati Hieronymus menerima tugasnya yang baru itu. Dalam waktu yang relatif singkat, ia telah berhasil membuat terjemahan baru keempat Kitab Injil.
Sementara itu, Hieronymus juga sibuk mengajar. Ia membuka kursus Alkitab untuk para pemuda di kota Roma. Sambutannya begitu hangat sehingga ia juga membuka kelas Alkitab untuk para pemudi. Bukan hanya kaum muda Kristen yang suka berguru kepada Hieronymus: Ada juga orang-orang Roma yang walau masih menyembah berhala, namun merasa tertarik akan kuliahnya itu.
Salah seorang murid Hieronymus adalah seorang janda muda bernama Marsella. Setelah ia meninggalkan agama lamanya dan percaya kepada Tuhan Yesus, langsung ia memberi kemerdekaan kepada para budaknya. Ia melepaskan pakaian mewahnya dan mulai mengenakan jubah yang sederhana, meniru gurunya. Dan ia pun membuka istananya di kota Roma sebagai tempat penampungan orang yang sakit dan miskin.
Banyak penduduk Roma yang merasa terkesan sekali atas perubahan besar dalam cara hidup Ibu Marsella. Tentu saja, rakyat jelata di ibu kota kekaisaran itu merasa sangat diberkati oleh dia dan oleh gurunya Hieronymus.
Tidak lama kemudian, ada banyak wanita yang mulai mengikuti kursus dan kuliah Hieronymus. Di antara mereka ada seorang janda kaya, dengan kedua putrinya. Sang janda itu bernama Ibu Paula.
Lalu pada tahun 384, Paus Damasus meninggal. Ada sebagian umat Katolik yang berharap agar Hieronymus ditunjuk sebagai uskup agung yang akan menggantikannya. Tetapi yang terpilih malah orang lain, dan Hieronymus belum tahu bagaimana sikap sri paus yang baru itu terhadap orang yang mungkin dianggap sebagai saingannya. Maka ia memutuskan untuk kembali meninggalkan kota Roma.
Hieronymus tidak pergi seorang diri. Banyak muridnya yang menemani dia, baik pria maupun wanita. Di antara mereka itu ada Ibu Paula dan kedua putrinya. Rombongan Kristen dari kota Roma itu mulai mengembara ke Siria, ke Mesir, ke Palestina. Akhirnya pada tahun 386 mereka menetap di Betlehem, tempat kelahiran Tuhan Yesus. Di sana Ibu Paula menghabiskan seluruh hartanya untuk proyek-proyek pembangunan: sebuah gereja, sebuah rumah untuk Hieronymus dan kaum pria lainnya, sebuah rumah lagi untuk kaum wanita, dan sebuah asrama sebagai tempat penampungan para peziarah Kristen yang suka berdatangan untuk menengok "Tanah Suci."
Hieronymus masih merasa terpanggil untuk meneruskan pekerjaan luhur yang oleh sri paus almarhum dulu pernah ditugaskan kepadanya. Oleh karena itu, ia terus mengerjakan terjemahan Alkitab yang baru. Ia bukan hanya mengalihbahasakan Kitab Perjanjian Baru, tetapi juga Kitab Perjanjian Lama.
Sama seperti kebanyakan umat Kristen seangkatannya, Hieronymus suka menggunakan Septuaginta, yaitu sebuah terjemahan Perjanjian lama ke dalam bahasa Yunani yang sudah dibuat dua ratus tahun sebelum Tuhan Yesus lahir ke dunia ini. Tetapi lambat laun Hieronymus pun mulai sadar: Alkitab bahasa Yunani kesukaanku ini bukanlah Kitab Perjanjian Lama yang asli!
Sesungguhnya Hieronymus pernah belajar bahasa Ibrani. Namun ia merasa belum cukup pandai untuk langsung dapat menerjemahkan Kitab Perjanjian Lama dari bahasa aslinya. Oleh karena itu, Hieronymus mulai menyelidiki di kalangan para tetangganya, yakni kaum Yahudi di sekitar kota kecil Betlehem. Di antara mereka itu ada seorang guru agama Yahudi yang pandai: namanya, Rabbi Bar-Anina.
"Relakah Bapak mengajarkan bahasa Ibrani kepadaku?" tanya Hieronymus kepada Rabbi Bar-Anina.
"Hmmm . . .," jawab Rabbi Bar-Anina, bingung. "Mungkin kawan-kawan sekepercayaanku akan kurang senang jika mereka tahu bahwa aku sedang menolong kaum Nasrani menyiapkan Kitab Suci yang isinya tidak kami setujui itu . . . ."
"Bagaimana kalau Bapak datang kepadaku pada malam hari saja?" usul Hieronymus dengan cerdiknya.
Maka setiap malam Rabbi Bar-Anina sembunyi-sembunyi datang ke ruang belajar Hieronymus. Dan setiap pagi Hieronymus meneruskan terjemahannya yang baru itu bukan lagi berdasarkan Perjanjian Lama bahasa Yunani, tetapi langsung diterjemahkan dari bahasa aslinya.
Lama sekali tugas terjemahan itu! Setiap kata harus ditulis dengan tangan, karena belum ada alat-alat cetak. Setiap kalimat harus diperiksa ketetapannya, dan kalau ada perbaikan, kalimat itu harus ditulis kembali.
Teman-teman Hieronymus banyak menolong pekerjaannya yang luhur itu. Ibu Paula sendiri menjadi seorang ahli bahasa, dan sering membantu gurunya. Yang lainnya, baik pria maupun wanita, membaktikan diri demi membuat suatu versi Alkitab yang lengkap dan tepat, yang dapat dibaca oleh setiap orang yang berbahasa Latin.
Sesungguhnya kelompok orang saleh di Betlehem itu merupakan nenek moyang rohani para biarawan dan biarawati, yang rela berkorban sepanjang Abad Pertengahan agar ada salinan Firman Tuhan yang jitu dan jelas. (Lihatlah "Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah", dari Jilid 2 dalam buku seri ini).
Selama 34 tahun di Betlehem itu, Hieronymus bukan hanya mengerjakan terjemahan Alkitab saja: Ia juga menulis dua buku sejarah gereja, beberapa riwayat hidup orang Kristen yang luhur wataknya, ratusan surat edaran demi mendidik umat Kristen, dan sebanyak 24 buku tafsiran Alkitab. Namun pekerjaan yang selalu diutamakan olehnya ialah, megalih-bahasakan Sabda Allah.
Makin lama Hieronymus semakin tua; ia pun mengalami masa penyakit yang sungguh gawat. Namun, begitu ia mulai sembuh, langsung ia kembali ke ruang belajarnya.
Penglihatan matanya mulai kabur; namun ia bekerja keras. Ia menyuruh pembantu mudanya membacakan kitab-kitab gulungan bahasa Ibrani untuk dia, karena ia tidak sanggup lagi membaca sendiri. Lalu kepada pembantu lainnya, Hieronymus mendiktekan apa yang harus ditulis dalam bahasa Latin itu.
Terjemahan Alkitab bahasa Latin hasil karya Hieronymus itu selesai pada tahun 405, ketika ia sudah agak lanjut usianya. Mula-mula ada umat Kristen yang lebih menyukai terjemahan-terjemahan lama (silakan baca pasal 2 dalam buku ini!). Namun Hieronymus merasa yakin bahwa terjemahan hasil karyanya itu lambat laun akan menang. Mengenai mereka yang sok tidak suka terjemahan Alkitab yang baru itu, Hieronymus berkata: "Mereka mengkritiknya di depan umum, . . . tetapi membacanya di kamar!"
Memang selayaknya terjemahan Hieronymus itu diterima oleh umum. Sampai permulaan abad ke-5 Masehi, dialah sarjana Alkitab, sarjana sastra, dan sarjana bahasa yang paling pandai, yang pernah mengusahakan suatu terjemahan Alkitab. Versi hasil karyanya itu paling kuat berdasarkan atas pengenalan akan bahasa-bahasa asli Alkitab.
Lambat laun terjemahan Hieronymus itu memang diterima oleh umat Kristen di mana-mana. Bahkan julukan yang diberikan kepadanya menunjukkan, betapa luasnya versi Alkitab itu diterima: Vulgata. Artinya: "Untuk Semua Orang."
Sungguh, semua orang yang memakai bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi, seharusnya berterima kasih kepada para penulis rapat gerejawi yang pandai itu, yang telah menyediakan terjemahan Alkitab yang paling baik pada masanya. Dan kita yang hidup pada abad-abad terkemudian, seharusnya turut mengucap syukur kepada Tuhan atas Hieronymus dan kawan-kawannya, yang rela membaktikan seluruh hidup mereka demi Sabda Allah.
TAMAT
Rakyat sedang berkumpul pada hari pasar di desa Tayabamba, yang letaknya di daerah pegunungan Peru. Di mana-mana di sekeliling desa kecil itu, ada gunung-gunung yang menjulang tinggi ke angkasa.
Jauh di atas pada sebuah lereng bukit, ada seorang pria yang sedang berjalan kaki sambil memandang ke bawah, ke pasar desa di lembah itu. Nama pejalan kaki itu Renoso; ia seorang buruh harian. Matanya berbinar-binar kesenangan melihat pemandangan indah yang terbentang di depannya. Bagus sekali negeri Peru milik kita ini! katanya dalam hati.
Lalu Renoso mulai turun ke desa Tayabamba. Jalannya jelek. Setiap orang di daerah itu yang mampu, suka bepergian dengan menunggang bagal, keturunan kuda dan keledai. Tetapi bagi Renoso yang keuangannya pas-pasan, . . . kedua kakinya yang kuat itulah yang menjadi bagalnya! Sekalipun ia tidak mempunyai binatang tunggangan, namun hatinya senang.
Renoso sedang dalam perjalanan pulang setelah bekerja di suatu tempat di balik bukit. Ia membawa serta uang penghasilannya dari pekerjaan itu. Dalam ranselnya ia membawa juga Alkitabnya, buku lagu rohaninya, dan sebuah majalah gereja yang berjudul Kelahiran Kembali. Baik di kampung halamannya maupun di tempat ia bepergian, Renoso selalu setia sebagai anggota gerejanya.
Pasar mingguan itu masih ramai ketika Renoso tiba di desa Tayabamba. Ia tersenyum. Tadi ia merasa kesepian selama dalam perjalanan jauh di pegunungan tinggi. Kini ia dapat menikmati keramaian pasar. Mungkin ia akan membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang kepada ibunya besok. Mungkin ia akan bercakap-cakap dengan berbagai macam orang. Renoso sangat peramah; tidak ada yang lebih menyenangkan hatinya daripada percakapan yang ramah.
Ternyata orang-orang di desa itu suka bergaul dan rela mengobrol. Ada yang datang dari desa-desa lain untuk menjual barang dagangannya di Tayabamba. Ada yang masih sibuk berjualan; ada yang sudah siap pulang. Dan ada juga yang sudah siap untuk pergi berbakti dengan cara-cara mereka yang khas.
Sambil bercakap-cakap Renoso memperhatikan orang-orang yang hendak pergi berbakti itu.
"Kami tidak berbakti dengan cara-cara seperti itu," katanya, seolah-olah mengobrol secara iseng-iseng saja. "Kami suka berbakti dengan membaca Alkitab, dan dengan menyanyikan lagu-lagu rohani." Dan ia pun mengeluarkan Alkitabnya dari ranselnya.
Orang-orang desa itu nampaknya tertarik sekali. Belum pernah mereka melihat sebuah Alkitab! Maka Renoso memperlihatkannya dan membacakan satu dua cerita dari halaman-halamannya.
"Buku itu bagus sekali!" kata seorang penduduk desa yang nama julukannya Paman Besar.
Renoso menggeleng. "Mungkin tidak, kecuali kalau mereka itu sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus."
"Kalau begitu, juallah Buku itu kepada kami," desak Paman Besar. "Aku ingin mendengar isinya lebih banyak lagi."
"Maaf, Paman, aku tidak dapat menjualnya," jawab Renoso. "Buku ini diberikan kepadaku pada suatu hari yang istimewa sekali." Ia membuka halaman depannya. "Lihat! Namaku dan tanggal pembabtisanku tertulis di sini dengan huruf besar. Maafkan, aku tidak dapat menjual Alkitabku."
Pada malam itu Renoso menginap di desa Tayabamba. Banyak orang yang berkumpul di sekelilingnya: Paman Besar, Kakek Tua, Si Pincang, dan beberapa penduduk desa yang lain. Mereka semua menyukai Renoso. Mereka semua ingin mendengar lebih banyak lagi tentang tempat-tempat yang dilihat dalam perjalanannya, dan tentang cara-cara berbakti di gerejanya.
"Mengenai cara berbakti itu," kata Paman Besar. "Katamu, kalian biasa menyanyi?"
""Betul, Paman," Renoso mengiakan. "Kami menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Tuhan Allah, dan lagu-lagu doa yang memohon pertolonganNya dan bimbinganNya."
"Ayo, nyanyikan salah satu lagu itu!" seru Si Pincang.
"Ya, ya, nyanyikan sebuah lagu bagi kami!" semuanya turut mendesak.
Mula-mula Renoso merasa bahwa mereka bergurau saja. Ia bukan seorang penyanyi! Bagaimana ia dapat menyanyikan sebuah lagu rohani bagi mereka?
Namun wajah setiap orang yang sedang menatapnya itu nampak begitu mengharap-harap. "Suaraku jelek," katanya ragu-ragu. Tetapi melihat kekecewaan mereka, ia pun memberanikan diri. "Baiklah! Aku akan mencoba bernyanyi. Tetapi kalian harus turut bernyanyi juga! Aku akan mengajarkan kalian sebuah lagu rohani."
Maka mulailah Renoso bernyanyi. Ia menyanyi tentang kasih Allah. Ia memuji-muji Allah atas kebaikanNya. Melodi lagu itu polos sekali; kata-katanya sangat sederhana. Setiap anak di gereja Renoso sudah biasa menyanyikan lagu itu, dengan suaranya yang merdu.
Mula-mula para penduduk desa Tayabamba dengan susah payah ikut menyanyi. Mereka belum biasa mendengarkan lagu seperti itu, apalagi menyanyikannya! Suara Kakek Tua terdengar sering pecah. Sesuai dengan nama julukannya, Paman Besar mempunyai suara besar, tetapi nadanya sering sumbang. Tetapi si Pincang pandai menyanyi. Suaranya mengalun tinggi, seolah-olah ia sudah lama mengenal lagu itu. Memang suaranya kedengaran agak kasar, namun not-notnya tepat.
Berkali-kali lagu rohani itu diulangi. Para ibu yang duduk di pojok-pojok ruang yang gelap itu juga turut menyanyi. Anak-anak duduk mendengarkan dengan mata tak berkedip, sedangkan para orang tua mereka mengangkat suara.
"Ayo, biarlah Alkitab itu tetap tinggal disini," Kakek Tua mendesak lagi.
"Maaf sekali, Kakek," kata Renoso sambil menolak secara halus. "Tetapi, . . . ya, sudah . . . aku akan meninggalkan buku lagu rohaniku pada Kakek, dan juga majalah ini dari gerejaku. Lihat judulnya: Kelahiran Kembali. Itulah yang terjadi atas tiap orang yang mengikut Tuhan Yesus. Ia menjadi manusia baru, seolah-olah ia lahir kembali."
Keesokan harinya Renoso berangkat menuju kampung halamannya. Dalam hati ia bertanya-tanya tentang desa Tayabamba: Alangkah baiknya kalau bapak pendeta dapat pergi ke sana! Namun desa itu letaknya empat hari perjalanan dari tempat tinggal bapak pendeta. Banyak desa lain yang lebih dekat, yang juga belum sempat mendengar Kabar Baik tentang Tuhan Yesus.
Sepeninggal Renoso, orang-orang di desa Tayabamba itu tidak memikirkan tentang kedatangan seorang pendeta. Bukankah mereka sudah mempunyai sebuah buku lagu rohani dan sebuah majalah Kristen? Semua orang yang berminat, suka berkumpul sehabis kerja di rumah Paman Besar. Si Pincang yang membacakan buku dan majalah itu bagi mereka; tidak ada orang lain yang sepandai dia. Bahkan sebagian di antara mereka itu buta huruf. Mereka hanya dapat belajar dengan mendengarkan saja.
Si Pincang membacakan kata-kata dari lagu rohani yang telah mereka hafalkan, yang halamannya telah ditandai oleh Renoso. Berkali-kali mereka menyanyikannya. Lalu dengan susah payah, kata demi kata Si Pincang membacakan kata-kata dari lagu-lagu lain. Ia juga membacakan isi majalah Kelahiran Kembali. Ada yang sama sekali tidak dapat mereka pahami. Tetapi ada juga yang jelas artinya, karena masih ada hubungannya dengan hal-hal yang sudah disebut-sebut oleh Renoso.
"Bagaimana kita dapat menyanyikan lagu-lagu yang lain itu?" tanya Nenek Tua. "Melodi yang diajarkan Renoso itu tidak cocok dengan kata-kata yang lain."
Memang betul. Sudah berkali-kali mereka berusaha mencocokkan not-not itu pada lagu-lagu rohani yang lain, tetapi sia-sia semua.
"Mari kita membuat melodi sendiri," usul Si Pincang dengan mantap. "Kata-kata itulah yang akan menjadi penunjuk, bagaimana kita dapat menyanyikannya." Maka dengan gembira mulailah mereka ramai-ramai membuat dan menyanyikan lagu-lagu rohani dengan melodi-melodi baru.
Pada suatu hari Si Pincang melihat sebuah iklan dalam majalah Kelahiran Kembali. Iklan itu dari sebuah toko buku Kristen di Lima, ibu kota Peru. Di dalam iklan itu disebutkan juga buku lagu rohani yang sudah mereka miliki. Katanya, buku itu dapat dibeli dengan harga sekian.
Lalu si Pincang menemukan sesuatu yang mengejutkan sekali dalam iklan itu. Alkitab juga dapat dibeli! Alkitab yang sama seperti Alkitab milik Renoso! Dengan berjalan tertatih-tatih Si Pincang cepat-cepat pergi ke rumah Kakek Tua dan rumah Paman Besar untuk memberitahukan berita baik itu.
Malam itu mereka berkali-kali menghitung ongkosnya. Akhirnya mereka berhasil memposkan sepucuk surat kepada toko buku Kristen di kota Lima. Pesanan mereka: beberapa Alkitab, beberapa buku lagu rohani, dan beberapa barang cetakan yang lain.
Para pengurus toko buku di ibu kota itu heran. Setahu mereka, tidak ada seorang pun di desa pegunungan yang terpencil itu. Namun mereka segera melayani pesanan itu. "Tayabamba, . . ." sewaktu-waktu mereka berkata satu kepada yang lain. "Siapa kira-kira yang ingin punya Alkitab dan buku lagu rohani di desa Tayabamba?"
Alangkah senangnya Si Pincang, Paman Besar, dan Kakek Tua ketika pospaket yang dimuat di atas punggung seekor bagal itu tiba! Banyak penduduk desa berkumpul pada saat bungkusan itu dibuka. Tetapi orang-orang percaya itu tidak memperhatikan bahwa ada juga musuh-musuh mereka yang mengerutkan dahi. Mereka tidak peduli, oleh karena mereka begitu penuh dengan sukacita: Kini mereka mempunyai Alkitab yang sama seperti Alkitab milik Renoso.
Dengan Alkitab dan buku lagu rohani di dalam tangan mereka masing-masing, semua orang Kristen yang sudah dapat membaca sedikit itu makin lama makin pandai. Memang mereka harus membaca dalam bahasa Spanyol dan bukan dalam bahasa daerah, namun mereka berhasil juga.
"Lihat ini," kata Paman Besar sambil menunjuk pada sebuah majalah Kristen. "Di sini ada gambar anak-anak yang disuruh berkumpul untuk mendengarkan cerita-cerita Alkitab. Kenapa kita tidak menirunya? Belajar ayat-ayat dan lagu-lagu rohani itu sangat berguna bagi anak-anak."
"Gagasan yang baik!" kata Si Pincang. "Mari kita adakan sekolah untuk anak-anak di desa ini!"
Dan mulailah mereka mengadakan Sekolah Minggu untuk anak-anak. Hanya saja, mereka belum tahu ada istilah khusus "Sekolah Minggu", maka mereka menyebutnya "sekolah" saja.
"Nah, lihat!" kata musuh-musuh orang Kristen di daerah itu. "Mereka telah membuka sekolah tanpa izin!"
Alangkah terkejutnya Paman Besar, Kakek Tua, dan Si Pincang serta beberapa teman pria mereka ketika mereka ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara!
Mereka semua dimasukkan ke dalam satu sel yang kotor dan gelap. Tiga perempat dari lantainya basah. Di sel itu hanya ada satu jendela, dan itu pun tinggi di atas kepala mereka. Pintu besar dari balok-balok kayu itu dipalang rapat-rapat.
Para ibu diizinkan membawakan jerami dan tikar ke penjara sebagai tempat-tempat tidur. Sekali sehari mereka pun boleh mengirim makanan. Tetapi pintu itu tetap terkunci, dan tidak ada seorang pun di dunia luar yang tahu, bagaimana masib para tahanan itu kelak.
Sepanjang hari orang-orang Kristen yang sedang ditahan itu hanya dapat duduk-duduk saja.
Satu hari lewat. Lalu tibalah hari kedua.
"Aku ada akal," kata Si Pincang. "Mari kita kirim telegram kepada toko buku Kristen di kota Lima. Mungkin para penjual Alkitab itu dapat mengutus seseorang untuk menolong kita."
"Wah, nekat sekali usul itu!" balas Kakek Tua. "Tetapi siapa lagi yang mau menjadi teman kita?" Lalu ia mengeluh lirih; sendi-sendinya yang tua itu sudah terasa pegal karena ia harus duduk lama pada lantai yang lembab.
Nenek Tualah yang bersedia mengirimkan telegram. "Tapi sebaiknya jangan dari sini," katanya. "Akan ketahuan oleh musuh-musuh kita. Biar aku besok jalan kaki ke desa yang lain, lalu mengirimkannya dari sana.
Hari ketiga pun tiba . . . dan lewat pula.
"Aku ada akal lagi," kata Si Pincang. "Mari kita menyanyikan lagu-lagu rohani!"
Maka mulailah mereka menyanyi. Penjaga penjara itu heran mendengar nyanyian-nyanyian yang ria dari sel yang gelap itu. Berturut-turut mereka menyanyikan semua lagu yang sudah mereka hafal. Lalu mereka mengarang sendiri melodi-melodi baru untuk lagu-lagu yang kata-katanya sudah mereka dengar.
Tiap-tiap hari mereka menyanyi, bahkan kadang-kadang sampai jauh malam. Di antara saat-saat menyanyi itu, mereka pun bercakap-cakap dengan hati yang senang, serta membuat rencana tentang kegiatan mereka setelah dibebaskan kelak.
Pada suatu hari ada kabar yang menyedihkan: Istri dari salah seorang tahanan itu meninggal.
Para tahanan lainnya berusaha menghibur dia. Mereka juga berusaha membujuk penjaga penjara agar ia mengizinkan orang itu pulang selama satu hari saja.
"Biarkan dia pulang!" Penjaga penjara itu kaget pada saat ia membeo seruan yang terdengar dari sel yang gelap. "Wah, bisa-bisa ia melarikan diri!"
"Bukakan pintu!" seru Paman Besar. "Pasti dia akan kembali lagi."
Dengan ragu-ragu penjaga penjara itu akhirnya membukakan pintu. Orang yang istrinya baru mati itu diperbolehkan pulang.
Petang harinya, ia memang datang kembali ke penjara. "Terima kasih banyak, Suadara," katanya kepada penjaga. "Keluargaku merasa terhibur oleh karena aku diizinkan pulang untuk turut menguburkan istriku."
Penjaga itu melongo keheranan. "Aneh benar ajaran baru ini!" gumamnya. "Siapa yang percaya bahwa seorang tahanan dengan sukarela akan kembali ke penjara?"
Seminggu . . . lalu dua minggu lewatlah sudah.
"Untung sekali kita dipenjarakan!" kata Si Pincang dengan semangat. "Kalau kita sibuk dengan tugas sehari-hari, pasti tidak ada waktu untuk mempelajari lagu-lagu rohani ini."
Ia berdiri di pojok sel yang paling basah, di mana seberkas cahaya dari jendela tinggi itu menyinari buku nyanyiannya. "Nah, di sini ada sebuah lagu rohani berupa doa, . . . seruan minta keberanian dan kesabaran; Tentu saja kita perlu keberanian dan kesabaran; jangan-jangan seumur hidup kita akan tetap terkurung di dalam kegelapan ini!" Maka mulailah Si Pincang menyanyikan lagu baru itu.
Pada suatu hari penjaga penjara berbicara dengan sungguh-sungguh kepada para pamong desa Tayabamba. "Lebih baik mereka dibebaskan saja," begitulah nasihatnya. "Telingaku pekak mendengar nyanyian mereka yang tak kunjung berakhir. Apalagi ada tahanan-tahanan lain yang mulai terpengaruh oleh ajaran-ajaran mereka. Tambahan pula, mustahil kita dapat terus menahan mereka dengan alasan yang sepele saja."
Para pamong desa mengerutkan dahi. Mereka juga merasa terganggu dengan nyanyian yang terus menerus berkumandang itu. Apalagi, banyak penganggur sudah mulai berkumpul di luar tembok penjara. Penyanyi-penyanyi di dalam kegelapan itu sudah banyak menarik perhatian.
Akhirnya para pamong desa itu mengambil keputusan: "Baiklah, lepaskan mereka."
Penjaga penjara itu tidak menunda-nunda. Segera ia melangkahkan kakinya ke arah pintu penjara. Palang dan kunci dibukakannya semua. "Bebas, kalian semua bebas!" serunya ia tersenyum, karena dalam hati ia merasa kagum akan para tahanan yang tabah hatinya itu. "Pulanglah dengan selamat!"
Gembira sekali suasana pada malam itu di rumah setiap orang Kristen. Kemudian mereka semua berkumpul di rumah Paman Besar. Di sana mereka menyanyi, sama seperti waktu mereka menyanyi di dalam kegelapan. Di sana pula mereka mengucap syukur oleh karena masa tahanan mereka sudah lewat.
Beberapa hari kemudian, seorang penginjil memasuki desa Tayabamba dengan menunggang seekor bagal. Telegram kepada toko buku Kristen itu memang sudah diterima. Secepat mungkin penginjil itu dikirim ke sana.
Sesampainya di desa Tayabamba, penginjil itu agak bingung tentang hukum yang berlaku di sana. Namun ketika ia mendengar bahwa semua tahanan itu telah dibebaskan, hatinya lega. Sekarang ia dapat memakai waktunya dengan lebih terarah.
"Tiga puluh orang di sini sudah mulai membaca Alkitab," Si Pincang menjelaskan. "Lebih dari tiga puluh orang yang suka mendengar ajaran-ajarannya. Tetapi kami semua perlu lebih tahu bagaimana caranya mengikuti Tuhan Yesus."
Maka selama beberapa hari penginjil itu menetap du desa Tayabamba. Sesuai dengan permintaan Si Pincang, ia menolong orang-orang Kristen baru itu agar "lebih tahu bagaimana caranya mengikuti Tuhan Yesus." Ia pun bercerita kepada mereka tentang umat Kristen lainnya di seluruh dunia. Lalu ia pergi lagi, dengan janji akan datang kembali sewaktu-waktu.
Satu demi satu ada lagi penduduk desa Tayabamba yang rela mulai membaca Alkitab atau rela mulai mendengarkan pembacaannya. Satu demi satu ada lagi orang-orang baru yang percaya kepada Tuhan Yesus. Jumlah umat Kristen di desa itu tidak lagi hanya berpuluh-puluh orang saja, melainkan beratus-ratus orang.
Kadang-kadang penjaga penjara di desa Tayabamba itu masih suka bingung. Aneh . . . katanya pada dirinya sendiri, sejak aku membebaskan tahanan-tahanan itu, kejahatan di sini semakin berkurang. Tidak lagi sering terjadi perkelahian atau perjudian; tidak lagi banyak orang yang mabuk-mabukan. Tentu ini adalah perubahan cara hidup yang mengagumkan . . . berkat adanya penyanyi-penyanyi di dalam kegelapan itu!
TAMAT
Marianna Slocum sudah tahu bagaimana cara kehidupan di kota. Bukankah gadis Amerika itu telah dibesarkan di kota besar Philadelphia? Bukankah ayahnya seorang dosen dan penulis buku kesarjanaan yang cukup terkenal di bidangnya? Bukankah si Marianna sudah terbiasa dengan rumah yang nyaman, buku dan majalah, bahkan segala sesuatu yang lazim bila merasakan enaknya hidup di kota besar?
Namun pada musim panas tahun 1940, si Marianna sedang sibuk belajar bagaimana tidur di tenda. Ia pun sedang belajar bagaimana mencari dan menyiapkan makanannya sendiri, bagaimana mempertahankan hidupnya di tengah-tengah hutan rimba.
Sejak tahun ketiga masa kuliahnya, Marianna Slocum sudah merasakan panggilan Tuhan untuk menjadi seorang penerjemah Alkitab bagi suku terasing. Ia ingin melayani suku yang masih biadab, suku yang belum mempunyai bahasa yang tertulis. Untuk dapat mencapai cita-citanya itu, tentu saja si Marianna harus tahu bagaimana cara hidup di tempat yang jauh dari kota. Itulah sebabnya pada musim panas tahun 1940 ia memasuki suatu perkemahan khusus sebagai pusat pelatihan para calon penerjemah Alkitab.
Di antara kaum muda Kristen yang sedang mengikuti latihan yang cukup berat itu, ada juga seorang pemuda Kristen bernama Bill Bentley. Mulailah terjalin persahabatan yang akrab antara si Bill dan Marianna Slocum.
Apakah itu kebetulan saja bahwa kedua penerjemah muda ditugaskan di negara yang sama, yakni Meksiko, negara tetangga Amerika Serikat di sebelah selatan? Bukan hanya itu saja: Marianna harus mendekati suku Indian Chol, yang daerah pemukimannya hanya sejauh satu hari perjalanan kaki dari daerah pemukiman suku India Tzeeltal, yang harus didekati oleh Bill.
Pada bulan Februari 1941, kedua hamba Tuhan yang masih muda itu bertunangan. Dan menjelang pertengahan tahun itu juga, mereka pun pulang dulu ke Amerika Serikat agar dapat mempersiapkan pernikahan mereka.
Akan tetapi, . . . pernikahan itu tidak pernah terjadi. Pada tanggal 23 Agustus 1941, hanya berselang enam hari sebelum tanggal pernikahannya, Bill Bentley dengan tenang meninggal sewaktu tidur. Menurut pemeriksaan para dokter kemudian, ada kelainan pada jantungnya suatu kelemahan fisik yang tak terduga sebelumnya.
Calon suami Marianna Slocum itu sudah tidak ada lagi. Namun panggilan Tuhan masih tetap ada. Maka seorang diri Marianna kembali ke negeri Meksiko. Tetapi ia tidak kembali ke tempat tinggalnya yang dahulu: Ia telah mendapat persetujuan atasannya, agar diperbolehkan pindah tugas ke suku Indian Tzeltal, untuk meneruskan pekerjaan Bill yang belum selesai itu.
Di daerah pemukiman suku Tzeltal itu, ada sebuah perkebunan kopi milik orang Jerman. Di sana Marianna menyewa kamar yang dulu ditempati Bill. Tidak lama kemudian, ada seorang pemudi lain yang datang menemani dia dalam tugas terjemahannya itu.
Sulit sekali mendekati suku Indian Tzeltal! Pergaulan mereka dengan orang Barat telah merusak adat mereka. Banyak di antara mereka yang bermabuk-mabukan; banyak juga yang suka berkelahi saja. Dan cukup jelas, mereka semua sangat membenci kedua pemudi yang telah datang dari Amerika Serikat dan tinggal di tengah-tengah mereka.
Teman sekerja Marianna itu tidak tahan lama; ia pulang saja. Kemudian ada pembantu lain lagi yang datang, tetapi ia pun tidak tahan lama. Baru pada tahun 1947 Marianna Slocum mendapat seorang rekan sepanggilan yang rela menemani di dalam jangka waktu panjang. Utusan Injil itu adalah seorang juru rawat bernama Florence Gerdel. Anehnya, kedatangan Florence ke Meksiko itu dengan maksud hanya menolong untuk sementara saja. Tetapi ternyata ia tetap bekerja sama dengan Marianna selama dua puluh tahun lebih.
Banyak halangan yang harus dihadapi oleh kedua wanita pemberani itu! Pemabukan, pengotoran lingkungan hidup, takhayul, kuasa gelap yang bekerja melalui para dukun ini semua menyulitkan usaha Florence untuk meningkatkan taraf kesehatan suku Tzeltal. Dan setiap hari Marianna harus bergumul berjam-jam lamannya, bekerja keras untuk dapat membedakan bunyi-bunyi yang diucapkan oleh orang-orang Indian itu. Ia pun harus bekerja keras untuk menyusun bunyi-bunyi itu menjadi suatu bahasa yang tertulis.
Ternyata suku Indian Tzeltal itu mempunyai lebih dari satu bahasa. Marianna megambil keputusan untuk menyoroti dulu bahasa Oxchuc. Sedikit demi sedikit ia berhasil mengalihkan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa itu.
Hampir tujuh tahun setelah usaha penginjilan itu dimulai, barulah ada seorang suku Indian Tzeltal Oxchuc yang rela mengaku percaya kepada Tuhan Yesus di depan umum. Dia itu putra seorang dukun. Banyak penganiayaan yang diterimanya! Namun ia tetap memberi kesaksian tentang imannya yang baru itu. Dan lambat laun ada lagi orang-orang Indian yang menjadi percaya.
Jumlah umat Kristen di antara suku Tzeltal itu meningkat menjadi puluhan orang, lalu ratusan orang, kemudian ribuan orang. Minggu demi minggu mereka setia datang ke tempat-tempat ibadah--walau di tengah-tengah musim hujan, walau harus mengarungi sungai yang sedang banjir sekalipun.
Tanggal 6 Agustus 1956 adalah suatu hari yang amat bahagia bagi Marianna Slocum, Florence Gerdel, dan semua orang Kristen suku Tzeltal. Di langit nan biru nampaklah sebuah pesawat terbang kecil berwarna kuning. Pesawat kecil itu memuat barang yang sangat berharga: Sejumlah Kitab Perjanjian Baru yang sudah dicetak dalam bahasa Tzeltal Oxchuc. Setelah diadakan kebaktian pengucapan syukur, ratusan orang Indian antri untuk membeli Firman Allah dalam bahasa mereka sendiri.
Di samping Perjanjian Baru dalam bahasa Oxchuc, Marianna juga sudah menerjemahkan cerita-cerita yang paling penting dari perjanjian Lama, lagu-lagu rohani, dan buku-buku petunjuk pemberantasan buta huruf. Rasanya tugas Bill yang tidak sempat dikerjakannya dulu itu sudah selesai. Teman Marianna, Florence, juga sempat melatih beberapa orang setempat untuk meneruskan pelayanan medis itu.
Itulah sebabnya pada bulan April tahun 1957, Marianna Slocum dan Florence Gerdel menaiki sebuah pesawat terbang yang kecil. Tidak lama kemudian, setelah mendarat lagi, mereka harus berjalan kaki melalui hutan rimba selama enam jam. Barulah mereka tiba di tempat mereka akan mulai lagi dari nol di tengah-tengah suku terasing lain.
Namun ternyata kali ini tugas Marianna tidak seberat tugasnya yang pertama. Orang-orang Indian di tempat tinggalnya yang baru itu masih termasuk suku Tzeltal, walaupun mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda. Pengalaman Marianna dalam menguasai bahasa Oxchuc itu sangat menolong usahanya untuk menguasai bahasa Bachajon.
Dulu, Marianna menghabiskan 16 tahun untuk menerjemahkan seluruh Perjanjian Baru ke dalam bahasa Oxchuc. Tetapi ia hanya menghabiskan separo waktu itu untuk menerjemahkan Perjanjian Baru dalam suatu bahasa yang semulanya belum tertulis.
Marianna dan Florence rajin bersaksi bagi Tuhan Yesus selama delapan tahun mereka tinggal di antara suku Indian Tzeltal Bachajon itu. Berkat kerja keras mereka, sudah ada sebanyak empat puluh jemaat di desa-desa suku Indian itu. Jadi, ada banyak orang Indian yang antri untuk membeli Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa mereka sendiri.
Pada hari yang menggembirakan itu, ada satu pertanyaan yang sering terdengar dari para orang Kristen suku Indian:
"Berapa harganya Alkitab yang baru itu?"
Secara harfiah, jawabannya ialah: "Tujuh belas setengah peso uang Meksiko." Namun pembayaran sekian itu hanyalah sebagian kecil harga yang harus dibayar oleh Marianna Slocum agar terwujud Firman Tuhan dalam bahasa Bachajon: Rasa kesepian, sakit-penyakit, cara hidup yang amat primitif, tinggal jauh dari keluarga dia rela mengalami semuanya demi suku-suku terasing, supaya mereka dapat mendengar Berita Baik tentang Tuhan Yesus.
Dan bukan hanya itu saja: Sekali lagi, rupa-rupanya tugas Marianna dan Florence di antara suku Indian Tzeltal Bachajon itu sudah selesai. Jadi, mereka berdua meninggalkan negeri Meksiko dan mulai lagi dari nol di tempat pemukiman suku terasing lain di daerah pegunungan negeri Kolombia.
TAMAT
Bagaimana kita dapat mengatakan unta dalam bahasa yang dipakai oleh suku Eskimo?"
Itu salah satu persoalan pelik yang membuat pusing para penerjemah Alkitab di sebelah utara negeri Kanada.
"Tidak ada kata untuk unta dalam bahasa suku Eskimo," kata penerjemah yang satu kepada penerjemah yang lain. "Lagi pula, tidak ada seorang Eskimo pun di daerah dingin di sebelah utara ini yang pernah melihat seekor unta."
Pada waktu itu, belum ada televisi atau video ataupun bioskop. Tidak ada cara yang tepat untuk dapat memperlihatkan kepada suku Eskimo, binatang macam apa seekor unta itu. Padahal kata unta berkali-kali diperlakukan dalam terjemahan Firman Tuhan.
Persoalan-persoalan pelik seperti itu sering membuat pusing para penerjemah Alkitab. Sepanjang abad mereka harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti: "Bagaimana kita dapat mengatakan hal ini? Kata apa yang tepat untuk maksud ini? Bagaimana paham ini dapat kita gambarkan dengan kata-kata sehingga mulai dipahami. padahal pahamnya sendiri belum pernah trpikirkan?"
Di seluruh dunia di pegunungan tinggi, di hutan rimba, di gurun pasir, di padang pasir, di padang luas yang berlapis salju tiap kali para penerjemah berusaha mengalihbahasakan Firman Tuhan, mereka pun menghadapi banyak persoalan pelik. Tidak heran jikalau mereka sering dibuat pusing olehnya!
Para sarjana yang hendak menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa suku Eskimo itu, akhirnya harus menggambarkan unta sebagai binatang semacam rusa besar yang aneh.
Berikut ini ada beberapa contoh lain dari kata-kata yang ternyata sulit diterjemahkan. Namun dengan berbagai-bagai cara para penerjemah akhirnya juga dapat memecahkan setiap persoalan pelik itu, misalnya sebagai brikut:
"Karena kasih karunia kamu diselamatkan," demikianlah seorang penerjemah pernah membaca dari Efesus 2:8. "Bagaimana paham kasih karunia itu tinggal di pulau daerah Lautan Pasifik ini?"
Akhirnya ditemukan sebuah kata. Artinya, pemberian. Tetapi bukan sembarangan pemberian! Maksudnya jauh lebih dalam daripada itu.
Artinya, pemberian tanpa imbalan, pemberian yang semestinya tidak diberikan. Lagi pula, yang menerima pemberian macam itu tidak usah membayar.
Namun ternyata maksudnya masih lebih dalam lagi.
Artinya, pemberian yang menyatakan kebaikan terhadap seseorang yang seharusnya justru diperlakukan dengan tidak baik, setimpal dengan perbuatannya sendiri yang tidak baik itu.
Nah, bagaimana sang penerjemah dapat menemukan sebuah kata dengan arti yang sedemikian dalam?
Ia mula-mula mendengar istilah itu pada waktu ia memberikan sesuatu kepada seseorang. Ada teman-temannya di antara suku setempat di pulau itu yang sangat tidak setuju. "Mengapa Bapak mau memberikan sesuatu kepada orang itu?" mereka memprotes. "Dia kan musuh Bapak!"
Lalu mereka memakai kata yang sudah lama dicari-cari itu: "Bapak telah memberikan yang baik kepada seseorang yang seharusnya justru menerima yang tidak baik!"
Banyak istilah kiasan yang dipakai dalam berbagai macam bahasa! Misalnya, dalam bahasa Indonesia sang surya disebut: matahari . . . padahal kita semua tahu bahwa hari itu sesungguhnya tidak mempunyai mata. Demikian juga kita suka mengatakan mata kuliah, dan mata air, dan mata rantai, dan mata uang.
Tetapi apa gerangan maksud istilah mata jarum, yang biasa dipakai dalam bahasa Inggris? Hal yang sama itu, oleh suku Indian Otomi di Meksiko disebut: telinga jarum. Suku Indian Kekchi di Guatemala menyebutnya: muka jarum. Dan dalam salah satu bahasa lain lagi, hal yang sama juga disebut: kaki jarum.
Apakah jarum itu mempunyai mata? telinga? muka? kaki?
Mungkin sudah dapat diterka bahwa maksud yang sebenarnya dari semua istilah itu ialah: lubang jarum. Tuhan sendiri menyebutkannya secara kiasan dalam Markus 10:25, dikaitkan dengan unta tadi.
Menurut Markus 15:29, banyak orang mengejek Tuhan Yesus pada saat Ia disalibkan, dengan "menggelengkan kepala mereka." Tetapi dalam bahasa Subanun di Philipina, ayat itu harus diterjemahkan: "menganggukkan kepala mereka." Soalnya, suku Subanun di pulau Mindanao itu biasa mengejek orang dengan berangguk-angguk, dan bukan dengan bergeleng-geleng!
Dalam Wahyu 3:20, Tuhan Yesus berkata: "Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk." Tetapi dalam bahasa Zanaki di Tanzania, Afrika Timur, kalimat itu harus diterjemahkan: "Aku berdiri di muka pintu dan memanggil." Soalnya, jika ada orang dari suku Zanaki yang mengetuk pintu, pasti dia itu seorang pencuri. Di sana pencuri suka datang pada waktu malam dan mengetuk pintu dulu, kalau-kalau ada orang yang masih belum tidur. Jika tidak ada yang menyahut, barulah si pencuri itu berani menerobos masuk.
Berikut ini ada beberapa pertanyaan yang pernah harus dihadapi oleh para penerjemah Alkitab di seluruh dunia; cara mereka menjawab tiap pertanyaan itu pun tertera di sini:
Kata apa yang harus kita pakai untuk guru?
Pengukir pikiran.
Kata apa yang harus kita pakai untuk pintu gerbang?
Mulut jalan?
Kata apa untuk timur?
Tempat kelahiran pagi.
Kata apa untuk awan?
Kegelapan milik hujan.
Bagaimana dengan kata mencium? Orang-orang yang tinggal di
sini tidak pernah saling mencium.
Tetapi mereka itu saling meniup ke dalam telinga.
"Putih seperti salju" (Yesaya 1:18) sama sekali tidak
berarti untuk mereka yang tinggal di daerah
tropika yang panas terik ini.
Namun "putih seperti bulu burung bangau", mudah mereka pahami.
Adakah kata dalam bahsa Bambara untuk paham menebus?" tanya seorang penerjemah Alkitab di Afrika Barat. "Kata itu amat penting di dalam Alkitab, karena Tuhan Yesus menebus kita dari kuasa dosa dan maut."
Seseorang dari suku Bambara itu mengusulkan sebuah istilah yang secara harfiah berarti: "Tuhan Yesus melepaskan kepala kita."
Tetapi sang penerjemah itu bertambah bingung. "Bagaimana istilah itu dapat berarti menembus?" tanyanya.
Lalu orang Afrika itu bercerita, bagaimana dahulu kala para leluhurnya dijual sebagai budak orang Arab. Tiap budak belian itu dirantai lehernya dan digiring melalui kampung-kampung menuju pantai. Kalau kebetulan ada budak yang dilihat dan dikenali oleh seorang kepala kampung, ia dapat menebus orang itu dengan membayar sejumlah uang emas, gading, atau barang berharga lainnya. Bila harga tebusan itu telah dibayar, maka rantai dicopot dari leher budak, sehingga kepalanya lepas dari ikatan.
Maka demikianlah caranya para penginjil suku Bambara pada masa kini suka bercerita kepada orang-orang sebangsa mereka yang sedang duduk di sekitar api unggun: "Tuhan Yesus telah datang ke dunia ini untuk melepaskan kepala kita dari kungkungan dosa dan maut."
Di antara suku Karre di pedalaman Afrika, para penerjemah Alkitab mendapat kesulitan dalam mencari istilah yang tepat untuk Roh Kudus, yang datang sebagai Penghibur. Berkali-kali mereka menerangkan fungsi Roh Kudus, misalnya: meneguhkan orang Kristen, menghibur hatinya bila sedang berduka, menegakkan dan melindungi serta membimbing orang Kristen itu.
Setelah mendengar keterangan itu, para penduduk setempat segera berkata: "Seseorang yang jatuh di samping kita."
Namun para penerjemah bertambah bingung: Apa gerangan maksudnya?
Orang-orang dari suku Karre itu lalu menjelaskan:
"Bila seseorang mengangkut pikulan yang berat, lalu jatuh sakit dalam perjalanan dan tidak dapat berjalan terus sampai ke tujuannya, maka dia pasti kemalaman di jalan. Itu berarti ia diancam akan dirampok oleh orang jahat atau diterkam oleh harimau. Tetapi kalau kebetulan ada orang lain yang lewat dan orang itu berbelas kasihan kepadanya, lalu merawatnya, melindunginya dari segala macam bahaya, dan membawa dia ke tempat tujuannya, maka kita menyebut orang yang bersimpati itu: `seseorang yang jatuh di samping kita'."
Jelas sekali keterangan itu . . . sejelas perumpamaan Tuhan Yesus tentang orang Samaria yang murah hati! Maka dalam Alkitab bahasa Karre, para penerjemah mulai memakai istilah "seseorang yang jatuh di samping kita" untuk Roh Kudus, Sang Penghibur.
"Kata! Kata! Kata!" keluh Dr. Edwin Smith. "Seandainya aku mempunyai semua kata yang kuperlukan, pasti terjemahan Alkitab ini dapat cepat selesai."
Dr. Smith dan kawan-kawan sekerjanya di Malawi, Afrika Timur, sedamg menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Ila, supaya Firman Tuhan dapat dibaca dan dipahami di daerah itu.
Salah seorang Afrika itu memandang Dr. Smith dengan raut muka yang menyatakan rasa simpati. "Bahasa Ila yang kami pakai di sini memang kekurangan kata, Pak," katanya. "Kadang-kadang tidak ada kata dalam bahasa kami yang cocok dengan paham dalam Kitab Suci."
"Ya, ya," kata Dr. Smith sambil iseng-iseng mengetuk-etukkan pensilnya di atas meja tulisnya. "Namun aku yakin ada juga kata-kata yang cukup tepat, . . . asal saja kita dapat menemukannya.
Mereka kembali kepada tugas yang sedang mereka kerjakan bersama. "Nah, ini! Kata percaya ini. Mazmur 56:4 berkata, `Waktu aku takut, aku ini percaya kepadaMu,' Percaya! Tidak ada lagi kata seperti itu dalam bahasa Ila."
Berulang kali Dr. Smith berusaha menjelaskan paham percaya. Berbagai cara digunakannya untuk menerangkan arti kata itu. Namun dengan segala jerih payahnya itu ia belum juga berhasil menemukan istilah yang cocok.
"Ah! Kita sudah capai." Dr. Smith meregangkan lengannya. "Sudah cukup lama kita memeras otak dengan tugas terjemahan ini. Mari kita mengerjakan yang lain saja. Dinding di ruang depan ini perlu dicat."
Dr. Edwin Smith tidak sama seperti sarjana-sarjana tertentu yang takut tangannya akan menjadi kotor kalau melakukan pekerjaan kasar sehari-hari. Maka ia sendiri pergi mengambil sebuah tangga bambu yang sudah agak rusak. Dan ia pun menyadarkan tangga itu pada dinding serta mulai mencat ruang depan.
Sambil bekerja, Dr. Smith sempat mendengar percakapan kawan-kawannya. Padahal kawan-kawannya itu merasa pasti bahwa karena sibuk mengecat, Dr. Smith tidak akan mendengar apa yang mereka bisikkan. Ternyata mereka memberi komentar tentang pekerjaan yang sedang dilakukan Dr. Smith.
Tiba-tiba Dr. Smith berhenti bekerja; cat dibiarkannya mulai menjadi kering pada kuasnya.
Kata apa yang baru saja didengarnya itu? Dalam benaknya ia mengulangi komentar tadi: Seandainya aku jadi dia, aku tidak mau percaya pada tangga bambu yang sudah setengah rusak itu; lihat saja, nanti dia jatuh!
Percaya! Nah, itu . . . istilah yang sudah lama mereka cari-cari!
Dr. Smith memang hampir jatuh, tetapi hal itu disebabkan oleh karena ia berpaling pada tangga bambu dan mengutip ayat tadi: ```Waktu aku takut, aku ini percaya kepadaMu.''' Dan ia memakai istilah dalam bahasa Ila yang baru saja dipakai oleh kawan sekerjanya itu.
Orang-orang Afrika itu memandang kepadanya, terheran-heran. Lalu salah seorang di antara mereka berseru: "Percaya! itukah arti istilahnya Pak?"
Berkali-kali orang Afrika itu mengulangi Mazmur 56:4, dengan memakai kata dalam bahasa Ila tadi: ```Waktu aku takut, aku ini percaya kepadaMu.''' Berulang-ulang ia menghafalkannya sambil berpikir. "Nah, barulah jelas, Pak. Baru kami mengerti maksudnya, jika dikatakan bahwa kita harus percaya kepada Tuhan."
Dr. Smith meneruskan pekerjaannya. Nanti cat akan menjadi kering semua, jika ia meninggalkan tugasnya begitu saja. Namun ia hampir tidak dapat menahan diri. Ia ingin segera turun dari tangga yang sudah agak rusak itu (walau ia memang percaya padanya). Ia ingin segera kembali ke meja tulisnya dan mencatat istilah yang baru ditemukannya itu, agar terjemahan Alkitab dalam bahasa Ila dapat menjadi semakin jelas.
TAMAT
Di lautan dekat pantai negeri Inggris, terdapat sebuah pulau kecil yang sangat indah, seindah impian. Kalau pada hari-hari tertentu badai hujan sedang mengamuk, gelombang-gelombang besar menghantam pulau itu dan angin kencang menamparnya. Tetapi pada hari-hari lainnya matahari bersinar lembut, dan pulau kecil itu nampaknya bagaikan batu permata di tengah laut. Ombak-ombak kecil berdatangan membelai-belai pantainya, lalu surut kembali dan menghilang di dalam samudra.
Nama pulau kecil itu bagaikan lagu pada bibir orang yang mengucapkannya. Kalau seseorang mengucapkan kata indah "Lindesfarne", seakan-akan ada rasa puas yang meliputi hatinya.
Pulau itu pun diberi nama julukan: "Pulau Suci." Nama yang manakah yang lebih tepat? Biarlah setiap pembaca menilainya sendiri.
Lebih dari seribu tahun yang lampau, kira-kira pada tahun 690 M., di pulau Lindesfarne ada seorang biarawan Kristen bernama Eadfrith. Dialah bapak kepala dari semua biarawan yang terkumpul di tempat yang terpencil itu. Mereka sengaja berkumpul di sana agar dapat melayani Tuhan Yesus dan sesama manusia tanpa gangguan dari dunia luar.
Raut muka Eadfrith mencerminkan ketenangan dan keberanian. Dan memang ia memerlukan sifat-sifat itu, karena masa hidupnya adalah masa yang sangat berbahaya. Siapa yang tahu, kapan para penyerbu suku Viking yang garang itu akan datang dari benua Eropa dan menyerang pulau Lindesfarne? Mereka itu suka naik perahu-perahu panjang yang haluannya berukiran naga. Dengan tak terduga mereka tiba-tiba akan mendarat di suatu tempat yang sebelumnya aman. Kemudian tempat itu dilanda teriakan perang dan perbuatan teror, sampai semua penduduknya tewas dan semua bangunannya terbakar.
Namun raut muka Eadfrith tetap mencerminkan ketenangan dan keberanian. Bahkan ia berani mengimpikan suatu masa depan yang indah. Pada waktu yang dibayangkannya itu, seluruh umat manusia akan meletakkan pedang dan tombak mereka, dan akan mengikuti seorang Pemimpin yang mengibarkan bendera kasih.
Eadfrith bukan hanya mengepalai sekelompok kecil kaum pria yang tinggal di dalam biara di pulau Lindesfarne itu: Ia pun suka bekerja bersama-sama dengan mereka. Ia telah menyediakan sehelai kulit domba yang sangat halus, sehingga layak menjadi tempat penulisan Firman Tuhan. Dan di atas kulit yang halus itu, dengan panjang sabar Eadfrith mulai menyalin keempat Kitab Injil yang menceritakan masalah pelayanan Tuhan Yesus di dunia ini. Karena (demikianlah pikir Eadfrith) bagaimana pedang dan tombak akan berhenti mengamuk, kecuali jika Kabar Baik tentang Tuhan Yesus itu diberitakan dimana-mana? Hanyalah Tuhan Yesus yang sanggup menyelamatkan dunia dari dosa dan sengsara.
Hari demi hari, minggu demi minggu Eadfrith bekerja keras. Dengan seluruh keahliannya ia menulis setiap huruf dalam naskah salinannya itu. Ada huruf-huruf yang polos saja; ada juga huruf-huruf (khususnya yang letaknya di permulaan pasal atau di kepala halaman) yang dibuat semarak dengan warna-warni yang indah. Di dalam kotak dan lingkaran yang menghiasi huruf-huruf besar itu dapat terlihat gambar para malaikat dan para hamba-hamba Tuhan dari masa lampau.
Hari demi hari, minggu demi minggu Eadfrith terus bekerja. Setiap kata disalinnya dengan huruf-huruf yang indah dan jelas. Kata demi kata, baris demi baris, seluruh isi keempat Kitab Injil itu diturunkannya dari naskah-naskah dalam bahasa Latin, yang merupakan satu-satunya Alkitab milik para biarawan di pulau Lindesfarne.
Musim demi musim berlalu. Pada musim semi, rerumputan bertaburan bunga di pantai pulau Lindesfarne yang sering terhantam badai itu. Warna-warna bunga itu menyamai warna-warna tinta yang berkembang dari kuas Eadfrith sehingga menjadi huruf-huruf besar yang terhias pada Kitab Injil Matius dan Kitab Injil Markus. Musim panas dan musim rontok pun lewat, dan tibalah musim salju. Masih tetap jari-jari Eadfrith yang kedinginan itu menelusuri baris-baris tulisan dari Kitab Injil Lukas dan Kitab Injil Yohanes. Kadang-kadang juru tulis yang panjang sabar itu harus berhenti dulu untuk memanaskan tangannya: Ia khawatir jari-jarinya yang kaku akan mencemarkan keindahan hasil karyanya.
Akhirnya seluruh pekerjaan penyalinan itu selesai. Helai-helai kulit domba yang telah bertuliskan keempat Kitab Injil itu disusun oleh tangan orang lain, bukan oleh tangan Eadfrith, sebab Bapak Eadfrith sudah meninggal. Waktu itu tahun 724 M., dan yang menjadi bapak kepala biara di pulau Lindesfarne adalah Ethelwald. Dialah yang menyuruh supaya dibuat suatu sampul keras, agar halaman-halaman dalam dari kitab yang terindah itu dapat terlindung dengan baik.
Billfrith, seorang rahib suci yang suka hidup sendirian, disuruh mengambil kitab itu. Ia seorang pandai perak dan emas yang sangat ahli. Dengan logam-logam berharga dan batu-batu permata ia menghiasi sampul dari salinan keempat Kitab Injil itu.
Pekerjaan Billfrith pun sudah selesai. Untuk terakhir kalinya tangan Billfrith yang cekatan itu menjamah Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah. Maka Kitab Suci itu dibawa dengan penuh khidmat ke ruang ibadat, yaitu ke tempat yang paling terhormat di seluruh pulau Lindesfarne. Di sana para biarawan berkumpul untuk mengucap syukur kepada Tuhan, oleh karena tidak ada halangan apapun dalam proses persiapan Kitab Suci yang telah mulai disalin oleh Eadfrith berpuluh-puluh tahun yang lampau.
Siapa yang tahu, berapa kali halaman-halaman yang indah itu dibolak-balikkan dengan hati-hati oleh tangan para biarawan? Siapa yang tahu, berapa kali kata-kata panjang dalam bahasa Latin itu dibacakan oleh mereka dalam kebaktian? Siapa yang tahu, berapa kali mereka mengucap syukur atas harta milik mereka, yaitu Firman Tuhan? Selama berpuluh-puluh tahun Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu menjadi kekayaan yang paling berharga dari para biarawan di pulau Lindesfarne.
Lalu . . . malapetaka yang sudah lama mereka khawatirkan itu tiba. Perahu-perahu panjang berukiran naga itu terlihat lagi di lautan lepas. Maka tahulah para biarawan bahwa penyerbu-penyerbu dari suku Viking itu sedang kian mendekat, dengan membawa serta teror dan api kemusnahan dan muat. Mereka sempat juga menemukan pulau Lindesfarne yang indah permai itu!
Dengan khidmat para biarawan mengangkat Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu dari tempatnya di ruang ibadah. Dengan tangan yang lembut mereka membungkusnya, agar harta mereka itu dapat dibawa serta dalam suatu perjalanan yang panjang. Pada suatu malam yang diterangi sinar bulan, bertolaklah mereka dengan naik sebuah perahu kecil. Mereka merahasiakan keberangkatan mereka, agar kekayaan mereka dapat dibawa dengan selamat ke negeri Inggris.
Setelah mendarat, kelompok kecil dari biara itu kemudian menjelajahi negeri Inggris, mencari suatu tempat yang aman. Mereka tidak berani kembali ke Lindesfarne, karena pulau kecil itu telah diserbu suku Viking yang garang. Selama brpuluh-puluh tahun, tidak ada lagi tempat pengungsian di sana.
Bahkan di Inggris pun rombongan pengungsi dari Lindesfarne itu dihadang bahaya. Kaum penyerbu dari suku Viking sewaktu-waktu menyerang pantai negara itu. Para biarawan mengambil keputusan untuk mencari sebuah pulau lain lagi di mana mereka dapat hidup dalam damai sejahtera serta dapat bekerja tanpa gangguan.
Lalu mereka menaiki sebuah kapal yang akan berlayar menuju pulau Irlandia. Kecil sekali kapal itu! Sedangkan lautan amat besar. Namun para pengungsi itu berani membawa serta Keempat Kitab Injil yang pernah disalin dengan penuh penyerahan diri oleh Eadfrith, almarhum kepala biara mereka.
Pada waktu kapal itu berlayar menuju Irlandia, timbullah badai besar. Angin dan ombak mencakar geladak dan tiang layar kepal kecil itu, serta merenggut apa saja yang dapat ditarik hingga hanyut. Para biarawan berjuang mati-matian untuk menyelamatkan diri mereka dari keganasan samudra. Namun keruan saja mereka menangis tersedu sedan pada saat mereka menyaksikan harta merreka, Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu, dijilat dan ditelan oleh gelombang yang nampaknya setinggi langit.
Akhirnya dengan susah payah kapal kecil itu berhasil kembali ke pantai negeri Ingggris. Para biarawan mengucap syukur kepada Tuhan oleh karena mereka telah luput dari maut. Mereka berkumpul di pantai, walau ombak masih amat tinggi. Hati mereka penuh dengan kerinduan; mata mereka menerawang jauh ke lautan lepas . . . lautan yang telah menelan kekayaan mereka.
Ternyata ada benda-benda yang terapung di permukaan samudra. Ada gumpalan gelagat laut, ada juga papan dan tambang dan layar yang terlepas dari kapal yang ditimpa badai itu. Dan . . . ada sebuah bungkusan kecil yang tadinya termasuk muatan kapal.
Setiap gelombang yang ditiup angin mengangkat benda-benda yang terapung itu tinggi-tinggi makin lama makin tinggi, sampai akhirnya semua gelagat dan papan dan bungkusan itu terhempas keluar dari jangkauan air laut yang pasang surut. Benda-benda itu terdampar di atas batu-batu runcing di pinggir samudra.
Badai telah mereda; angin bagaikan bisikan saja. Kebetulan pada hari itu air surut secara luar biasa, sehingga seluruh pesisir seolah-olah telanjang. Maka seluruh penduduk desa nelayan di daerah itu turun ke pinggir laut untuk mencari kalau-kalau ada barang berharga yang terdampar di batu karang. Beserta dengan mereka turun juga para biarawan.
Kaum nelayan itu memang menemukan sisa-sisa tiang layar, papan-papan, dan tambang-tambang. Mereka gembira atas harta yang telah mereka peroleh. Tetapi para biarawan itu tidak peduli. Sangat tipis harapan mereka, namun dengan tekun mereka menelusuri pantai yang masih basah itu.
Amboi, . . . apa itu? Di sana nampak sebuah bungkusan, terjepit di antara dua batu yang runcing. Sambil berseru seorang kepada yang lain, para biarawan itu mulai berlari-lari kecil di sepanjang pantai?
Apakah bungkusan itu hanya berisi pakaian? Ataukah barang lain? Atau . . . mungkin isinya . . . barang yang mereka cari.
Dengan rasa ingin tahu para penduduk desa nelayan berkumpul dan memperhatikan kaum biarawan pada saat mereka mulai membuka bungkusan itu. Tiada seorang jua di antara mereka yang pernah melihat benda apa pun yang menyerupai isi bungkusan itu:
Tengoklah, ada helai-helai besar terbuat dari kulit domba dan tersusun di dalam sampul yang berkilauan dengan emas dan perak! Batu-batu permata pada sampul kitab itu memantulkan sinar matahari; terangnya melebihi pantulan cahaya dari permukaan laut. Dan pada halaman-halaman besar itu terlihat baris-baris tulisan hitam yang dihiasi gambar-gambar yang semarak warnanya biru, hijau, merah, kuning keemasan.
"Terpujilah Tuhan Allah!" Demikianlah para biarawan berseru dalam doa. "Salinan Keempat Kitab Injil kekayaan kita masih terselamatkan!"
"Dan . . . masih utuh, hanya rusak sedikit saja," salah seorang biarawan menambahkan "Lihat, hanya beberapa halaman saja yang pinggirnya ternodai karena terkena air laut!"
Sekali lagi Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu mulai bepergian. Para biarawan membawa serta harta mereka yang paling berharga itu, sambil mondar-mandir mencari suatu tempat yang aman. Mereka tidak lagi berusaha mengantar kitab kekayaan mereka itu ke pulau Irlandia, walau beberapa orang di antara mereka memang pindah ke sana serta meneruskan keahlian mereka dalam membuat salinan Kitab Suci yang sangat elok.
Akhirnya pada suatu hari, kaum biarawan itu mencari perlindungan di sebuah biara kaum Kristen di kota Chester. Dan di sanalah mereka mendapat tempat perhentian untuk harta milik mereka. Para biarawan setempat melihat dengan rasa kagum akan hasil karya Eadfrith, bapak kepala biara dulu, serta Billfrith, rahib suci yang suka tinggal sendirian itu. Dengan penuh khidmat mereka membolakbalikkan halaman-halaman dari Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu. Sungguh mereka sadar bahwa hanya keahlian yang sangat tinggi serta kegigihan yang luar biasa dapat menghasilkan suatu benda yang sedemikian eloknya.
Para biarawan di kota Chester itu kurang terpelajar. Mereka hanya dapat berbicara dalam bahasa Inggris kuno. Sedikit saja di antara mereka yang pandai bahasa Latin, walau ada kerinduan besar pada mereka untuk dapat membaca Firman Tuhan dalam bahasa kesarjanaan itu.
Maka salah seorang biarawan itu yang bernama Aldred mengutarakan suatu gagasan baru. Rencana itu dijelaskannya kepada kaum pengungsi dari pulau Lindesfarne. Setelah lama berpikir dan lama berdoa, para biarawan pendatang itu menyetujui rencana Aldred.
Pohon-pohon buah apel mengeluarkan bunganya; lebah-lebah mendengung di padang rumput yang harum. Namun Aldred tidak mendengar suara lebah atau mencium wangi bunga. Ia pun tidak menghiraukan burung-burung yang berkicau, menyongsong kedatangan musim semi.
Aldred duduk menghadapi halaman-halaman besar yang indah itu. Di antara setiap baris tulisan Salinan Keempat Kitab Injil itu ada tempat kosong--seolah-olah sejak semula dimaksudkan untuk diisi dengan sesuatu. Di dalam ruang-ruang luas itulah Aldred menulis arti dalam bahasa Inggris kuno dari setiap kata bahasa Latin.
Baris demi baris, halaman demi halaman, Kitab Injil demi Kitab Injil semuanya disisipi oleh Aldred dengan bahasanya sendiri, yaitu bahasa sehari-hari yang dipakai oleh para rekannya di biara itu.
Karena bagaimanakah pedang dan tombak akan berhenti mengamuk (demikianlah pikir Aldred), kecuali jika Kabar Baik tentang Dia yang sanggup menyelamatkan dunia dari dosa dan sengsara itu akan diberitakan di mana-mana? Dan bagaimanakah Kabar Baik itu akan diberitakan, kecuali jika setiap orang dapat memahaminya dalam bahasanya sendiri?
Angin badai masih tetap menghantam pantai Lindesfarne, yaitu "Pulau Suci." Lebah-lebah masih tetap mendengung di antara pohon-pohon buah apel di kota Chester yang kuno. Dan di dalam suatu museum di ibu kota London, tempat bangsa Inggris suka menyimpan harta milik mereka yang paling berharga, Salinan Keempat Kitab Injil yang Paling Indah itu masih tetap dapat dilihat. Para pengunjung yang datang ke sana boleh memandang dengan mata kepala sendiri kata-kata itu yang pernah ditulis oleh Eadfrith di pulau Lindesfarne dan oleh Aldred di kota Chester, . . . lebih dari seribu tahun yang lalu.
TAMAT
John Eliot bersandar pada kayu rimbat ketika kapal layar yang sedang ditumpanginya itu memasuki pelabuhan kota Boston. Waktunya, bulan November tahun 1631. Sesudah tujuh minggu melintasi Lautan Atlantik, John Eliot sempat melihat negeri yang akan menjadi tempat tinggalnya yang baru.
John Eliot baru berusia 27 tahun; namun di tanah airnya, negeri Inggris, ia sudah cukup ternama. Di Universitas Cambridge yang terkenal itu ia telah diwisuda pada umur yang sangat muda: baru 18 tahun! Kemudian ia menjadi seorang guru dan pendeta pembantu.
Namun John Eliot merasa tidak betah tinggal di tanah airnya. Raja Ingris dan para pemimpin gereja segan memberi kebebasan beragama kepada orang-orang Kristen yang tidak sependapat dengan mereka. Sejak tahun 1620, sebelas tahun yang lalu, ada orang-orang Kristen Inggris yang mulai mengungsi ke daerah Massachusetts, Amerika Utara, agar mereka dapat berbakti menurut keyakinan mereka sendiri. Kini John Eliot hendak menggabungkan diri dengan kelompok kecil pendatang baru itu.
Pada saat pendeta muda itu sedang mengamat-amati pemandangan di pelabuhan kota Boston, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatiannya: Sebuah perahu meluncur dari pantai menuju ke kapal yang sedang di tumpanginya. Beberapa orang yang berkulit agak kecoklat-coklatan mendayungkan perahu itu. Mereka berpakaian kulit binatang dan bulu burung. Sambil berdayung di sekeliling kapal layar yang baru tiba dari Inggris itu, mereka bercakap-cakap dengan bunyi yang aneh, seolah-olah dari tenggorokan dan bukan dari mulut.
John Eliot menarik napas panjang. Dalam hati ia berkata: Wah, pasti ini orang-orang suku Indian!
Sudah lama ia mendengar tentang orang-orang suku Indian, tetapi baru sekarang ia sempat melihat mereka dengan mata kepala sendiri. Teringatlah dia bahwa di antara mereka ada yang bersikap ramah tehadap para pendatang baru, seperti misalnya seorang kepala suku yang bernama Massasoit. Tetapi ada juga orang-orang Indian yang menentang kehadiran kaum kulit putih, bahkan sampai terjadi penumpahan darah.
John Eliot tahu ada orang-orang Kristen yang menganggap para penduduk pribumi Amerika Utara itu sebagai binatang buas yang harus disingkirkan saja. "Serigala berotak manusia," demikianlah salah seorang pemimpin gereja menghina mereka. Namun Pdt. Eliot masih juga teringat akan teguran seorang pemimpin Kristen di Inggris terhadap saudara-saudara seimannya yang telah pergi ke daerah Massachusetts itu: "Mengenai orang-orang pribumi yang tewas itu, alangkah indahnya jika kalian lebih dulu membimbing mereka sehingga di antara mereka ada yang bertobat dan percaya!"
Istri dan anak-anak gubernur daerah Massachusetts telah menjadi kawan sekapal John Eliot selama menjelajahi lautan. Sang gubernur sendiri datang ke pelabuhan kota Boston untuk menyongsong kedatangan keluargannya. Ia juga menyambut pendeta yang masih muda itu. "Selamat datang, Pak Pendeta! Sudah ada gereja dan jemaat yang sedang menunggu pelayanan Bapak!"
Pendeta Eliot tentu merasa senang diterima dengan begitu ramah. Namun ia masih tetap memikirkan orang-orang suku Indian itu; matanya masih melirik ke arah perahu mereka yang sedang menuju pantai.
Siapakah yang akan melayani mereka? Siapakah yang akan mengajarkan mereka Sabda Allah? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tetap berkumandang dalam benaknya . . . .
Berpuluh-puluh tahun lamanya John Eliot melayani dengan setia di daerah Massachusetts mula-mula di Boston, dan kemudian di sebuah desa yang letaknya tiga kilometer dari kota itu. Pada tahun 1632, tunangannya dari Inggris menyusul, dan mereka pun menikah.
Para anggota jemaat amat mengasihi Pendeta Eliot. Khotbahnya sederhana, namun mengandung arti yang dalam. "Di pinggir ada perairan yang cukup dangkal, sehingga anak-anak domba dapat bermain dengan aman," demikianlah salah seorang anggota gerejanya menggambarkan cara John Eliot berkhotbah. "Namun, ada juga perairan yang cukup dalam, sehingga gajah-gajah pun dapat berenang!"
John Eliot dan Anne, istrinya, dikaruniai enam anak. Uang jasa yang mereka terima itu tidak begitu banyak. Namun mereka selalu bersedia menolong siapa pun yang dalam kesulitan. Jika ada yang sakit, Ibu Anne Eliot membuat ramuan obat tradisional dari tumbuh-tumbuhan. Jika ada yang kekurangan uang, Pdt. John Eliot rela memberi sumbangan, bahkan sampai menyerahkan setiap sen yang dimilikinya.
Sewaktu-waktu John Eliot sempat bertemu lagi dengan orang-orang suku Indian itu. Kadang-kadang mereka keluar dari hutan untuk berdagang secara tukar menukar. Kata orang, bahasa mereka belum pernah ditulis. Suara-suara mereka selalu terdengar rendah dan serak, seakan-akan mereka berbicara dengan lekum saja. Rupa-rupanya mereka bersifat agak pemalas; kesukaan mereka berburu, memancing, dan tidur siang. Bahkan kadang-kadang mereka menjadi pencuri, pemabuk, dan jago berkelahi.
Pada tahun 1637, di daerah lain beberapa orang Indian membunuh seorang pendatang berkulit putih. Sungguh hebat reaksi terhadap peristiwa itu! Ratusan orang Indian dibunuh; ratusan lainnya dikejar-kejar, sehingga mereka harus mengungsi ke tempat yang jauh-jauh.
"Yah, begitulah sifat suku Indian," kata kebanyakan orang kulit putih. "Kita harus tetap menyediakan senjata; kalau tidak, pasti mereka akan membinasakan kita!"
John Eliot mendengar semuanya itu. Namun ia masih tetap bertanya-tanya dalam hati: Apakah dalam menghadapi mereka kita memang harus menggunakan sejata? Ataukah Sabda Allah? Hanya saja, . . . bagaimanakah ia dapat menyampaikan Sabda Allah kepada orang-orang suku Indian itu, jika ia belum dapat bicara bahasa mereka?
Justru di tengah-tengah kesusahan dan peperangan itu, Tuhan membuka jalan. Pendeta Eliot mendengar berita tentang seorang tentara muda dari salah satu suku Indian yang hampir punah akibat perang. Pemuda Indian itu telah ditangkap dan dipaksa menjadi pembantu di rumah seorang penduduk di sebuah desa yang jauhnya hanya beberapa kilometer dari tempat tinggal Pendeta Eliot. Kata orang, majikannya telah berhasil mengajarkan bahasa Inggris kepada pembantu muda itu. Bahkan pemuda itu akan dibaptiskan menjadi anggota gereja!
John Eliot sangat tertarik. Ia memasang pelana dan menunggang kudanya ke desa itu. Di sana ia mulai berkenalan dengan seorang pemuda Indian yang rupa-rupanya memang cukup pandai.
"Siapa namamu?" tanya Pendeta Eliot.
"Ayub Nesutan, Pak," jawab mantan tentara suku Indian itu.
"Apakah kamu juga dapat berbicara bahasa suku Indian yang tinggal di sini, di daerah Massachusetts ini?"
"Dapat, Pak!"
Baru dua minggu kemudian, Bapak dan Ibu Eliot berhasil memindahkan Ayub Nesutan ke rumah mereka. Pemuda itu menjadi seperti salah seorang anggota keluarga mereka. Benar, dia cukup pandai. Dengan mudah John Eliot berhasil mengajar dia membaca dan menulis bahasa Inggris. Dan ia pun mulai mengajar Pendeta Eliot bahasa suku Indian setempat. Setiap malam, sehabis menunaikan tugas-tugasnya sebagai gembala sidang, Pendeta Eliot suka duduk dengan Ayub Nesutan dan berusaha mengerti bunyi-bunyian aneh yang keluar dari kerongkongan pemuda Indian itu.
Bukan hanya itu saja: Dengan penerangan lilin remang-remang, John Eliot mulai berusaha membuat sebuah abjad yang baru. Ia memilih huruf-huruf yang lafalnya kira-kira cocok dengan setiap bunyi yang kedengarannya aneh itu. Lambat laun ia dapat menerjemahkan Sepuluh Hukum Tuhan dan Doa Bapa Kami ke dalam bahasa suku Indian itu.
Pelajaran itu perlu dipraktikkan. Pendeta Eliot mulai berkenalan dengan orang-orang Indian yang suka datang ke desanya. Sebagai akibat percakapan dengan mereka, berkali-kali ia harus meralat ucapannya atau susunan kata-katannya.
Sedikit demi sedikit ia merasa dapat mulai menyelami alam pikiran suku Indian. Berbeda dengan prasangka kebanyakan pendatang kulit putih, mereka itu sangat dalam rohaninya. Namun cara mereka mengungkapkan pengertian rohani itu amat berbeda daripada cara berpikir orang Eropa.
Misalnya saja, kalimat pertama dalam Doa Bapa Kami: Gambaran suku Indian tentang seorang "Bapa" itu lain sekali daripada yang dimaksud Tuhan Yesus ketika ia mengajarkan suatu contoh doa kepada murid-murid-Nya. Ternyata istilah "Kepala Suku" lebih tepat sebagai lambang rohani untuk Oknum Ilahi itu yang dengan kasih sayang memelihara setiap bawahan-Nya.
Pada bulan Oktober tahun 1646, john Eliot merasa siap memulai usahanya untuk menyampaikan Sabda Allah kepada suku Indian. Di tepi sungai, di suatu tempat dekat air terjun, ada sebuah desa Indian yang dikepalai oleh seorang yang benama Waban. Pendeta Eliot sudah berkenalan dengan Waban. Kepala desa itu rela mengumpulkan seluruh rakyatnya untuk menyongsong sang pendeta yang berani naik kuda ke dalam hutan.
John Eliot cerdik sekali memilih nas untuk khotbahnya yang pertama-tama kepada suku Indian itu! Ia telah mengalihbahasakan Yehezkiel 37:9: "Bernubuatlah kepada napas hidup itu, bernubuatlah, hai anak manusia, dan katakanlah kepada napas hidup itu: Beginilah firman Tuhan Allah." Kebetulan istilah "napas hidup" dalam bahasa suku Indian itu tak lain ialah . . . Waban, sama seperti nama sang kepala desa. Jadi, kedengarannya Pendeta Eliot sedang berseru: "Katakanlah kepada Waban: Beginilah firman Tuhan Allah!"
Pasti orang-orang suku Indian itu tertarik, ketika mereka mendengar bahwa nama kepala desa mereka sendiri disebut-sebut dalam Sabda Allah! Maka selama satu jam lebih mereka rela memperhatikan khotbah Pendeta Eliot. Namun tidak ada seorang pun yang menanggapi secara terbuka ketika pemberitaan Sabda Allah pertama kali didengarnya.
John Eliot belum putus semangat. Paling sedikit, orang-orang Indian itu telah menerima dia dengan cukup ramah mungkin karena ia datang ke desa mereka tidak pernah dengan tangan hampa. Ia selalu membawa serta hadiah-hadiah kecil; misalnya, setiap anak Indian yang pernah mendengarkan khotbahnya, kemudian diberi sebuah apel.
Satu bulan kemudian, Pendeta Eliot kembali lagi ke desa Waban. Kali ini lebih banyak lagi orang-orang Indian yang berkumpul. Dan sesudah ia berkhotbah, mereka pun mulai bertanya-tanya:
+ "Tentu Tuhan Allahmu mengerti doa-doamu dalam bahasa Inggris. Tetapi bagaimana Tuhan Allahmu dapat mengerti doa-doa orang Indian?"
John Eliot menjawab: "Jika aku, seorang hamba Tuhan yang bodoh, dalam waktu beberapa Tahun saja mulai dapat mengerti bahasamu, bukankah Yesus Mahatahu sanggup mengerti setiap kata yang kauucapkan, bahkan setiap pikiran hatimu? Apa lagi, Tuhan Allah yang sama itu menciptakan seluruh umat manusia, baik orang Indian maupun orang kulit putih. Jika demikian, pasti Tuhan Allah pun dapat mengerti doa-doa yang diucapkan oleh seluruh umat manusia."
+ "Tentu Tuhan Allahmu hadir di sana, di gereja desa orang kulit putih, tempat kamu biasanya berkhotbah. Tetapi bagaimana Tuhan Allahmu dapat hadir di sini juga, di tempat tinggal kami?"
John Eliot menjawab: "Coba pikirkan matahari yang besar itu. Bukankah terangnya menyinari baik pondokmu maupun pondok tetanggamu? Sama juga, terangnya menyinari rumahku di desa sana, bahkan menyinari tempat asalku dulu di seberang lautan. Nah, sama juga, Tuhan Allah hadir di mana-mana, dan memberi terang Injil-Nya kepada semua orang."
+ "Tentu ada Sabda Allahmu dalam bahasa Inggris; tetapi bukankah adanya Kitab Suci dalam bahasa itu pun justru merupakan bukti bahwa Yesus Kristusmu tidak mengerti bahasa orang Indian?"
John Eliot menjawab: "Sabda Allah itu untuk seluruh umat manusia. Sama seperti kalian sekarang, dahulu kala orang-orang Inggris pun belum mempunyai Sabda Allah dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi halangan itu dapat diatasi."
+ "Apa yang diterima oleh orang yang percaya kepada Tuhan Allahmu? Nampaknya kamu miskin sama seperti kami; apa untungnya menjadi orang Kristen?"
John Eliot menjawab: "Ada dua macam berkat. Ada berkat-berkat kecil," dan ia mengangkat jari-jarinya. "Tetapi ada juga berkat besar," dan ia mengulurkan jempolnya. "Berkat-berkat kecil itu berupa kekayaan, pakaian yang mewah, rumah yang nyaman, dan makanan yang enak. Berkat besar itu ialah, pengetahuan tentang Tuhan Allah dan Putra-Nya, Yesus Kristus, sehingga kita dapat menikmati hidup yang benar dan abadi. Tuhan tidak selalu memberi kita berkat-berkat kecil tadi. Tetapi yang lebih penting: Tuhan selalu memberi kita berkat-Nya yang lebih besar."
+ Lalu muncul pertanyaan dari orang-orang Indian yang paling akhir, dan yang paling sulit dijawab oleh Pendeta Eliot: "Mengapa baru sekarang ada orang kulit putih yang memberitahu kami tentang semuanya itu?" . . .
Yang ketiga kalinya John Eliot berkhotbah di kalangan suku Indian itu, di antara mereka sudah ada orang-orng yang mengaku percaya kepada Tuhan Yesus termasuk kepala desa mereka; ia ingin yakin dulu bahwa mereka benar-benar mengerti dan benar-benar percaya.
Maka mulailah suatu gerakan rohani yang luar biasa di antara orang-orang Indian di daerah Massachusetts itu. John Eliot menolong para petobat baru itu mendirikan beberapa desa baru, di mana mereka tidak akan diganggu baik oleh orang-orang kulit putih yang membenci mereka, maupun oleh orang-orang sesuku mereka yang belum mau bertobat. Ia mengajar mereka bagaimana menanam dan menuai, bagaimana menggergaji kayu dan membangun rumah.
Lambat laun sebanyak 14 desa orang Kristen didirikan di antara suku Indian itu. Penduduk desa-desa baru di daerah Massachusetts itu mulai dikenal sebagai "orang-orang Indian yang suka berdoa."
Desa-desa baru itu pun sangat berbeda daripada desa-desa suku Indian yang lain. Bila ada yang mencuri atau berkelahi, dengan cepat ia dihukum. Tidak ada yang bermalas-malasan; mereka semua rajin bekerja mencari nafkah. Pemerintahan desa disusun berdasarkan nasihat Yitro kepada Nabi Musa dalam Kitab Keluaran 18:21, yaitu dengan mengangkat kepala atas seratus orang, lima puluh orang, dan sepuluh orang. Ada juga sebanyak 24 orang Indian yang dididik menjadi guru dan gembala sidang di antara suku mereka sendiri.
Pendeta Eliot sendiri masih tetap bertugas melayani jemaatnya di desa orang kulit putih. Namun sewaktu-waktu ia suka menengok desa-desa suku Indian itu. Dengan memukul genderang, mereka mengundang semua orang untuk dapat mendengarkan khotbah dari bapak rohani mereka.
Kadang-kadang dalam perjalanannya ke desa-desa orang Kristen itu John Eliot kehujanan. Kadang-kadang ia harus mengarungi sungai yang sedang banjir. Kadang-kadang ia dihalangi oleh orang-orang Indian yang belum percaya kepada Tuhan Yesus. Kepada salah seorang kepala suku yang melawan dia itu, Pendeta Eliot berkata blak-blakan: "Aku tidak takut terhadap kamu, bahkan terhadap semua kepala suku di seluruh negeri ini. Aku akan maju terus, dan kita akan melihat apakah kamu memang berani menghalangi aku!"
Jumlah suku Indian yang menjadi pengikut Tuhan Yesus itu sudah melebihi seribu jiwa. Namun John Eliot menyadari bahwa kerohanian orang-orang Kristen baru itu tak mungkin akan berkembang sebagaimana semestinya, kecuali mereka mempunyai Sabda Allah dalam bahasa mereka sendiri. jadi, dengan bantuan Ayub Nesutan dan beberapa orang lain, mulailah dia menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa suku Indian itu.
Sulit sekali pekerjaan penerjemahan itu! Banyak pemikiran yang ada dalam Sabda Allah, namun rupa-rupanya istilah padanannya dalam bahasa suku Indian itu tidak ada. Misalnya, ada berbagai-bagai kata untuk "langit", tergantung pada jam dan cuaca, tetapi sama sekali tidak ada kata untuk "surga." Dan bagaimana mengartikan "unta" untuk orang-orang yang belum pernah melihat binatang unta? Tambahan pula, banyak istilah yang ada dalam bahasa Indian itu, sangat panjang dan sulit diucapkan. Misalnya, beginilah judul Alkitab yang diterjemahkan oleh John Eliot itu: Mamusse Wunneetupanatamwe Up-Biblum God!
Setelah bekerja keras selama sepuluh tahun lebih, selesailah seluruh Kitab Perjanjian Baru pada tahun 1658. Namun baru tiga tahun kemudian terjemahan Kitab Suci itu dapat diterbitkan. Atas biaya teman-teman John Eliot, sebuah mesin cetak dan seorang ahli cetak dikirim dari Inggris, agar Sabda Allah dapat diedarkan di antara suku Indian. Tetapi Ahli cetak itu ternyata orang pemabuk, sehingga pekerjaannya sering telantar.
Atas usaha Pendeta Eliot, seorang Indian diberi pendidikan, baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa sukunya sendiri. karena ia sudah mengaku percaya dan sudah dilatih sebagai seorang pembantu percetakan, ia diberi nama baru "James Printer." Untuk sementara waktu, ia memang banyak menolong melanjutkan pekerjaan ahli cetak dari Inggris itu. Tetapi kemudian "James Printer" menjadi sangat marah terhadap orang-orang kulit putih. Ia melarikan diri ke hutan dan bersekongkol dengan orang-orang suku Indian yang masih suka berperang untuk melawan para pendatang baru.
Di samping halangan yang muncul di Amerika, di negeri Inggris juga ada halangan: Jumlah uang yang dikirim dari sana tidak mencukupi untuk keperluan proyek penerbitan Alkitab itu. Berkali-kali Pendeta Eliot harus menulis surat, meminta sokongan lagi.
Namun pada tahun 1661, Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa suku Indian itu dapat diterbitkan. Dua tahun kemudian, seluruh Alkitab menyusul. Sebanyak 1.500 eksemplar dicetak di kota Boston; dua ratus buah di antaranya langsung diserahkan kepada kaum Kristen di desa-desa suku Indian.
Mungkin pembaca sudah tahu, dari kisah nyata "Alkitab yang Bungkam Dalam Bahasa Nusantara" (Jilid 1 dalam buku seri ini), bahwa Kitab Injil Matius yang pada tahun 1629 dicetak dalam bahasa Melayu/Indonesia Kuno itu merupakan terjemahan Alkitab yang pertama-tama diterbitkan dalam sebuah bahasa yang bukan bahasa Eropa, khusus sebagai alat penginjilan. Tetapi terjemahan John Eliot yang pada tahun 1663 dicetak dalam bahasa suku Indian di daerah Massachusetts itu merupakan terjemahan Alkitab lengkap yang pertama-tama diterbitkan dalam sebuah bahasa non-Eropa sebagai alat penginjilan. Di samping itu, terjemahan tersebut merupakan terbitan Alkitab yang pertama-tama dalam bahasa apa pun di seluruh benua Amerika.
Anehnya, dengan adanya Alkitab bahasa suku Indian itu, banyak kritikan yang dilontarkan oleh sebagian penduduk berkulit putih. "Mengapa membuang-buang waktu dengan bahasa yang aneh itu?" mereka menantang Pdt. John Eliot. "Mengapa tidak menyuruh semua orang Indian belajar bahasa Inggris saja?"
Di samping itu, ada juga sebagian pendatang baru yang masih tetap ingin menghadapi suku-suku Indian dengan menggunakan senjata, bukan Sabda Allah. Berkali-kali mereka merugikan orang-orang Indian dalam perdagangan secara tukar-menukar. Berkali-kali mereka menipu suku Indian sehingga daerah-daerah yang sudah lama boleh dipakai untuk berkemah dan berburu, kemudian dipagari dan dijadikan tanah pertanian.
Akhirnya pada tahun 1675 timbul pemberontakan. Yang mengorbankan perang itu tak lain ialah Metakomet atau Raja Filipus, putra Massasoit, kepala suku yang setengah abad sebelumnya pernah menyambut dengan ramah para pendatang baru dari Inggris yang mula-mula mendarat. Dalam waktu beberapa bulan saja, ratusan penduduk kulit putih menjadi korban serangan suku Indian yang ganas.
"Orang-orang Indian yang suka berdoa" itu juga dicurigai, meskipun sesungguhnya mereka rela menolong para pendatang baru untuk membela diri terhadap serangan suku lain. Justru karena hal itu, mereka pun dicurigai oleh suku yang sedang berperang, karena mereka dianggap memihak orang kulit putih. Desa mereka kebanyakan dibakar sebagian oleh pihak yang satu, sebagian lagi oleh pihak yang lain dalam peperangan itu. Ratusan orang di antara mereka itu dipaksa mengungsi ke Pulau Rusa, di pelabuhan kota Boston.
Hati John Eliot sedih. Ia menemani saudara-saudara seimannya sampai ke tempat di mana mereka harus naik perahu menuju Pulau Rusa. Di pulau itu pun ia mengunjungi mereka kemudian, dengan membawa serta makanan, pakaian, dan obat-obatan. Banyak orang Indian meninggal di tempat pengasingan yang kurang memadai itu; sisanya dapat memperpanjang hidup mereka hanya dengan menggali tiram dan kerang-kerang di pantai yang berpasir.
Pemberontakan itu mereda pada tahun 1676. Yang tewas, seribu orang pendatang berkulit putih, . . . dan tiga ribu orang suku Indian. Kebanyakan salinan Alkitab dalam bahasa suku Indian itu ikut terbakar bersama desa "orang-orang Indian yang suka berdoa."
"Baiklah!" kata John Eliot, yang berumur 72 tahun, namun masih gigih melayani sebagai pendeta pengantar Injil. "Mari kita manfaatkan kesempatan ini dengan menyediakan sebuah edisi baru yang lebih bagus!" Dan memang ia berbuat demikian. Dalam tugas penerjemahan itu ia bekerja begitu keras sehingga tradisi menyatakan bahwa sebelum ia meninggal pada tahun 1690, ia sudah dapat menghafal seluruh Alkitab di luar kepala.
Pada waktu Pendeta Eliot sudah terlalu lanjut umurnya dan terlalu lemah tubuhnya untuk dapat bepergian lagi ke desa-desa orang Indian, ia masih tetap memikirkan orang-orang lemah yang tertindas. Pada masa itu, orang-orang Amerika sudah mulai memperbudak para pendatang baru dari benua Afrika. Dalam usianya yang sangat tua, John Eliot suka membujuk para tetangganya untuk menyuruh budak-budak mereka datang ke rumahnya, agar ia dapat mengajarkan Sabda Allah kepada orang-orang berkulit hitam itu . . .
Lama sekali kisah perjuangan antara ras-ras di benua Amerika Utara itu. Berkali-kali suku-suku Indian itu diperas oleh para pendatang berkulit putih, yang kebanyakan lebih suka menghadapi mereka dengan senjata daripada dengan Sabda Allah. Para pendatang baru berkulit hitam itu pun dijadikan budak belian selama dua abad lebih, dan sesudah dimerdekakan masih belum juga diberi hak-hak asasi manusia selama satu abad lagi.
Namun Tuhan sanggup mengerjakan kebaikan dari keadaan yang paling buruk. Pada abad ke-19, di Amerika Serikat ada seorangg kepala suku Indian yang menjadi orang Kristen tulen, bahkan menjadi pendeta dan penginjil di antara sukunya sendiri. Ia pun sering membela sukunya terhadap kerakusan dan kekejaman kaum kulit putih, yang ingin mengusir mereka dan merampas tanah mereka.
Walau demikian jeleknya hubungan antara ras pada masa hidupnya, kepala suku Indian merangkap pendeta itu sempat memberi suatu kesaksian yang sangat indah:
"Kami telah diusir sampai enam kali; barang-barang milik kami telah dirampas. Kami berusaha melupakan hal-hal itu. Namun kami tidak mau melupakan bahwa orang-orang kulit putih itulah yang juga membawa kepada kami berkat Injil Kristus, pengharapan orang Kristen. Hal inilah jauh melebihi segala penderitaan kami."
TAMAT
Mata Yoshiko terbelalak. Ia ketakutan. Dengan penuh amarah ayahnya sedang mencetuskan perasaannya tentang cara hidup pamannya.
"Ia seorang pemabuk kelas berat!" kata Ayah dengan geram. "Mengapa ia tidak minum arak terus sampai mati? Biar tidak memalukan keluarganya terus menerus."
Yoshiko mundur ke sudut ruang tamu. Ia sayang kepada Paman. Bukankah Paman selalu manis kepadanya? Tidak jarang Paman membawakannya mainan baru bila ia datang ke desa mengunjungi keluarganya. Memang, wajahnya sering nampak merah, dan kata-katanya sering melantur pada saat-saat seperti itu. Tetapi ia selalu manis budi terhadap keponakannya yang masih gadis, si Yashiko. Mengapa Ayah sampai hati mengatai dia?
Ternyata, ayahnya belum juga selesai mencaci-maki pamannya. "Pemabuk, penjudi, pemboros!" ia berseru. "Tidak ada orang yang mau meminjamkan uang lagi kepadanya. Tidak ada orang yang mau menjualnya suku cadangan untuk bengkel sepeda miliknya. Hidupnya sudah gagal sama sekali!"
Tiba-tiba, seolah-olah dipanggil, . . . Paman sendiri muncul di ambang pintu.
Yoshiko berlari menyambut dia. Lain daripada biasanya, kali ini wajahnya kelihatan agak tenang. Sama sekali tidak ada bau arak padanya. Paman tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Yashiko secara lembut.
Tetapi Ayah memandang dia dengan marah. Sebenarnya ia tidak senang Paman datang ke rumahnya. Bahkan Nenek juga sudah ikut bersikap kurang ramah terhadap putra bungsunya. Namun apa boleh buat, ia sudah datang, dan menurut adat bangsa Jepang seluruh keluarga harus berkumpul untuk menyalaminya.
Setelah mereka bersalam-salaman, Paman Yoshiko mulai berbicara. "Aku datang membawa berita baik," kata Paman sedikit gugup. "Begini: Aku telah membaca sebuah Buku, dan kini aku telah menjadi seorang manusia baru. Aku akan menempuh jalan hidup yang baru. Aku tidak akan minum arak atau berjudi lagi. Aku tidak akan memalukan keluargaku lagi."
Mata Yoshiko berbinar-binar. Sudah jelas, pikiran ayahnya mengenai pamannya itu keliru! Yoshiko ingin menyanyi gembira.
Tetapi Ayah hanya mencibir sambil berkata: "Hmm! Hidup baru! Siapa yang percaya omonganmu! Tidak ada kuasa di seluruh dunia ini yang dapat melepaskan engkau dari nafsu minum arak. Orang yang tidak berguna seperti engkau ini, mana bisa berubah!"
Air muka Paman berubah pucat. Rupa-rupanya ia menyangka bahwa keluarganya akan senang mendengar tentang perubahan dalam cara hidupnya. Tetapi ternyata mereka tidak mau mengerti apa yang sudah terjadi atas dirinya.
Namun Paman membongkok dengan sopan. "Bolehkah aku menceritakan apa yang telah terjadi?"
"Boleh. Tapi jangan bertele-tele! Omongan kosong pemabuk"
Nenek menegur Ayah. "Adikmu tidak mabuk sekarang. Biarlah ia menceritakannya."
Mereka semua duduk pada bantal di atas lantai. Yoshiko mendengarkan dengan penuh perhatian pada saat pamannya mulai bercerita:
"Beberapa waktu yang lalu, ada dua orang datang membetulkan sepedanya di bengkelku. Sambil bekerja, aku bercakap-cakap dengan mereka. Ternyata mereka adalah penjual buku-buku agama mereka. Kubeli beberapa buku kecil dari mereka. Kata mereka, buku-buku kecil itu adalah sebagian dari sebuah Buku besar yang berjudul `Alkitab'. Kubaca buku-buku kecil itu. Tetapi aku sama sekali tidak dapat mengerti isinya."
Si Yoshiko menganggukkan kepalanya. Ia merasa bersimpati terhadap pamannya. Minggu yang lalu di sekolah telah dimulai pelajaran baru, dan Yashiko juga sama sekali tidak dapat mengerti isinya.
Mengingat saat-saat ia kebingungan itu, Paman menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu ia pun meneruskan ceritanya:
"Ketika orang-orang itu datang kembali, kukatakan kepada mereka bahwa aku tidak mengerti isi buku-buku itu. Lalu mereka mengundang ak datang ke rumah penginapan, di mana mereka akan menjelaskan ajaran-ajaran dalam buku-buku itu."
Dengan agak malu Paman melanjutkan. "Memang aku pergi ke sana. Tetapi sebelum ke sana aku minum arak lebih dahulu, sehingga hampir mabuk."
Ayah mulai komat-kamit lagi. Tetapi rupa-rupanya Nenek sangat memperhatikan cerita Paman, sehingga Ayah tidak berani memberi komentar dengan suara keras.
"Mereka sabar sekali," kata Paman. "Berkali-kali aku mendengarkan penjelasan mereka. Tidak pernah mereka menegur aku walaupun aku minum arak dahulu sebelum ke sana. Ayat demi ayat mereka bacakan dan mereka jelaskan pula."
Paman berhenti sejenak sambil mengenang kembali pengalamannya itu. "Aku semakin tertarik. Ajaran-ajaran itu sngat baik. Dan pada suatu hari mereka membuka Alkitab dan menunjukkan sebuah ayat, lalu minta supaya aku sendiri membacanya. Ayat itu tertulis di dalam Buku agama mereka supaya semua orang dapat membacanya. Tahukah kalian apa bunyi ayat itu?" tanya Paman sambil memandang ke sekelilingnya.
Semuanya diam.
"Begini bunyinya: `Janganlah kamu mabuk.'''
"Ahhh!" kata ayah Yoshiko.
"Kemudian mereka terus menjelaskan ajaran-ajaran agama mereka kepadaku, dan aku sendiri membaca lebih lanjut. Aku lalu mengambil keputusan untuk menjadi pengikut Tuhan Yesus, yang diceritakan di dalam Alkitab itu. Aku tidak mau minum arak lagi, atau main judi lagi, atau menghambur-hamburkan uang dengan cara-cara yang jahat."
Paman Yoshiko menatap keluarganya. "Tapi ayah Yoshiko tertawa mengejek. "Ceritanya cukup menarik," katanya. "Tapi yang penting ialah, pelaksanaan selanjutnya. Beberapa kali sudah kaukatakan kepadaku bahwa engkau tidak mau minum-minum lagi?"
Nenek tersenyum. "Memang engkau telah membuat keputusan yang baik, anakku," katanya menghibur. "Nah, datanglah kembali bila engkau sudah melaksanakannya."
Paman Yoshiko bangkit berdiri. "Tadi kukira beritaku akan menyenangkan kalian," katanya dengan sedih.
"Tentu senang, jika terbukti benar," kata ayah Yoshiko pendek.
Hanya Yoshiko saja yang mengikuti pamannya sampai ke pintu gerbang kebun bunga di depan rumah mereka. "Cerita Paman sungguh menyenangkan hatiku" katanya.
Mendengar kata-kata Yoshiko, Paman yang tadinya kelihatan sedih mulai terseyum lagi. "Nanti kau akan menjadi lebih senang lagi, Nak," katanya. Dan dengan langkah yang mantap ia mulai berjalan menuju ke kota.
Tidak lama kemudian, tibalah musim dingin. Salju turun. Selama beberapa minggu tidak ada seorang pun yang pergi ke luar desa.
Lalu pada suatu hari ayah Yashiko pergi ke kota. Ketika kembali ke rumah, ia membawa berita yang mengejutkan tentang Paman.
"Aku baru berkunjung ke rumah Adik," kata Ayah kepada Nenek, "dan istrinya menceritakan sesuatu yang sulit untuk dipercayai. Katanya, putra bungsu Ibu selama beberapa minggu ini tidak pernah minum arak setetes pun. Uang penghasilannya ditabung. Ia tidak pernah menginjakkan kakinya di rumah perjudian. Ia tidak pernah lagi memboroskan uangnya dengan cara yang memalukan keluarganya."
"Apa kata putra bungsuku sendiri?" tanya Nenek.
Yoshiko ikut mendengarkan dengan penuh perasaan. Ia juga ingin tahu keadaan pamannya.
"Aku tidak berjumpa dengan dia," kata Ayah. "Waktu itu ia pergi mengurus pekerjaan."
"Memang sulit untuk dipercayai!" kata Nenek, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.
"Nenek," kata Yoshiko lirih, "aku mempercayainya."
"O, begitu, ya, Nak?" Nenek mengeluh. "Indah sekali, seandainya benar! Tetapi seumur hidupku belum pernah aku mendengar bahwa ada kuasa yang dapat membelokkan seorang pemabuk dan penjudi dari jalannya yang sesat."
Ayah pun ikut mengeluh." Ada juga berita yang kurang menyenangkan," katanya. "Adikku ditimpa kesulitan. Tidak ada lagi penjual suku cadang sepeda yang mau percaya bahwa ia akan melunasi hutangnya. Dengan uang penghasilannya, ia hanya dapat secara kontan membeli bahan yang paling diperlukan untuk bengkelnya."
Nenek menggelengkan kepala. "kata orang, putra bungsuku berhutang di mana-mana. Bukan hanya kepada orang-orang di kota sana, tetapi juga kepada orang-orang di desa sini." Raut mukanya menjadi sedih. Memang kelakuan paman Yoshiko cukup menyedihkan ibunya, dan cukup memalukan kakaknya juga.
Waktu terus berlalu. Tidak lama lagi Tahun Baru akan tiba.
Pada suatu pagi Ayah oergi ke kota lagi. "Aku akan menengok adikku," katanya. Tetapi ia pun agak sinis menambahkan: " . . . walau mungkin sekali ia tidak ada di rumah. Hari inilah waktunya untuk membayar hutang, dan ia biasanya menyembunyikan diri sehingga orang-orang tidak dapat menagihnya."
Tetapi Ayah keliru. Ternyata Paman ada di rumah. Bengkelnya bersih dan rapih, air mukanya berseri-seri, dan keluarganya asyik bersiap-siap merayakan Tahun Baru.
Paman menyambut kakaknya dengan gembira. "Lihat saja, Kak," katanya, "aku sudah lebih dahulu pergi berkeliling dan menagih uang dari orang-orang yang berhutang kepadaku. Dan, dengan uang yang sudah kutabung, aku sudah dapat mulai mencicil hutangku sendiri. Aku akan minta kepada tiap orang agar ia rela bersabar sampai aku dapat melunasi semuanya."
Ayah Yoshiko memandang adiknya dengan heran. "Rupanya aku keliru," katanya lirih. "Rupanya sudah terjadi sesuatu yang kuanggap mustahil."
Paman menuntun kakanya ke etalase di jendela muka dari bengkel sepedanya. "Memang betul, Kak, mustahil!" ia mengiakan. "Tetapi Tuhan Allah justru sanggup melakukan yang mustahil. Melalui Firman Tuhan aku telah dibimbing untuk menjauhi arak dan perjudian."
Ia menunjuk ke arah etalase itu. Ditengah-tengahnya ada sebuah Kitab Perjanjian Baru dan beberapa buku kecil. "Firman Tuhan menunjukkan jalan hidup baru bagiku. Aku memamerkannya, biar langgananku melihat dan menanyakannya."
Ayah Yashiko menyorotkan matanya ke muka adiknya, seperti hendak menyelidik. Lalu ia pun ikut tersenyum. "Sekarang aku percaya," katanya. "Aku dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa engkau sudah berubah. Aku akan cepat-cepat pulang dan memberitahu Ibu. Tidak ada hadiah Tahun baru yang akan lebih menyenangkan hatinya daripada berita itu. Dan kalau si Yoshiko," katanya menambahkan, "sejak semula ia percaya kepadamu. Pasti ia akan menari kegirangan!"
Kedua pria bersaudara itu mulai berjalan bersama-sama pada jalan yang berlapis salju. "Aku akan mengantarkan engkau pulang," kata Paman." Ada hutang yang harus kulunasi kepada seseorang di desamu. Dan aku pun akan menengok Ibu dan si Yashiko."
Pada malam itu, setelah waktu kunjungan Tahun Baru selesai, ada suasana sukaria di rumah keluarga Yoshiko. Dari sakunya Ayah mengambil sebuah Buku kecil. "Kita pun akan membaca Firman Tuhan," katanya. "Kalau memang ada kuasa di dunia ini yang dapat mengubah adikku sehingga menjadi seperti yang kita saksikan hari ini, maka aku pun ingin mengetahuinya."
Nenek mengangguk. "Ajaib betul!" katanya. "Nah, bacalah, anakku. Kami akan membuka telinga kami dan hati kami."
Yoshiko diam saja. Untuk yang pertama kalinya ia sempat mendengarkan isi Alkitab. Yang dibacakan oleh Ayah adalah cerita tentang Tuhan Yesus memberkati anak-anak. Memang cerita itulah yang telah diberi tanda oleh Paman, justru oleh karena ia tahu bahwa si Yoshiko akan turut mendengarkannya.
"Aku senang kepada Tuhan Yesus," bisik Yoshiko. "Aku ingin mendengar lebih banyak lagi cerita tentang Dia.
TAMAT
Dr. Charles Maddry semalam baru tiba di kota Pingdu, Tiongkok Utara. Ia dan kawan-kawannya dari Amerika Serikat itu sangat capai. Pada tahun 1835 itu, belum ada kapal terbang jet yang dalam waktu beberapa jam saja dapat membawa seseorang dari benua Amerika ke benua Tiongkok. Pelayaran melintasi Lautan Pasifik dengan naik kapal api itu, cukup memakan waktu dan cukup meletihkan bagi para penumpangnya. Lagi pula, cuaca pada bulan Juni tahun 1935 itu cuku panas.
Dr. Maddry adalah direktur internasional yang mengawasi pelayanan ratusan utusan Injil Baptis di seluruh dunia. Ia dengan kawan-kawannya dari Amerika Serikat telah datang untuk menengok perkembangan gereja-gereja di Tiongkok Utara.
Pada pagi hari yang panas di bulan Juni itu, Dr. Maddry bangun agak kesiangan, lalu duduk dan sarapan dengan kawan-kawannya. Tuan rumahnya, salah seorang utusan Injil setempat, ternyata bangun lebih pagi dan sudah keluar rumah.
Tiba-tiba tuan rumah itu pulang dan mengumumkan: "Pendeta Lie sudah datang dan sedang menunggu Saudara sekalian!"
Rasa capai yang dialami Dr. Maddry itu seolah-olah hilang. Sudah lama ia ingin bertemu dengan Pendeta Lie. Bukankah para utusan Injil yang bercuti dinas ke Amerika berkali-kali bercerita tentang pendeta yang sudah tua itu? Bukankah setiap surat dan laporan yang datang dari Tiongkok Utara itu selalu menyebutkan pelayanannya yang setia?
"Terima kasih atas berita itu!" kata Dr. Maddry. Lalu ia dan teman-temannya cepat-cepat menyelesaikan sarapan mereka, agar mereka dapat ikut pergi ke tempat Pendeta Lie sedang menunggu mereka.
Beberapa waktu kemudian Dr. Maddry berhadapan muka dengan hamba Tuhan yang sudah lama di dengarnya itu. Dr. Maddry sendiri lebih tinggi tubuhnya daripada kebanyakan orang Barat. Namun orang Timur yang sedang berdiri tegak di depannya itu tinggi juga; lagi pula, pembawaannya penuh wibawa. Jubahnya yang panjang dan jenggotnya yang putih itu menambah luhur penampilannya.
Kedua bapak yang tinggi itu berjabatan tangan. Salah seorang utusan Injil menemani mereka sebagai penerjemah, karena Dr. Maddry tidak dapat berbicara bahasa Mandarin, dan Pendeta Lie tidak dapat berbicara bahasa Inggris.
Secara basa-basi, selama mereka berdua saling berkenalan, Dr. Maddry mendengar bahwa Pendeta Lie sudah berumur 75 tahun. Namun ia masih kuat: Buktinya, tadi pagi ia telah bangun jam empat, lalu sebelum sarapan, ia berjalan kaki sejauh dua belas kilometer agar dapat bertemu dengan saudara-saudara seiman yang datang dari jauh.
Sepanjang hari kedua bapak yang tinggi itu berkeliling bersama-sama; mereka menengok beberapa gereja, sekolah, dan rumah sakit Kristen di kota Pingdu. Lalu Pendeta Lie mengajak Dr. Maddry untuk meninggalkan dulu tempat ramai dan beristirahat sejenak.
Kedua bapak yang tinggi itu bersama-sama memasuki sebuah taman yang indah. Mereka berdiri di pinggir sebuah kuburan. "Ini kuburan pendeta Amerika yang dulu sangat membina watak saya," Pendeta Lie bercerita kepada sang tamu melalui pengalih bahasa itu.
"Apakah dia yang mula-mula membimbing Bapak sampai percaya kepada Tuhan Yesus?" tanya Dr. Maddry.
"O, bukan! saya sudah menjadi orang Kristen waktu masih muda, waktu dulu di kampung," jawab Pendeta Lie.
"Di manakah kampung halaman Bapak?"
"Di Sah Ling, dekat kota Tengzhou."
"Tentu Dr. Maddry tahu mengenai Tengzhou. Kota itu dulu menjadi pusat pelayanan Nona Lottie Moon, utusan Injil Baptis almarhumah yang paling terkenal itu. Bukankah persembahan khusus untuk penginjilan sedunia yang dukumpulkan setiap Hari Natal di Amerika Serikat itu diberi nama menurut nama Nona Lottie Moon?"
Dr. Maddry bertanya lagi, apakah Pendeta Lie pernah mengenal Nona Moon. Waktu pertanyaannya diterjemahkan, ia sempat mendengar nama penginjil wanita yang termasyhur itu dalam bentuk bahasa Tionghoa: Mu Lah Die.
"Memang dulu saya kenal Mu Lah Die," jawab Pendeta Lie dengan semangat. "Tetapi juga bukan dia, yang memenangkan jiwa saya bagi Tuhan Yesus . . . atau boleh dikatakan, bukan dia yang secara langsung berbuat demikian."
"Hmmm, kedengarannya sangat menarik, Pendeta," sahut Dr. Maddry. "Coba ceritakan!"
Maka pendeta Tionghoa yang sudah tua itu menyampaikan sebuah cerita yang sungguh mempesonakan temannya dari Amerika . . . .
Menjelang akhir abad ke-19, desa Sah Ling memang kecil, namun makmur. Jumlah penduduknya, kurang lebih seratus jiwa. Dan setiap penduduk itu bernama Lie! Sesungguhnya mereka semua masih ada hubungan keluarga satu sama lain.
Salah seorang penduduk lama di Sah Ling itu biasanya dijuluki: "Si Kakek Lie." Ia memang termasuk yang tertua di desa itu.
Pada tahun-tahun 1880-an itu, penduduk desa Sah Ling mulai mendengar tentang seorang wanita aneh yang sewaktu-waktu keluar dari kota Tengzhou dan berkeliling di daerah pedesaan. Dia itu seorang Barat, tetapi ia suka berpakaian seperti seorang wanita Tionghoa hanya saja, kakinya terlalu besar. Rupanya kaki wanita Amerika itu tidak pernah diikat agar tetap kecil, seperti kaki wanita Tionghoa pada abad yang lalu. Nama wanita asing itu, Mu Lah Die.
Sambil berkeliling dari desa ke desa , Mu Lah Die suka bercerita. Ceritanya itu amat bagus! Ia bercerita bahwa Yang Maha Agung sungguh mengasihi setiap orang, dan ingin menyelamatkan umat manusia dari dosanya.
Mula-mla wanita asing itu hanya berkumpul dengan kaum wanita dan anak-anak saja, karena menurut adat ia tidak layak bergaul dengan kaum pria. Tetapi ternyata kaum pria tidak mau ketinggalan! Mereka suka datang dan berdiri di pinggir kelompok wanita yang sedang asyik mendengarkan cerita Mu Lah Die.
Kelompok yang mengelilingi tamu aneh itu makin lama makin besar, sampai membanjiri halaman rumah penginapan. Maka tempat pertemuan itu dipindahkan ke pengirikan, yakni lantai datar tempat para petani biasa mengirik. Setiap kali Mu Lah Die muncul di desa, baik pria maupun wanita berbondong-bondong datang di tempat yang lebih luas itu.
Mu Lah Die tidak sampai ke Sah Ling, karena desa itu amat kecil. Namun Si Kakek Lie termasuk di antara kaum pria yang tertarik akan ceritanya. Ia bukan hanya ikut mendengarkan cerita Mu Lah Die di desa yang dekat dengan Sah Ling; ia pun ikut mengantar Mu Lah Die pulang ke rumahnya di kota Tengzhou, agar ia dapat mendengar lebih banyak lagi tentang Yang Maha Agung yang mengasihi manusia.
"Ini, Bapak, cerita saya semuanya dimuat di sini," kata Mu Lah Die pada suatu hari, seraya mengulurkan sebuah Buku kecil kepadanya.
Si Kakek Lie malu mengakui bahwa ia buta huruf. Ia bungkuk sebagai tanda hormat dan mengucapkan terima kasih atas hadiahnya itu. Lalu ia pulang ke kampungnya.
Di desa Sah Ling, Si Kakek Lie segera mencari seorang saudara sepupunya yang masih muda. Saudara sepupunya itu sedang belajar kesusasteraan Tionghoa, agar kelak ia dapat lebih maju mungkin menjadi seorang pegawai pemerintah Kekaisaran Tiongkok. Tentu saja ia dapat membaca Buku kecil yang diserahkan kepadanya oleh si Kakek Lie.
"Pasti sangat penting, karena wanita asing yang aneh itu memberikannya kepada saya," kata si Kakek Lie. "Bagaimana kalau kamu membacakan Buku kecil ini kepada seisi desa Nak?"
Pemuda yang berpendidikan klasik itu tidak keberatan. Ia senang, malah, karena ada kesempatan untuk memamerkan kepandainnya. maka ia mulai membacakan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Mandarin kepada seluruh penduduk desa Sah Ling . . . .
Mata Pendeta Lie berbinar-binar pada saat ia mengakhiri ceritanya: "Sayalah pemuda yang berpendidikan itu! Dan oleh karena membacakan Kitab Perjanjian Baru itulah, saya sendiri menjadi seorang pengikut Tuhan Yesus."
Dr. Maddry ikut terharu. Di gedung penerbitan Kristen, ia pernah melihat sebuah Kitab Perjanjian Baru bahasa Mandarin berukuran kecil, sama seperti yang diceritakan oleh saudara seimannya yang sudah tua itu. Perjanjian Baru edisi kecil seperti itu, harganya kurang lebih sepuluh sen uang Amerika.
"Pendeta Lie," tanya Dr. Maddry dengan lemah lembut, "Bapak sudah berpuluh-puluh tahun menjadi seorang pengabar Injil. Selama setengah abad ini, kira-kira berapa orangkah yang telah menjadi orang Kristen melalui kesaksian Bapak?"
Pendeta Lie menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah botak itu. "Wah, kurang tahu saya, Pak," ia mengakui dengan terus terang "Saya belum pernah menghitung. "Tetapi inilah yang saya ketahui: Saya sempat membaptiskan lima ribu orang Kristen baru."
Dr. Maddry merasa lebih terharu lagi. Di samping membaptiskan lima ribu orang, pasti Pendeta Lie juga mempengaruhi lebih banyak orang lagi, sehingga mereka pun menjadi percaya kepada Tuhan Yesus.
Lima puluh tahun yang silam, di Amerika ada seorang Kristen yang memasukkan sepuluh sen saja ke dalam tempat persembahan untuk pengabaran Injil, kata Dr. Maddry dalam hati. Sepuluh sen itu kemudian dipakai untuk biaya mencetak sebuah Kitab Perjanjian Baru berukuran kecil, yang dihadiahkan oleh seorang pengabar Injil wanita. Dan dari persembahan yang hanya sepuluh sen itulah, mungkin sebanyak sepuluh ribu jiwa sudah masuk Kerajaan Surga!
TAMAT
Gunung-gunung menjulang tinggi di atas gubuk tempat tinggal Jan, si penggali tua. Pada musim dingin, salju bertumpuk-tumpuk di mana-mana dan angin kencang melolong di sepanjang ngarai, menerjang dahan-dahan pohon cemara.
Penggali tua itu mungkin pergi menambang pada musim dingin. Selama ada tumpukan salju di mana-mana, Jan suka duduk di rumah dan mengenang negeri Finlandia, tempat ia lahir dan dibesarkan. Ia teringat akan sinar matahari yang dulu berkilauan dan pada salju yang putih bersih. Ia juga teringat akan anak-anak yang dulu berkilauan pada salju yang putih bersih. Ia juga teringat akan anak-anak yang dulu memakai ski pada kaki mereka sambil meluncur kencang pada lereng curam yang berlapis salju.
Ya, pada malam-malam yang gelap selama musim dingin, Jan suka mengenang rumah orang tuanya dulu di Filandia. Dengan menutup matanya, ia dapat membayangkan sosok ayahnya yang gagah serta ibunya yang manis; mereka duduk di dekat tempat perapian, dengan anak-anak mereka berkumpul di sekelilingnya. Hampir-hampir Jan dapat mendengar suara ayahnya yang rendah dan empuk sedang membacakan Alkitab milik pusaka keluarganya.
Pada saat-saat lamunannya seperti itu, Jan suka bangun dari kursinya pergi ke sebuah peti, dan membuka tutupnya. Dari dalam peti itu ia mengeluarkan satu-satunya harta miliknya: Sebuah Alkitab besar dalam bahasa Filandia, yang telah dihadiahkan oleh ayahnya dulu pada hari ia berangkat dari rumahnya menuju ke Amerika.
Di bawah sinar yang remang-remang dari sebuah lampu minyak tanah, Jan menelusuri kata-kata Kitab Suci. Jari-jarinya yang sudah kisut itu mengikuti baris-baris cetakan pada halaman Alkitabnya.
Sesungguhnya para tokoh Alkitab itu sudah menjadi teman-teman bagi Jan dalam gubuknya yang sepi. Ia suka membaca dengan keras, dalam bahasa Filandia yang masih dicintainya sejak masa kecilnya dulu. Ada kalanya ia membaca ajaran-ajaran Tuhan Yesus, ada kalanya pengalaman-pengalaman Rasul Paulus yang menggemparkan. Ada kalanya ia membaca puisi yang luhur dari Kitab Mazmur, ada kalanya kisah-kisah kepahlawanan dari zaman Perjanjian Lama.
Jan tidak pernah pergi ke gereja. Namun ia setia membaca Alkitabnya. Dan ia pun berdoa dengan cara yang telah diajarkan oleh ibunya, berpuluh-puluh tahun sebelumnya.
Hidupnya serba sederhana. Jan tidak mau bekerja pada suatu perusahaan pertambangan yang besar. Ia lebih suka pergi mencari nafkah sendirian ke gunung, menggali-gali tanah dengan harapan dapat menambang cukup banyak logam berharga. Kadang-kadang ia menemukan sedikit bijih tembaga, kadang-kadang sedikit bijih perak. Hasil penjualan apa yang digalingnya itu hanya sekedar untuk menyambung hidupnya. Ia belum pernah berhasil menjadi seoran kaya dengan menambang emas.
Namun Jan merasa puas. Ia bersifat jujur dan baik hati dalam segala perbuatannya. Dan ia selalu rela menolong tetangga-tetangganya.
Pada suatu hari, ketika Jan sedang menggali di dalam ngarai yang jauh dari tempat tinggalnya, gubuknya itu kebakaran. Tidak ada seorang yang sempat memadamkannya; bahkan tidak ada seorang pun yang tahu.
Pada saat Jan kembali dengan menuntun keledainya yang kecil, ia berdiri terpana. Gubuknya musnah! Yang tertinggal hanyalah tumpukan kecil arang dan abu. Barang-barang miliknya memang hanya sedikit, namun tidak ada satu pun yang tersisa.
Mula-mula Jan melongo saja, tidak percaya. Lalu ia berlari menuju tumpukan arang yang masih mengepulkan asap itu. Petinya! Mungkin petinya masih terluput dari nyala api.
Akan teapi . . . tidak demikian. Petinya pun musnah dengan semua isinya.
Air mata mulai meleleh di pipi Jan. Petinya pun musnah dengan semua isinya karena gubuknya musnah: Ia sendiri dapat membangun sebuah rumah yang baru. Bukan pula karena selimutnya dan pancinya dan piringnya habis ditelan api: Ia dapat membelinya lagi, karena ia masih mempunyai uang tabungan di bank desa di lembah yang tiga kilometer jauhnya itu.
Bukan! Jan menangis karena satu-satunya harta miliknya musnah: Alkitabnya dalam bahasa Filandia.
Tidak ada orang Amerika yang berbahasa Filandia. Tidak ada toko di Amerika yang menjual buku dalam bahasa Filandia. Alkitab yang sudah musnah tak mungkin dapat diganti.
Jan memang berhasil membangun sebuah gubuk baru. Tetapi ia tidak jadi pergi membeli perlengkapannya. Banyak tetangganya sudah lama mengenal dan mengasihi penggali tua itu. Merekalah yang berdatangan, membawa serta selimut dan panci dan piring, serta meja dan kursi yang kasar; mereka bahkan membawa sebuah tungku api dan sebuah lampu minyak tanah.
"Mengapa tidak?" kata mereka satu kepada yang lain. "Pak Jan sudah menghabiskan masa hidupnya di daerah ini dengan berbuat baik. Coba ingat, berapa kali ia pergi membantu orang yang terkurung dalam rumahnya karena salju yang lebat, atau ia membelahkan kayu bakar bagi orang yang sakit, ataupun ia membatu tetangganya dengan suatu tugas yang terlalu berat untuk dikerjakan seorang diri."
Maka Jan membenahi rumahnya yang baru serta mulai hidup agak sama seperti dulu. Tetapi ada sesuatu yang tidak sama seperti dulu. Kalau salju mulai turun di musim dingin dan pikirannya menerawang jauh ke masa kecilnya di Finlandia, ia tidak dapat lagi meraih Alkitabnya. Menyalakan lampu juga percuma saja: Tidak ada Alkitab yang dapat dibacanya.
"Na, na, terlalu sulit aku baca bahasa Inggris," Jan menjelaskan kepada penduduk desa di lembah itu yang ingin membelikan sebuah Alkitab baru baginya. "Ya, ya, terlalu banyak kata aku tidak tahu apa artinya. Tidak sama. Sama sekali tidak sama. Hanya dalam bahasa Filandia Alkitab dapat berkata-kata dalam lubuk hatiku. Dan Filandia kan jauh sekali di seberang. Tak mungkin aku pergi ke sana beli Alkitab baru."
Tiap kali Jan turun ke desa di lembah itu untuk membeli bekal, ia selalu mampir di rumah keluarga Blake. Si Clara Blake menjadi kesayangannya di antara semua anak kecil di desa itu.
Pada suatu hari, ketika Jan sedang menambat keledainya di depan rumah keluarga Blake. Si Clara keluar sambil menari-nari kegirangan. "Pak Jan! Pak Jan! Rasanya aku tahu dari mana Pak Jan bisa mendapat Alkitab bahasa Filandia!" serunya. "Nih, coba lihat! Aku diberi ini di Sekolah Minggu."
Si Clara menggenggam sebuah lembaran. "Nih lihat!" katanya dengan penuh semangat. "Ada ayat Alkitab, dicetak dalam macam-macam bahasa."
Jan meraih lembaran itu. Betul, ada banyak bahasa yang dipaparkan di situ.
Si Clara bersandar pada sisi Jan sambil menuding pada halaman kecil itu dengan telunjuknya. "Bahasa Tionghoa," bacanya. "Bahasa Jepang. Bahasa Belanda. Bahasa Italia." Mereka berdua terus menyelidiki isi lembaran itu.
"Ah!" Tiba-tiba Jan bernapas panjang. "Ini dia! Ini dia!"
Ia sudah menemukan ayat itu yang tercetak dalam bahasa Filandia. Berkali-kali Jan membaca ulang kata-kata itu, yang sejak dahulu masih diingatnya baik-baik. Dalam bahasa ibunya, kata-kata itu (yang kelihatannya aneh-aneh pada mata si Clara) menyatakan berita yang indah, sama seperti Yohanes 3:16 dalam bahasa apa saja:
"Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tungal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal."
"Sama!" kata Jan; mukanya berseri-seri. "Persis sama seperti dalam Alkitabku dulu!"
Lalu senyumannya itu pudar. "Tapi cuma satu ayat. Memang indah, tapi cuma satu ayat."
Clara membalik lembaran itu. "Pak Jan, mari kita menulis surat ke alamat ini," usulnya. "Mungkin di sana ada Alkitab lengkap dalam bahasa Filandia."
Ibu si Clara yang menuliskan surat itu untuk Jan. Tetapi si Clara sendirilah yang rajin memeriksa kotak pos. Hari demi hari ia meneliti tiap surat yang masuk.
Akhirnya ada surat yang datang dengan "Lembaga Alkitab Amerika, New York" sebagai alamat si pengirim. Surat itu disimpan baik-baik untuk Jan. "Mengapa Pak Jan tidak datang-datang?" tanya si Clara hari demi hari.
Setelah lewat hampir satu minggu, Baru Jan muncul kembali. Seluruh keluarga Blake berdiri disampingnya ketika si penggali tua itu membuka suratnya.
Betul, katanya, sebuah Alkitab dalam bahasa Filandia dapat dipesan, demikianlah pemberitahuan dalam surat itu. Terlampir juga penjelasan tentang harga, dan tentang cara mengirim pesanan.
Keesokan harinya, sepucuk surat balasan sudah dikirim ke kota New York, dan sebuah poswesel sudah dibeli di kantor pos desa.
Tidak lama kemudian, tibalah sebuah pospaket untuk Jan. Pak dan Ibu Blake, si Clara, dan semua tetangga mereka berkumpul untuk melihat penggali tua membuka pospaketnya itu. Tangannya yang sudah kisut itu terlihat masih kuat pada saat ia memutuskan tali pospaketnya dan menyobek bungkusannya. Lalu ia pun mulai membuka dos kecil yang ada di dalamnya. Si Clara menahan napas.
Ah! Ada harta di dalam dos itu: Seluruh Firman Tuhan dalam bahasa Filandia.
Tangan Jan gemetar sedikit ketika ia mengangkat Buku itu dari dosnya. Dibukanya Kitab Mazmur, . . . lalu Injil Matius, . . . lalu Kisah Para Rasul.
"Sama! Persis sama! Semuanya sama!" bisiknya.
Lalu ia melihat ke sekelilingnya. Wajah-wajah para tetangganya berseri-seri semuanya. "Sepanjang umur, aku ingin menambang emas," kata Jan. "Kalau dapat menggali emas, aku jadi kaya." Lalu senyumannya menjadi lebih lebar lagi. "Nah, ini dia! Aku sudah menambang emas! Harganya lebih dari apa saja yang dapat kugali di lereng gunung sana!"
Dibungkusnya kembali hartanya itu! Dimuatnya pada punggung keledai kecilnya, bersama dengan semua bekal yang baru dibelinya.
Clara Blake dan orang tuanya melihat si penggali tua itu mendaki jalan yang sempit. Pelan-pelan ia menuju gubuknya yang sepi, di ngarai di balik bukit.
Pada malam itu, mereka tahu bahwa Jan pasti akan menyalakan lampunya. Ia akan merapatkan kursinya ke meja. Dan ia akan meletakkan hartanya yang baru di atas meja. Jari-jarinya akan mengikuti baris demi baris dari pasal-pasal kesayangannya. Dan si penggali tua itu dengan senang hati akan membaca dengan keras kata-kata indah itu yang dikiranya sudah kehilangan selamanya dari pandangan matanya.
TAMAT
Pada suatu pagi yang panas di bulan Mei tahun 1806, di kota besar Calcutta, seorang pemuda Inggris turun dari kapal layar. Ia heran melihat orang-orang India berpakaian serban dan jubah, heran mendengar raungan gong yang mengajak mereka berbakti, heran juga merasakan sentuhan para pengemis yang sedang mengerumuni dia.
Belum pernah dia mengalami keramaian masyarakat seperti itu! Ia berasal dari sebuah desa di Inggris yang agak terpencil. Kemudian ia pun berkuliah di Universitas Cambridge yang terkenal itu.
Tiba-tiba ada seseorang yang menyalami dia dalam bahasa ibunya: "Good morning! Apakah mungkin engkau seorang utusan Injil baru?"
Pemuda itu berpaling dan melihat seorang bapak setengah umur yang sangat pendek dan sudah botak. Rasanya dulu ia pernah melihat wajah itu berbentuk gambar, terpampang di dinding gereja di negeri Inggris. "Wah, ini Pendeta William Carey!" ia berseru.
"Ya, betul, aku sendiri," bapak itu mengiakan. "Dan engkau siapa?"
Henry Martyn, pendeta tentara yang baru tiba dari Inggris."
William Carey mengajak Henry Martyn sarapan dengan dia. Kemudian ia mengajak pemuda itu ke rumahnya di Serampore. Mereka naik perahu dayung bersama-sama di muara Sungai Gangga. (Silakan membaca pasal 4, "Pabrik Firman Hidup di Tepi Sungai Gangga"!)
Pada waktu Henry Martin mendarat di Serampore, ia sungguh merasa kagum. Ia senang berkenalan dengan William Ward, tukang cetak yang menjadi utusan Injil. Dan ia bercakap-cakap lama dengan Joshua Marshman, rekan sekerja Carey dan Ward.
Henry Martyn sangat tertarik akan usaha yang sedang berlangsung di Serampore itu, untuk menyediakan terjemahan Alkitab secara borongan. Pemuda Inggris yang pandai itu suka sekali mendalami seluk beluk berbagai-bagai bahasa. Sebelum berangkat dari tanah airnya, ia sudah menguasai bahasa-bahasa asli Alkitab, juga beberapa bahasa orang Barat. Dalam pelayaran yang memakan waktu sembilan bulan dari Eropa itu, ia pun sudah mulai mempelajari beberapa bahasa orang Timur.
Ya, Henry Martyn berminat sekali akan pelayanan teman-temannya yang baru itu. Namun ia menolak undangan mereka untuk menetap di Serampore. Paling sedikit ada dua alasan: Sebagai seorang pendeta tentara, ia harus pergi ke tempat di mana ia ditugaskan. Dan sebagai seorang ahli bahasa, ia merasa masih ada sesuatu yang kurang dalam usaha yang mulia di Serampore itu.
Siapa pun yang berusaha menghasilkan terjemahan Alkitab secara borongan itu mungkin akan mengalami kualitasnya tidak setinggi kuantitasnya. Di samping itu, kebanyakan bahasa yang sedang diusahakan oleh Pendeta Carey dan kawan-kawan sekerjanya itu adalah bahasa-bahasa daerah, yang pemakaiannya masing-masing terbatas dalam satu wilayah saja.
Sebaliknya, Henry Martyn lebih tertarik akan bahasa Hindustani. Bahasa perdagangan itu dipakai orang-orang tertentu di seluruh India. Di dalam bahasa itu pun terdapat banyak campuran bahasa Persia (atau bahasa Farsi) dan bahasa Arab. Jadi, terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Hindustani itu mungkin dapat membuka jalan ke arah terjemahan Alkitab dalam beberapa bahasa lainnya pula.
Walau Henry Martyn dikirim ke India sebagai pendeta tentara, tujuannya yang utama ialah, untuk menyampaikan Sabda Allah kepada orang-orang yang belum pernah mendengarnya. Ia berhasrat menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa-bahasa yang dapat dipahami di wilayah yang paling luas. "Sampai saat ini, sedikit sekali yang telah kucapai," demikianlah ia mencatat dalam buku hariannya. "Sekarang, biarlah aku menyala-nyala sampai habis demi Allah" . . .
Selama enam minggu Henry Martyn menelusuri Sungai Gangga, dari kota Calcutta ke kota Patna. Pada malam hari kapal sungai yang ditumpanginya itu terlambat di tepi, dan ia suka turun ke desa-desa. Kadang-kadang penduduk desa melarikan diri, karena mereka belum pernah melihat seorang manusia berkulit putih dan bermata biru. Tetapi kadang-kadang mereka ingin mendengar Kabar Baik yang disampaikannya dalam bahasa Hindustani yang terbata-bata. Kepada mereka ia juga membagi-bagikan Kitab-Kitab Injil dan surat-surat selebaran yang telah disediakan oleh Joshua Marshman sebelum ia berangkat dari Serampore.
Setibanya di Patna, tugas Henry Martyn sebagai pendeta tentara itu ternyata agak ringan. Kebanyakan tentara Inggris tidak mau tahu tentang Sabda Allah; mereka hanya menghindari kebaktian mingguan karena di suruh berbuat demikian. Mereka harus berdiri tegak selama ibadah itu berlangsung; jadi, para perwira mengusulkan supaya khotbah diperpendek atau ditiadakan. Bahkan di antara korps perwira itu sendiri ada yang tidak sudi hadir sama sekali.
Namun Henry Martyn berhasil menemui cukup banyak orang yang dapat dilayaninya, baik orang Barat maupun orang Timur. Ia rajin menengok para penderita di rumah sakit. Ia rela pergi ke mana-mana, betapa pun jauhnya, untuk memimpin upacara pernikahan atau upacara perkabungan. Ia membuka tiga sekolah gratis untuk anak-anak setepat. Sering ia berkhotbah di hadapan ratusan orang minta-minta. Ia menerjemahkan liturgi kebaktian ke dalam bahasa Hindustani, khususnya demi kaum ibu. Wanita-wanita India itu harus pindah agama waktu menikah dengan tentara-tentara Inggris, namun mereka sama sekali belum mengerti bahasa para suami mereka.
Sementara itu, Henry Martyn sangat merindukan seorang penolong yang sepadan dengan dia. Dulu sebelum berangkat dari Inggris, ia pernah menjadi akrab dengan seorang pemudi bernama Lydia. Sesudah ia melihat bahwa situasi di India memungkinkan untuk berumah tangga, ia menulis sepucuk surat, minta kerelaan Lydia supaya menyusul dari Inggris dan menjadi istrinya.
Sambil menunggu balasan suratnya itu, Henry Martyn menyibukkan diri dengan terjemahan Sabda Allah ke dalam bahasa Hindustani. Sebagai guru ia mendapat dua orang India yang berlatar belakang agamanya berbeda. Kedua-duanya sering memperdebatkan Perjanjian Baru, sehingga terjemahannya itu dengan susah payah dapat dikerjakan.
Sewaktu-waktu kesehatan Henry Martyn agak terganggu. Namun ia berbesar hati, sambil memikirkan sukacita yang menantikan dia di masa depan.
Lalu pada suatu hari, tibalah sepucuk surat dari negeri Inggris, . . . dan jawaban Lydia itu bukan jawaban yang diharapkan.
Pada hari yang sama itu, para dokter tentara memberitahu Henry Martyn bahwa ia berpenyakit tebese, sama seperti kakak dan adiknya yang sudah meninggal di Inggris.
Henry Martyn merasa sangat sedih. Ia tidak mau lagi berurusan dengan kebun bunga yang sudah mulai digarap di halaman rumahnya. Ia pun memberitahu seorang sahabat karibnya di Serampore untuk menjual saja setelan piring dan gelas yang telah dipesannya.
Namun Henry Martyn tidak sampai putus asa. Justru oleh karena tidak ada harapan untuk dapat hidup senang dengan kekasihnya, bahkan tidak ada harapan untuk dapat hidup sampai usia tua, maka sebagai hamba Tuhan ia menjadi lebih bergiat lagi. Ia hendak menggunakan waktu yang masih ada sebaik-baiknya.
Dan Tuhan pun mengirim seorang penolong baru kepadanya, persis dua minggu setelah ia menerima surat dari Lydia yang isinya sangat menyedihkan itu. Sesungguhnya penolong yang baru itu memungkinkan dia untuk lebih banyak memanfaatkan talentanya yang luar biasa sebagai seorang penerjemah Alkitab.
Sabat adalah seorang pengembara dari tanah Arab. Dulu, temannya yang bernama Abdullah telah menjadi orang Kristen. Sabat mengkhianati temannya itu, sehingga Abdullah mati syahid. Lalu . . . anehnya, Sabat sendiri kemudian menjadi seorang Kristen. Sebagai akibatnya, ia pun harus melarikan diri dari orang-orang yang hendak membunuhnya. Mula-mula ia mengungsi ke Serampore; lalu ia meneruskan pengembaraannya ke kota Patna.
Sabat dapat berbicara bahasa Arab, bahasa Persia, dan bahasa Hindustani. Dan, sebagai saudara seiman, ia bersedia menolong Henry Martyn dengan terjemahannya, tanpa harus memperdebatkan maksud setiap ayat.
Pada masa yang bersamaan juga, muncullah seorang lain lagi yang sangat menolong Henry Martyn dengan usaha penerjemahannya. Nama orang itu, Mirza; ia bukan seorang Kristen, namun ia tidak memusuhi kaum Kristen. Dan ia pun sangat pandai, baik dalam bahasa Hindustani maupun dalam bahasa Inggris.
Dengan bantuan kedua penolongnya yang baru itu, Henry Martyn terus mengerjakan terjemahan Kitab Pernjanjian Baru bukan hanya satu terjemahan, juga bukan dua, tetapi tiga macam terjemahan sekaligus! Sabat telah bercerita tentang keperluan rohani orang-orang yang diam di seluruh negeri Persia, juga di seluruh wilayah yang berbahasa Arab. Maka dalam jiwa Henry Martyn muncullah suatu cita-cita yang amat besar: ia akan menyediakan Kitab Perjanjian Baru dalam tiga bahasa Asia yang sangat penting itu. Ia akan memberikan sabda Allah kepada seluruh Asia Selatan!
Bukankah bahasa Hindustani itu bahasa perdagangan seluruh India? Bukankah Persia itu negara tetangga India, yang juga terletak di Asia Selatan? Dan di sebelah Barat dan Selatan negeri Persia itu, ada banyak negara yang menggunakan bahasa Arab bahkan sampai ke Magrib -el-Aksa, Tanah Maroko di Afrika Utara, tempat yang paling jauh ke sebelah matahari terbenam di mana masih ada orang yang mengerti bahasa Arab.
Bukan hanya itu saja: Henry Martyn juga mencita-citakan dapat menyediakan Sabda Allah dalam tiga bahasa Asia Selatan yang terpenting itu, berupa tiga terjemahan yang paling bagus. Untuk dapat berbuat demikian, ia berkata kepada dirinya sendiri, aku harus tinggal di tempat yang ada orang-orang yang biasa memakai setiap bahasa itu. Di sini, di India, aku sudah berhasil menyediakan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Hindustani, bahasa orang India. Kelak aku pun ingin menyediakan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Persia sambil menetap di negeri Persia, serta Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Arab sambil menetap di Tanah Arab!
Dengan tekun Henry Martyn mengejar cita-citanya yang amat besar itu. Tetapi sebagai seorang pendeta tentara, tugasnya dipindahkan dari Patna ke Cawnpore makin lama makin jauh ke pedalaman India. Dan kesehatannya pun semakin menurun.
Lambat laun para atasan Henry Martyn mulai menyadari bahwa ia perlu dipindahkan lagi ke tempat yang iklimnya lebih menyehatkan. Mungkin juga pelayaran di lautan lepas akan turut meringankan penyakit paru-parunya. Maka menjelang akhir tahun 1810, Henry Martyn diizinkan naik sebuah kapal Sungai Gangga dengan teman sekerjanya, Sabat. Mereka menuju ke mudik lagi, ke arah Serampore dan Calcutta.
Seorang sahabat karib Henry Martyn di Serampore merasa bingung ketika ia mendengar tentang rencananya hendak pergi ke negeri Persia dan ke Tanah Arab. Dalam sepucuk surat ia menulis: "Sampai hatikah aku melepaskan kamu? Terus terang, seandainya jasmanimu cukup kuat sehingga mungkin kamu masih dapat hidup sampai usia tua, aku tidak sanggup melepaskan kamu pergi. Tetapi justru karena kamu menyala-nyala seperti fosfor, mungkin apa jiwamu itu akan dapat terus berkobar lebih lama di Tanah Arab daripada di sini, di India."
(Memang tepat julukan Henry Martyn di judul pasal 5 ini: "Suluh Sabda Allah di Asia Selatan"!)
Kemudian Henry Martyn berpamitan lagi dengan para sahabatnya di Serampore. Kepada William Carey, William Ward, dan Joshua Marshman, ia menitipkan hasil karyanya berupa naskah Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Hindustani. Lalu ia naik kapal laut dan berangkat pada permulaan tahun 1811.
Dalam pelayarannya mengitari benua India itu, kesehatannya memang sedikit membaik. Kapalnya mampir di Oman selama dua minggu saja, dan Henry Martyn senang sekali dapat bercakap-cakap dalam bahasa Arab dengan penduduk setempat. Tetapi ia tidak sempat tinggal lama di sana; ia tidak dapat memperbaiki dan menyempurnakan terjemahannya dari Kitab Perjanjian Baru di negeri yang berbahasa Arab itu.
Setibanya di negeri Persia, Henry Martyn langsung mengungsi ke daerah pegunungan tinggi, tempat tinggal gubernur penjajahan Inggris. Sang gubernur itu sangat baik hati; ia memperkenalkan tamunya kepada seorang tokoh bangsa Persia bernama Jaffar Ali. Jaffar Ali menerima pemuda Inggris itu sebagai tamu yang menginap di rumahnya. Ia pun memperkenalkan iparnya yang bernama Seid Ali.
Seid Ali menggeleng-gelengkan kepalanya pada saat ia memeriksa naskah Kitab Perjanjian Baru bahasa Persia itu, yang telah dikerjakan oleh Henry Martyn dengan bantuan Sabat. Ternyata Sabat tidak sepandai berbahasa Persia seperti pengakuannya! Maka Henry Martyn harus mulai lagi dari permulaan.
Untung di daerah pegunungan yang segar hawanya itu kesehatan Henry Martyn terus membaik. Karena untuk sementara tugas sehari-hari sebagai pendeta tentara tidak ada lagi, maka ia mempunyai lebih banyak waktu untuk menerjemahkan Sabda Allah. Dan Seid Ali, walau ia belum rela percaya kepada Isa Almasih, namun bersikap terbuka terhadap Kabar Injil itu.
Pada permulaan tahun 1812, terjemahan Kitab Perjanjian Baru (dan juga Kitab Mazmur) dalam bahasa Persia itu sudah selesai. Salah satu naskahnya dititipkan kepada gubernur penjajahan Inggris. Tetapi Henry Martyn ingin juga menyampaikan salah satu salinannya kepada Shah Persia. Untuk maksud itu ia mendapat surat-surat perkenalan dari sang gubernur. Dengan beberapa teman, berangkatlah dia menuju ke tempat istana sang Shah.
Ternyata perjalanan itu tidak semudah yang disangkanya. Sang Shah tidak ada di tempat yang dituju oleh Kafilah itu. Henry Martyn terus mencari dia. Tetapi di tengah-tengah perjalanan itu, penyakitnya kambuh lagi. Satu-satunya harapan bahwa ia dapat sembuh ialah, jika ia dapat menjelajahi seluruh negeri Turki sampai ke kota Istanbul. Dari sana ia dapat naik kapal laut ke negeri Inggris.
Henry Martyn tidak pernah sampai ke kota besar Istanbul. Ia meninggal di pedalaman negeri Turki, pada bulan Oktober tahun 1812. Jadi, masa pelayanannya di Asia Selatan itu sangat pendek, hanya enam tahun saja. Namun prestasinya selama enam tahun itu melebihi harapan seseorang yang masa kerjanya enam puluh tahun. Coba simak:
+ Kitab Perjanjian Baru bahasa Hindustani hasil karya Henry Martyn itu diterbitkan di Serampore pada tahun 1814. Bahasa Hindi adalah bahasa resmi Republik India pada masa kini; bahasa Urdu adalah bahasa resmi Republik Pakistan pada masa kini; kedua-duanya merupakan bahasa turunan dari bahasa Hindustani. Jadi, setiap terjemahan Alkitab dalam kedua bahasa yang penting itu, pasti banyak dipengaruhi oleh terjemahan Henry Martyn pada masa lampau.
+ Kitab Perjanjian Baru bahasa Persia hasil karya Henry Martyn itu diterbitkan di kota St. Petersburg tahun 1815. Sang gubernur Inggris telah membawa naskah yang sangat berharga itu ke negeri Rusia, sehingga jadi diterbitkan di sana. Itulah Perjanjian Baru lengkap yang pertama-tama dalam bahasa resmi Republik Iran pada masa kini; itu juga merupakan nenek moyang dari setiap terjemahan Perjanjian Baru bahasa Persia atau Farsi sampai sekarang.
+ Kitab Perjanjian Baru bahasa Arab hasil karya Henry Martyn itu diterbitkan di kota Calcutta tahun 1816. Walau sangat berpengaruh pada zamannya, terjemahan itu tidak tahan lama seperti kedua terjemahan lainnya. Mungkinkah karena Henry Martyn tidak sempat mencapai bagian ketiga dari cita-citanya yang amat besar itu, yakni ia tidak pernah dapat menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru bahasa Arab sambil menetap di Tanah Arab?
Bagaimanapun juga, Henry Martyn yang hanya enam tahun karirnya itu telah mendapat julukan, "Suluh Sabda Allah di Asia Selatan." Harapan yang pernah dicatatnya dalam buku hariannya ketika ia baru tiba di benua Asia itu sungguh terjadi: "Biarlah aku menyala-nyala sampai habis demi Allah!"
TAMAT
Berabad-abad lamanya, Alkitab merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di seluruh dunia.
Ada tiga alasan yang menjadi penghalang sehingga isi Firman Allah itu umumnya tidak dikenal oleh orang-orang biasa.
Mula-mula, pada zaman dahulu hanya ada satu cara untuk memperbanyak salinan-salinan Alkitab: dengan tulisan tangan. Jadi, salinan-salinan Alkitab itu sangat langka dan sangat mahal harganya.
Juga, kebanyakan pemimpin umat Kristen pada zaman dahulu berpendapat bahwa jika orang-orang biasa diizinkan membaca Alkitab sendiri, pasti akan timbul banyak tafsiran yang salah. Jadi (menurut pikiran mereka), lebih baik jika hak istimewa untuk memiliki Alkitab itu dimonopoli saja oleh para rohaniawan.
Alasan ketiga ialah, kebanyakan Alkitab pada zaman dahulu masih ditulis dalam bahasa-bahasa kuno. Jadi, kebanyakan orang tidak dapat membacanya, pun tidak dapat mengerti isinya jika dibacakan oleh orang lain.
Mulai pada abad yang ke-15 dan ke-16, ketiga alasan yang menjadi penghalang itu berturut-turut dihapus.
Pertama-tama, seni cetak ditemukan oleh orang-orang Barat (walau pada hakikatnya orang-orang Timur sudah lebih dahulu menemukannya!). Buku lengkap yang pertama-tama dicetak ialah: Alkitab. Maka salinan-salinan Alkitab menjadi jauh lebih mudah diperoleh.
Kemudian timbul Reformasi Protestan di benua Eropa. Gerakan pembaharuan gereja itu menekankan bahwa tiap orang bertanggung jawab kepada Allah atas keadaan rohaninya. Jadi, belum cukuplah jika ia mendengar tafsiran Alkitab yang diberikan oleh orang lain; ia harus dapat mempunyai Alkitab sendiri, serta harus dapat mengerti isinya.
Tentu saja, untuk dapat mencapai maksud tadi, Alkitab harus diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa yang biasa dipakai oleh kebanyakan orang. Dan justru itulah yang berlangsung di seluruh dunia, mulai pada abad yang ke-16.
Namun Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di Nusantara. Memang sudah ada orang-orang Kristen di sini: Kaum Kristen Nestorian mulai datang ke kepulauan Indonesia pada abad yang ke-12, dan kaum Kristen Katolik mulai datang pada abad yang ke-14. Tetapi Alkitab-Alkitab yang mereka bawa itu tertulis dalam bahasa-bahasa asing, yang sulit dipahami oleh putra-putri Nusantara.
Ada juga halangan khusus di Nusantara yang mencegah orang mempunyai dan membaca Alkitab, yakni: Orang-orang yang tinggal di berbagai-bagai pulau itu berbicara dalam berbagai-bagai bahasa pula. Jika seorang pelaut pergi berlayar di Nusantara, belum tentu ia dapat bercakap-cakap dengan orang-orang di pulau tempat tujuannya.
Namun ada juga bahasa-bahasa yang umumnya dipakai kalau putra-putri Nusantara pergi ke pasar atau berdagang di pelabuhan. Salah satu bahasa perniagaan itu ialah bahasa Portugis; tetapi yang lebih umum lagi ialah, bahasa Melayu (yang sesungguhnya merupakan nenek moyang bahasa Indonesia).
Anehnya, Alkitab mula-mula diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis, bukan di negeri Portugis sendiri, melainkan di Nusantara!
Pada pertengahan abad yang ke-17, seorang anak laki-laki kecil dibawa dari Portugis ke kota Malaka, di semenanjung Melayu. Ketika ia masih berumur belasan tahun, bocah itu mulai percaya kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru Selamatnya. Dan pada umur yang masih sangat muda, mulailah dia menerjemahkan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa ibunya. Kemudian, tatkala ia pindah dari Malaka ke Jakarta, ia sempat menyelesaikan terjemahannya itu. Ia juga menerjemahkan sebagian besar dari Kitab Perjanjian Lama.
Tetapi lambat laun penjajah bangsa Portugis itu diusir dari seluruh Nusantara oleh penjajah bangsa Belanda. Karena itu makin lama makin sedikit orang yang menggunakan bahasa Portugis sebagai bahasa perdagangan antar pulau. Dan Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di kepalauan Indonesia.
Anehnya, orang-orang yang mula-mula insaf bahwa Firman Allah seharusnya diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu bukannya para pendeta dan penginjil, melainkan para pelaut dan pedagang. Pada permulaan abad yang ke-17, seorang pelaut Belanda bernama Houtman ditangkap dan dipenjarakan oleh suku Aceh yang pada waktu itu terkenal cukup garang. Selama ditahan di Sumatera Utara, orang Belanda itu sempat belajar bahasa Melayu. Setelah dibebaskan, mulai pada tahun 1605 ia menerbitkan beberapa tulisan Kristen yangg sudah diterjemahkannya ke dalam bahasa Melayu.
Sementara itu, seorang pedagang bernama Albert Cornelisz Ruyl berlayar dari Belanda ke Indonesia pada tahun 1600. Ia menyadari bahwa Alkitab perlu dibaca oleh putra-putri Nusantara. Bahkan ia membujuk rekan-rekan sekerjanya sampai mereka rela membayar semua ongkos penerbitan untuk proyek terjemahannya itu. Pada tahun 1612 Ruyl sudah selesai mengalihbahasakan seluruh Kitab Injil Matius ke dalam bahasa Melayu. Tetapi baru tujuh belas tahun kemudian, hasil karyanya itu dicetak.
Dalam bahasa Melayu terjemahan Ruyl, Doa Bapa Kami (dari Matius 6:9-13) berbunyi sebagai berikut:
"Bappa kita, jang adda de surga:
Namma mou jadi bersakti.
Radjat-mu mendatang
kandhatimu menjadi
de bumi seperti de surga
Roti kita derri sa hari-hari membrikan kita sa hari inila.
Makka ber-ampunla pada-kita doosa kita,
seperti kita ber-ampun
akan siapa ber-sala kepada kita.
D'jang-an hentar kita kepada tjobahan,
tetapi lepasken kita dari jang d'jakat."
Hanya sebagian saja dari Alkitab yang sempat diterjemahkan oleh A. C. Ruyl, pedagang Belanda tadi. Lagi pula, bahasa Melayu yang dipakainya itu sangat jelek. Misalnya, ia belum mengerti perbedaan antara "kita" dengan "kami."
Kemudian, pada pertengahan abad yang ke-17, ada seorang pendeta Belanda bernama Daniel Brouwerius yang mulai insaf bahwa Alkitab mmasih merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan putra-putri Nusantara. Ia pindah ke kepulauan Indonesia dan berhasil menerjemahkan seluruh Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Melayu.
Dalam terjemahan Daniel Bruwerius, yang mula-mula diterbitkan pada tahun 1668, Doa Bapa Kami berbunyi sebagai berikut:
"Bappa cami, jang adda de Surga,
Namma-mou jaddi bersacti.
Radjat-mou datang.
Candati-mou jaddi
bagitou de boumi bagaimana de surga.
Roti cami derri sa hari hari bri hari ini pada cami
Lagi ampon doossa cami,
bagaimana cami ampon
capada orang jang salla pada cami.
Lagi jangan antarrken cami de dalam tsjobahan
hanja lepasken cami derri jang djahat."
Memang Pdt. Brouwerius sudah dapat membedakan "kita" dan "kami." Namun masih banyak kesalahan dalam Perjanjian Baru bahasa Melayu yang diterjemahkannya. Apalagi, seluruh Perjanjian Lama masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan orang di Nusantara.
Tujuh tahun setelah Kitab Perjanjian Baru terjemahan Brouwerius itu diterbitkan, seorang pendeta tentara tiba di Jawa Timur. Siapa namanya? Dr. Melchior Leydekker. Di samping menjadi seorang pendeta, ia juga seorang dokter. Pada tahun 1678, Dr. Leydekker pindah lagi dari jawa Timur ke Jakarta, dan tetap tinggal di ibu kota selama sisa umurnya.
Dr. Leydekker menjadi pandai sekali berkhotbah dalam bahasa Melayu. Jadi, pada tahun 1691 dialah yang ditunjuk untuk mulai menyiapkan suatu terjemahan seluruh Alkitab dalam bahasa yang dapat dipahami di seluruh Nusantara.
Selama sepuluh tahun Dr. Leydekker bekerja dengan tekun. Terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dihasilkannya. Lalu ia terus mulai mengalih-bahasakan Kitab Perjanjian Baru. Sayang, ia tidak sempat menyelesaikan tugas yang mulia itu: Ia meninggal pada tahun 1701, setelah mengerjakan terjemahannya sampai dengan Efesus 6:6.
Kutipan Doa Bapa Kami dari terjemahan bahasa Melayu Dr. Melchior Leydekker di bawah ini telah disusun kembali menurut ejaan yang disempurnakan dan menurut tanda-tanda baca yang modern. Dengan demikian lebih jelaslah persamaannya dengan ayat-ayat yang sama itu dalam terjemahan biasa bahasa Indonesia:
"Bapa kami yang di sorga,
namaMu dipersucilah kiranya
KerajaanMu datanglah.
KehendakMu jadilah,
seperti di dalam sorga, demikianlah di atas bumi.
Roti kami sehari berilah akan kami pada hari ini.
Dan ampunilah pada kami segala salah kami,
seperti lagi kami ini mengampuni
pada orang yang bersalah kepada kami.
Dan janganlah membawa kami kepada percobaan
hanya lepaskanlah kami daripada yang jahat."
Salah seorang rekan Dr. Leydekker almarhum ditunjuk untuk menyelesaikan tugasnya, sehingga pada tahun 1701 itu juga sudah ada Firman Allah yang lengkap dalam bahasa Melayu. Namun Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk putra-putri Nusantara. Mengapa sampai terjadi demikian?
Pada masa Melchior Leydekker masih menjadi seorang mahasiswa kedokteran dan kependetaan di Belanda, lahirlah di negeri itu seorang anak laki-laki dalam keluarga seorang pembantu kepala sekolah. Anak laki-laki itu lahir pada tahun 1965 dan diberi nama Francois Valentyn. Rupa-rupanya ia seorang pemuda yang pandai, karena ia baru mencapai umur 20 tahun ketika ia diizinkan meninggalkan kuliah teologinya serta pergi ke Maluku sebagai seorang pendeta. Rupa-rupanya ia juga cepat mahir dalam bahasa Melayu: Menurut kesaksiannya sendiri, ia sudah sanggup berkhotbah dalam bahasa setempat setelah belajar hanya tiga bulan lamanya.
Pada suatu hari, kebetulan seorang pendeta tua datang ke Ambon dan menginap di tempat tinggal pendeta yang masih muda tadi. Sang pendeta tua membawa serta sebuah naskah besar. "Warisan," katanya. "Naskah ini dulu ditulis oleh seorang pendeta yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. Kemudian sang janda memberikan naskah ini kepadaku.
Secara tidak terduga pendeta tua itu meninggal pada waktu ia bertemu di rumah pastori di Ambon. Maka Naskah kuno itu jatuh ke dalam tangan Pdt. Francois Valentyn. Ketika diperiksa, ternyata tulisan tangan itu adalah terjemahan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu!
Pdt. Valentyn adalah seorang yang rajin. Ia rajin menyelidiki bahasa dan kebudayaan orang Maluku. Dan ia pun rajin mencari teman-teman baru di tempat pelayanannya. Salah seorang teman barunya itu adalah seorang janda kaya. Setelah menikah dengan janda itu, Pdt. Valentyn kembali ke tanah airnya pada tahun 1695. Naskah kuno itu pun dibawa ke Belanda.
Kemudian, pada permulaan abad yang ke-18 diumumkan bahwa Dr. Melchior Leydekker almarhum (dengan bantuan salah seorang rekannya) telah berhasil menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalam bahasa Melayu.
Mungkinkah Pdt. Francois Valentyn menjadi iri hati? Mungkinkah ia berkeinginan supaya dia saja yang dihormati (dan bukan orang-orang yang sudah meninggal) sebagai penerjemah yang pertama-tama menghasilkan seluruh Firman Allah dalam bahasa Nusantara?
Bagaimanapun juga, Pdt. Valentyn mulai mempromosikan dirinya sebagai penerjemah naskah kuno seluruh Alkitab itu (yang hanya kebetulan saja ada di dalam tangannya). Katanya, terjemahan itu juga lebih baik, jauh lebih modern, bahkan jauh lebuh mudah dipahami terjemahan Dr. Leydekker.
Tentu saja umat Kristen menjadi bingung. Baik di Belanda maupun kepulauan Indonesia, ada orang-orang yang lebih setuju dengan terjemahan Valentyn, tetapi ada juga orang-orang yang lebih setuju dengan terjemahan Leydekker. Akibatnya, kedua terjemahan itu tidak jadi diterbitkan. Dan sekali lagi, selama berpuluh-puluh tahun, Alkitab masih tetap merupakan sebuah kitab yang bungkam untuk kebanyakan putra-putri Nusantara.
Akhirnya duduk perkaranya terungkap dengan jelas. "Terjemahan Valentyn" itu diselidiki dan dinyatakan sebagai hasil karya orang lain. Lagi pula, terjemahan itu dinilai sangat jelek.
Akan tetapi sementara perselisihan pendapat itu masih berlangsung, sudah lewat juga dua puluh tahun lebih. Ada orang-orang yang merasa bahwa terjemahan Leydekker tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Maka pada tahun 1723 sebuah panitia ditunjuk untuk menyunting kembali naskah terjemahannya itu. Selama enam tahun mereka mengerjakan edisinya yang baru.
Menjelang tahun 1729, naskah terjemahan baru dari Alkitab lengkap itu dua kali disalin dengan tulisan tangan: sekali dalam huruf Latin, dan sekali lagi dalam huruf Arab. Kedua naskah itu masing-masing dikirim ke Belanda dalam dua kapal yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa walau satu naskah jadi hilang di dasar laut, namun naskah yang satunya lagi itu masih akan tiba dengan selamat. Salah seorang penyuntingnya juga berlayar ke tanah airnya, untuk mengawasi proyek penerbitan yang besar itu.
Kitab Perjanjian Baru terjemahan Leydekker keluar pada tahun 1731. Lalu Alkitab lengkap terjemahan Leydekker diterbitkan pada tahun 1733. Maka akhirnya juga Firman Allah tidak lagi bungkam dalam bahasa Nusantara!
TAMAT