Beberapa tahun yang lalu, saya membawa tim praktik ke sebuah desa di daerah perang -- negara Angola. Kami disambut hangat oleh 20 orang penduduk, yang rata-rata bertubuh kurus, kami pun segera sadar bahwa mereka sedang dalam keadaan berputus asa. Mereka telah kembali ke desa 6 bulan lalu, sebelum terjadi peristiwa kebakaran. Panen jagung mereka gagal dan mereka semua tidak memiliki makanan sekarang. Salah seorang ibu menyusui bayinya namun ia terlau lemah untuk berjalan, bahkan terkena anemia. Yang lain mendatangi kami sambil membawa bayinya, dan saya begitu terkejut serta prihatin melihat kondisi bayi kecil itu. Ia kurus, pucat, kekurangan gizi, dan sangat kelaparan, hingga mengalami dehidrasi. Tidak satu pun dapat dilakukan ibunya dan dari wajah sang ibu terpancar keputusasaan. Tampak jelas bahwa saya terlambat menyelamatkan bayi itu. Kondisinya sangat parah dan ia sudah tidak mampu menangis lagi.
Apakah respons kita? Kita seharusnya merespons dengan cara Tuhan. Ia penuh kasih, baik, murah hati, dan pemurah. Jika kita berdoa dan menghayati doa Bapa kami, "Datanglah kerajaan-Mu dan jadilah kehendak-Mu", kita seharusnya hidup merespons-Nya ketika melihat kekerasan, penderitaan, ketidakadilan, kekacauan, dan korupsi. Kami membawa bayi itu ke rumah sakit terdekat di kota, memberikan beberapa vitamin kepada sang ibu, dan mengatur pengiriman makanan ke desa tersebut. Tidak ada tindakan yang lebih cepat dilakukan di negeri berlatar perang itu, tetapi kita dapat merespons dengan tindakan nyata. Beberapa hari kemudian, kami mendapat kabar bahwa kehidupan bayi itu berhasil diselamatkan.
Ada perdebatan panjang di gereja, apakah kita harus berfokus pada pemberitaan Kabar Baik atau kita harus menghindarinya dengan menarik diri dari pemberitaan itu, dan hanya berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan orang-orang. Pada saat kanak-kanak, saya pergi ke gereja pada setiap hari Minggu, di gereja yang bebas. Khotbah mereka hanya ditujukan pada memiliki hidup yang baik di bumi dan menolong orang-orang yang susah. Ketika saya kuliah, saya diajarkan segala sesuatu menyangkut bahaya buruk "Injil sosial". Kita harus pergi dan memberitakan kebenaran supaya terbentuk gereja-gereja yang kuat. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan duniawi orang dianggap berbahaya, dan akhirnya merupakan ancaman yang dapat menghilangkan fokus pada kekudusan berita Injil.
Tampaknya, saya tidak dapat menerima kedua hal itu. Mengapa? Anda tidak dapat percaya bahwa keselamatan pribadi hanya melalui pendamaian Yesus bagi dosa-dosa kita itu penting jika Anda tidak menganggap Allah itu suci dan menuntut pemuasan terhadap tuntutan hukum yang Ia telah berikan. Kemudian, Anda hanya dapat percaya bahwa kebutuhan-kebutuhan masyarakat tidaklah penting jika Anda berpikiran bahwa Allah tidaklah sepenuhnya mengasihi atau memelihara kehidupan kita sekarang. Segala sesuatu bergantung pada karakter Allah. Allah itu kudus, benar, penuh belarasa, mengasihi, baik, suci, sabar, setia, dan adil. Jika kita menghayati kehidupan-Nya di dunia, sebagaimana yang diajarkan Alkitab, kita seharusnya memiliki karakter yang sama, atau sedikitnya mencapai sasaran ini.
Jika pemerintah kita korup, kita harus mencoba dan mengubah situasinya. Karakter Allah menuntut perubahan tersebut. Jika seni mengajarkan sesuatu yang tidak kudus kepada suatu negara, kita harus menentangnya. Karakter Allah menuntut perlawanan tersebut. Jika kaum minoritas dipaksa menjadi pelaku tunasusila, kita harus datang dengan strategi untuk mencoba mengakhirinya, atau setidaknya mencegah ledakan pertambahannya. Karakter Allah menuntut tindakan tersebut. Jika wanita dilecehkan dan ditindas dalam suatu masyarakat, kita harus mencari jalan untuk memberi mereka martabat dan kesempatan. Karakter Allah menuntut upaya tersebut.
Banyak kompleksitas menghadapi kita ketika kita mulai membicarakan pokok memberkati bangsa-bangsa. Bagaimana kita pergi ke budaya primitif dan mulai mendesak mereka untuk memerintah diri mereka sendiri? Bukankah ini semacam ideologi kolonisme? Bagaimana jika hal itu tidak berhasil dalam keadaan normal? Bagaimana kita membuat perubahan di bawah kungkungan tekanan ketika orang-orang percaya adalah kaum minoritas dan semua orang melawannya? Apakah kita kehilangan pijakan otoritas kenabian, jika gereja secara institusi melibatkan diri di dalam politik yang berbahaya? Bagaimana jika kita kehilangan pentingnya kepercayaan bahkan keselamatan kekal kita? Sesungguhnya, kita akan berurusan dengan berbagai hal ini dan banyak lagi pertanyaan lain. Pada akhir semua diskusi, entah apa pun keprihatinan pribadi kita dan apa pun kejutan strategis kita, kita harus mencapainya dengan karakter Allah. Pandangan kita tertuju pada "kebendak-Mu jadi di bumi seperti di surga". Kehendak-Nya tidak dapat lepas dan hanya ditujukan pada kekekalan. Banyak ayat Alkitab mendorong kita pada kesimpulan ini.
Di dalam buku "Rise of Christianity", sosiolog Rodney Stark, sebagai seorang ilmuwan sosial yang netral, menulis mengenai atribut terbesar dari kemenangan iman orang percaya di Kerajaan Roma terhadap moralitas yang berbeda, dan bahwa strata etnis orang-orang percaya tidak keluar dari kebudayaan itu. Sepanjang penganiayaan terbesar pada tahun 165 M dan terulang kembali pada tahun 251 M, respons terhadap orang-orang yang belum percaya di Roma dan terhadap orang-orang yang sudah percaya benar-benar berbeda. Dionysius, bapa gereja dan bishop di Alexandria, menghubungkan bagaimana orang-orang percaya berkumpul di kota untuk melayani mereka yang berkebutuhan, walaupun hasilnya menyebabkan banyak dari mereka yang mati. Sementara itu, orang-orang melarikan diri, meninggalkan kerabat yang sakit dan kekasih mereka yang akan meninggal. Pelayanan kurban oleh orang-orang percaya ini sangat berpengaruh sehingga kelompok kecil orang Yahudi itu berkembang menjadi agama resmi di kerajaan terbesar di bumi. Kekristenan juga menjadi fondasi utama bagi etika ideal dan moralitas di Barat. Siapa akan menyanggah bahwa kita dapat mengupayakan perubahan?
Perhatikan, bahwa perubahan peradaban Barat bukan karena pengambilalihan institusi kekuasaan oleh kekristenan, melainkan karena mereka membangunkan hati nurani Kerajaan itu. Mereka menawarkan cara hidup yang lebih baik dan hidup dengan cara yang benar. Untuk mengubah sesuatu di dalam suatu negara, diperlukan banyak usaha dan dana. Artinya, apakah kita berpikir dalam konteks kompetisi, tempat ada yang menang dan ada yang kalah, untuk memperebutkan orang-orang dan sumber daya? Kecenderungan itu sekarang sudah berbaur menjadi perdebatan tentang memberkati bangsa-bangsa. Kita suka mendengar pernyataan seperti ini, "Kita perlu menghentikan semua perhatian utama pada mereka yang belum terjangkau dan berpusat saja pada sumber daya kita yang terbatas, ini juga akan memberkati bangsa-bangsa". Inilah dikotomi yang salah.
Pada Matius 28:18-20, kita diberi amanat khusus untuk memuridkan "semua bangsa". Bagaimana itu dimungkinkan? Dapatkah Tuhan itu relatif dalam keadilan, kebaikan, dan kemakmuran di dalam suatu masyarakat di Barat dan mengabaikan bagaian-bagian masyarakat lainnya? Apakah Tuhan pilih-pilih kasih? Apakah tindakan itu sesuai dengan karakter-Nya? Tidak! Karakter-Nya menuntut Ia menunjukan perhatian yang sama dan mengasihi semua bangsa, tanpa pilih-pilih kasih. Sebuah survei berusaha menganalisis setiap tempat keberadaan para pekerja rohani, di mana saja orang-orang percaya itu menghabiskan uang mereka, atau dari mana bangsa-bangsa mendapat sumbangan dari gereja, akan membawa kita pada kesimpulan bahwa usaha kita sekarang ini tidak menggambarkan karakter Allah. Sejumlah uang dihabiskan untuk media, aksi politik, dan prasarana gereja, dalam rangka kita memenuhi negara-negara Barat dengan pengajaran rohani. Hanya sedikit saja yang diberikan kepada orang-orang yang belum pernah mendengar.
Kata "semua" dalam "semua bangsa bangsa murid-Ku" adalah tantangan terbesar di dalam Amanat Agung. Kata itu tidak boleh ditinggalkan. Ironisnya, kelompok orang-orang yang belum terjangkau itu, sejuta kali lebih menanggapi pengajaran Kerajaan Allah dibanding orang-orang Barat, menurut metode analisis statistik yang dikembangkan oleh Dr. David Barrett dan Dr. Todd Johnson. Artinya, mereka mewakili potensi yang lebih besar untuk memberkati bangsa-bangsa. Secara umum, kekristenan di Barat terlihat sebagai ideologi yang renta, kelelahan, dan yang telah gagal. Di Timur, masyarakat suku sering dilihat sedang bertransformasi, menggembirakan, dan sangat menjanjikan. Menurut Anda, di manakah kita memiliki kesempatan terbaik untuk mendapat sukses yang berarti? Bukankah daya dorong dan energi untuk mengubah Barat tampaknya berasal dari tempat Injil dipercayai dengan cara yang bersemangat dan berkuasa?
Kerajaan itu hadir dalam semua aspek kehidupan. Artinya, kehadirannya yang dinamis melalui orang-orang percaya yang terlibat di dalam semua bagian masyarakat. Melalui para pekerja-Nya, kehadiran yang aktif dengan suatu tujuan itu merembes ke semua suku dan bangsa. Beberapa tahun lalu, saya sedang menempuh perjalanan yang panjang dan membosankan, lalu saya mengambil majalah "Reader's Digest" di pesawat. Saya membolak-balik dan membaca semua bagian hingga tiba pada artikel yang berjudul "Kota Amerika yang Paling Berbelaskasihan". Saya membaca dengan rasa ingin tahu bagaimana penjelasan penulis mengenai warisan dari Rochester, USA. Survei itu menyatakan kota-kota paling baik di Amerika, yang secara konsisten memerhatikan orang miskin dan papa. Penulis menelusuri kembali ciri-ciri ini pada kebangunan rohani yang terjadi dalam pelayanan Charles Finney, kira-kira 150 tahun lalu. Injil telah membuat perubahan yang besar di dalam hidup seseorang. Injil bukan hanya membawa seseorang pergi ke surga, namun juga berkuasa mengubahnya di bumi ini. Kita sungguh-sungguh dapat mengubah bangsa-bangsa jika kita melayani kebenaran dan kasih, dengan kuasa Roh Kudus.
Diambil dari:
Judul majalah | : | Masah, Edisi 1, Tahun I/2002 |
Judul artikel | : | Memberkati Semua Bangsa-Bangsa Tuntutan dari Karakter Allah |
Penulis | : | Tidak dicantumkan |
Penerbit | : | Pelayanan Komunikasi dan Informasi Youth With A Mission Indonesia |
Halaman | : | 7 -- 8 |