Cara kita memikirkan tugas sangatlah memengaruhi cara yang kita gunakan untuk menyelesaikannya. Dalam bukunya, "Planning Strategies for World Evangelization", Edward R. Dayton dan David A. Fraser menulis sepuluh langkah yang dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan perencanaan strategi penginjilan.
Kesepuluh langkah itu ialah: (1) tentukan misi yang akan dilakukan; (2) tentukan orang-orang yang akan dijadikan sasaran; (3) tentukan tenaga yang akan dipakai untuk penginjilan; (4) telitilah sarana dan metode penginjilan yang akan digunakan; (5) tetapkan pendekatan yang akan dipakai; (6) perhitungkan hasil-hasil yang diharapkan; (7) lakukan pembagian tugas; (8) buatlah rencana; (9) bertindaklah; dan (10) adakan evaluasi.
Perhatikan, langkah pertama adalah menentukan misi yang akan dilakukan. Di antara para penginjil dan misionaris maupun pekerja Kristen, terdapat banyak orang yang aktif. Mereka ingin langsung menggunakan langkah Dayton dan Fraser yang ke-9. Sikap seperti ini patut dihargai. Tanpa para aktivis yang bersemangat dan kurang sabar seperti mereka itu, pekerjaan Tuhan tidak akan pernah terselesaikan. Tetapi segala sesuatu yang kita kerjakan haruslah kita pikirkan terlebih dahulu, berpikir dan bekerja merupakan dua hal yang tidak boleh dipisah-pisahkan.
Bahkan para pemain sepakbola yang sangat aktif pun memikirkan lebih dahulu strategi yang akan mereka pakai sebelum mereka terjun ke lapangan untuk bertanding. Membuat rencana permainan terlebih dahulu tidak akan mengurangi semangat dan kegiatan mereka dalam pertandingan, tetapi menjadikannya lebih terkontrol. Prinsip yang sama juga berlaku untuk perkembangan gereja. Karena itulah kita perlu benar-benar memahami maksud dari misi yang akan kita lakukan. Hal itu merupakan bagian yang penting dari perencanaan strategi perkembangan gereja.
Kerajaan Allah dan Misi
Seperti halnya dengan orang-orang injili lainnya, kita harus memercayai bahwa Kerajaan Allah merupakan suatu janji yang akan digenapi di masa yang akan datang bersamaan dengan kedatangan Tuhan untuk kedua kalinya. Akan tetapi, selama 20 tahun belakangan ini, sudah terjadi perubahan dalam pandangan orang-orang injili. Berbeda dengan masa-masa yang lalu, kini Kerajaan Allah itu tidak saja dipandang sebagai suatu janji untuk masa yang akan datang, melainkan juga sebagai suatu realitas di masa sekarang ini. Pandangan ini sudah semakin menonjol.
Yesus mengajarkan bahwa konsep waktu dapat dibagi menjadi "waktu di dunia ini" dan "waktu di dunia yang akan datang" (Matius 12:32). Rasul Paulus menyatakan bahwa Yesus jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa "bukan hanya di dunia ini saja, melainkan juga di dunia yang akan datang" (Efesus 1:21). Kedua masa itu dipisahkan oleh kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Pada saat Yesus datang kembali dan mengantar dunia masuk ke masa yang akan datang, pada saat itulah Kerajaan Allah datang dalam kesempurnaannya. Langit akan lenyap, unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap (2 Petrus 3:10). Yerusalem Baru akan didirikan, Allah akan memerintah dengan berkuasa, dan semua orang yang ada di Yerusalem Baru akan mengakui-Nya sebagai Raja dan akan mematuhi-Nya. Inilah realitas yang akan datang dari Kerajaan Allah itu.
Tetapi kita tidak perlu menunggu sampai kedatangan Kristus yang kedua kalinya untuk dapat merasakan berkat-berkat Kerajaan Allah. Kerajaan Allah dinyatakan dalam dunia ini ketika Yesus datang untuk pertama kalinya. Yohanes Pembaptis telah memberitakan di Padang Gurun Yudea, "Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat" (Matius 3:2). Dengan pemberitaannya itu, Yohanes Pembaptis sedang menyiapkan jalan untuk Tuhan. Juga ketika Yesus memulai pelayanan-Nya, berita yang disampaikannya adalah: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat" (Matius 4:17). Ketika Yesus mengutus dua belas rasul dan kemudian tujuh puluh orang murid-Nya, Ia menyuruh mereka untuk memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Kitab Kisah Para Rasul menjelaskan bagaimana para rasul memberitakan Kerajaan Allah tersebut. Beberapa surat kiriman menyebutkan tentang Kerajaan Allah. Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Kolose bahwa Allah "telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih" (Kolose 1:13).
Tidak seperti di Yerusalem Baru, di masa sekarang ini "kuasa kegelapan" -- demikian Paulus menyebutnya -- dan Kerajaan Allah sama-sama ada di dunia. Hal inilah yang menyebabkan misi itu diperlukan. Allah mengutus kita untuk melakukan misi kristiani ini. Ia mengutus kita sebagai duta-duta Kerajaan-Nya pada dunia yang masih berada di bawah kuasa si jahat. Sebagai akibatnya, terjadi pertentangan antara Iblis dan semua pasukannya melawan Allah dan segala pasukan-Nya. Ini merupakan ciri penentu dari misi. Yesus berkata, "Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu" (Matius 12:28). George Ladd mengatakan bahwa hal ini merupakan "teologi pokok Kerajaan Allah".
Pada jalan yang menuju ke Damsyik, Rasul Paulus dipanggil Yesus untuk melayani orang-orang bukan Yahudi. Pekerjaan yang akan dilakukannya setelah menerima panggilan itu digambarkan sebagai suatu serangan terhadap kerajaan yang dikuasai oleh Iblis. Rasul Paulus diutus "untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah" (Kisah Para Rasul 26:18). Iblis adalah "ilah zaman ini" (2 Korintus 4:4). Kekuasaannya ditunjukkan pada saat Yesus menghadapi pencobaan. Iblis memperlihatkan semua kerajaan dunia kepada Yesus dan berkata kepada-Nya, "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku" (Matius 4:9). Iblis hanya dapat melakukan hal itu jika semua kerajaan dunia itu adalah miliknya. Iblis sendiri mengatakan bahwa semuanya itu adalah miliknya, "Semuanya itu telah diserahkan kepadaku dan aku memberikannya kepada siapa saja yang kukehendaki" (Lukas 4:6). Rasul Yohanes juga menguatkan hal ini dengan mengatakan bahwa "seluruh dunia berada di bawah kuasa si jahat" (1 Yohanes 5:19).
Inti Amanat Agung Yesus adalah untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya. Dipandang dari pengertian tentang Kerajaan Allah, semakin bertambahnya orang-orang yang menjadi murid Yesus Kristus, berarti semakin berkurangnya orang-orang yang berada di bawah kekuasaan setan. Karena itulah Iblis, musuh jiwa kita, dengan keras berusaha menentang usaha-usaha penjangkauan jiwa, penginjilan, maupun perkembangan gereja. Rasul Paulus mengatakan bahwa penolakan terhadap Injil itu disebabkan secara langsung oleh ulah Iblis, "Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka, yang akan binasa, yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah" (2 Korintus 4:3-4). Dalam konteks Kerajaan Allah, misi merupakan suatu usaha yang penuh risiko dalam peperangan rohani.
Misi Memerlukan Pelayanan yang Holistik
Yesus mengajarkan kita untuk berdoa, "Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga" (Matius 6:10). Hal ini berarti kita sebagai wakil-wakil Tuhan di dunia, harus mencerminkan nilai-nilai kerajaan-Nya dalam kehidupan maupun dalam pelayanan kita. Hal ini tidaklah berarti bahwa kita sendiri yang akan mendatangkan Kerajaan yang akan datang atau Yerusalem Baru ke dunia melalui usaha kita. Hanya Allah yang dapat melakukannya melalui intervensi adikodrati. Yerusalem Baru hanya akan datang setelah Iblis dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang untuk selama-lamanya (Wahyu 20:10). Sementara itu, kita yang benar-benar menjadi warga negara Kerajaan Allah, masih harus tinggal di dalam dunia yang dikuasai oleh si jahat.
Ada beberapa sifat dari Kerajaan Allah yang akan datang, yang harus nampak dalam kehidupan kita maupun gereja-gereja sekarang ini. Antara lain, tak seorang pun di Yerusalem Baru itu yang terhilang, "Mereka akan menjadi umat-Nya" (Wahyu 21:3). Selanjutnya, "Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis atau dukacita" (Wahyu 21:4). Kejahatan yang kita lihat di dunia ini, yang dinyatakan dalam sakit penyakit, kemiskinan, penindasan, pemerasan, kerasukan setan, perbuatan dursila, maupun pembunuhan, akan diperangi secara gigih di dalam nama Yesus.
Ketika Yesus mengutus kedua belas murid-Nya, Ia menyuruh mereka mengerjakan hal-hal yang telah dilakukan-Nya. "Pergilah dan beritakanlah bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan" (Matius 10:7-8). Inilah yang dimaksudkan dengan pelayanan yang holistik. Pelayanan ini bertujuan untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia seutuhnya. Pelayanan ini tidak hanya berusaha menyelamatkan jiwa, tetapi juga menolong mereka untuk mulai merasakan berkat-berkat Kerajaan Allah dalam kehidupan mereka sekarang ini, karena kita diutus Allah untuk melakukan hal-hal tersebut, maka inilah maksud misi yang sebenarnya.
Dua Amanat
Jika kita meneliti misi holistik itu dengan lebih saksama, akan nampaklah bahwa pelayanan ini terdiri dari dua amanat: amanat budaya dan amanat penginjilan. (Kedua istilah ini diperkenalkan oleh Arthur Glasser.)
Amanat Budaya
Amanat budaya dalam pelayanan, yang oleh sebagian orang disebut sebagai tanggung jawab sosial orang Kristen, bermula di Taman Eden.
Setelah Allah menciptakan Adam dan Hawa, Ia berfirman kepada mereka, "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi" (Kejadian 1:28). Sebagai umat manusia yang diciptakan menurut gambar Allah, kita bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan ciptaan Allah.
Dalam Perjanjian Baru dijelaskan bahwa kita harus mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri (Matius 22:39). Pengertian tentang sesama manusia, seperti yang diajarkan dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, tidak terbatas hanya pada orang-orang sesuku atau sekelompok budaya atau pun seagama, melainkan semua orang. Berbuat baik kepada orang lain, baik kepada seseorang atau pun kepada masyarakat secara keseluruhan, adalah suatu kewajiban yang sesuai dengan ajaran Alkitab dan merupakan amanat budaya yang diberikan Allah kepada kita.
Amanat Penginjilan
Amanat penginjilan juga bermula di Taman Eden. Selama beberapa waktu, setiap kali Allah pergi ke Taman Eden, Adam dan Hawa telah menunggu kedatangan-Nya, dan mereka memunyai persekutuan yang indah dengan Tuhan. Tetapi dosa telah merusak keadaan itu. Di Taman Eden inilah Iblis memperoleh kemenangannya yang cukup berarti untuk pertama kalinya. Kali berikutnya Allah pergi ke taman itu, Ia tidak lagi menjumpai Adam dan Hawa. Persekutuan itu telah putus. Dosa telah memisahkan umat manusia dari Allah. Menghadapi keadaan itu, Allah menampakkan sifat-Nya melalui kata-kata-Nya kepada Adam yang berupa sebuah pertanyaan, "Di manakah engkau?" (Kejadian 3:9). Ia segera mulai mencari Adam.
Amanat penginjilan itu menampakkan keinginan Allah untuk bersekutu dengan manusia. Itu berisi suatu perintah untuk mencari dan mendapatkan kembali orang-orang yang terhilang, yang dipisahkan dari Allah oleh dosa. Roma 10 menjelaskan kepada kita bahwa barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan. Tetapi mereka tidak akan dapat berseru kepada-Nya jika mereka tidak percaya kepada-Nya dan mereka tidak dapat percaya kepada-Nya jika mereka tidak pernah mendengar tentang Dia. Dan mereka tidak dapat mendengar tentang Dia jika tidak ada yang memberitakan-Nya. "Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!" (Roma 10:15). Membawa berita Injil yang dapat memindahkan orang-orang dari kegelapan kepada terang berarti telah melaksanakan amanat penginjilan itu. Inilah yang dimaksudkan Yesus ketika Ia mengutus murid-murid-Nya untuk "menjadikan semua bangsa murid-Nya" (Matius 28:19). Inilah Amanat Agung.
Satu Misi, Dua Bagian
Baik pelayanan sosial Kristen maupun pemberita Injil merupakan bagian-bagian yang penting dari misi alkitabiah. Istilah "amanat" menunjukkan bahwa kedua hal itu merupakan perintah-perintah yang harus dilakukan. Di kalangan injili telah tumbuh suatu kesepakatan bersama mengenai hal ini.
Timbulnya kesepakatan ini belum lama. Sebelum dasawarsa 1960-an, sebagian besar dari aliran injili menyamakan misi dengan amanat penginjilan. Tetapi ini tidak berarti bahwa mereka mengabaikan kebutuhan-kebutuhan sosial atau material. Mereka selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan sosial orang-orang yang mereka layani. Akan tetapi, meskipun kegiatan ini dianggap sebagai suatu sarana dalam melakukan penginjilan atau sebagai buah keselamatan, ia tidak dianggap sebagai bagian dari misi itu sendiri.
Pada Kongres Internasional di Berlin tentang Perkabaran Injil (Berlin World Congress on Evangelism) yang diadakan pada tahun 1966 dan disponsori oleh Asosiasi Penginjilan Billy Graham (Billy Graham Evangelistic Association) dan majalah Christianity Today, amanat budaya itu tidak disebut-sebut sama sekali. Dalam kongres itu, John R.W. Stott -- yang dikenal luas sebagai jurubicara utama dari kalangan injili -- mengatakan, "Tugas gereja bukanlah untuk memperbaiki masyarakat, melainkan untuk memberitakan Injil." Dalam analisanya tentang kecenderungan-kecenderungan yang ada, Arthur Johnson menyimpulkan bahwa Kongres Berlin itu "berpegang teguh pada keyakinan bahwa misi gereja adalah pemberitaan Injil".
Seorang tokoh injili yang pertama-tama menekankan pentingnya amanat budaya di hadapan umum adalah Horace Fenton dari "Latin America Mission". Pada Kongres Wheaton tentang Misi Gereja di Seluruh Dunia yang juga diadakan pada tahun 1966, Horace Fenton -- dalam ceramahnya yang berjudul "Misi dan Permasalahan Sosial" berpendapat bahwa dalam mendefinisikan misi gereja, pemisahan kedua amanat itu tidaklah sesuai dengan Alkitab. (Catatan: Fenton sendiri sebenarnya tidak menggunakan istilah amanat budaya dan amanat penginjilan.)
Fenton termasuk di antara orang-orang pertama yang menyadari bahwa amanat budaya itu merupakan bagian yang tak terpisahkan -- dari misi itu sendiri. Tetapi kemudian para penginjil lainnya mulai mengikuti jejaknya ketika diadakan Kongres Internasional tentang Penginjilan Dunia yang berlangsung tahun 1974 di Lausanne, Swiss. Dalam Kongres Lausanne tersebut, amanat budaya itu memperoleh cukup banyak perhatian dalam sidang-sidang pleno. Pada saat itu John Stott sendiri telah mengubah pandangannya, serta mengetahui bahwa dalam misi terkandung amanat penginjilan maupun amanat budaya. Kongres Lausanne itu menghasilkan Ikrar Lausanne yang memuat suatu pernyataan yang tegas tentang amanat budaya dalam pasalnya yang ke-5, dan tentang amanat penginjilan dalam pasalnya yang ke-4 dan ke-6.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku | : | Strategi Perkembangan Gereja |
Judul asli buku | : | Strategies for Church Growth |
Penulis | : | C. Peter Wagner |
Penerjemah | : | Tidak dicantumkan |
Penerbit | : | Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang 1996 |
Halaman | : | 81 -- 87 |