Baru pada abad ke-20, negara-negara Indo Cina yang berlatar belakang Budha, yaitu Vietnam, Laos, dan Kamboja, dimasuki oleh para misionaris, itu pun kebanyakan merupakan pekerja dari satu badan saja, Christian & Mission Alliance (C&MA). Indo Cina merupakan daerah yang sulit bagi para misionaris. Sejak awal, tidak ada masa yang bebas dari penganiayaan hingga misionaris diusir dari negeri itu pada tahun 1970. Dalam banyak peristiwa, penduduk setempat terbuka terhadap Injil, hanya para penguasa, baik itu Perancis, Jepang, atau pun komunis, merasa terancam oleh para misionaris itu.
Ketika pecah perang saudara antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan yang akhirnya melibatkan tentara AS, keselamatan para misionaris berada dalam ancaman serius karena dianggap sebagai antek kapitalis-imperialis. Serangan pertama yang ditujukan kepada misionaris terjadi tahun 1962. Tiga misionaris yang melayani di rumah sakit kusta diculik oleh gerilyawan komunis dan sejak itu kabar tentang mereka tidak pernah terdengar lagi.
Enam tahun kemudian, pada 30 Januari 1968, pada hari raya Tet, tentara Viet Cong menyerang perkampungan misi di Banmethoud dan dengan kejam membunuh lima misionaris Amerika, termasuk seorang anak berumur empat tahun. Betty Olsen, Hank Blood, serta Mike Benge, pegawai satu badan pemerintah AS dijadikan tawanan, suatu keadaan yang lebih mengerikan dibandingkan kematian.
Betty berusia 34 tahun ketika serangan Tet itu berlangsung. Ia seorang perawat dan belum sampai tiga tahun melayani di Vietnam bersama C&MA. Orang tuanya adalah misionaris yang melayani di Afrika. Selain kebahagiaan masa kecilnya, ingatannya yang terdalam adalah tentang orang tuanya yang sangat sibuk mengerjakan pelayanan mereka dan sering kali bepergian berhari-hari untuk mengunjungi gereja-gereja Afrika. Ketika ia berusia delapan tahun, ia dikirim untuk bersekolah dan tinggal di asrama selama delapan bulan dalam setahunnya. Ibunya meninggal karena sakit beberapa saat sebelum ulang tahun Betty yang ke-17. Semua ini menimbulkan rasa tidak aman dalam dirinya.
Setamat SMA, ia kembali ke Afrika, masih dipenuhi oleh rasa tidak aman. Ia merindukan kasih dan perhatian ayahnya. Tetapi kesibukan dan rencana ayahnya untuk menikah kembali menyita perhatiannya. Setelah pernikahan ayahnya, Betty kembali ke AS dan mengikuti pendidikan perawat di Brooklyn dan kemudian setelah tamat dari sana, ia masuk ke Nyack Missionary College sebagai persiapan untuk menjadi misionaris.
Betty merasa tidak bahagia. Pasangan hidup yang sangat diharap-harapkan tidak pernah ditemukannya. Tahun 1962, ketika ia tamat kuliah, ia merasa yakin bahwa C&MA tidak akan menerimanya sebagai tenaga misionaris. Karena itu, ia memutuskan untuk pergi ke Afrika dan bergabung dengan ayah dan ibu tirinya. Sangat sukar bagi Betty untuk mengatasi kepahitan dan pemberontakan yang sudah mendalam dalam jiwanya. Tidak lama kemudian, ia memusuhi para misionaris lainnya dan tidak bisa diajak bekerja sama sehingga akhirnya ia diminta untuk meninggalkan ladang pelayanan itu.
Betty kemudian bekerja sebagai perawat di Chicago pada usia 29 tahun. Ia merasa begitu tertekan sehingga ia berusaha bunuh diri, tetapi gagal. Betty sangat tertolong oleh suatu konseling rohani dari seorang pekerja gereja, hingga akhirnya ia menyerahkan diri untuk melayani Tuhan dan ia menjadi misionaris yang produktif di Vietnam.
Kedewasaan rohaninya dibuktikan selama masa penganiayaan jasmani dan mental di tangan tentara Viet Cong itu. Sering kali, selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, mereka dipaksa berjalan 12 sampai 14 jam setiap harinya dan hanya diberi sedikit nasi. Betty bersama dua rekan misionaris lainnya itu menderita demam "dengue" yang membuat suhu badan tinggi dan menggigil. Keadaan ini masih diperburuk dengan penyakit kulit. Betty yang tetap mengenakan pakaian yang sama ketika ia ditawan, sering kali dipaksa berjalan dengan belasan lintah menempel di kakinya tanpa ia sempat menepisnya.
Hank, pria setengah baya yang melayani sebagai misionaris penerjemah Alkitab pada yayasan Wycliffe, tidak dapat menahan beratnya penderitaan itu. Radang paru-paru yang tidak diobati di tengah hutan yang sangat lembab, membawa kematian baginya pada pertengahan Juli.
September, setelah delapan bulan ditawan, Betty dan Mike mengalami kekurangan gizi yang parah. Kaki Betty membengkak yang membuatnya sulit berjalan. Meskipun begitu, setiap kali ia terjatuh, ia dipukuli. Ia juga menderita disentri yang membuatnya diare terus-menerus dan menjadi sangat lemas, hingga ia tidak dapat bangun dan harus berbaring di atas kotorannya sendiri. Mike merawatnya dengan sepenuh kemampuannya, tetapi keadaan Betty semakin memburuk. Ia meninggal dua hari setelah ulang tahunnya yang ke-35.
Mike akhirnya dibebaskan pada Januari 1973, lima tahun setelah ditawan. Mike Benge bersaksi, bahwa ia memutuskan untuk menerima Kristus oleh karena melihat kesaksian dari hidup Hank dan Betty yang tidak mementingkan diri, sekalipun lapar, mereka menyembunyikan jatah nasi mereka untuk dibagikan kepada orang Kristen Vietnam yang juga ditawan, karena orang-orang ini mendapat jatah nasi sangat sedikit.
Dalam diri Betty, yang dulunya seorang remaja yang penuh kepahitan, Mike menemukan "satu pribadi yang sangat tidak mementingkan diri". Mike kesulitan menemukan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kasih Betty yang menyerupai kasih Kristus itu. "Sesaat pun tidak nampak kepahitan atau kebencian pada Betty. Sampai akhir hayatnya, ia mengasihi orang yang bersalah padanya." Betty dan Hank menyerahkan nyawa mereka bagi bumi Vietnam, demi Yesus Kristus, Tuhan yang mereka kasihi.
Diambil dari:
Judul jurnal | : | Navigator, Volume 7 No. 2 - April 1996 |
Penulis | : | Tidak dicantumkan |
Penerbit | : | Navigator, Bandung 1996 |
Halaman | : | 8 |