Fungsi Bidang Kesehatan dalam Sejarah Pengabaran Injil
1.1. Bidang kesehatan (dan pendidikan) memunyai fungsi yang sangat penting dalam pengabaran Injil sejak dahulu. Bahkan, kebanyakan orang memahami "zending" identik dengan pendirian sekolah dan rumah sakit Kristen yang diwarisi, pada umumnya, oleh gereja-gereja di Indonesia. Dalam kenyataan, berdirinya rumah sakit dan sekolah Kristen itu membawa pengaruh yang cukup besar dalam menetralisasi pandangan masyarakat yang negatif terhadap agama Kristen sebagai agama kolonial Belanda. Memang, kedua bidang itu dapat relatif lebih mudah diterima oleh masyarakat daripada penyebaran pamflet atau traktat-traktat Kristen. Pendidikan dan kesehatan merupakan kebutuhan yang langsung dapat dirasakan bagi kehidupan ini meskipun pada permulaan pengabaran Injil di Jawa, sekolah dan rumah sakit belum diminati oleh sebagian besar rakyat.
Kita sering melihat dari sejarah bagaimana para penginjil membujuk anak-anak desa supaya pergi ke sekolah sebab anak-anak itu lebih suka duduk di punggung kerbau/sapinya daripada duduk diam di kelas. Banyak orang tua yang kurang dapat melihat manfaat sekolah pada waktu itu. Demikian juga, banyak orang tua yang kurang mengerti manfaat rumah sakit sebab tingkat pengetahuannya memang begitu rendah. Mereka lebih suka pergi ke dukun atau "orang tua" untuk mencari kesembuhan dari penyakitnya. Pengertian mengenai sebab-sebab penyakit masih sangat terbatas. Pendapat umum menyatakan bahwa penyakit disebabkan oleh pengaruh-pengaruh roh yang menghuni di suatu tempat tertentu sehingga penyembuhannya pun dilakukan dengan mengusir roh-roh yang disaranai dengan jampi/mantra penolak bala dan upacara-upacara. Penyembuhan berdasarkan ilmu kedokteran malah masih sering ditakuti. Betapa kita masih ingat pada tahun-tahun lima puluhan, orang tua kita masih menggunakan dokter untuk menakuti anak-anak yang nakal atau mendiamkan mereka yang menangis. (Anak-anak pada umumnya takut disuntik.)
1.2. Dalam sejarah pengabaran Injil masa lampau, bidang kesehatan (dan pendidikan) dipakai sebagai sarana/alat atau tepatnya sarana penunjang/alat bantu yang dalam istilah Belanda disebut "hulpdienst". Alat bantu ini diharapkan dapat memperkenalkan mereka kepada Injil yang kita beritakan. Jadi, fungsinya sebagai "aanknopingpunt", yang merupakan jalan masuk bagi pemberitaan Injil yang sesungguhnya. Para tenaga medis yang berfungsi sebagai pemberita Injil ini disebut "zendeling-arts"; mereka dibedakan menjadi "zendeling murni" (zendeling) dan guru-guru di sekolah (zendeling-leeraar). Pengabaran Injil yang "murni" dan pokok, yaitu pemberitaan firman, disebut "hoofdienst". Dapat disimpulkan bahwa baik pendidikan/sekolah, maupun bidang kesehatan/rumah sakit pada hakikatnya bertujuan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus yang merupakan tujuan dari pengabaran Injil.
Mencerdaskan dan menyehatkan orang hanyalah sekadar mendekatkan orang kepada anugerah Allah. Usaha memersiapkan orang untuk menerima anugerah keselamatan, yaitu keselamatan rohani menurut pengertian pada waktu itu (pengertian yang pietistis). Penyembuhan jasmani berarti merupakan sarana yang memungkinkan menuju kepada pembahasan/keselamatan jiwa-jiwa yang dianggap lebih penting. Karena itu, sejak semula bidang medis ini dianggap lebih penting. Sebelum adanya pemilahan kerja, para pengabar Injil dibekali dengan pengetahuan kesehatan, dan menurut catatan sejarah NZV (Nederlansch Zendeling Vereeniging), para calon pengabar Injil harus mengikuti dua jam kursus kesehatan per minggu. Dalam perkembangannya kemudian, hal ini lebih ditingkatkan sehingga calon pengabar Injil itu harus mengikuti kursus ilmu kesehatan selama dua tahun di Universitas Leiden. Mereka yang sebenarnya bukan dokter ini kemudian dapat berpraktik seperti seorang dokter di medan pengabaran Injil. Setelah ada pengkhususan tugas, para "zendeling-arts" diperlengkapi dengan pengetahuan-pengetahuan teologi dan ilmu pengabaran Injil lainnya.
1.3. Hal yang sangat positif dalam upaya memanfaatkan bidang kesehatan untuk pengabaran Injil pada masa lalu ialah diperkenalkannya orang-orang desa kepada sistem kesehatan (dan pendidikan) yang lebih rasional dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Seperti kita maklumi dalam sejarah, semula pemerintah kolonial Belanda kurang memerhatikan kesehatan dan pendidikan masyarakat pribumi. Segala kebijakan yang dibuat selalu diukur dengan ukuran kepentingan pemerintah dan negerinya, bukan untuk kepentingan rakyat pribumi. Sekolah-sekolah pemerintah hanya didirikan untuk golongan kelas masyarakat tertentu. Rumah-rumah sakit dan poliklinik hanya terdapat di kota-kot, itu saja sangat terbatas jumlahnya. Desa-desa (justru pada waktu itu hampir semua penduduk di Jawa tinggal di desa-desa, urbanisasi belum dikenal) masih jauh dari jangkauan pembangunan. Kesehatan mereka hanya terletak dan tergantung di tangan para dukun dan "orang tua" yang berilmu. Mereka hidup dalam zaman kebodohan!
Namun kedatangan para pengabar Injil, bagaimanapun juga, dapat dilihat sebagai pembawa secercah cahaya. Sekolah-sekolah dan poliklinik/rumah sakit, meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana, menjangkau mereka. Para pengabar Injil melaksanakan pekerjaan-pekerjaan perintisan dan kepeloporan dengan mengisi celah-celah yang tidak diperhatikan oleh pemerintah kolonial. Meskipun para pengabar Injil itu adalah anak masyarakat penjajah (dan dalam banyak hal tidak dapat melepaskan sikap kolonialnya), mereka dimotivasi oleh "christelijke barmhartigheid" yang diwujudkan dalam tindakan konkret yang pantas kita hargai.
Bidang kesehatan merupakan salah satu bidang di mana gereja dapat mewujudkan peran diakonianya.
Dengan demikian, pelayanan medis merupakan tugas gereja yang harus dilakukan untuk semua orang. Pelayanan medis dilaksanakan serentak dengan kedua tugas gereja lainnya, yaitu persekutuan dan kesaksian, yang dalam praktiknya tidak mungkin ditarik garis yang tegas di antara ketiga tugas itu. Perbedaan hanyalah merupakan nuansa-nuansa belaka. Ketiganya menunjuk/sebagai tanda kedatangan Kerajaan Allah.
2.1. Kita memahami bahwa karya penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus bersifat komprehensif, artinya menyangkut totalitas kehidupan alam termasuk manusia. Juga berarti manusia secara utuh, jasmani dan rohani sebagaimana hakikat manusia yang psikosomatis seperti yang diberitakan Alkitab (Kej. 2:7). Keduanya tidak terpisahkan dan saling memengaruhi. Dalam cerita-cerita Injil yang memuat penyembuhan, akan jelas bagi kita bahwa Tuhan Yesus tidak hanya menaruh keprihatinan terhadap jiwa-jiwa, tetapi juga penderitaan jasmaniah, seperti sakit penyakit. Menurut penelitian, arti kata "pembebasan" (keselamatan) dalam Alkitab senantiasa dipakai untuk menunjuk kepada pembebasan dari sakit-penyakit atau ketakutan terhadap maut atau pembebasan spiritual. Kata "yasya" (bahasa Ibrani) juga dapat diartikan sebagai suatu pembebasan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Dalam Perjanjian Baru dipakai kata "thetape uein" (bahasa Yunani) yang berarti penyembuhan (dari penyakit) dan pembebasan dari dosa dan maut. Kata lain yang sama artinya ialah "sozein" (bahasa Yunani), dipakai dalam pengertian penyembuhan (dari penyakit), pembebasan dari ancaman bahaya fisik, maupun pembebasan dari cengkeraman dosa, kuasa kejahatan, dan maut. Apa yang hendak diungkapkan dengan pemakaian kata-kata tersebut ialah bahwa pembebasan yang Allah lakukan menyangkut baik jasmani maupun rohani yang merupakan kesatuan/hakikat manusia yang psikosomatis itu.
2.2. Cerita-cerita tentang penyembuhan dalam Alkitab, kita mengerti tidak sebagai yang berdiri sendiri, tetapi dalam rangka keseluruhan berita Injil, yaitu tentang berita kedatangan Kerajaan Allah di dunia ini. Penyembuhan/mujizat bukan merupakan fakta yang terpisah dari pemberitaan Kerajaan Allah, melainkan sebagai tanda/petunjuk kepada kedatangan-Nya (bnd. Mat. 12:28; Luk. 9:2; Mat. 4:23; 9:35). Yesus bukan pembuat mujizat/penyembuh, Ia adalah pemberita kedatangan Kerajaan Allah dalam diri-Nya. Ia tidak mengadakan kampanye penyembuhan. Kerajaan Allah mesti dicari dan "yang lain" baru akan ditambahkan.
Jikalau Yesus menyembuhkan, Ia tidak hanya prihatin terhadap penyakit orang yang bersangkutan, tetapi juga terhadap imannya. Sehubungan dengan penyembuhan seorang yang buta sejak lahir (Yoh. 9:1-41), seorang penafsir menyatakan bahwa yang menentukan untuk selama-lamanya nasib orang yang disembuhkan itu bukanlah fakta bahwa ia melihat matahari, tetapi bahwa ia melihat Anak Allah dan sujud menyembah Dia. Memang demikian bahwa dengan penyembuhan dan mujizat, orang dapat terbuka matanya untuk melihat kenyataan Kerajaan Allah yang telah datang.
Gereja dan pelayanan medis: sekarang dan yang akan datang.
Sudah jelas bagi kita bahwa pelayanan medis yang dilakukan gereja (persekutuan orang percaya) memunyai arti yang sangat strategis, baik pada masa lalu dalam sejarah pengabaran Injil, maupun sekarang dan yang akan datang. Penyembuhan/mujizat dan pelayanan medis seperti yang kita maksudkan sekarang, harus ditempatkan dalam perspektif Kerajaan Allah yang telah, sedang, dan akan datang (teologis-eskatologis). Pelayanan medis merupakan pelayanan (diakonia) gereja untuk semua orang. Pelayanan Kristen untuk kesehatan umum! Dengan mengacu pada pemahaman teologis-eskatologis tentang pelayanan medis dan mengantisipasi masa depan, barang kali catatan-catatan berikut baik kita pikirkan lebih lanjut.
3.1. Sistem kesehatan nasional dengan moto "Kesehatan untuk Semua" dapat kita artikan sebagai pemerataan pelayanan kesehatan. Maka sebenarnya, apa yang telah dilakukan oleh "zending" pada masa lalu maupun gereja-gereja, dapat dikatakan sebagai pendahulu dari sistem dan moto tersebut. Pemerataan dalam arti menjangkau mereka yang sangat membutuhkan bukan merupakan barang asing bagi pekerjaan "zending" maupun gereja. Dengan segala keterbatasannya, mereka telah melakukannya, dan orang "kecil" telah menikmatinya. Pekerjaan perintisan dan kepeloporan sudah merupakan tradisi dalam pekerjaan "zending" maupun gereja. Bahkan, semacam sistem rumah sakit rujukan juga telah diterapkan oleh rumah sakit Kristen sejak dahulu. Sehubungan dengan ini, kita mengenal "polykliniek-Ziekenhuisje (hulpziekenhuizen)" dan "hospitaal" seperti yang dilakukan oleh "zending Gereformeerde Kerken" yang bekerja di Jawa Tengah maupun oleh NZV di Jawa Barat. Posyandu-posyandu yang didirikan pemerintah dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan, menurut hemat saya, tidak mengurangi usaha peningkatan yang telah dilakukan gereja selama ini, yakni dengan mendirikan pos-pos kesehatan di tengah-tengah mereka yang sangat membutuhkan, yaitu masyarakat pedesaan dan masyarakat kecil.
3.2. Yayasan-yayasan Kristen yang mendirikan semacam klinik tempat praktik dokter bersama (terpadu?) baru akan merupakan pelayanan Kristen dalam bidang kesehatan jikalau didasari oleh motif kristiani yang sungguh-sungguh diwujudnyatakan dalam cara pengelolaannya. Suatu godaan besar di sini adalah motif komersial seperti yang mendasari sebagian klinik swasta lainnya. Atau malah juga ikut terlibat dalam perebutan pasien dengan "pembajakan" seperti yang disinyalamen baru-baru ini? Peralatan yang canggih sebagai hasil kemajuan teknologi di bidang kedokteran sebagai umpan/daya tarik dalam rangka pembajakan dan perebutan pasien. Jikalau hal ini terjadi, sudah jelas merupakan penyelewengan makna peralatan itu sendiri.
3.3. Celah yang masih bisa diisi oleh pelayanan Kristen dalam bidang kesehatan adalah pelayanan Keluarga Berencana (KB), baik dalam wujud pemberian informasi/motivasi maupun cara/pelaksanaan ber-KB yang dapat dipertanggungjawabkan secara iman. Kita, gereja-gereja, telah menerima program KB dan mendukung secara positif seperti yang telah diputuskan dalam Sidang Raya DGI (sekarang PGI) yang ke-7 di Pematang Siantar. Kita dapat memahami bahwa program Keluarga Berencana adalah untuk mencapai terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga pada khususnya dan demikian pula masyarakat luas pada umumnya. Dengan terpenuhinya kesejahteraan dan kebahagiaan, dapat diartikan kebutuhan-kebutuhan hidup, baik yang menyangkut aspek-aspek medis, maupun sosial ekonomis turut terpenuhi dengan baik pula.
3.4. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup dalam masyarakat Indonesia modern yang kita cita-citakan, kita bertekad melaksanakan pembangunan, termasuk dalam bidang kesehatan. Dalam melaksanakan pembangunan tidak ada sikap lain kecuali kita menerima jasa dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, sikap kita terhadap kemajuan dan hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi adalah positif dengan dasar pemikiran teologis bahwa semua itu merupakan kegiatan manusia sebagai "imago Dei", yaitu makhluk yang menjadi gambar Allah (Kej. 1:26-27). Kesegambaran itu kita pahami sebagai adanya relasi khusus yang dinamis antara manusia dan Allah dalam kerja dan kegiatan sebagai mandataris Allah untuk menguasai, memelihara, dan mengusahakan, serta mengembangkan alam ciptaan-Nya (Kej. 1:28; 2:5). Berbeda dari binatang, manusia tidak hidup ditundukkan/dikuasai oleh kodrat dan alam semata-mata, justru sebaliknya, harus menguasai dan mengusahakannya. Manusia dilengkapi dengan akal budi, suatu potensi yang istimewa untuk dapat diperkembangkan dalam rangka menguasai dan mengusahakan alam demi kesejahteraan hidupnya. Kita tidak secara apriori menolak hasil-hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Kita menerimanya secara terbuka dan kritis dengan keyakinan bahwa semua itu dapat diabadikan kepada Tuhan dan pelayanan bagi sesama manusia.
3.5. Sejalan dengan yang tersebut di atas, ilmu kedokteran tidak boleh dilepaskan dari hubungannya dengan karya Tuhan. Sebab jikalau dilepaskan, fungsinya, sama dengan ilmu-ilmu yang lain, akan merupakan berhala, sebagai ilmu yang didewakan, yang di atasnya hidup dan mati manusia ditentukan. Ilmu sebagai kegiatan akal budi manusia harus berani mengakui keterbatasannya, tidak dapat mengungkapkan dan memecahkan semua persoalan hidup. Banyak hal dalam kehidupan ini yang masih merupakan misteri dan meskipun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat dan mampu mengungkapkan apa yang sebelumnya dikenal sebagai "rahasia alam", bagaimanapun selamanya masih tetap ada yang "tersisa" dan masih merupakan misteri.
Tugas gereja dalam pelayanan medis tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari pelayanan pastoral/pemberitaan firman. Hal yang perlu kita sadari ialah bahwa pelayanan medis dari seorang dokter hanya merupakan alat di tangan Tuhan dalam rangka pemeliharaan dan pemerintahan-Nya atas kehidupan kita, sebab Tuhanlah Sang Penguasa mutlak atas kehidupan ini. Gereja dalam pelayanan medisnya haruslah merupakan pencerminan dari keprihatinan dan pelayanan Kristus terhadap penderitaan manusia. Untuk itu, dituntut dedikasi yang tinggi dari para dokter, pelayan-pelayan medis, dan mereka yang berkecimpung dalam pelayanan kesehatan pada umumnya. Banyak di antara "zendeling-arts" pada masa lalu yang -- karena dimotivasi oleh kasih kepada Kristus dan sesama -- melaksanakan tugasnya dengan penuh dedikasi sehingga mereka dikenal baik oleh orang Kristen maupun bukan sebagai "dokter tulung", yaitu dokter yang senantiasa bersedia menolong orang sakit tanpa pamrih apa pun. Mungkinkah jiwa semacam ini tetap kita warisi dalam pelayanan medis dalam situasi kita sekarang dan yang akan datang di tengah masyarakat yang modern dan sekuler yang menganggap materi sebagai yang memiliki nilai tertinggi dalam kehidupan? Suatu pergumulan bersama sekarang dalam mengantisipasi masa depan memasuki tahun 2000!
* Pdt. Soetarman, S.P., Th.M., D. Th. adalah Pendeta Gereja Kristen Jawa Nehemia di Jakarta dan pengurus Yayasan BPK Gunung Mulia
Diringkas dari:
Judul buku | : | Mulai dari Musa dan Segala Nabi |
Judul bab | : | Makna Misi Gereja dalam Bidang Kesehatan |
Penulis | : | Pdt. Soetarman. S.P., Th.M., D.Th. |
Penerbit | : | BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003 | Halaman | : | 37 -- 43 |