Jika ada orang Kristen yang menghakimi orang non-Kristen dengan menyebut mereka sebagai jahat, kafir, dan berdosa, orang Kristen itu telah bersalah. Budaya Kristen yang seperti itu sebenarnya juga suatu dosa. Pekerja lintas budaya perlu memahami bahwa sebagian besar budaya adalah netral.
Lausanne Covenant dalam artikelnya, Penginjilan dan Budaya, mengatakan, "Karena manusia adalah ciptaan Tuhan, sebagian budayanya kaya dalam hal keindahan dan kebaikan. Dalam komentarnya, John Stott menjelaskan, "Budaya bisa disamakan dengan permadani hiasan, rumit namun indah, yang dibuat oleh masyarakat tertentu untuk mengekspresikan identitas hukumnya. Kepercayaan dan budaya adat adalah bagian dari permadani ini. Lausanne Covenant menentang pemasukan, "budaya alien", ke dalam Injil. Willowbank Report dengan tegas menyatakan, "Terkadang dua kesalahan budaya ini dilakukan bersamaan, dan si penginjil bersalah karena imperialisme kultural merusak budaya lokal dan bahkan membawa masuk budaya alien."
Setiap budaya harus diuji dan dinilai oleh Kitab Injil seperti yang ditegaskan di Lausanne Covenant.
Kebanyakan budaya bisa diperluas menjadi sarana untuk mengabarkan Injil.
Dalam kitab Kisah Para Rasul 17:26-28, Paulus dalam sidang Areopagus di Atena mengatakan, bahwa Tuhan sudah menentukan tempat yang tepat di mana orang harus tinggal. Karena itulah, budaya merupakan bagian dari rencana Tuhan. Dan Ia menempatkan orang di tempat di mana mereka harus tinggal agar mereka dapat mencari dan menemukannya.
Pada kesempatan ini, kita mungkin menemukan bahwa pendekatan Paulus terhadap orang Atena berbeda dengan pendekatannya pada jemaatnya. "Pandangan dunia", orang Atena perlu diperhitungkan dan diperhatikan.
Paulus sudah melihat bahwa kota itu penuh dengan berhala dan hal itu membuatnya sedih. Dalam pesannya, ia mulai membuat referensi mengenai cara hidup rohani dan objek berhala mereka. Secara khusus, dia sangat tertarik dengan sebuah mezbah yang bertuliskan: KEPADA ALLAH YANG TIDAK DIKENAL.
Lalu ia menyatakan siapa Tuhan itu, Sang Pencipta, Allah surga dan bumi yang tidak menetap di kuil-kuil buatan manusia. Dialah Pemberi semua nafas kehidupan. Kemudian Paulus membuat referensi mengenai di mana manusia harus tinggal sebagai sesuatu yang ditentukan Tuhan. Tuhan melakukan ini agar orang-orang mencari dan bisa menemukan-Nya.
Paulus juga mengutip filsafat Yunani dan menegaskan apa yang telah mereka katakan. Dari kutipan salah satu puisi mereka, dia memperkenalkan Injil. Setelah membicarakan inti dari kepercayaan mereka, dia memperkenalkan kebenaran.
Berbagai macam tanggapan muncul ketika Paulus membicarakan penyaliban. Hanya sedikit yang memercayainya, termasuk seorang anggota Areopagus.
Rasul Paulus peka terhadap budaya. Dia tentu sudah menyadari, bahwa orang-orang tersebut sangat berpegang pada budayanya dan dibentuk oleh latar belakang mereka ketika dia menulis surat 1 Korintus 9. Konteks ini berkaitan dengan penyerahan hak-haknya sebagai seorang rasul. Dia membuat satu pernyataan yang mengagumkan, "Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Lebih jauh lagi dia mengatakan, "Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat (non-Yahudi) aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat." Perhatikanlah kata, "seperti", dan renungkan artinya. Paulus bertekad untuk menjadi, "segalanya bagi semua manusia", agar dapat menyelamatkan mereka.
Dalam beberapa kitab Galatia, Paulus mengenali bahwa hanya ada satu Injil. Namun, Injil ini akan diartikan berbeda oleh orang-orang Yahudi dan non-Yahudi. Oleh karena itu, dalam membawa berita Injil kepada orang non-Yahudi, orang Yahudi tidak boleh memaksakan unsur-unsur keyahudiannya kepada orang non-Yahudi. Karena unsur-unsur tersebut tidaklah penting untuk Injil, malah merusakkan kebenaran Injil.
Masalah yang umum dengan para pekerja lintas budaya adalah mereka sering kali sudah memiliki pandangan awal tentang apa yang membantu pelayanan mereka. Bukan hanya memiliki pola budayanya sendiri yang ternyata sulit untuk diubah, mereka juga membawa, "sub-budaya Kristen" mereka. Misalnya, seorang misionaris yang terlibat dalam perintisan gereja, tentunya sudah memikirkan cara perintisan tertentu. Pemikiran seperti itu akan merintangi penginjilan. Yang sama buruknya, orang-orang yang tinggal di kota sasaran penginjilan akan meneliti unsur Kristen baru dan berpikir, bahwa mereka harus menerima dan mempraktikkan unsur-unsur ini agar menjadi orang Kristen. Tidak mengherankan, banyak orang Asia yang memandang agama Kristen sebagai agama Barat.
Melihat kembali sejarah kekristenan pada tahun 1500-1900 di Asia, Paul Johnson membuat pernyataan tajam. "Adalah ketidakmampuan kekristenan untuk berubah dan mengurangi sifat keeropaannya, sehingga kesempatan yang ada terlewatkan. Sangat sering gereja Kristen menempatkan dirinya sebagai perluasan konsep sosial dan intelektual Eropa, daripada sebagai perwujudan kebenaran universal. Meskipun kekristenan lahir di Asia, saat diekspor kembali dari abad enam belas ke depan, kekristenan gagal untuk mendapatkan sifat keasiaannya."
Banyak misionaris Barat pada masa lampau, yang tidak mau mengenali budaya asli tempatnya berada. Karena tekanan dan ketegangan yang akan mereka hadapi dalam proses pengenalan itu. Kini, ketika orang-orang Asia terlibat dalam pelayanan lintas budaya, mentalitas yang sama ini harus disingkirkan. Kita bisa disalahkan karena merusak prinsip alkitabiah misi.
FUNGSI, BENTUK, DAN ARTI
Misionaris yang terlibat dalam perintisan gereja harus berhati-hati dalam membedakan fungsi dan bentuk. Fungsi adalah kegiatan penting yang memiliki tujuan. Sedangkan bentuk adalah pola, struktur, atau metode yang digunakan untuk melaksanakan fungsi. Orang Kristen baru perlu mengekspresikan kepercayaan mereka dan menyembah dalam cara kultural yang berarti. Mereka harus memiliki kebebasan untuk menolak pola kultural alien dan mengembangkan pola kulturalnya sendiri. Mereka bebas untuk, "meminjam", bentuk budaya dari yang lain, namun harus yang berarti.
Seseorang dengan latar belakang religius Asia, akan terbiasa jatuh dan lemah dalam menyembah Tuhan, daripada duduk di kursi dengan mata tertutup.
Di Afrika, drum digunakan di beberapa daerah untuk memanggil orang-orang dalam penyembahan, meskipun sebelumnya alat tersebut tidak diterima.
Di Bali, dewan penatua gereja mempelajari kepercayaan alkitabiah dan kultural. Lalu, menentukan bahwa gaya arsitektural tertentu untuk jemaat mereka akan bisa dengan jelas menunjukkan kepercayaan mereka. Karena orang-orang Bali sangat, "visual", mereka mengekspresikan kepercayaan terhadap Trinitas dengan merancang atap bangunan gereja mereka menjadi bertingkat tiga.
Dalam suatu budaya, hampir semua adat akan melaksanakan fungsi yang penting. Untuk itulah, adat seharusnya tidak dicap, "jahat", dan dihapuskan tanpa melihat fungsi dan artinya. Terkadang, adat lama bisa memberi arti yang baru. Beberapa memang harus dihapuskan. Dalam beberapa contoh, bisa diberikan adat penggantinya yang menjalankan fungsi sama.
KEUNIVERSALAN INJIL
Ketika kita mengenali orang-orang dari budaya yang berbeda, pesan yang kita bawa, yaitu Injil bisa disampaikan. Injil ini ditemukan dalam Alkitab. Di satu sisi, isi Injil ditemukan dalam keseluruhan Alkitab yang menjelaskan Injil dengan berbagai macam cara, kepada orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Ada sesuatu dari Injil yang relevan dengan budaya apa pun.
Yang harus kita hindari adalah membawa Injil yang belum dikemas ke dalam satu budaya baru. Banyak kelompok yang terburu-buru, "mengambil keputusan untuk Tuhan", telah menjadi tidak bijaksana dalam melaksanakan metode. Akibatnya, mereka lebih banyak mengakibatkan kerusakan daripada perbaikan, dan terkadang pula menutup jalan bagi pekerjaan lintas budaya yang selanjutnya.
Orang bisa menolak pesan Injil bukan karena mereka antipati terhadap Kristus atau kekristenan, namun karena kekristenan dianggap sebagai ancaman terhadap budaya dan solidaritas masyarakat mereka. Ini tidak hanya terjadi pada masyarakat suku dan religius, tetapi juga pada masyarakat sekuler.
Oleh karena itu, faktor kultural tidak bisa diartikan hanya di permukaan saja. Ketika firman Tuhan mulai menembus suatu masyarakat, firman itu memiliki kuasa untuk berbicara kepada adat dan kepercayaan masyarakat tersebut. Adat dan kepercayaan yang tidak cocok dengan Kitab Injil harus dihapuskan. Yang tidak bertentangan dengan Injil bisa dipertahankan, bahkan dipoles, dan diubah di bawah pemerintahan Tuhan.
Dan saat orang berserah dalam pemerintahan Tuhan, Roh Kudus meneranginya melalui kitab Injil, untuk memahami kebenaran dengan cara yang baru melalui pandangan mereka sendiri.
PEMERINTAHAN TUHAN ATAS BUDAYA
Saya ingat, ketika akan masuk universitas, bagaimana bapa rohani saya menasihati saya untuk melihat semua seni, ilmu, dan filosofi yang akan saya geluti di bawah pemerintahan Kristus. Ini semua harus diuji di bawah ketelitian Kitab Injil. Nasihatnya tidak pernah saya lupakan adalah petualangan untuk melihat semua studi lewat pandangan ini.
Jika Kristus sungguh-sungguh Tuhan atas segalanya, budaya harus berada di bawah-Nya. Prinsip ini cukup berguna, karena pekerja lintas budaya harus hidup dengan tingkat ambiguitas (suatu persyaratan agar pekerja lintas budaya menjadi efektif).
Lausanne Covenant dalam salah satu artikelnya di Penginjilan dan Budaya menyatakan, "Injil mengevaluasi semua budaya menurut kriteria kebenarannya dan menuntut kemutlakan moral di setiap budaya." Maka dari itu, firman Tuhan menolak berhala-berhala yang menentang keunikan Tuhan. Hukum moral Tuhan juga bersifat mutlak, sedangkan budaya mengandung adat istiadat dengan nilai yang berkaitan.
Injil Anugerah juga menolak budaya, bentuk, dan praktik yang didasarkan pada kebaikan manusia untuk memperoleh keselamatan. Ketika orang terbuka terhadap pengajaran Injil, kita bisa memercayai bahwa Roh Tuhan mengubahkan, "pandangan dunia", orang-orang ini saat mereka menaati firman Tuhan.
Bahan diterjemahkan dari sumber:
Judul buku: | : | When You Cross Cultures |
Judul Artikel: | : | More About Culture And Identification - Cultural Preconceptions |
Penulis: | : | Jim Chew |
Penerbit: | : | The Navigators, Singapore 1993 |
Penulis: | : | Jim Chew |
Halaman: | : | 17 -- 23 |