Salah satu kegagalan yang paling menyedihkan dari umat Kristen adalah kegagalan untuk dapat menjadi berkat bagi dunia. Sejak umat Allah memperoleh identitasnya sebagai bangsa yang kudus, memiliki hukum dan tanah perjanjian, maka masa peperangan dan permusuhan dengan bangsa-bangsa lain sebenarnya sudah berakhir. Janji Allah kepada Abraham akan digenapi (Kejadian 12:2-3). Umat Allah akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain di seluruh muka bumi, karena memang untuk maksud itulah pemilihan dan keselamatan dianugerahkan kepada mereka (Yesaya 2:1-5). Yosua 24 menyaksikan bahwa umat Israel ditempatkan oleh Allah di tengah bangsa-bangsa lain dengan risiko sangat tinggi karena ilah-ilah mereka begitu menarik untuk disembah, sementara sikap bangsa-bangsa lain itu juga cenderung mempersulit dan menganiaya umat Allah (Lukas 10:3; Yohanes 17:14-19). Meskipun demikian, mereka terpanggil bukan untuk berperang, melainkan untuk menjadi berkat. Memang, peperangan yang tak terhindarkan masih mungkin terjadi, tetapi Allah tidak pernah memanggil mereka untuk membinasakan bangsa-bangsa lain, bahkan kerjasama dalam membangun kesejahteraan dan kebenaran harus diciptakan (1Raja-raja 5:1-12; Yeremia 29:7). Mereka harus mengasihi, bahkan mendoakan mereka yang memusuhi (Matius 5:44), karena panggilan untuk "menjadi berkat" adalah salah satu bukti dari iman yang sejati (Matius 5:46).
Sayang sekali, semakin lama panggilan dari Allah ini terus-menerus terabaikan. Sejarah membuktikan, fase setelah gereja mula-mula yang berhasil mengemban Amanat Agung ini (Kisah Para Rasul 2:47) kemudian diikuti dengan fase-fase sejarah kegagalan umat Kristen yang semakin mendalam. Umat Kristen makin lama makin tidak mampu menjadi berkat bagi bangsa-bangsa di dunia ini, karena antara lain:
Jiwa Manusia yang Cenderung Berat Sebelah dan Egosentristik
Memang Alkitab dengan jelas sekali menyaksikan panggilan Allah untuk bersatu dan memberitakan Injil, tetapi panggilan untuk menjadi satu atau "ut Omnes Unum Sint" (Yohanes 17:21; 13:35) dan "pemberitaan Injil, pemuridan dan pembaptisan" (Matius 28:19-20) tersebut diresponi dan dikembangkan secara keliru dan berat sebelah oleh jiwa yang berdosa. Akibatnya, apa yang dihasilkan bukanlah berkat dan kebaikan, melainkan kejahatan yang tersamar. Umat Kristen semakin eksklusif, menutup diri, egois, dan tak dapat menjadi berkat bagi dunia ini. Panggilan untuk bersatu dan saling mengasihi telah diubah menjadi upaya untuk menggalang dan menciptakan "solidaritas kelompok". Persis seperti ketika negara-negara Kapitalis berkabung, mengheningkan cipta dan mengutuki pengeboman atas gedung kembar World Trade Center di New York dan Pentagon di Washington DC pada 11 September 2001, begitu juga banyak umat Kristen yang "hanya" berkumpul berdoa puasa untuk kepentingan gereja setelah terjadi pembakaran gedung-gedung gereja dan penganiayaan di beberapa daerah di Indonesia. Jiwa-jiwa yang lebih mementingkan ego, eksklusivitas dan merasa benar sendiri semakin bertumbuh subur. Doa mohon pengampunan dan belas kasihan bagi mereka yang telah menganiaya makin jarang dipanjatkan, sebaliknya kebencian dan keinginan untuk membalas justru semakin sering diutarakan. Sikap mengheningkan cipta dan keprihatinan hanya diberikan untuk kepentingan kelompoknya sendiri, tetapi sikap yang sama tak pernah diberikan untuk kelompok lain yang menderita. Solidaritas memang bagian integral dari "persekutuan (Koinonia)", tetapi solidaritas tanpa jiwa koinonia adalah persekutuan tanpa kehadiran Kristus (Matius 18:20). Sehingga fungsinya pun bukanlah untuk menang atas dosa, tetapi sebaliknya, malah justru merangsang untuk menghidupkan dosa. Begitu juga panggilan untuk memberitakan Injil. Panggilan agung yang sering disebut dengan "The Great Commission" ini juga hadir dalam hati manusia yang berdosa sebagai satu hal yang telah tercemar dosa.
Akibat dari semua ini adalah pemberitaan Injil yang seharusnya lahir dari jiwa yang penuh belas kasihan dan kasih Kristus atas mereka yang masih hidup dalam gelap telah berubah menjadi sekadar keinginan atas pertambahan jumlah. Pemberitaan Injil bisa jadi telah menjadi suatu tren religiusitas tanpa hati nurani, karena yang dibanggakan adalah keberhasilannya, tetapi dalam kepuasan batin mereka, sukacita malaikat (Lukas 15:10) untuk pertobatan orang berdosa tidak ada. Tidak mengherankan jika semangat pemberitaan Injil yang berkobar-kobar, seperti pada akhir abad XIX dan permulaan abad XX (Great Awakening) di satu sisi malah mengakibatkan kematian peran umat Kristen di dunia ini. Dosa menyebabkan semangat pemberitaan Injil menghasilkan "antiintellectualism" ("Fundamentalism and American Culture" New York: Oxford, 1980, p. 212), padahal "antiintellectualism" sendiri membuat peran umat Kristen menjadi mati dalam hampir semua bidang kehidupan. Peran umat Kristen pun makin mengecil sehingga terjadilah "pemutarbalikan posisi", dari "sumber berkat" menjadi "objek perubahan paradigma". Kekristenan harus menampakkan diri dan menanggalkan prinsip-prinsip utama identitas mereka, atau mereka akan semakin terisolir dan terasing, bahkan di antara saudara-saudara seiman mereka sendiri.
Jacques Ellul dalam The Technological Society telah mensinyalir hal ini. Di tengah budaya baru yang diciptakan oleh perkembangan teknologi, begitu banyak ruang untuk mengaplikasikan iman Kristen telah tertutup, termasuk persekutuan dengan saudara seiman. "Natural Grouping", seperti misalnya "persekutuan orang percaya" tak ada lagi. Yang ada adalah "Technological Society" sehingga antara hamba Tuhan pun muncul persaingan dan kecemburuan yang sangat besar. Hancurnya keterikatan relasi dengan sesama ini menutup kemungkinan bagi umat Kristen untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa di dunia ini.
Sikap umat Kristen di tengah kegagalan mereka untuk menjadi berkat.
Kegagalan untuk menjadi berkat ini juga telah menyeret umat Kristiani ke dalam kesalahan-kesalahan lain yang makin menceraikan mereka dari dunia. Tanpa disadari, telah muncul budaya Kristen yang ekslusif yang memberi perasaan keterasingan, permusuhan, dan penolakan terhadap dunia luar. Meskipun Alkitab sendiri mengajarkan pemakaian "pelayanan" sebagai bahasa inklusif bagi hubungan kekristenan dengan dunia (Matius 25:34-40) seraya mengingatkan bahwa bahasa eksklusif dengan simbol-simbol iman Kristen tak berfaedah untuk dipakai pada saat hati manusia masih tertutup (Matius 7:6), umat Kristen belum berhasil mengintegrasikan kedua kebenaran tersebut dalam sikap mereka terhadap dunia. Mereka terjebak dalam berbagai ekstrim, seolah-olah pemberitaan Injil memang harus konfrontatif dengan risiko penolakan dan kebencian dunia terhadap mereka. Seolah-olah pengalaman nabi-nabi dan rasul-rasul dengan penganiayaan oleh karena Injil adalah "satu-satunya kemungkinan" yang memang menjadi ketetapan Tuhan. Mereka lupa bahwa sebagian besar penolakan dan kebencian dunia atas umat Kristen terjadi oleh karena kesalahan dan kelemahan mereka, dan bukan oleh karena kesetiaan mereka pada Injil Yesus Kristus.
Tuhan Yesus memang sudah memprediksi kebencian dunia atas umat Kristen (Yohanes 17:14), tetapi Dia tidak pernah mengajarkan sikap dan tingkah laku yang akan menimbulkan kebencian. Berulang kali Alkitab menyaksikan kehadiran yang "sangat positif" dari umat Allah di tengah dunia (Ishak di Bersyeba -- Kejadian 26; Jusuf di Mesir -- Kejadian 39-50; keluarga Elimelekh di Moab dalam Kitab Rut; dan Daniel di Babel). Oleh sebab itu, untuk lebih memahami realita kegagalan untuk menjadi berkat beberapa fenomena di bawah ini perlu diwaspadai, yaitu:
1. Perasaan takut dan alergi terhadap umat beragama lain yang ada di sekitar kita.
Ketakutan yang tidak pada tempatnya biasanya lahir dari pemahaman yang keliru tentang kebenaran Firman Allah. Panggilan untuk memberitakan Injil, misalnya, telah berubah menjadi hukum keharusan untuk memberitakan Injil bagi setiap orang Kristen dengan cara dan pendekatan yang sama. Akibatnya, pemberitaan Injil dilakukan di luar konteks "menjadi berkat" dan toleransi menghargai perbedaan yang merupakan modal utama untuk menjadi berkat tidak ada lagi. Seolah-olah toleransi menghargai perbedaan merupakan sikap yang keliru oleh karena merugikan dan membahayakan eksklusivitas iman sehingga perlu dihindari jauh- jauh. Hasilnya, pemberitaan Injil banyak yang dilakukan di luar konteks dialogis antarpribadi yang baik dimana orang memperlakukan objek pemberitaan Injil sebagai satu pribadi yang seutuhnya. Tidak heran jikalau banyak orang Kristen melakukan pemberitaan Injil dengan ketakutan dan kecemasan. Mereka takut oleh karena Injil yang begitu penting harus disampaikan di luar konteks "kepedulian yang sesungguhnya" terhadap sesama. Hal ini pada kenyataannya memang seringkali berisiko tinggi, karena mereka yang menjadi obyek pemberitaan Injil tersebut "merasa dirinya diperlakukan bukan sebagai manusia yang seutuhnya".
2. Sikap mengisolasi dan bermusuhan terhadap dunia.
Memang, Alkitab menyaksikan perbedaan hakiki antara umat Allah dengan apa yang disebut sebagai "dunia". Tetapi, Alkitab juga menyaksikan betapa Allah sangat mengasihi "dunia" dan mengutus Anak-Nya yang Tunggal untuk menyelamatkan dunia. Bahkan, Alkitab juga menyaksikan bahwa kita yang sesungguhnya anak-anak dunia telah dipanggil keluar untuk diutus kembali ke dalam dunia. Gereja (ekklesia) adalah kumpulan anak-anak tebusan-Nya yang di tempatkan "di tengah dunia untuk menjadi berkat bagi dunia". Itulah sebabnya, Allah mengizinkan umat- Nya hidup bersama, bahkan bekerjasama dengan "anak-anak dunia" dalam hampir setiap bidang kehidupan. Sejarah juga membuktikan bahwa Allah memakai umat beragama lain untuk membawa filsafat Aristotel (*) kembali mengisi wacana kepedulian terhadap realita kehidupan dalam dunia yang selama berabad-abad telah diabaikan oleh umat Kristen. Teokrasi versi Perjanjian Lama sudah dihapuskan, bahkan negara Kristen seperti zaman Konstantin telah ditiadakan. Allah tidak pernah memanggil umat-Nya menjadi "Reconstructionist" yang akan membangun masyarakat dengan prinsip-prinsip hukum dan peraturan yang eksklusif Alkitabiah. Panggilan untuk umat Kristen adalah panggilan untuk menjadi terang dan garam, dan bukan panggilan untuk menjadi ragi (yeast) yang mengubah hakikat atau mengkhamirkan.
Di tengah misteri kehidupan yang diizinkan Allah ini, banyak umat Kristen terus-menerus jatuh dalam berbagai kesalahan. Mereka tidak menyadari adanya berbagai peran yang harus mereka mainkan karena di satu pihak mereka "bukan milik dunia", tetapi di pihak lain "mereka adalah bagian dari realitas kehidupan di dunia". Peran mereka bukan hanya satu yaitu "sebagai yang lain dari dunia". Namun, mereka memiliki peran "ganda" karena mereka harus hidup bersama, bekerjasama, berdialog, saling menolong, saling menghormati, bahkan saling mengasihi dengan "anak-anak dunia". Mereka harus membangun masyarakat dan kehidupan yang lebih baik untuk dijalani bersama dengan "anak-anak dunia". Sikap menutup diri dan permusuhan adalah dosa.
Sikap menutup diri dan permusuhan seringkali muncul tanpa disadari. Sikap negatif ini bahkan menjadi pola hidup banyak umat Kristen, khususnya pada saat mereka tidak mampu menjadi fleksibel dalam menjalankan peran "ganda" yang diberikan Allah pada mereka. Mereka dipanggil untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa di dunia, dan panggilan itu tak mungkin terpenuhi jika mereka terus menutup diri dari dunia ini.
[ (*) Setelah perang Salib (abad XI-XIII) perjumpaan dengan Islam telah membawa masuk filsafat Aristotle kembali ke dalam kekristenan. Filsafat Aristotle bukanlah filsafat Kristen, melainkan pengaruhnya telah membukakan wacana pemikiran Kristen yang selama ini terabaikan. Kekristenan yang selama berabad-abad didominir oleh orientasi Agustinian yang memisahkan Allah dari dunia yang sudah jatuh dalam dosa, sekarang melihat arti keselamatan Kristus dalam realita alam semesta yang sudah diperdamaikan. ]
Bahan diedit dari sumber: | ||
Buletin | : | Newsletter STTRII, Volume IX/2001 |
Penulis | : | Yakub B. Susabda, Ph.D. |