You are hereAlkitab? Atau Permen Coklat? (Amerika Serikat, 1951 - 1957)
Alkitab? Atau Permen Coklat? (Amerika Serikat, 1951 - 1957)
Laurens mempunyai sebuah Alkitab yang baru. Betapa senang rasanya. Ia baru duduk di kelas 3 SD dan sesungguhnya belum dapat membaca ayat-ayat dengan lancar, namun ia bangga mempunyai sebuah Alkitab yang baru. Sesuai dengan sistem pendidikan di Amerika Serikat, pelajaran itu diadakan bukan di sekolah, melainkan di gereja, walau masih dalam jadwal belajar.
Pada suatu hari, ketika si Laurens sedang mengikuti pelajaran agama seperti biasanya, ada seorang murid SMP yang mengunjungi kelas 3 SD. Anak laki-laki itu kelihatannya cuku tinggi bila berdiri di depan Laurens dan kawan-kawannya.
"Anak-anak," kata Ibu Rusell, guru mereka, "David ingin mengumumkan sesuatu kepadamu. Ada pesan dari kakak-kakakmu di SMP. Mari kita dengarkan!"
David berdiri di depan. "Pasti kalian tahu bahwa negeri Jerman dan negeri Jepang kalah dalam perang beberapa tahun yang lalu," katanya.
Laurens menganggukkan kepalanya. Walau ia sendiri masih terlalu kecil untuk mengingat banyak hal dari masa perang itu, namun ia sudah pernah mendengar ceritanya dari orang tuannya. Ia tahu bahwa banyak kota di kedua negara asing itu rusak berat akibat pemboman. Banyak barang yang musnah; banyak orang yang tewas.
"Nah! Kami mendengar bahwa negeri Jerman dan Jepang kekurangan Alkitab," kata David meneruskan. "Tahukah kalian, ada banyak keluarga di sana yang tidak punya Alkitab satu pun tidak?"
Si Laurens mengacungkan tangannya. "Kenapa sih tidak beli saja? Kenapa orang tua dalam keluarga-keluarga itu tidak membeli Alkitab untuk anak-anak mereka?"
"Karena tidak ada Alkitab di toko buku di sana," David menjelaskan. "Dan seandainya ada, orang-orang di sana tidak punya cukup banyak uang untuk dapat membeli makanan bagi anak-anak mereka, apa lagi untuk membeli buku. Sebenarnya mereka tidak punya apa-apa. Tapi mereka sangat rindu punya Alkitab."
"Ya, memangnya kenapa?" tanya Laurens lagi. Anak laki-laki yang berambut merah itu sering mengajukan pertanyaan yang agak sulit dijawab.
"Nanti dulu, Dik," kata David dengan sabar. "Itulah sebabnya aku datang mengunjungi kelas 3 ini. Kelas kami akan menyediakan sebuah Tabungan Alkitab. Kami akan memasukkan uang kami, agar dapat mengirim Alkitab ke negeri Jerman dan negeri Jepang. Kami berharap dapat mengumpulkan dana sebanyak empat puluh dolar sebelum akhir tahun pelajaran ini. Dan kami pikir, mungkin kalian juga mau menyediakan Tabungan Alkitab."
"Tetapi . . . aku tidak punya uang tambahan," kata Laurens memprotes.
Murid SMP yang tinggi perawakannya itu memandang pada wajah Laurens sambil tersenyum nakal. "Lho! Kan kulihat kau kemarin sedang makan permen coklat?"
Muka si Laurens mulai memerah. "Tetapi itu . . . ya, itu . . . Huh! Masa aku tidak boleh makan permen cokelat?"
"Kami rela kehilangan permen cokelat," kata David menjelaskan. "Kami pun rela membagi-bagikan uang saku kami. Dan juga, kami akan mencari uang dengan cara-cara lain. Tetapi masing-masing menurut kerelaan hati sendiri. Tidak ada yang memaksa."
Laurens terdiam. Kepalanya yang merah itu terkulai, tetapi rahangnya mengeras. Ia tidak mau absen makan permen cokelatnya. Setiap hari sehabis sekolah ia suka jajan, dan permen coklat itulah makanan kesayangannya.
Setelah David pergi lagi, murid-murid kelas 3 itu memperbincangkan usulnya. Dengan bantuan ibu guru, mereka menyelidiki negeri-negeri jauh itu yang sangat kekurangan Alkitab. Hampir setiap anak dalam kelas 3 itu setuju untuk menyediakan Tabungan Alkitab. Hanya si Laurens saja yang tidak turut berunding. Ia duduk saja dengan muka yang masam.
Ketika pelajaran agama Kristen itu usai, ibu Russell menyuruh Laurens tinggal sejenak. "Laurens," katanya, "kawan-kawan sekelasmu telah setuju untuk menediakan tempat tabungan itu. Tetapi Ibu tidak mau engkau memasukkan uangmu ke dalamnya. Sesen pun kau tidak boleh!" katanya dengan tersenyum.
Laurens melongo. "Kenapa, Bu?"
"karena ini merupakan pemberian kasih, Nak. Yah, . . . pemberian dari anak-anak yang lebih senang orang lain mempunyai Alkitab daripada mendapat sesuatu untuk diri mereka sendiri. Seorang pun tidak boleh turut memberi kalau hatinya kurang senang. Lebih baik kau lupakan saja Tabungan Alkitab itu. Tidak seorang pun akan tahu siapa yang memasukkan uang dan siapa yang tidak." Ia tersenyum lagi dan mendorong Laurens ke arah pintu ruang kelas. "Pulang saja, Nak. jangan pikirkan hal itu lagi!"
Untuk sementara waktu si Laurens memang melupakan hal itu. Dengan senangnya ia jajan. "Hmm, . . ." kata si Henry seolah-olah menghitung-hitung dalam hati, "kalau aku tidak jajan satu hari dalam seminggu saja, . . . kira-kira berapa banyakkah yang dapat aku masukkan ke dalam Tabungan Alkitab itu?"
Hari demi hari ada murid-murid kelas 3 yang maju ke depan dan memasukkan sesuatu ke dalam tabungan itu kadang-kadang satu sen, atau lima sen, atau sepuluh sen. Tidak ada yang mencatat pemberian-pemberian mereka; tidak ada yang memperhatikan siapa yang memberi dan siapa yang tidak memberi.
Pada suatu pagi ketika Laurens sedang berjalan menuju sekalah, ia melihat di trotoar ada suatu benda yang mengkilap dalam sinar matahari. Lima puluh sen! Setengah dolar! Ia mulai menghitung-hitung dalam hati, berapa banyak permen coklat yang dapat dibelinya dengan uang sebanyak itu. Si Laurens sungguh doyan makan permen cokelat.
Lalu terlintas pikiran: Kalau uang ini aku masukkan ke dalam Tabungan Alkitab, aku tidak rugi apa-apa. Uang jajanku masih tetap utuh. Tetapi lebih baik uang ini kutukarkan dulu.
Maka Laurens membawa mata uang besar itu ke kios dan menukarkannya dengan sepuluh mata uang kecil. Di ruang kelas pelajaran agama Kristen, ia menunggu sampai semua kawannya sudah masuk. Lalu ia pun maju ke depan dan mulai menjatuhkan uangnya ke dalam tabungan itu. Satu persatu mata uang lima sen itu dijatuhkannya, sampai jumlahnya sepuluh biji. Semua anak memperhatikan perbuatannya. Lalu ia kembali ke tempat duduknya dengan raut muka yang sombong.
Tetapi beberapa jam kemudian, pada waktu si Laurens mampir ke kios sebelum pulang dari sekolah, hatinya mulai merasa tidak enak. Ia tidak segera melahap permen cokelatnya seperti biasa. Pada saat itu ia insaf. Tidak benar perbuatanku tadi . . . . Mereka semua mengira aku sudah mengorbankan sesuatu untuk menyumbang dana pembelian Alkitab, . . . padahal aku cuma memasukkan uang orang lain yang kebetulan jatuh di trotoar. Sama sekali bukan aku yang memberi, hanya orang yang kehilangan uang itu.
Bungkusan kecil permen cokelat yang tadinya hendak dibelinya itu ditaruhnya kembali. Tidak jadi Laurens membelinya. Sore itu ia menahan lapar sampai waktu ibunya menyajikan makanan di rumah. Dan esok harinya, uang sepuluh sen yang biasanya dibelikan permen coklat itu dimasukkannya ke dalam Tabungan Alkitab.
Sangat senang rasanya! Ia sudah turut serta dalam pemberian kasih. Ia sudah menolong orang-orang lain di negeri-negeri yang jauh, agar mereka pun dapat mempunyai Alkitab.
Minggu demi minggu murid-murid kelas 3 itu menyediakan Tabungan Alkitab. Menjelang akhir tahun sekolah, si David yang tinggi itu kembali lagi ke ruang kelas mereka. "Kami berhasil mengumpulkan dana empat puluh dolar!" katanya dengan mata yang berbinar-binar. "Rasanya mustahil uang sebanyak itu dikumpulkan murid-murid SMP, tetapi kami telah berhasil!"
Anak-anak kelas 3 itu berseru "Hore!" dan bertepuk tangan.
"Yang penting, uang itu sekarang akan dikirim ke negeri Jerman dan negeri Jepang, untuk dibelikan banyak Alkitab di sana," David melanjutkan "Nah, dengarkan, adik-adik: Kami akan memuat laporan di surat kabar tentang usaha semua kelas. Memang kamilah yang memulai proyek itu, tetapi alangkah baiknya kalau jumlah dana nanti jika digabung dapat mencapai delapan puluh dolar empat puluh dari kelas kami, dan empat puluh lagi dari kelas-kelas lainnya."
"Mustahil!" kata si Laurens. "Masakan anak-anak sekolah dapat menabung uang sebanyak itu."
Tetapi pada saat ayahnya membacakan laporan dari surat kabar itu, si Laurens hampir tidak percaya: ```semua kelas telah menggabungkan isi Tabungan Alkitab mereka masing-masing. Ternyata jumlahnya dua ratus enam puluh enam dolar, semuanya untuk membeli Alkitab bagi orang-orang Jerman dan orang-orang Jepang.'''
"Dua ratus enam puluh enam dolar wah!" cetus Laurens.
Beberapa minggu kemudian, mulailah tahun pelajaran yang baru. Kini Laurens duduk di kelas 4. Pada saat seorang murid bertanya kepada Ibu Rusell tentang Tabungan Alkitab, guru mereka itu tersenyum saja. "Tergantung kalian sendiri," katanya. "Kalau mau, boleh. Kalau tidak mau, jangan."
Laurens membuka pembicaraannya. "Menurut hematku, sebaiknya kita adakan lagi," katanya. "Hanya saja, kita semua sudah lebih besar sekarang. Mestinya kita dapat mengumpulkan lebih banyak uang. Misalnya, pamanku telah menjanjikan uang jasa kalau aku mau memelihara kudanya."
Susi juga memberi usul: "aku akan memasukkan uang persembahanku dari gereja."
Semua murid kerlas 4 itu menjadi diam.
"Wah, nanti banyak uang akan terkumpul kalau kita semua berbuat begitu," kata Henry.
"Lebih baik kalian pikir dulu," kata Ibu Rusell dengan tenang.
Setelah beberapa saat, si Laurens berbicara lagi. "Kupikir lebih baik jangan," katanya. "Gereja kita perlu menggunakan uang persembahan itu untuk banyak usaha yang baik. Kalau uang itu kita masukkan ke dalam Tabungan Alkitab itu harus kita ambil dari uang saku kita sendiri."
"Aku tidak diberi uang saku," kata Tom. "Tetapi aku dapat mencari uang dengan bekerja sambilan."
"Kalau aku, sering ada pemberian khusus dari ayahku yang boleh kupakai sesuka hatiku," kata Henry. "Aku dapat memasukkan sebagian dari uang itu."
Jadi, mereka memang membuat suatu peraturan: Semua uang yang dimasukkan ke dalam Tabungan Alkitab itu harus diambil dari uang saku, atau dari uang jasa, atau pun dari uang pemberian.
Kelas-kelas pelajaran agama Kristen yang lain juga menyukai peraturan itu bukan hanya di sekolah si Laurens, tetapi juga di sekolah-sekolah lain yang letaknya berdekatan. Mereka semua setuju dengan rencana itu. Maka mereka semua mulai menyediakan Tabungan Alkitab.
Menjelang akhir tahun pelajaran pada bulan Juni yang berikutnya, sudah ada dua ratus dolar lagi dalam tabungan-tabungan itu.
Di pertengahan tahun 1953, si Laurens dan teman-temannya sudah naik kelas; mereka duduk di kelas 5. "Mari kita membuat poster-poster," Laurens mengusulkan. "Kita dapat menempelkan poster-poster itu di mana-mana, agar murid-murid lain mau turut memberi." Dengan segera mereka berbuat demikian, dan bahkan murid-murid SMA mulai tertarik akan usaha pengumpulan dana itu.
Menjelang bulan juni lagi, jumlah pemberian mereka selama tiga tahun itu telah mencapai seribu dolar lebih!
"Mau diteruskn?" tanya Ibu Rusell pada waktu tahun pelajaran dimulai lagi.
"Mau!" Laurens dan teman-temannya sudah duduk di kelas 6. Dan proyek pengumpulan dana Alkitab itu dilanjutkan untuk satu tahun lagi.
"Aku akan menyusun daftar tentang semua cara yang kami pakai untuk mencari uang." kata Laurens. "Mungkin anak-anak di tempat lain akan tertarik juga mengetahuinya. Hai kawan-kawan, beritahu, kalau kalian punya cara baru untuk mendapatkan uang yang akan dimasukkan ke dalam Tabungan Alkitab kita."
Si Laurens lalu menyusun daftar itu. Sebagai judulnya ia menulis dengan huruf cetak: "CARA-CARA KITA MENGUMPULKAN UANG." Di bawah judul itu ada kalimat-kalimat sebagai berikut:
Aku sendiri memelihara kuda milik pamanku.
Susi tidak jadi membeli es krim.
Lolita membuat krans-krans Natal dan menjualnya.
Jack menabung untuk membeli sebuah pistol air,
tetapi uang itu kemudian dimasukkannya
ke dalam Tabungan Alkitab.
June mencari langganan baru untuk majalah.
Lorraine mencuci piring.
Marie menolong tetanggannya membereskan
tempat-tempat tidur.
Donald mengantar koran.
Makin lama makin panjang daftar itu! Orang-orang dewasa di seluruh daerah itu pun tertarik. Kalau ada tugas kecil yang perlu di kerjakan, mereka suka memanggil salah seorang murid sekolah. "Hei, kamu mau mendapat dua puluh lima sen untuk Tabungan Alkitabmu?" mereja suka menawarkan.
Laurens adalah murid yang paling bersemangat. Ketika tahun 1954 sudah tiba dan mereka sudah mengumpulkan dana sebesar tiga ribu dolar, ada beberapa anak yang diundang turut tampil pada siaran televisi. Tentu saja si Laurens termasuk rombongan acara itu.
Sekarang si Laurens sudah tinggi, sama seperti si David dulu. Sama seperti David pula, dialah orangnya yang suka pergi ke ruang-ruang kelas lain serta mendorong adik-adik kelasnya agar mereka turut memberi.
"Bukankah kau sudah bosan dengan proyek itu?" tanya seseorang. Sama sekali tidak!" jawab Laurens. "Tahun ini kami mencari uang untuk Alkitab dalam bahasa Hongaria, karena ada banyak pengungsi dari negeri itu. Semua harta mereka hampir ludes. Paling sedikit kami dapat menyediakan Alkitab untuk mereka."
Bulan Juni tahun 1957 sudah tiba. Laurens termasuk kelompok kecil murid-murid kelas 2 SMP yang bertugas menghitung jumlah uang yang telah ditabung selama masa enam tahun itu. "Lima ribu lima ratus dolar," Laurens menulis. "Wah! Dan coba bayangkan, . . . dulu aku seorang anak kecil yang bodoh, yang lebih senang membeli permen cokelat daripada untuk memberi Alkitab kepada orang-orang di seberang. Sungguh bodoh aku dulu!"
"Kamu bukan anak yang bodoh," kata Ibu Rusell,. "Sikapmu itu wajar saja. Waktu itu kau belum merasakan kesenangan memberi. Ingatkah kau perkataan Tuhan Yesus itu, yang dikutip dalam Kisah Para Rasul 20:35? `Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.'''
"Ya, Bu. Kami sudah membuktikan kebenaran ayat itu, kan?" kata Laurens. "Wah! Tahun depan, kira-kira kami dapat mengumpulkan berapa banyak uang ya?"
TAMAT
- Printer-friendly version
- Login to post comments
- 6134 reads