You are hereSeorang Yang Mengagetkan Keluarganya (Jepang, abad ke-20)

Seorang Yang Mengagetkan Keluarganya (Jepang, abad ke-20)


Mata Yoshiko terbelalak. Ia ketakutan. Dengan penuh amarah ayahnya sedang mencetuskan perasaannya tentang cara hidup pamannya.

"Ia seorang pemabuk kelas berat!" kata Ayah dengan geram. "Mengapa ia tidak minum arak terus sampai mati? Biar tidak memalukan keluarganya terus menerus."

Yoshiko mundur ke sudut ruang tamu. Ia sayang kepada Paman. Bukankah Paman selalu manis kepadanya? Tidak jarang Paman membawakannya mainan baru bila ia datang ke desa mengunjungi keluarganya. Memang, wajahnya sering nampak merah, dan kata-katanya sering melantur pada saat-saat seperti itu. Tetapi ia selalu manis budi terhadap keponakannya yang masih gadis, si Yashiko. Mengapa Ayah sampai hati mengatai dia?

Ternyata, ayahnya belum juga selesai mencaci-maki pamannya. "Pemabuk, penjudi, pemboros!" ia berseru. "Tidak ada orang yang mau meminjamkan uang lagi kepadanya. Tidak ada orang yang mau menjualnya suku cadangan untuk bengkel sepeda miliknya. Hidupnya sudah gagal sama sekali!"

Tiba-tiba, seolah-olah dipanggil, . . . Paman sendiri muncul di ambang pintu.

Yoshiko berlari menyambut dia. Lain daripada biasanya, kali ini wajahnya kelihatan agak tenang. Sama sekali tidak ada bau arak padanya. Paman tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu Yashiko secara lembut.

Tetapi Ayah memandang dia dengan marah. Sebenarnya ia tidak senang Paman datang ke rumahnya. Bahkan Nenek juga sudah ikut bersikap kurang ramah terhadap putra bungsunya. Namun apa boleh buat, ia sudah datang, dan menurut adat bangsa Jepang seluruh keluarga harus berkumpul untuk menyalaminya.

Setelah mereka bersalam-salaman, Paman Yoshiko mulai berbicara. "Aku datang membawa berita baik," kata Paman sedikit gugup. "Begini: Aku telah membaca sebuah Buku, dan kini aku telah menjadi seorang manusia baru. Aku akan menempuh jalan hidup yang baru. Aku tidak akan minum arak atau berjudi lagi. Aku tidak akan memalukan keluargaku lagi."

Mata Yoshiko berbinar-binar. Sudah jelas, pikiran ayahnya mengenai pamannya itu keliru! Yoshiko ingin menyanyi gembira.

Tetapi Ayah hanya mencibir sambil berkata: "Hmm! Hidup baru! Siapa yang percaya omonganmu! Tidak ada kuasa di seluruh dunia ini yang dapat melepaskan engkau dari nafsu minum arak. Orang yang tidak berguna seperti engkau ini, mana bisa berubah!"

Air muka Paman berubah pucat. Rupa-rupanya ia menyangka bahwa keluarganya akan senang mendengar tentang perubahan dalam cara hidupnya. Tetapi ternyata mereka tidak mau mengerti apa yang sudah terjadi atas dirinya.

Namun Paman membongkok dengan sopan. "Bolehkah aku menceritakan apa yang telah terjadi?"

"Boleh. Tapi jangan bertele-tele! Omongan kosong pemabuk"

Nenek menegur Ayah. "Adikmu tidak mabuk sekarang. Biarlah ia menceritakannya."

Mereka semua duduk pada bantal di atas lantai. Yoshiko mendengarkan dengan penuh perhatian pada saat pamannya mulai bercerita:

"Beberapa waktu yang lalu, ada dua orang datang membetulkan sepedanya di bengkelku. Sambil bekerja, aku bercakap-cakap dengan mereka. Ternyata mereka adalah penjual buku-buku agama mereka. Kubeli beberapa buku kecil dari mereka. Kata mereka, buku-buku kecil itu adalah sebagian dari sebuah Buku besar yang berjudul `Alkitab'. Kubaca buku-buku kecil itu. Tetapi aku sama sekali tidak dapat mengerti isinya."

Si Yoshiko menganggukkan kepalanya. Ia merasa bersimpati terhadap pamannya. Minggu yang lalu di sekolah telah dimulai pelajaran baru, dan Yashiko juga sama sekali tidak dapat mengerti isinya.

Mengingat saat-saat ia kebingungan itu, Paman menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu ia pun meneruskan ceritanya:

"Ketika orang-orang itu datang kembali, kukatakan kepada mereka bahwa aku tidak mengerti isi buku-buku itu. Lalu mereka mengundang ak datang ke rumah penginapan, di mana mereka akan menjelaskan ajaran-ajaran dalam buku-buku itu."

Dengan agak malu Paman melanjutkan. "Memang aku pergi ke sana. Tetapi sebelum ke sana aku minum arak lebih dahulu, sehingga hampir mabuk."

Ayah mulai komat-kamit lagi. Tetapi rupa-rupanya Nenek sangat memperhatikan cerita Paman, sehingga Ayah tidak berani memberi komentar dengan suara keras.

"Mereka sabar sekali," kata Paman. "Berkali-kali aku mendengarkan penjelasan mereka. Tidak pernah mereka menegur aku walaupun aku minum arak dahulu sebelum ke sana. Ayat demi ayat mereka bacakan dan mereka jelaskan pula."

Paman berhenti sejenak sambil mengenang kembali pengalamannya itu. "Aku semakin tertarik. Ajaran-ajaran itu sngat baik. Dan pada suatu hari mereka membuka Alkitab dan menunjukkan sebuah ayat, lalu minta supaya aku sendiri membacanya. Ayat itu tertulis di dalam Buku agama mereka supaya semua orang dapat membacanya. Tahukah kalian apa bunyi ayat itu?" tanya Paman sambil memandang ke sekelilingnya.

Semuanya diam.

"Begini bunyinya: `Janganlah kamu mabuk.'''

"Ahhh!" kata ayah Yoshiko.

"Kemudian mereka terus menjelaskan ajaran-ajaran agama mereka kepadaku, dan aku sendiri membaca lebih lanjut. Aku lalu mengambil keputusan untuk menjadi pengikut Tuhan Yesus, yang diceritakan di dalam Alkitab itu. Aku tidak mau minum arak lagi, atau main judi lagi, atau menghambur-hamburkan uang dengan cara-cara yang jahat."

Paman Yoshiko menatap keluarganya. "Tapi ayah Yoshiko tertawa mengejek. "Ceritanya cukup menarik," katanya. "Tapi yang penting ialah, pelaksanaan selanjutnya. Beberapa kali sudah kaukatakan kepadaku bahwa engkau tidak mau minum-minum lagi?"

Nenek tersenyum. "Memang engkau telah membuat keputusan yang baik, anakku," katanya menghibur. "Nah, datanglah kembali bila engkau sudah melaksanakannya."

Paman Yoshiko bangkit berdiri. "Tadi kukira beritaku akan menyenangkan kalian," katanya dengan sedih.

"Tentu senang, jika terbukti benar," kata ayah Yoshiko pendek.

Hanya Yoshiko saja yang mengikuti pamannya sampai ke pintu gerbang kebun bunga di depan rumah mereka. "Cerita Paman sungguh menyenangkan hatiku" katanya.

Mendengar kata-kata Yoshiko, Paman yang tadinya kelihatan sedih mulai terseyum lagi. "Nanti kau akan menjadi lebih senang lagi, Nak," katanya. Dan dengan langkah yang mantap ia mulai berjalan menuju ke kota.

Tidak lama kemudian, tibalah musim dingin. Salju turun. Selama beberapa minggu tidak ada seorang pun yang pergi ke luar desa.

Lalu pada suatu hari ayah Yashiko pergi ke kota. Ketika kembali ke rumah, ia membawa berita yang mengejutkan tentang Paman.

"Aku baru berkunjung ke rumah Adik," kata Ayah kepada Nenek, "dan istrinya menceritakan sesuatu yang sulit untuk dipercayai. Katanya, putra bungsu Ibu selama beberapa minggu ini tidak pernah minum arak setetes pun. Uang penghasilannya ditabung. Ia tidak pernah menginjakkan kakinya di rumah perjudian. Ia tidak pernah lagi memboroskan uangnya dengan cara yang memalukan keluarganya."

"Apa kata putra bungsuku sendiri?" tanya Nenek.

Yoshiko ikut mendengarkan dengan penuh perasaan. Ia juga ingin tahu keadaan pamannya.

"Aku tidak berjumpa dengan dia," kata Ayah. "Waktu itu ia pergi mengurus pekerjaan."

"Memang sulit untuk dipercayai!" kata Nenek, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.

"Nenek," kata Yoshiko lirih, "aku mempercayainya."

"O, begitu, ya, Nak?" Nenek mengeluh. "Indah sekali, seandainya benar! Tetapi seumur hidupku belum pernah aku mendengar bahwa ada kuasa yang dapat membelokkan seorang pemabuk dan penjudi dari jalannya yang sesat."

Ayah pun ikut mengeluh." Ada juga berita yang kurang menyenangkan," katanya. "Adikku ditimpa kesulitan. Tidak ada lagi penjual suku cadang sepeda yang mau percaya bahwa ia akan melunasi hutangnya. Dengan uang penghasilannya, ia hanya dapat secara kontan membeli bahan yang paling diperlukan untuk bengkelnya."

Nenek menggelengkan kepala. "kata orang, putra bungsuku berhutang di mana-mana. Bukan hanya kepada orang-orang di kota sana, tetapi juga kepada orang-orang di desa sini." Raut mukanya menjadi sedih. Memang kelakuan paman Yoshiko cukup menyedihkan ibunya, dan cukup memalukan kakaknya juga.

Waktu terus berlalu. Tidak lama lagi Tahun Baru akan tiba.

Pada suatu pagi Ayah oergi ke kota lagi. "Aku akan menengok adikku," katanya. Tetapi ia pun agak sinis menambahkan: " . . . walau mungkin sekali ia tidak ada di rumah. Hari inilah waktunya untuk membayar hutang, dan ia biasanya menyembunyikan diri sehingga orang-orang tidak dapat menagihnya."

Tetapi Ayah keliru. Ternyata Paman ada di rumah. Bengkelnya bersih dan rapih, air mukanya berseri-seri, dan keluarganya asyik bersiap-siap merayakan Tahun Baru.

Paman menyambut kakaknya dengan gembira. "Lihat saja, Kak," katanya, "aku sudah lebih dahulu pergi berkeliling dan menagih uang dari orang-orang yang berhutang kepadaku. Dan, dengan uang yang sudah kutabung, aku sudah dapat mulai mencicil hutangku sendiri. Aku akan minta kepada tiap orang agar ia rela bersabar sampai aku dapat melunasi semuanya."

Ayah Yoshiko memandang adiknya dengan heran. "Rupanya aku keliru," katanya lirih. "Rupanya sudah terjadi sesuatu yang kuanggap mustahil."

Paman menuntun kakanya ke etalase di jendela muka dari bengkel sepedanya. "Memang betul, Kak, mustahil!" ia mengiakan. "Tetapi Tuhan Allah justru sanggup melakukan yang mustahil. Melalui Firman Tuhan aku telah dibimbing untuk menjauhi arak dan perjudian."

Ia menunjuk ke arah etalase itu. Ditengah-tengahnya ada sebuah Kitab Perjanjian Baru dan beberapa buku kecil. "Firman Tuhan menunjukkan jalan hidup baru bagiku. Aku memamerkannya, biar langgananku melihat dan menanyakannya."

Ayah Yashiko menyorotkan matanya ke muka adiknya, seperti hendak menyelidik. Lalu ia pun ikut tersenyum. "Sekarang aku percaya," katanya. "Aku dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa engkau sudah berubah. Aku akan cepat-cepat pulang dan memberitahu Ibu. Tidak ada hadiah Tahun baru yang akan lebih menyenangkan hatinya daripada berita itu. Dan kalau si Yoshiko," katanya menambahkan, "sejak semula ia percaya kepadamu. Pasti ia akan menari kegirangan!"

Kedua pria bersaudara itu mulai berjalan bersama-sama pada jalan yang berlapis salju. "Aku akan mengantarkan engkau pulang," kata Paman." Ada hutang yang harus kulunasi kepada seseorang di desamu. Dan aku pun akan menengok Ibu dan si Yashiko."

Pada malam itu, setelah waktu kunjungan Tahun Baru selesai, ada suasana sukaria di rumah keluarga Yoshiko. Dari sakunya Ayah mengambil sebuah Buku kecil. "Kita pun akan membaca Firman Tuhan," katanya. "Kalau memang ada kuasa di dunia ini yang dapat mengubah adikku sehingga menjadi seperti yang kita saksikan hari ini, maka aku pun ingin mengetahuinya."

Nenek mengangguk. "Ajaib betul!" katanya. "Nah, bacalah, anakku. Kami akan membuka telinga kami dan hati kami."

Yoshiko diam saja. Untuk yang pertama kalinya ia sempat mendengarkan isi Alkitab. Yang dibacakan oleh Ayah adalah cerita tentang Tuhan Yesus memberkati anak-anak. Memang cerita itulah yang telah diberi tanda oleh Paman, justru oleh karena ia tahu bahwa si Yoshiko akan turut mendengarkannya.

"Aku senang kepada Tuhan Yesus," bisik Yoshiko. "Aku ingin mendengar lebih banyak lagi cerita tentang Dia.

TAMAT