You are hereArtikel Misi / Rintangan Penginjilan di Kota

Rintangan Penginjilan di Kota


Rintangan Kelas Masyarakat bagi Misi Kota

Tugas saya adalah memperluas peta dunia Anda. Saya ingin menarik perhatian Anda pada bergesernya batasan misi sekarang ini. Saya ingin berbicara tentang sebuah dunia yang telah berubah -- dari dunia bangsa-bangsa menjadi dunia kota-kota dari berbagai bangsa yang saling terhubung. Dunia yang terdiri dari 223 bangsa yang dalam kenyataan sebenarnya terdiri dari tiga ratus kota dari kelas masyarakat, sebuah dunia yang tumbuh dengan sangat cepat sehingga pada tahun 2000 akan ada sekitar lima ratus kota yang masing-masing akan berpenduduk lebih dari satu juta jiwa. Rintangan misi dan penginjilan pada masa kini sangat nyata dan kompleks.

Salah satu halangan yang akan muncul adalah masalah demografis. PBB memiliki sebuah departemen yang beranggotakan empat puluh orang yang khusus menangani demografi kota. Jumlah yang mereka tunjukkan mencengangkan. Dalam beberapa waktu saja, lahir seratus bayi di bumi -- 49 berkulit kuning, 13 berkulit putih seperti saya, dan lainnya berkulit hitam dan coklat. Kebanyakan dari mereka akan tinggal di kota-kota di seluruh dunia.

Untuk mencapai kota Urbana, AS, kebanyakan dari Anda melewati kota metropolitan Chicago -- yang terdiri dari 6 kabupaten, berpenduduk 7,1 juta jiwa. Saya beritahukan kepada Anda bahwa jumlah total pertumbuhan penduduk dunia setiap bulannya lebih banyak dari jumlah populasi kota Chicago. Dunia ini tumbuh dengan sangat cepat. Belum ada semilyar menit sejak Yesus berjalan di bumi 1.900 tahun yang lalu, namun akan ada sekitar 1,5 milyar bayi yang lahir dalam 13 atau 14 tahun ke depan. Dan secara pasti, sebagian besar dari mereka akan tinggal di kota.

Selama 2000 tahun, kita sudah menerima Amanat Agung untuk pergi memberitakan Injil ke semua orang ke seluruh dunia dan memuridkan semua bangsa. Sekarang kita tahu di mana mereka -- di lingkungan sekitar kita, di kota-kota, di Los Angeles, di Miami, dan di kota-kota padat di seluruh dunia. Pertambahan jumlah penduduknya sangat mencengangkan -- begitu pula dengan kompleksitas kota yang semakin berubah. Kota terlihat seperti sebuah eskalator yang bergerak ke arah yang salah -- seperti magnet raksasa yang menyedot orang-orang yang berasal dari hutan-hutan, pulau-pulau, dan kelompok-kelompok suku.

Selama berabad-abad, Eropa bagian barat mampu mengatur kehidupan, ideologi, dan cara pandangnya di sekitar Mediterania. Jika Anda membaca karya klasik Henri Pirenne yang berjudul "Medieval Cities", Anda akan menemukan bahwa Eropa selama 800 tahun bergerak seperti sebuah pintu yang terbuka secara perlahan. Benua ini didorong oleh Islam dan ditarik oleh kota-kota bagian utara Jerman. Eropa dipaksa untuk menjadi bangsa yang melihat ke utara dan barat. Kita telah berada dalam lingkaran Atlantik selama 500 sampai 600 tahun terakhir. Namun sekarang, pada abad ini, pada masa hidup Anda dan saya, dunia ini bergerak lagi. Pintu sedang terbuka, hanya saja kini jauh lebih cepat, dan kita mengalami perubahan -- dari lingkaran Atlantik menuju lingkaran Pasifik. Dunia baru ini memberikan kita isyarat dengan perbedaan dan kompleksitas kota-kota.

Kota-kota di dunia yang bertumbuh paling cepat adalah Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Kota-kota itu mengubah cara kita berpikir, hidup, dan membangun ekonomi. Sayangnya, kota-kota yang mengalami pertumbuhan paling cepat ada di wilayah yang gereja-gerejanya paling lemah -- misalnya wilayah Asia. Jadi, skala misi kota diukur tidak hanya dari besarnya wilayah dan besarnya kota, tapi juga dari perubahan konfigurasi dan kompleksitas kota-kota itu.

Misalnya, Mexico City adalah kota paling tua di dunia, namun juga yang ternyata paling muda. Dua puluh juta penduduk tinggal di kota itu -- coba bayangkan -- 20 juta jiwa. Sementara rata-rata usia di Chicago adalah 31 tahun, di Mexico City rata-rata usianya adalah 14 tahun. Itu berarti ada sekitar sepuluh juta orang di Mexico City yang berusia di bawah 14 tahun. Kota ini adalah kota tua, tapi juga kota muda.

Beberapa minggu yang lalu, saya menyusuri jalanan Toronto dengan seorang mantan murid saya, yang kini menjadi misionaris jalanan di kota itu. Kami melihat sebagian dari 20.000 remaja di jalanan Toronto. Dan saat kami melihat hal itu, kami ingin meratap. Dua minggu sebelumnya, saya ada di Hollywood, mengamati sebagian dari lima ribu remaja di jalanan Hollywood, menjual tubuh mereka. Mereka datang dari berbagai tempat, datang karena didorong oleh cita-cita, namun hidup di jalanan.

Beberapa minggu yang lalu, saya mendengar Ecumenical Night Ministry (sebuah program gereja) di Chicago, menceritakan kisah mengenai 10.000 remaja di jalanan Chicago. Mereka adalah kota di dalam kota. Tiga puluh persen di antaranya memiliki kasus penyakit jiwa -- pasien-pasien yang dilepaskan dari rumah sakit jiwa karena tidak tersedianya biaya perawatan untuk mereka.

Kompleksitas sebuah kota adalah bahwa kota itu bukanlah satu kota saja. Kota itu adalah kota industri. Kota dengan keramaian kehidupan malam. Kota yang tidak tidur. Kota yang beretnis. Kota internasional. Kota pendatang. Kota pelajar. Kota berhotel bintang lima. Kota yang penuh dengan gelandangan, kota yang penuh kriminalitas. Orang-orang itu dikemas di kota. Untuk menjangkau mereka berarti berurusan dengan jumlah, pertumbuhan, dan kompleksitas.

Namun, banyak dari kota ini yang tidak dapat kita akses dengan mudah. Tiga puluh dari kota-kota yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa ada di Cina. Paling sedikit dua puluh kota seperti itu ada di Uni Soviet. Banyak kota yang pertumbuhannya paling cepat berada di negara-negara Islam. Seperti kota Beirut, yang mungkin bisa jadi gambaran sebuah kota. Sekarang kita mengenal Beirut sebagai kota penuh kekerasan. Tapi yang tidak kita ketahui, 10 tahun yang lalu, saat terjadi perang saudara di sana, populasinya satu juta jiwa. Kini, setelah perang selama bertahun-tahun dan banyaknya kematian, populasi Beirut menjadi sekitar 1,8 juta. Dengan kata lain, penderitaan dan perjuangan kota itu justru menjadi magnet yang menarik orang-orang di luar Libanon Selatan menuju ke kota Beirut -- dan hampir mustahil bagi kita untuk masuk dan mengubahnya.

Rintangan Pribadi bagi Misi Kota

Jadi, ketika kita berbicara tentang misi kota saat ini, kita berbicara tentang beberapa rintangan yang sangat nyata. Namun, saya ingin berbicara tentang tiga rintangan yang saya yakin akan Anda hadapi secara pribadi. Dan menurut saya, rintangan-rintangan ini sangat nyata.

Pada tahun 1980, Komite Lausanne bagi Penginjilan Dunia (Lausanne Committee for World Evangelization) mengadakan konferensi di Thailand. Tugas saya adalah untuk membantu mengatur konsultasi tentang masalah kota. Dalam persiapan, kami melakukan korespondensi dengan orang-orang dari seratus kota lebih. Jadi, pada konferensi itu, saya membawa sekitar lima ribu halaman hasil penelitian. Kami duduk dengan 110 orang yang berasal dari enam benua dan mulai melihat apa yang Allah lakukan di kota-kota itu. Kami tercengang menemukan betapa sedikitnya usaha yang telah dilakukan oleh para penginjil dan sedikitnya badan misi yang memikirkan dan mempersiapkan misionaris ke kota-kota. Kami juga tercengang dengan bagaimana Allah menggunakan alat baru, bentuk baru, dan kulit anggur yang baru.

Setelah konferensi tersebut, saya ditugaskan untuk pergi ke sekitar seratus kota, mengadakan konsultasi dengan orang-orang, melihat dengan pandangan baru keadaan kota dan pelayanan di kota itu, serta kemudian bertanya, model pelayanan baru seperti apa yang dibutuhkan untuk menjangkau kota -- entah itu Kairo, Kopenhagen, Zagreb, atau Mexico City.

Saya mendapat pelajaran dari almarhum Paul Little, ketika masih di seminari, bahwa ada dua hal yang menyebabkan orang tidak mau datang kepada Kristus atau bersaksi bagi Kristus, yakni informasi atau motivasi. Tapi di sini saya ingin mengatakan, bahwa ada faktor ketiga dalam hal misi kota: intimidasi, sindrom "belum pernah melakukannya sebelumnya". Dan kalimat itu yang menjadi akhir dari usaha gereja.

Rintangan Teologis

Salah satu rintangan tidaklah berasal dari luar, kota yang besar dan jahat, namun dari dalam. Rintangan ini adalah rintangan teologi. Kebanyakan dari kita memiliki teologi pribadi, sebuah pertobatan pribadi. Saya menyebutnya teologi Filipi -- teologi Kristus yang meninggalkan surga dan turun ke dunia untuk tinggal bersama kita. Sebuah hubungan "Allahku dan aku" -- dan hal ini luar biasa. Suatu kesalehan pribadi. Namun, sebagian besar dari kita kekurangan teologi Kolose dari Kristus yang transenden. Ia adalah Allah, Penguasa sistem dan struktur dunia, termasuk sebuah kota. Dan tanpa perspektif Kolose itu, kita memiliki teologi yang hanya memberi kelegaan, namun bukan telologi yang mengubah.

Kita berurusan dengan korban, namun kita tidak dapat berurusan dengan isu keadilan. Teologi perampok di kayu salib -- cukup untuk membuatnya masuk surga -- tempat untuk memulai. Namun, jika kita akan terjun ke misi kota, kita harus terus-menerus belajar. Seperti kata Walter Scott, "Bagi seorang Kristen, satu buku sudah cukup, namun ribuan buku masih belum terlalu banyak." Adalah fakta bahwa dengan pengetahuan sekolah Alkitab yang saya miliki, saya bisa menjadi orang yang paling berpendidikan di banyak desa, namun pendidikan minimalis tidak dapat menarik kota. Banyak di antara Anda akan harus terus belajar giat untuk menerapkan teologi Kolose itu. Anda harus menambah teologi pribadi dengan teologi umum misi. Kita tidak hanya membutuhkan misiologi kota, namun juga sebuah teologi alkitabiah kota.

Berpikir alkitabiah berarti memahami bagaimana Allah telah bergerak dari penciptaan ke penebusan di sepanjang sejarah Alkitab. Untuk berpikir secara historis adalah untuk memahami bahwa Roh Allah yang menggerakkan kita sekarang, sama dengan yang telah memimpin umat Allah menyeberang budaya selama 2000 tahun terakhir. Kita perlu belajar hal ini dari sejarah karena kota adalah sebuah museum seni dan arsitektur, sebuah museum budaya dan masyarakat yang datang dari ujung dunia yang jauh dan yang sedang dibentuk ulang oleh kekuatan-kekuatan kota.

Suara yang Anda dengar adalah dari Chicago, namun budayanya adalah dari tempat lain. Agenda yang mereka bawa adalah dari tempat lain. Jadi, kita perlu mengembangkan cara pandang dunia yang membantu kita melihat bahwa dunia kini hidup di lingkungan kita. Ada enam puluh bangsa yang mewakili lingkungan di mana saya tinggal di Chicago, enam puluh bangsa di sekolah negeri di mana anak-anak saya bersekolah, dan sekolah itu mengajar dalam sebelas bahasa. Sekitar 35% dari lingkungan saya adalah orang-orang berkulit hitam, namun banyak budaya kulit hitam yang diwakili: budaya tembakau, kapas, batu bara, dan Karibia. Semua itu adalah budaya orang kulit hitam, namun semuanya berbeda. 28% adalah orang Asia, namun mereka semua berbeda. Ada yang dari utara, selatan, dan timur -- beberapa dari mereka adalah pengungsi dan orang miskin, namun banyak dari mereka adalah orang kaya dan kaum elit.

Salah satu rintangan sesungguhnya dalam misi kota adalah cara kita membaca Alkitab sebagai buku desa. Kita menyanyikan lagu-lagu yang penuh dengan nuansa penggembalaan dan gambaran pedesaan. Namun, seperti yang dikatakan Bill Pannel, sangat sulit bagi orang kota di pusat kota Cleveland untuk memikirkan tentang menggembalakan domba. Kita harus bisa mengembangkan teologi kita untuk sampai pada visi Allah bagi kota.

Rintangan Gerejawi

Rintangan besar lainnya adalah rintangan gerejawi. Bagi kebanyakan kita, gereja telah menjadi sebuah perkumpulan -- gereja kulit putih kelas menengah tidak akan bertahan kalau lingkungan berubah. Banyak dari kami adalah hasil dari sindrom pelarian kulit putih. Kami berbondong-bondong meninggalkan kota saat Tuhan membawa seluruh dunia ke sana. Beberapa dari kita merasa bersalah mengenai hal itu. Tapi Anda harus tahu, saat Anda meninggalkan kota, Roh Kudus tidak pergi. Ia hanya pindah ke kulit anggur yang baru. Kini gereja yang paling cepat pertumbuhannya adalah gereja orang kulit hitam, Amerika Latin, atau Korea. Banyak dari mereka menyembah Tuhan dalam bahasa yang bukan bahasa Inggris. Tuhan tidak membutuhkan Anda untuk kembali ke Chicago karena Mesias-lah yang dikirim untuk menyelamatkan kota itu. Jika Anda datang, Anda harus bergabung dengan Dia dalam pekerjaan yang sudah Ia kerjakan di sana.

Kini, berbagai denominasi dan badan misi berusaha untuk memahami bagaimana mereka harus membagi ladang pelayanannya. Pada masa lalu mereka dapat membedakan antara misi di dalam negeri dan misi asing, tapi kini perbedaan itu sudah tidak masuk akal lagi -- mana yang dalam negeri dan mana yang asing tidak dapat dengan mudah dibedakan. Southern Baptist Home Mission melayani di Los Angeles saja dalam 26 bahasa. Keuskupan agung Chicago harus berurusan dengan 22 bahasa. Ladang misi sudah hadir di "rumah" kita sendiri.

Kini kita harus memikirkan misi bukan pada jarak secara geografis -- misi yang menjangkau semilyar atau lebih orang yang tinggal jauh dari gereja yang ada -- tapi wilayah misi baru harus memikirkan jarak secara budaya. Kita masih akan memerlukan misionaris untuk mengarungi samudera, gunung, dan gurun untuk menjangkau orang-orang yang belum terjangkau. Namun, ladang misi baru ada di kota yang terbentuk dari migrasi besar-besaran dan tingkat kelahiran yang membumbung tinggi. Hal itu adalah realitas baru dunia misi.

Satu tugas yang senang saya berikan di kelas misi kota adalah membawa murid-murid saya ke supermarket dan memberi mereka waktu 30 menit untuk mengamati perubahan yang terjadi di lingkungan itu. Mereka keluar dan menceritakan kepada saya bagaimana bisnis makanan telah berubah dalam 30, bahkan 15 tahun terakhir. Toko-toko buka 24 jam. Semuanya sudah menggunakan sistem komputer. Harga-harga naik. Kalau biasanya toko-toko menjajakan delapan ribu produk, kini mereka menjajakan 24.000 produk. Ada bagian makanan orang Asia, Spanyol, Amerika, dan ada juga bagian yang bebas garam. Ada bagian khusus untuk makanan siap saji sampai makanan yang di-microwave. Mereka memiliki layanan multibahasa dan layanan mencairkan cek yang lebih nyaman daripada di bank saya. Sudah tidak ada lagi hari-hari seperti dulu di mana toko daging bisa berkata, "Kami tidak jual daging lagi setelah pukul enam sore."

Saya juga akan membawa murid-murid saya ke gereja terdekat, dan di sana kami melihat papan pengumuman. Dan apa yang kita lihat? Ibadah pagi: Pukul 11.00 -- tema: Dunia Tanpa Batas.

Saya bertanya, bagaimana sebuah supermarket yang tidak rohani dapat melakukan apa yang nampaknya tidak dapat dilakukan gereja yang rohani? Bagaimana kita bisa memerdekakan gereja untuk menjangkau kota? Bagaimana kita dapat membujuk badan misi asing untuk bekerja sama dengan pengurus misi dalam negeri mengajarkan keterampilan lintas budaya yang kini dibutuhkan di dalam negeri? Bagaimana kita dapat melakukannya? Bagi kebanyakan dari kita, rintangan ini lebih besar daripada pelayanan menjangkau agama lain -- dan saya mengatakan hal itu atas dasar pengalaman saya pribadi dalam usaha mengatasi rintangan ini. (t/Dian)

Diterjemahkan dan disesuaikan dari:

Judul buku : Urban Mission
Judul asli artikel : Overcoming the Real Barriers to Urban Evangelization
Penulis : Ray Bakke
Penerbit : InterVarsity Press, Illinois 1988
Halaman : 71 -- 77

e-JEMMi 20/2009