You are hereArtikel Misi / Percakapan dalam Kontak yang Kasual

Percakapan dalam Kontak yang Kasual


Seorang anak laki-laki berdiri di jalan setapak sedang mendengarkan khotbah kami di suatu Minggu sore. Salah seorang dari tim kami menyapanya dan memberinya sebuah buku kecil mengenai kekristenan ketika ia berjalan pergi. Itulah terakhir kalinya kami melihat bocah tersebut. Dua puluh tahun kemudian, seorang anggota tim kami melihat seorang asing di gereja dan menyambutnya. Pria itu menceritakan kisah ini. "Ketika saya muda, saya diberi sebuah buku Kristen pada hari Minggu sore saat pertemuan terbuka. Saya tidak membacanya. Hanya melemparnya ke dalam laci. Baru tahun ini saya menemukannya, membacanya, dan membuka hidup saya kepada Yesus Kristus." Anggota tim itu mencari tahu bersama pria tersebut, tempat pertemuan 20 tahun sebelumnya. Ia adalah anak laki-laki yang diberi sebuah buku dalam sebuah pertemuan yang sepintas lalu. Betapa mengagumkannya menebar benih sambil beriman dan berdoa!

"Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik." (Pengkhotbah 11:6) Dalam penjelasan Tuhan Yesus tentang perumpamaan tentang penabur, Ia berkata, "Benih itu ialah firman Allah". Benih hanya dapat berbuah ketika benih itu disebarkan. Jadi, setiap orang Kristen seharusnya adalah seorang penabur.

Menaburkan Firman di antara Saudara Sepupu

Cara termudah untuk menaburkan firman di antara saudara sepupupun adalah memberi mereka bagian Alkitab. Hal ini tidak harus merupakan sesuatu yang besar dan dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kemauan untuk melakukannya. Bersikaplah ramah dan mulailah percakapan dalam kontak yang kasual (informal). Perjumpaan semacam itu dapat dibuat ketika sedang dalam perjalanan menggunakan bis, kereta, atau ketika membeli makanan di sebuah toko oleh-oleh makanan khas. Anda mungkin bertetangga dengan keluarga saudara sepupu atau berjumpa dengan mereka di tempat kerja atau sekolah.

Tanyakan tentang negara asal mereka, anak-anak mereka, dan bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan tempat baru mereka. Ceritakan kepada mereka tentang kepedulian Anda soal standar-standar moral yang rendah dan kurangnya kehidupan spiritual di negeri Anda. Biarkan mereka tahu kalau Anda memuja Allah dan menggunakan waktu setiap hari dengan-Nya di dalam doa. Ini bukannya membual, tetapi membiarkan mereka tahu bahwa Anda menghidupi hal-hal dalam hidup yang menjadi minat mereka.

Jika ada tanggapan yang ramah, arahkan percakapan itu kepada persoalan rohani. Inilah suatu pembuka percakapan yang menurut saya sangat membantu. Saya meminta izin seseorang dengan berkata, "Bolehkah saya menanyakan sebuah pertanyaan? Ini adalah pertanyaan paling penting yang pernah ditanyakan kepada Anda." Jika orang tersebut menunjukkan keinginan, saya akan bertanya, "Jika Anda meninggal hari ini, ke mana Anda akan pergi?" Jawaban-jawaban yang paling sering adalah, "Saya harap saya akan pergi ke surga," atau "Saya tidak tahu. Tidak seorang pun yakin." Bahkan jika jawabannya adalah "surga", saya menyelidiki lebih jauh sedikit lagi dengan menjawab, "Jawaban yang bagus. Bagaimana Anda mengetahui hal itu?" Pertanyaan ini biasanya menimbulkan pemikiran-pemikiran yang tidak jelas, yang dimiliki orang-orang yang menunjukkan bahwa imannya tidak berdasarkan pada firman Allah. Jika seseorang sudah benar-benar diselamatkan, ia tidak akan memiliki keraguan dalam memberikan suatu jawaban yang dengan jelas menunjukkan hubungan dengan Kristus dan kesadaran atas pengajaran Alkitab. Tentu saja, dalam berhadapan dengan Saudara Sepupu, jawabannya akan, "Hanya Allah yang tahu." Apa pun jawaban terhadap pertanyaan yang tadi, hal itu akan selalu mengarah pada kesempatan untuk bercerita lebih lanjut tentang Tuhan Yesus Kristus.

Percayakan kepada Tuhan untuk membimbing Anda dalam bersaksi dan dipersiapkan dengan literatur yang tepat dalam bahasa-bahasa dari kelompok etnis mayoritas tersebut. Literatur ini dapat diperoleh dari organisasi-organisasi yang memiliki sumber literatur.

Membagikan Kesaksian pada Perjumpaan-Perjumpaan Sepintas Lalu

Izinkan saya memberi Anda suatu ilustrasi mengenai membagikan kesaksian pada pada perjumpaan-perjumpaan sepintas lalu. Saya dan istri saya sedang berada di sebuah ruang tunggu bandara transit sebuah kota di India. Kami sedang menunggu penerbangan ke Ethiopia untuk mengunjungi rumah sakit-rumah sakit di mana istri saya sudah bekerja sebagai utusan Injil kesehatan. Di ruang tunggu itu, ada sekelompok besar orang yang dengan mudah diidentifikasi melalui pakaian mereka sebagai Saudara Sepupu. Merasa terbeban untuk bercerita dengan mereka, saya berbicara dengan seorang pria dari kelompok itu dalam bahasa Inggris, dan ia cepat-cepat mempertemukan saya dengan pemimpin dari kelompok tersebut, seorang muda yang cakap. Setelah sapaan dan kata-kata pembuka yang ramah, ia menunjukkan keinginannya untuk berbicara tentang persoalan spiritual, sebuah sifat khas saudara sepupu. Saya mengajaknya ke suatu sisi ruangan, sehingga kami bisa berbincang-bincang secara pribadi. Percakapan yang terjadi adalah sebagai berikut ini.

"Apakah Anda seorang Kristen?" Ia bertanya. "Ya," jawab saya.

"Apakah Anda seorang yang non-Kristen?" "Ya."

"Bolehkah saya bertanya?" -- Saya mencoba berspekulasi. "Tentu saja."

"Apakah Anda mengenal Allah?" tanya saya. "Oh, ya tentu saja saya mengenal Allah," dengan cepat ia berusaha meyakinkan saya.

"Bukankah itu baik," kata saya. "Saya selalu senang bertemu seseorang yang mengenal Allah. Ceritakan bagaimana Anda mengenal Allah?"

Saya melihat kebingungan dan kekacauan muncul di wajahnya, saat ia berusaha mencari jawaban. Saya bertanya-tanya, apakah ini pertama kalinya ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa ia benar-benar tidak mengenal Allah secara pribadi? Mungkin di dalam hatinya kebenaran yang sungguh-sungguh menyingkapkan bahwa ia hanya mengetahui apa yang keyakinannya ajarkan tentang Allah, tetapi tidak ada jaminan akan kasih dan pemeliharaan-Nya.

Saya ingin mengatakan bahwa kami memasuki suatu diskusi yang bermanfaat, tetapi hal itu tidak terjadi dengan cara demikian. Melihat ke belakang, mungkin itu sebatas yang Tuhan inginkan bagi laki-laki tersebut pada saat itu. Karena setelah pertanyaan saya tentang bagaimana ia mengenal Allah, pemberitahuan terdengar dari sistem pemberitahuan publik, bahwa sudah saatnya untuk masuk ke pesawat bagi penerbangan kami ke Ethiopia. Saya menjabat tangannya dan mengucapkan selamat tinggal. Sejak saat itu, Roh Kudus yang terus-menerus menggelisahkan hati saya untuk berdoa bagi pemuda tersebut. Saya berdoa, kenyataan Allah tidak dapat dikenal di dalam keyakinannya, akan membuatnya mencari kebenaran dan ia dapat benar-benar mengenal Allah melalui Yesus Kristus.

Anda akan memerhatikan bahwa perjumpaan ini dilakukan dalam cara yang ramah dengan seseorang yang benar-benar asing. Hal itu dilakukan tanpa konfrontasi pribadi. Persoalannya adalah kerohanian pemuda tersebut merasa perlu mengenal Allah secara pribadi. Tidak menyebutkan keyakinannya dan saya membimbing arah diskusi itu. Saya sungguh menyesal saya tidak sempat memberikan sebuah ayat Alkitab dalam contoh tersebut karena kondisi keadaan.

Contoh dari Penggunaan Kebutuhan Rasa Spiritual

Kutipan berikut ini adalah contoh yang baik dari penggunaan kebutuhan rasa spiritual untuk menunjukkan bagaimana Saudara Sepupu gagal. Dicatat dalam buku yang sangat bagus, "The Challenge of Islam" oleh C. R. Marsh (London: Scripture Union, 1980), halaman 31-33. C.R. Marsh dan istrinya adalah sepasang utusan Injil di Aljazair selama beberapa tahun, di mana ia mengunjungi desa-desa dan berbicara dengan orang- orang tentang Tuhan Yesus.

"Desa berikutnya adalah 3 mil jauhnya dan di sana saya menemukan kelompok kecil mengitari Hamid yang buta. Ia sedang menguraikan dengan terperinci kepada mereka doktrin-doktrin dari Kitab Suci Saudara Sepupu, menekankan kata-katanya dengan sebuah tongkat yang ia pegang di hadapannya. Menderita kebutaan sejak lahir, Hamid tidak mampu bekerja. Ia menghabiskan bertahun-tahun di sebuah sekolah Saudara Sepupu, mendengarkan orang lain mengulang-ulang baris-baris dari kitab suci mereka, sampai ia sendiri dapat mempelajarinya untuk mendeklamasikannya dalam hati."

Ia tahu semua perdebatan-perdebatan favorit dari para syekh setempat dan doktrin-doktrin dasar dari Saudara Sepupu. Saya duduk bersama dengan orang-orang itu. Laki-laki buta itu berhenti dan untuk beberapa menit mendengarkan dengan penuh perhatian pesan Injil. Kemudian ia menyulut api dengan berondongan pertanyaan. Ia tidak ingin suatu jawaban. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bagaimana banyaknya ia, seorang laki-laki buta, mengetahui tentang agamanya. Berapa pun harganya, ia harus menghentikan orang-orang dalam kelompok ini mendengarkan pesan kehidupan yang saya bawa. Saya berusaha sebaik-baiknya menjawab pertanyaan-pertanyaannya untuk menunjukkan simpati dan kasih, tetapi ia menjadi semakin memanas dan pertemuan itu merosot menjadi suatu diskusi yang tidak berguna. Saya memutuskan untuk mencoba suatu metode yang sering kali berhasil.

"Ceritakan kepada saya apa yang nabimu sudah benar-benar lakukan untukmu, teman. Saya akan memberimu sepuluh menit untuk menceritakannya kepada kami dan selama waktu itu saya akan tetap diam. Kemudian Anda akan mendengarkan dari saya selama sepuluh menit, mengenai apa yang Kristus sudah lakukan bagi saya." Tawaran itu disambut.

"Anda yang pertama bicara, Hamid." Ia pun memulai, "Nabi saya sudah memberi tahu kami untuk bersaksi tentang dia, berdoa lima kali sehari, berpuasa, memberi sedekah, membaca Kitab Suci. Itulah yang sudah ia lakukan bagi kami umat Saudara Sepupu."

"Teruskan, ceritakan kepada kami apa yang sudah ia lakukan bagi Anda," saya memohon.

Sepuluh menit berlalu, tetapi Hamid tidak butuh waktu lagi. Nabinya sudah memintanya untuk melakukan banyak hal. Ia mengetahui semuanya dengan hatinya, tetapi... kemudian dengan sangat sederhana, dari sebuah hati yang penuh kasih bagi Juru Selamat saya dan bagi orang-orang ini, saya menceritakan kepada mereka semua yang Ia sudah lakukan terhadap saya. "Tuhan Yesus sudah menyelamatkan saya. Ia sudah mengubah hidup saya. Ia adalah teman dan sahabat saya. Ia sudah memberikan kepada saya suatu hidup yang berkelimpahan dan sukacita. Ia memberi saya kekuatan untuk mengikuti perintah-perintah Allah dan jaminan pengampunan ketika saya gagal. Ia sudah mengajarkan saya untuk mengasihi musuh saya. Ia segera akan kembali ke dunia ini, bukan untuk memerintah selama 40 tahun, tetapi untuk memerintah selamanya. Ia datang untuk membawa saya bersama-Nya."

Hamid yang buta dan malang itu tidak dapat menahan dirinya lagi. Ia mengutuk dan memaki-maki saya, terus-menerus ia menghina. Tidak ada gunanya melanjutkan. Saya pergi. Sambil berjalan di jalanan desa, saya masih dapat melihat wajah yang menatap saya, tongkat yang diacungkan, cara Hamid yang berapi-api ketika mengutuk dan memaki ke arah saya. Oh, kesedihan yang tidak terhingga dari mata-mata yang buta, karena Saudara Sepupu yang terabaikan itu berusaha mengajar rekan sesama agamanya, pemimpin yang buta dari para orang buta. Saya berjalan ke desa berikutnya, merefleksikan paradoks yang terlihat dari pertentangan yang pahit dalam satu desa, sering kali dinetralkan oleh kehausan hati yang ada di desa berikutnya. Betapa benarnya pola di dalam Kisah Para Rasul tersebut.

Pola bercerita seperti ini adalah suatu cara menunjukkan kepada Saudara Sepupu kalau agama mereka tidak memiliki jawaban apa pun terhadap kebutuhan rasa spiritual mereka. Mereka tentu saja diberi tahu apa yang harus dilakukan, tetapi tidak dimampukan untuk menaati dan tidak ada jaminan terhadap jawaban atas kebutuhan mereka. Sebuah puisi mengeskpresikannya seperti ini: "Lakukan ini dan hiduplah, Hukum menuntut, Tetapi jangan beri aku kaki atau tangan, Injil memberi sebuah kata yang lebih baik, Ia menyuruhku terbang dan memberiku sayap."

Kita juga belajar dari kejadian ini bahwa jika saudara sepupu menjadi marah dan berusaha untuk berdebat, maka usaha untuk melanjutkannya lebih jauh adalah hal yang sia-sia. Lebih baik meyakinkan Saudara Sepupu pada tahap awal, bahwa persahabatan Anda dengannya adalah sesuatu yang lebih penting bagi Anda daripada memenangkan suatu perdebatan. Hal tersebut tidak berarti bahwa Anda menerima kekalahan. Jika Anda dapat berpisah dengan ramah, hal itu akan memberikan suatu celah yang terbuka untuk kesaksian berikutnya kepadanya, baik oleh Anda atau orang Kristen yang lain.

Dalam menceritakan iman Anda, latihlah kemampuan untuk menyatakan dengan jelas sekaligus sederhana mengenai hakikat Injil, siapa Tuhan Yesus, apa yang Ia sudah lakukan dalam penebusan, dan apa yang seharusnya menjadi tanggapan kita. Berlatihlah untuk menceritakan kesaksian Anda sendiri; apa arti keselamatan bagi Anda. Ketika mengutip sebagian dari Injil, gunakan istilah "Injil menurut Yohanes" misalnya, bukan "Injil Yohanes". Karena istilah yang terakhir itu akan membuat Saudara Sepupu berpikir bahwa ada empat Injil yang berbeda, bukan Injil yang dicatat oleh empat saksi mata. Berhati-hatilah menggunakan ungkapan "Anak Allah" ketika berbicara dengan Saudara Sepupu. Pikiran mereka dibingungkan dengan makna yang sesungguhnya, sehingga pembicaraan lebih lanjut biasanya menjadi tidak memungkinkan.

Hanya kekekalan yang akan menyatakan hasil dari cara pemberitaan dan kesaksian pribadi ini. Saat ini kita memiliki hak istimewa yang tidak terbayangkan karena menjadi rekan sekerja Allah untuk seluruh dunia, mata rantai yang membawa jiwa-jiwa kepada Kristus. Dalam menjangkau Saudara Sepupu, mari kita berhati-hati untuk tidak berharap terlalu banyak setelah menjadi rangkaian terakhir dari mata rantai tersebut. Ingatlah prinsip, "Aku [Paulus] menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan." (1 Korintus 3:6) (t/Anna)

Diterjemahkan dari:

Judul buku : Sharing the Good News with Muslims: Simple Guidelines for Christians
Judul bab : Sharing with Casual Contacts
Penulis : Bill Dennett
Penerbit : ANZEA Publishers, Australia 1992
Halaman : 19 -- 29

e-JEMMi 03/2012