You are hereArtikel Misi / Peran Perempuan Dalam Misi

Peran Perempuan Dalam Misi


Peran perempuan dalam penyebaran kekristenan di Jawa sangatlah esensial. Itulah yang terjadi meskipun dalam kenyataannya, posisi mereka dalam masyarakat tidak kentara dan sering diremehkan. Di satu sisi, dapat dikatakan bahwa perempuan menempati sebuah posisi "tidak resmi" dalam keluarga dan masyarakat karena mereka tidak menarik banyak perhatian. Namun, di sisi lain, tugas-tugas perempuan membawa mereka ke dalam kedekatan hubungan dengan penduduk setempat, yang membuka kesempatan bagi mereka untuk menyebarkan agamanya. Peran mereka adalah melayani sebagai pelopor usaha penyebaran Injil di antara penduduk asli. Secara umum, mereka adalah pengelola rumah tangga yang memiliki sebuah kedekatan hubungan dengan orang-orang yang membantu atau bekerja dalam keluarga mereka. Mereka menguasai bahasa daerah sehingga mampu menjalin hubungan dengan pembantu dan dengan tetangga dekat mereka. Juga, ketertarikan mereka dalam mengasuh dan mendidik, memberi mereka kesempatan untuk melayani di bidang tersebut. Pada akhirnya, ketekunan dan ketulusan mereka sebagai anggota komunitas gereja menyediakan sebuah contoh dan teladan bagi para jemaat gereja -- merekalah tulang punggung jemaat. Perempuan-perempuan yang diceritakan di bawah ini adalah orang-orang yang telah berkontribusi dengan cara mereka sendiri dalam upaya menyebarkan agama Kristen di tanah Jawa.

Perempuan

Ma Christina

Ma Christina lahir di Tayu, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, pada 1812. Sebagai anggota keluarga Jawa, ia tentu saja telah memeluk agama Islam sebelum menjadi Kristen. Nama aslinya tidak terlacak lagi. Kemungkinan besar, pada masa remajanya, ia dikenalkan dengan seorang guru Kristen bernama Ibrahim Tunggul Wulung, kemudian bekerja di Jepara dan menjadi Kristen. Setelah itu, ia pindah ke Semarang dan pada usia 41 tahun, ia dibaptis oleh W. Hoezoo pada 20 Maret 1853. Dari Semarang, Ma Christina pindah ke Batavia dan menghabiskan sisa waktunya dalam pelayanan misi. Latar belakang pendidikannya tidak diketahui, namun selama masa itu dia tentunya mengikuti berbagai macam kursus pendidikan yang dijalankan oleh badan misi. Pada awalnya, ia dipekerjakan oleh seorang penginjil Jerman dan diberi tugas untuk mengajar di sebuah sekolah pribumi di Batavia. Ma Christina mengajar di sekolah itu sampai tahun 1859, ketika A. Muhlnickel meninggal. Ia tidak menemukan kepuasan bekerja di sekolah, mungkin karena terlalu formal dan tidak bisa memenuhi keinginannya akan penginjilan secara langsung. Lagi pula, ia kurang tertarik untuk mendidik anak-anak. Ketertarikan utamanya adalah bekerja di antara para perempuan, terutama di kalangan Indo di Batavia.

Dengan inisiatifnya sendiri, sepulangnya dari sekolah, Ma Christina mulai berkeliling di lingkungan sekitarnya dan mencari kenalan yang dapat menjadi tempatnya bersaksi. Usahanya ini memberi hasil yang nyata. Setiap siang, di rumahnya diadakan kelompok diskusi agama Kristen. Setelah benih yang ditaburkannya dianggap memenuhi syarat pengetahuan agamawi, pembaptisan mereka akan dilakukan oleh misionaris Muhlnickel bersama dengan Pendeta Bierhaus. Dilaporkan oleh H. Dijkstra bahwa pada kesempatan pertama, terdapat sebelas perempuan yang dibaptis. Satu demi satu perempuan dari berbagai tempat dikumpulkan oleh Ma Christina dan dibaptis oleh berbagai misionaris yang berkarya di Batavia, dan juga Pendeta E.W. King di Meester Cornelis (Jatinegara -- Red.). Demikian juga, dari upaya Ma Christina, banyak perempuan lain yang dipercayakan kepada Pendeta J. Beukhof, Pendeta J. A. Schuurman dan misionaris L. K. Harmsen. Dari para pelayan Tuhan yang berbeda ini, sangatlah jelas bahwa Ma Christina bekerja di wilayah yang luas dan memiliki banyak hubungan dengan para hamba Tuhan dari berbagai gereja dan denominasi. Dari sudut pandang gereja, hal ini sangatlah menarik: Ma Christina tidak bekerja untuk gereja atau misi tertentu. Jumlah keseluruhan perempuan yang menerima sakramen baptisan dari pelayanan ini adalah 65 orang. Sebuah pencapaian langka karena agama Kristen sudah tersebar luas dan dihindari oleh penduduk pribumi karena dianggap sebagai agama orang Belanda.

Pada usia enam puluh dua tahun, Ma Christina tidak lagi berkarya. Dia, dengan saudarinya, tinggal di sebuah rumah penampungan untuk orang miskin di Batavia, dan meninggal pada 25 Januari 1879. Ma Christina tidak pernah menikah dan tidak memiliki keturunan. Pada akhir artikelnya mengenai Ma Christina, Dijkstra menulis bahwa dalam sejarah misi, terutama yang membahas kisah Ma Christina di Batavia, peran dan tindakan para perempuan tidak boleh diabaikan.

Amarentia Manuel Emde dan Johanna Wilhelmina Emde

Dalam kegiatan penginjilan di Surabaya pada tahun 1820-an dan beberapa tahun kemudian, peran yang dimainkan oleh seorang ibu dan anak perempuannya, Amarentia Manuel Emde dan anak perempuan semata wayangnya, Johanna Wilhelmina Emde, haruslah diingat. J. Emde, seorang tukang emas sekaligus misionaris Protestan Belanda, akan mengalami kesulitan untuk mencapai keberhasilan dalam pelayanannya jika tidak didampingi oleh kedua orang perempuan ini.

Menurut perhitungan B. Schuch, Emde menikahi seorang perempuan Jawa yang disebutkan sebagai anak perempuan dari seorang bupati. Pada saat itu, sangatlah sulit mencari istri dari kalangan orang Eropa. Rendahnya status sosial dan ekonomi Emde, dan bertepatan dengan sedikitnya jumlah perempuan Eropa membuatnya hampir mustahil untuk menikah dengan seorang perempuan dari bangsanya sendiri. Dengan kata lain, dia tidak menyetujui tindakan kumpul kebo, karenanya dia secara resmi menikahi seorang perempuan Jawa. Setelah menjadi Kristen, istrinya diberikan nama Barat, Amarentia Manuel. Dari cara pemberian namanya, terbukti bahwa arti "menjadi Kristen" bagi Emde ialah "menjadi orang Barat". "Kejawaan" istrinya dianggap remeh, walaupun terbukti kemudian bahwa faktor itulah yang menjadi kunci sukses penginjilan di Jawa Timur, terutama di Surabaya. Dalam waktu singkat, Nyonya Emde telah menjadi tangan kanan bagi Emde untuk berhubungan dengan orang Jawa. Emde sendiri tidak menguasai bahasa Jawa sehingga istrinya sangat menolongnya dalam menerjemahkan, menyebarkan traktat, serta menghubungi para tetangga di sekitar rumah mereka. Kehadiran istri Emde tidak menarik perhatian, apalagi sang istri sangat mengerti tentang etiket pergaulan dalam budaya masyarakat Jawa. Akan tetapi, istri Emde memainkan peran yang penting, yaitu sebagai mediator antara Emde, yang mewakili dunia religius Barat, dengan dunia orang Jawa.

Pada akhirnya, ketekunan dan ketulusan mereka sebagai anggota komunitas gereja menyediakan sebuah contoh dan teladan bagi para jemaat gereja -- merekalah tulang punggung jemaat.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Kehadiran Nyonya Emde membuat kedua dunia yang berbeda itu dapat dipertemukan, hal ini dapat disimbolkan dengan fungsi rumah Emde. Rumah itu adalah pusat pertemuan yang di dalamnya orang Jawa pribumi, jemaat Gereja Protestan Surabaya, dan misionaris dapat berkumpul bersama. Di dalamnya, Nyonya Emde menerima dan menyediakan makanan untuk mereka semua. Rumah itu adalah sebuah pusat penginjilan dan kegiatan pendidikan. Untuk tugas yang terakhir, peran anak perempuan Emde, Johanna Wilhelmia, sangatlah besar. Dengan latar belakang pendidikan Barat yang lebih luas daripada ibunya, dia lebih aktif dalam hal pendidikan pada umumnya dan keterampilan rumah tangga pada khususnya. Dia juga aktif dalam menangani administrasi kegiatan misi di Surabaya. Dialah yang mengajar para perempuan dan anak-anak membaca, menulis, aritmetika, bernyanyi, bahasa Belanda, dan juga agama Kristen; semua pelajaran itu diberikan secara cuma-cuma. Ada sekitar 30 -- 40 orang murid yang mengikuti pelajaran dari Johanna ketika perkumpulan itu masih diadakan di rumah Emde.

Kegiatan yang dilakukan Johanna lebih banyak dari yang dilakukan ibunya; selain mengajar, ia juga aktif mendampingi pelayanan pembagian Alkitab dan traktat-traktat dalam bahasa Jawa dan Madura. Tak hanya itu, ia juga menerjemahkan beberapa bagian dari Injil Markus dan diperbanyaknya sendiri. Di samping berbagai kegiatan tersebut, dia juga mengatur sebuah panti asuhan yang sekaligus berfungsi sebagai sebuah penginapan gratis bagi para pekerja misi yang sedang dalam perjalanan. Untuk semua jerih payahnya, dia menerima gaji dari NZG (Netherland Zending Genotschap) dan oleh C.W Nortier disebut sebagai "misionaris pertama untuk orang Jawa". Berbagai kegiatan Johanna, terutama melihat upayanya dalam memimpin dan mengatur panti asuhan, dicatat oleh E. Jellesma. Dia menyatakan bahwa tempat tersebut dibangun atas inisiatif Johanna sendiri, bahkan dia sendiri pernah tinggal di panti asuhan/penginapan ketika menunggu tugas barunya di Mojowarno. Setiap hari, keperluan rumah tangga tempat itu ditangani oleh Johanna. Selain itu, ia juga mengurus berbagai keperluan ibadah gereja, antara lain menyediakan peralatan sakramen seperti mangkuk baptisan, cawan anggur, lilin, dekorasi, bel gereja, dan sebagainya.

Sangatlah jelas bahwa istri dan putri Emde memainkan peranan yang sangat krusial dalam menentukan kesuksesan penginjilan Emde dan tugas-tugasnya. Pada 1840, setelah bekerja selama bertahun-tahun, mereka mengumpulkan buah yang telah lama mereka rindukan. Dasimah, salah satu orang Kristen Jawa yang pertama, mulai mengunjungi rumah mereka. Dan, dari seorang tamu ini, persekutuan itu bertumbuh menjadi sekitar seratus orang jemaat. Seperti yang telah diduga, Nyonya Emde dan putrinya tetap menjadi penolong dalam kesuksesan kebaktian di tempat itu. Di samping melayani sebagai penerjemah, mereka juga menyiapkan makanan dan minuman untuk perkumpulan tersebut.(t/Rento)

Download Audio

Diterjemahkan dari:
Judul asli buku : Mission at the Crossroads
Judul bab : The Spreading of Christianity in Java and Its Encounter with Islam in the 19th Century
Judul asli artikel : The Role of Women in Mission
Penulis : Th. Sumartana
Penerbit : PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 1994
Halaman : 15 -- 18