Henry M. Stanley

Kematian David Livingstone memberi dampak psikologis yang amat hebat terhadap dunia penutur bahasa Inggris. Semangat pelayanan misi mencapai puncak yang tinggi ketika pemuda dan pemudi yang giat secara sukarela mengajukan diri untuk melayani di luar negeri, apa pun risikonya. Bagian dari semangat misi ini terinspirasi oleh karya penjelajahan Henry Stanley, yang mengambil peran yang diwariskan Livingstone, dan menjalaninya dengan tekad yang bulat. Perjalanan selama 999 hari yang dilakukan Henry Stanley untuk melintasi benua Afrika ini, menggugah rasa ingin tahu dunia dan mengutus kalangan misionaris untuk berjuang demi memulai pelayanan mereka di Benua Hitam.

Meskipun Henry Stanley menjadi percaya melalui pengaruh Livingstone dan ditetapkan untuk meneruskan pelayanan sahabatnya yang terkasih itu, tetapi Stanley tampak seperti bukan seseorang yang tepat untuk menjalani pekerjaan sebagai misionaris. Dia lahir sebagai John Rowlands pada tahun 1841 (yaitu tahun di mana Livingstone tiba di Afrika), seorang anak haram dari pekerja industrial Inggris. Pada usia 6 tahun, ia diserahkan kepada perwalian seorang pemimpin rumah untuk gelandangan yang kejam, di sana ia tinggal sampai ia melarikan ke New Orleans ketika menginjak usia remaja. Di New Orleans, ia diadopsi oleh Henry Stanley, seorang saudagar kaya yang tidak memiliki anak, yang tidak lama kemudian menyuruh anak bermasalah ini pergi untuk bekerja di sebuah perkebunan. Selama Perang Saudara, Stanley muda ini (yang kini menggunakan nama ayah angkatnya) bergabung dengan Angkatan Perang Konfederasi, namun terluka dan menjadi tahanan perang di Shiloh. Setelah menghabiskan beberapa waktu di penjara, ia beralih ke pihak Serikat, tetapi tak lama kemudian dibebastugaskan karena alasan kesehatan. Selanjutnya, Stanley bekerja sebagai kelasi geladak dan juru tulis; pada saat itulah ia bergabung dengan Angkatan Laut Federal, tetapi membelot, setelah beberapa waktu dan menjadi wartawan paruh waktu. Dengan pekerjaan yang dilakukannya itu, ia bisa bepergian ke Asia kecil. Namun, sebelum dapat menyelesaikan tugasnya, ia ditangkap dan dipukuli oleh segerombolan bajak laut. Pada tahun 1867, Stanley kembali ke Amerika Serikat untuk mengulas tentang kampanye militer Jenderal Hancock melawan orang-orang Indian, dan kemudian di tahun itu dia mulai bekerja untuk perusahaan surat kabar, The New York Herald. Dia sedang bertugas di Afrika untuk surat kabar ini pada tahun 1871, ketika untuk pertama kalinya ia bertemu David Livingstone, orang yang di kemudian hari menjadi figur seorang pahlawan dan ayah baginya.

Setelah 4 bulan di Afrika dan menyelesaikan karyanya yang berjudul "How I Found Livingstone" -- yang kemudian menjadi "best seller" -- dengan tergesa-gesa, Stanley merencanakan ekspedisi penjelajahannya sendiri ke Afrika, yang dimulainya satu tahun setelah kematian Livingstone. Stanley menganggap dirinya sendiri sebagai seorang penjelajah sekaligus misionaris paruh waktu, dan ketika sampai di Uganda, dia mencoba kemampuannya dalam penerjemahan Alkitab untuk sesaat. Namun, kontribusi terbesarnya terhadap pelayanan misi adalah karya tulisnya. Dia dapat melakukan hal yang besar bagi tujuan misi dengan hanya mengirim satu surat yang cukup emosional (yang diterbitkan di the Daily Telegraph), lebih besar daripada apa yang telah dilakukan oleh kebanyakan misionaris sepanjang hidupnya. Dia dengan bersungguh-sungguh memohon misionaris sukarelawan: "Oh, biarlah beberapa misionaris praktis yang saleh datang kemari! Luasnya lahan dan tuaian yang sudah matang menantikan sabit peradaban ... Para guru Kristen praktislah yang bisa mengajar orang-orang untuk menjadi Kristen, menyembuhkan penyakit mereka, mendirikan tempat tinggal ... Anda tidak perlu takut untuk memakai uang untuk mendukung pelayanan misi semacam ini...."

Ekspedisi 999 hari Stanley melintasi benua Afrika dari Mombasa ke mulut Sungai Kongo merupakan ekspedisi yang mahal, bukan hanya dalam hal uang, melainkan juga dalam hal nyawa. Dia memulai perjalanan misinya dengan 3 orang Eropa lainnya dan 356 orang Afrika, tetapi ketika ia sampai ke pesisir sebelah barat, ia telah kehilangan segala-galanya kecuali 82 orang Afrika, yang disebabkan karena kematian dan pembelotan. Berbeda dengan Livingstone, Stanley membenci Afrika dan takut kepada orang-orangnya: "Bahaya terbesar, yang harus kami hadapi setiap kali adalah mendengar raungan dari suku kanibal yang senantiasa mengamati kami .... Perasaan bahaya selalu hadir meliputi pikiran kami, baik di waktu kami tidur maupun dalam keadaan terjaga." Stanley setuju untuk mengangkat senjata dan menembaki suku-suku pribumi yang mengancam nyawa mereka, tampaknya ia mengabaikan isu (seperti yang dihadapi Mackenzie) mengenai apakah penjelajahan misi harus dilakukan jika perjalanan itu memerlukan penjagaan dari militer. Bagi Stanley, hal ini merupakan masalah hidup dan mati, dan bukan saatnya untuk alasan-alasan filosofis.

Meskipun diliputi bahaya dan kematian yang tragis, ekspedisi Stanley merupakan sebuah pencapaian yang monumental. Selain itu, kalangan misionaris juga berkeinginan untuk mengikuti jalur ini dalam kebangkitannya. Badan misi pertama yang mengikuti jejak ini adalah Livingstone Inland Mission, sebuah masyarakat nondenominasi yang mengambil pola badan misi China Inland Mission. Badan misi ini mendirikan 7 pos sepanjang anak sungai sebelah selatan Sungai Kongo, namun rimba Afrika mulai meminta korban dan misi ini hanya berumur pendek. Badan misi yang lainnya berjuang selama puluhan tahun, untuk menghubungkan pesisir sebelah barat dan timur, dengan membangun jejaring antarpos misi. (t\Jing Jing)

Diterjemahkan dari:

Judul buku : From Jerusalem to Irian Jaya
Penulis : Ruth A. Tucker
Penerbit : Academia Books, Grand Rapids 1983
Halaman : 153 -- 155

e-JEMMi 47/2012