Kebangkitan Gereja-Gereja di Singapura

Lebih dari 180 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 29 Januari 1819, Raffles mendaratkan kakinya di sebuah pulau kecil yang isinya hanya sebuah desa nelayan kecil. Pulau nelayan itu bernama Singapura, dinamai oleh Sri Nilam Utama seorang raja Sriwijaya yang menurut legenda pernah dikagetkan oleh seekor singa di pulau tersebut. Empat bulan setelah penjejakannya yang pertama, Raffles menghibahkan sebidang tanah untuk membangun sekolah guna mempelajari bahasa Ona serta kekristenan. Dia juga memberikan dukungan dan dana kepada misionaris pertama dari London Missionary Society, Rev. Samuel Milton untuk memulai sebuah gereja. Raffles percaya, kekristenan dapat membawa perbaikan sosial.

Sejak hari itu sampai sekarang, ada lebih dari 400 gereja di Singapura. Denominasi-denominasi utama telah merambah ke ladang misi Singapura sejak lama, seperti Presbyterian, Methodists, Lutheran, Baptist, Brethren, Assemblies of God dan Salvation Army. Lokalisasi dan kontekstualisasi gereja berlangsung dengan kuat lewat gereja- gereja yang berbudaya Tionghoa atau India, sehingga tidak heran jika di Singapura ada banyak gereja yang menggunakan dialek tertentu seperti Hakka, Kanton, atau bahkan Tamil bagi orang-orang Singapura India. Komunitas Kristen Tionghoa juga mewariskan beberapa karya, salah satunya Singapore Bible College.

Menurut data statistik, jumlah kekristenan tidaklah terlalu spektakular (14,6% pada tahun 2000) atau cuma menduduki urutan keempat. Mayoritas penduduk Singapura memang beragama Tionghoa tradisional. Walaupun begitu, gereja tersebar di seluruh penjuru Singapura, di tempat-tempat utama sampai di daerah pemukiman terpencil. Jika kita naik MRT (Mass Rapid Transit, semacam kereta) dan mengintip dari balik jendela, rasanya sih ada lebih banyak gereja dibanding kuil atau masjid. Namun data resmi statistik tetap menempatkan kekristenan di bawah agama Budha dan Islam.

Sebetulnya, pemerintah memberikan kebebasan kepada semua pemeluk agama untuk menjalankan ibadahnya. Hanya tidak seperti di Indonesia, dimana kita diwajibkan memeluk satu agama, di sini orang bebas untuk tidak beragama. Tidak heran jika statistik "Free Thinker", sebutan untuk mereka yang tidak beragama, cukup tinggi terutama di kalangan generasi muda. Jumlahnya hanya sedikit di bawah jumlah orang Kristen.

Titik Balik Kebangkitan

Salah satu titik balik dalam sejarah kekristenan di Singapura adalah di era 90-an ketika gerakan Karismatik merambah ke kota singa ini. Bukan hanya terjadi penambahan kuantitas, tetapi gereja yang mula- mula dingin dan diam, serentak menjadi hangat dan bergerak. Salah satu gerakan yang patut dicatat dalam sejarah adalah gereja City Harvest yang kini menjadi gereja terbesar di Singapura, dengan jumlah anggota sekitar 15.000 orang. City Harvest yang didirikan pada tahun 1989 ini, seolah menjadi simbol gerakan gereja yang modern, modis, muda, dan melepaskan diri dari hal-hal yang tradisional.

Gerakan lain adalah FCBC (Faith Community Baptist Church) yang selain memiliki jumlah jemaat yang besar, juga memberikan dampak yang besar kepada masyarakat lewat pelayanan sosialnya yang disebut Touch Ministry. Pelayanan ini bergerak melalui pelayanan sosial untuk anak-anak, orangtua, dan orang yang kurang beruntung. Yang menarik, badan ini juga memiliki divisi pelayanan ´entertainment´ yang memproduksi film-film bernafaskan kekristenan, namun dikemas untuk konsumsi umum.

Ada beberapa hal yang menarik untuk kita pelajari dari kekristenan di Singapura, yakni:

PERTAMA: Adanya fenomena kesatuan gereja yang cukup utuh. Kebangkitan gerakan Karismatik dapat berjalan mulus tanpa ada perpecahan, di tengah denominasi gereja Anglikan yang memiliki ritualistik yang tinggi. Orang boleh memilih, mau datang ke kebaktian kontemporer (yang karismatik) atau ke kebaktian tradisional.

Memang, tidak semua gereja Anglikan memiliki kebaktian kontemporer, namun semuanya berlangsung mulus-mulus saja. Denominasi yang lain seperti Metodis juga begitu. Selain itu, gereja-gereja di Singapura juga bersatu dalam gerakan Love Singapore di mana mereka berkumpul, berdoa dan membagi visi bersama. Hal ini berakibat pada meningkatnya antusiasme gerakan misi gereja-gereja Singapura ke Asia. Banyak sekali gereja-gereja lokal di sini yang melakukan misi ke Cina, Kamboja, Indonesia, Jepang, dan sebagainya. Tidak heran jika Singapura mendapat julukan the Antioch of Asia (Antiokhia-nya Asia).

KEDUA: Tantangan orang Kristen di Singapura mungkin relevan juga buat kita di Indonesia. Dalam dua dekade yang lalu, ekonomi Singapura tiba-tiba meledak. Padahal, Singapura baru merdeka tahun 1965, sehingga masih dianggap anak bawang. Tahun 1970-an Singapura juga masih bukan apa-apa, namun sejak tahun 80-an sampai sekarang, kekuatan ekonomi Singapura tiba-tiba meledak. Pembangunan kota beserta infrastrukturnya seolah tak terhentikan.

Sisi lain dari ´ledakan´ ekonomi ini adalah kerasnya kompetisi untuk hidup di negara pulau ini. Orang di sini sering mengucapkan anekdot bahwa agama orang Singapura yang sesungguhnya adalah uang. Repotnya, karena negara ini kecil dan sumber daya alam terbatas, maka rakyatnya masih terlena untuk ´disuapi´ pemerintah dalam mencari jalan keluar. Akibatnya, goyangan krisis keuangan dalam beberapa tahun terakhir ini membuat keresahan masih menggigit.

Bayangkan saja, sebuah skenario yang normal. Sejak kecil anak- anak Singapura harus bersaing ketat di sekolahnya. Jika pada waktu duduk di bangku SD mereka sudah mengalami kegagalan, maka jalan ke depan semakin tertutup karena anak-anak yang ´gagal´ tersebut akan langsung diarahkan untuk masuk ke institusi- institusi tertentu saja. Persaingan yang keras telah diperkenalkan sejak dini. Setelah lulus sekolah, langsung bekerja. Dan persaingan di sini lebih dahsyat lagi. Makanya, di Singapura terkenal istilah ´kiasu´ atau takut kalah.

Selain persaingan dalam pekerjaan, warga Singapura pun dihadapkan dengan cicilan harga rumah dimana pembayarannya saja memerlukan waktu 30 tahun. Belum lagi cicilan-cicilan lain yang akan makin menumpuk terutama saat kita melihat tetangga atau kolega (teman sekerja) membeli mobil, pindah ke kondominum yang lebih bagus atau jadi anggota country club yang ekslusif. Padahal di saat- saat sekarang, PHK (pemutusan hubungan kerja) sudah jadi barang lumrah.

Kerasnya kehidupan yang materialistis plus benturan antara modernitas dengan nilai-nilai kekristenan menjadi pergumulan yang dihadapi oleh orang-orang Kristen di Singapura. Bagaimana membawa pesan Alkitab yang relevan dan menjawab kebutuhan serta kegelisahan mereka sehari-hari?

Allah tidak pernah berubah. Sang Penjunan pasti akan mampu membentuk dan membawa Singapura the Antioch of Asia sesuai dengan visi-Nya.

Judul Majalah: : GetLIFE! Edisi 02/2004
Judul Artikel : Kebangkitan Gereja-gereja di Singapura
Penerbit : Yayasan Pelita Indonesia
Penulis : Henry Sujaya
Halaman : 74 - 76

e-JEMMi 02/2005